PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Uraian singkat di atas memberi kejelasan bahwa sebagai individu ketiga psikolog
baik Freuud, Skinner dan Rogers, erupakan sosok pribadi yang terpisah satu sama
lain, baik fisik maupun mentalnya, ketiganya berbeda tanggal, bulan, tahun, hari
dan tempat kelahiran, bahkan sampai ke saat-saat kematiannya, sedemikian
kuatnya eksistensi individu ketiga psikolog tersebut.
Jadi sebagai makhluk sosial, tidak ada satu individu pun yang dapat melepaskan
diri dari tuntutan melaksanakan proses sosialisasi, yakni suatu proses dan usaha
seseorang untuk melaksankan kontak dan berhubungan dengan orang lain dalam
rangka memenuhi tuntutan hidupnya, sehingga membentuk komunitas tertentu.
Dari sisi lain terminologi harus dilihat dari segi objektifnya, yakni aspek manusia
yang beragama, bukan segi subjektifnya yang mengasosiakan pada ajaran dan
esensi agamanya. Dalam beragama pun ada beberapa faktor sosial yang
mempengaruhi seseorang untuk beragama yang harus diketahui setiap manusia.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahan beberapa faktor-faktor sosial dalam
agama.
B. Rumusan Masalah
4. Seperti apakah faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Agama berfungsi sebagai alat ukur baik dan uruk karena di pandang datang dari
Yang Maha Kuasa, sehingga kebenarannya tidak perlu dipersoalkan lagi oleh
manusia, lebih-lebih agama dapat memberikan inspirasi moral yang tidak terbatas
pada ruang dan waktu, sehingga merembes menjadi budaya hidup manusia.
Jadi betapa kuat fungsi agama dalam membantu menegakkan intergitas individu
dan memperkokoh ikatan sosial kegamaannya. Hanya saja secara kronologis
komunitas agama itu tetap tidak akan tewujud tanpa dimulai oleh berlangsungnya
proses sosialisasi. Dalam hubungan ini bukan sebatas fungsi agama, juga
melengkapi penjelasannya tentang faktor-faktor yang dapat mendorong,
berlangsungnya interaksi sosial, yakni kooperasi, kompetisi, konflik, akomodasi
dan asimilasi. Dengan demikian mengidentifikasi ekuivalensi dasar-dasar
pembentukan kelompok agama dan kelompok sosial pada umumnya, maka dapat
di tetapkan bahwa faktor-faktor yang mendorong orang bergama melakukan
proses sosialisasi adalah menyangkut kelima hal tersebut.
Itu berarti bahwa kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan
manusia yang di dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada
pihak lain di sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah
bagi keberhasilan kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa
kompetensi adalah usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan
yang dilakukan oeh setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik
bersifat/materi maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A
dan B bermain bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah
ada unsur ingin memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari
lawannya, sebagaimana satu sama lain juga ingin dhargai, paling tidak
penghargaan moral, dan apabila mungkin pada tingkat tertentu akan memperoleh
imbalan materi.
Pada dasarnya kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha,
walaupun dalam perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu
kompetisi itu di formalkan sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama
yang bersifat materi.
Kalau prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai
upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh nilai
tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang
dimilikinya.
Karena itu apabila aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal
sebagai berikut:
a. Aktualisasi diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi
keadaan apa yang ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang
melebihi apa yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih
besar dari pa yang di lakukannya.
Ada dua jenis konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2)
konflik ektern/ antar anggota sosial.
a. Konflik intern/individu.
Dari sekian banyak pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang
menghadapi dua pilihan atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan
sekaligus. Dalam penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat
kategori. Yaitu:
1) Pendekatan-pendekatan
Dua orang kebutuhan keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang
saling bergantung akan menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-
1 Baihaqi , Wildan. 2012. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri hal 73-85
pendekatan. Dalam hal ini orang dituntut memutuskan dan menentukan pilihan
terhadap dua pekerjaan yang di pandang sama baiknya. Dalam kehidupan
beragama jelas konflik seperti ini buhan hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya
orang islam terjebak harus memillih antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan
shalat sunnah, padahal keadaan suasananya sangat mendesak, karena ia berada
ada stasiun pemberhentian kereta api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa
berdosa itu berakumulasi, tidak mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan
meminta nasehat kepad A, berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas
menyatakan kebutuhan dan kesesalan kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk
berinteraksi seperti ini dapat berlangsung karena mendengar orang lain atau
membaca suatu tulisan, sebelum ia mengalami sendiri. Dengan suatu konflik
orang beragama akan terdorong untuk melakukan proses sosialisasi.
2) Penghindaran-Penghindaran
Dalam konflik jenis ini, orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang
sama-sama tidak mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat
pada diri seseorang dan tidak mungkin di persatukan.
Dalam konteks kehidupan beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang
hamil mengalami konflik karena disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa
karena untuk kesehatan si bayi dalam kandungannya, menghadapi keadaaan
seperti itu sang ibu berpikir, apakah membatalkan puasanya demi anak, atau
meneruskan puasa, tapi keselamatan anak terancam? Dan itulah contoh khusus
dari peghindaran-penghindaran.
3) Pendekatan Penghindaran
Berbada dengan dua kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus
menuntaskan, pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau
menghindari yang memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang
untuk memebli baju, berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di
rumah, akrena uangnya tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono
pada keluarga dekat. Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran
orang bergama akan terpaksa melakukan proses sosialisasi.
Dalam konflik seperti ini terkumpul harapan, keinginan dan kewajiban yang dapat
mendatangkan kesenangan dengan melarang yang pasti membuat orang bosan dan
menyebalkan. Misalnya.Ali adalah anak orang kaya yang pada mulanya setelah
tamat SMA, ia berketetapan untuk tidak melanjutkan sekolah, namun setelah
mengikuti pengajian, ia memperoleh kepastian bahwa menuntut ilmu itu
hukumnya wajib. Menyadari kedudukannya sebagai seorang muslim, ia
memantapakan diri untuk kuliah walaupun sudah hampir dua tahun ia tidak aktif
belajar. Artinya konflik seperti ini pulalah maraknya kontak dan interaksi sosial.
Untuk mengukur berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses
asimilasi, bisa jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh
WIEMAN sebagai berikut:
Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang
kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Masyarakat
samar-samar atau terang-terangan mesti hidup dengan mendapatkan pengakuan
secara agama dan bukan sekedar kntruk sosial lain. Agama memang diset untuk
masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim
kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran
keagamaan kepada orang lain yang tidak menyakininya. Upacara keagamaan,
magis,ritual dan praktik secara pribadi dlakukan tidak lagi sebagai worship kepada
tuhan belaka, akan tetapi sebagai kekuatan sosial yang menunjukan adanya geliat-
geliat massif yang bisa di arahkan.
Memang ada sedikit bukti bahwa sesuatu yang abstrak yag di sebut agama,
berdasarkan pergulatan keyakinan dan sejarah dengan artefak historis yang masih
terus di gali. Penelitian sejarah menunjukan bahwa gama sebagai label harus bisa
masuk ke dalam kontruksi agama sebagai historical evidence dan khususnya
kepada agama-agama dengan penganut terbanyak seperti islam,kristen, hindu,
budha atau konghucu. Jadi sangat di sayangkan apabila bukti-bukti historis agama
malah di tutupi, disembunyikan atas nama iman, karena iman itu sendiri harus
mendapatkan verifikasi yang kuat dan memiliki dasar yang jelas.
Ini di pahami lantaran agama terkadang juga mengintil sisi kekuasaan, banyak
agamawan yang seklaigus menjadi raja atau ratu karena kekuasaannya begitu
setara agama menjadi sistem integratif di dalam suatu negara atau kerajaan.
Ketika legitimasi yang di berikan oleh pemuka agama bisa mengamankan
kekuasaan para penguasa dinasti agama sebagai keyakinan bersama pada kahirnya
juga harus menjadi suatu substrat feodal. Agama tidak lagi setara dalam hal ini
karena adanya keistimewaan yang di miliki para penguasa yang punya kekuasaan
pada teks agama.
Dalam merespon implikasi perubahan yang terjadi secara alami para filosof dan
sejarawan besar seperti Arnold Toybee dan Spengler
4. Toleransi
5. Sistem terbuka.2
Ilmu pengetahuan tak bisa memberikan solusi tentang ”what ought to be”. Kondisi
masyarakat dunia seperti itu, kata Weber merupakan ”kekecewaan dunia”.
[4] Ukuran kedewasaan individu modern bukan lagi terletak pada penguasaannya
terhadap adat, namun terhadap ilmu pengetahuan. Industrialisasi merupakan
upaya meningkatkan produktifitas kerja dalam berbagai sektor, termasuk sektor
pertanian dengan menggunakan prinsip rasionalisasi dan efisiensi. Sudah barang
tentu, dalam proses industrialisasi digunakan berbagai teknologi mekanis yang
sarat dengan efisiensi dan efektivitas dalam rangka pencapaian produktifitas.
Akibat yang menyertai proses mekanisasi sudah dapat diduga; perubahan
sosial.Perubahan sosial masyarakat yang tengah membangun sangat berpengaruh
terhadap tingkat konsumerisme, orientasi sosial, mobilitas sosial,
urbanisasi, institusi-institusi sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesakralan
agama. Nilai-nilai tradisional semakin tergeser dan tergantikan dengan nilai-
nilaimodern yang tidak saja terbatas pada kelembagaan formal, namun juga
sampai ke institusi informal dan individual.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang
kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Agama
memang diset untuk masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya,
bahkan secara ekstrim kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu
pola dan pemikiran keagamaan kepada orang lain yang tidak
menyakininya.Agama adalah faktor-faktor ikatan dan hubungan manusia yang
mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur kekuasaan yang
diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang yang di wariskan
karena keyakinan agama. Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut
mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya
dua gejala yang sangat paradoksal.
B. Saran
Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam yang notabene adalah calon
“Guru Agama”, seyogianya mengetahui faktor-faktor sosial dalam agama agar
senantiasa mampu mengajarkan “Agama” secara baik terutama dalam
mensosialisasikannya ke masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA