Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Robert D.Nye membandingkan tiga orang psikolog besar dalam tulisannya yang


berjudulThree Psychologies, ketiga psikolog yang di pelajarinya itu tidak lain
adalah Freud, Skinner dan Rogers. Pada waktu menceritakan biografinya NYE
mengatakan bahwa SIGMUND FREUD di lahirkan di Freibeg, Moravia (sekarang
Czechoslovakia) pada tanggal 6 Mei 1856. Ayahnya dalah seorang saudagar wol,
sementara ibunya seorang wania cerdas dan meninggal pada usia 95 tahun. Yang
kedua BURRHUS FREDERIC SKINNER di lahirkan pada tahun 1904 di
Susguehanna, Pensylvania, apaknya seorang ahli hukum sedangkan ibunya
seorang wanita cantik dan cerdas. CARL.R.ROGERS, di lahirkan pada tanggal 8
Januari 1902 di Oark Park Chicago. Bapaknya seorang kontraktor dan insinyur
bangunan. Kedua orang tuanya sangat religius, bahkan ibunya lebih fundamentalis
dalam menerapkan prinsip hidup beragama.

Uraian singkat di atas memberi kejelasan bahwa sebagai individu ketiga psikolog
baik Freuud, Skinner dan Rogers, erupakan sosok pribadi yang terpisah satu sama
lain, baik fisik maupun mentalnya, ketiganya berbeda tanggal, bulan, tahun, hari
dan tempat kelahiran, bahkan sampai ke saat-saat kematiannya, sedemikian
kuatnya eksistensi individu ketiga psikolog tersebut.

Jadi sebagai makhluk sosial, tidak ada satu individu pun yang dapat melepaskan
diri dari tuntutan melaksanakan proses sosialisasi, yakni suatu proses dan usaha
seseorang untuk melaksankan kontak dan berhubungan dengan orang lain dalam
rangka memenuhi tuntutan  hidupnya, sehingga membentuk komunitas tertentu.
Dari sisi lain terminologi harus dilihat dari segi objektifnya, yakni aspek manusia
yang beragama, bukan segi subjektifnya yang mengasosiakan pada ajaran dan
esensi agamanya. Dalam beragama pun ada beberapa faktor sosial yang
mempengaruhi seseorang untuk beragama yang harus diketahui setiap manusia.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahan beberapa faktor-faktor sosial dalam
agama.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah teori dasar sosialisasi?

2.      Apa sajakah faktor-faktor sosial dalam agama?

3.      Bagaimanakah hubungan agama dengan kehidupan sosial?

4.      Seperti apakah faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui teori dasar sosialisasi

2.      Mengetahui faktor-faktor sosial dalam agama

3.      Memahami hubungan agama dengan kehidupan sosial

4.      Mengetahui faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Teori Dasar Sosialisasi

Pada setiap agama menganjurkan pemeluknya untuk melakukan isolasi sosial,


walaupun dalam format yang umum kehidupan beragama tetap terikat pada
prinsip-prinsip hidup bermasyarakat. Karena itu, dalam setiap agama diakui
adanya tanggung jawab pribadi di hadapan tuhan, namun realisasi pengalaman
ajaran agamanya senantiasa bersifat sosial apalagi dilihat dari fungsinya, menurut
LESLIE Cs.ada lima hal yang patut di perhatikan yaitu:

Agama berfungsi sebagai alat untuk memperkuat dan mengembangkan kehidupan


sosial. Melalui agama anggota-anggota suatu kelompok sosial dapat membuat
ikatan tertentu dengan menumbuhkan rasa memiliki, superioritas terhadap
kelompok lain, dan memelihara esensi kebenaran keyakinan yang di peluknya
bersama.

Agama berfungsi sebagai alat ukur baik dan uruk karena di pandang datang dari
Yang Maha Kuasa, sehingga kebenarannya tidak perlu dipersoalkan lagi oleh
manusia, lebih-lebih agama dapat memberikan inspirasi  moral yang tidak terbatas
pada ruang dan waktu, sehingga merembes menjadi budaya hidup manusia.

1.      Agama berfungsi juga untuk mepertinggi martabat manusia dan melengkapi


fungsi sosial bagiseseorang. Karena ikatan keagamaan, maka seseorang dapat di
bantu keterikatan dirinya dengan kelompoknya.

2.      Agama berfungsi sebagai sumber identitas diri bagi seseorang dalam


kelompoknya. Dentitas ini setidaknya berkembang dalam tiga tahap, yaitu:

a.       Identitas individu untuk memperoleh nilai merealisasikan tujuan agamanya

b.      Seseorang mengidentifikasi dalam jamaah agamanya, sehingga ia mampu


mewujudkan janji dan tanggungjawabnnya terhadap agama
c.       Agama memberikan makna identitas individu dengan menumbuhkan rasa
kebersamaan dari masa silam sampai masa yang akan datang yang tidak terbatas.
Dengan demikian agama dapat menumbuhkan ego seseorang melalui pemberian
arti  semangat dirinya bagi seluruh alam, dan sebalinya alampun mulai berguna
bagi setiap individu.

3.      Agama berfungsi sebagai obat dan pelipur lara pad3.  saat-saat seseorang


menghadapi krisis atau penderitaan. Sebab agama memberikan arti yang dalam
mengenai cinta kasihnya terhadap orang lain. Justru kalau tanpa agama seseorang
yang kehilangan cinta kasihnya tidak akan dapat di toleransi lagi. Dalam suasana
kegagalan, dan bahkan mendorong untuk melanjutkan perjuangannya. Jika tidak
demikian, agama juga dapat memberikan penjelasan dan pertimbangan serta
perlindungan terhadap musibah atau bencana emosi seseorang.

Jadi betapa kuat fungsi agama dalam membantu menegakkan intergitas individu
dan memperkokoh ikatan sosial kegamaannya. Hanya saja secara kronologis
komunitas agama itu tetap tidak akan tewujud tanpa dimulai oleh berlangsungnya
proses sosialisasi. Dalam hubungan ini bukan sebatas fungsi agama, juga
melengkapi penjelasannya tentang faktor-faktor yang dapat mendorong,
berlangsungnya interaksi sosial, yakni kooperasi, kompetisi, konflik, akomodasi
dan asimilasi. Dengan demikian mengidentifikasi ekuivalensi dasar-dasar
pembentukan kelompok agama dan kelompok sosial pada umumnya, maka dapat
di tetapkan bahwa faktor-faktor yang mendorong orang bergama melakukan
proses sosialisasi adalah menyangkut kelima hal tersebut.

B.     Faktor-Faktor Sosial dalam Agama

1.      Koopreasi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama

Kooperasi adalah suatu bentuk kerjasama yang di lakukan oleh sekurang-


kurangnya dua orang untuk meraih tujuan tertentu.  Dalam hal kooperasi menjadi
pendorong untuk berlangsungnya proses sosialisasi, adapun permasalahnnya
yaitu, apakah orang-orang juga perlu bekerjasama untuk merealisasikan perlaku
agamanya? Kalau iya, bagaimana kerjasamnya dengan orang bergama itu
menimbulkan proses sosialisasi? Agaknya terlalu banyak perilaku agama yang
menuntut kerjasama, terutama diantara mereka yang seagama. Mendirikan tempat
ibadah, menyelenggarakan pendidikan agama, sampai ke melaksanakan ritual dan
ibadah agama pasti memerlukan kerjasama. Orang islam misalnya, untuk
keperluan ibadahnya, mereka harus mempunyai tempat ibadah. Betapapun di
paksakannya, akan sangat sulit mendirikan masjid seorang diri, sebab dari unsur
fisiknya saja, secara kasar untuk tegaknya sebuah tempat ibadah di perlukan pasir
batam semen, tegel, kayu , genting dan kaca. Padahal belum pernah belum pernah
ada orang yang menekuni usaha membuatkan ketujuh material bangunan tersebut
sekaligus. Dari segi keahlian memasang alat-alatnya sehingga dapat berdiri tegak
suatu bangunan, juga tidak dapat di kuasai sendiri.

Sementara untuk memenuhi tuntutan terselangganya ibadah secara berjamaah,


tentu tempat ibadah itu harus dapat menampung sejumlah tertentu, bukan untuk
orang seorang. Pendeknya untuk mendirikan tempat ibadah khususnya masjid,
pasti memerlukan banyak orang. Sejumlah orang yang diperlukan untuk
membangun suatu tempat ibadah itu harus terikat dalam suatu kerjasama yang
rapih, sehingga jelas dan tanggung jawabnya masing-masing, tetapi masalahnya,
dapatkah terkumpul sejumlah orang tanpa didahului oleh proses sosialisasi?/ ini
berarti pula, dapatkan terwujud kerjasama antara tukang tembok, tukang kayu,
tukang genting, tukang cat dan sebagainnya, tanpa melalui proses sosialisasi
terlebih dahulu? Disitulah perlunya seorang A mendatangi B,C,D dst. Sementara
E mengontak F,G,H dst sehingga berlangsunglah proses sosialisasi sebelum tapi
dalam rangka kerja sama membangun sebuah tempat ibadah. Nah  itu berarti
kooperasi atau kerjasama menjadi pendorong bagi orang-orang beragama,
khususnya islam untuk melakukan proses sosialisasi.

Sebagaimana dalam masyarakat lain, dalam  kelompok orang bergama pun


bekerjasama seperti itu tidak dapat dielakkan, apalagi di tengah-tengah persamaan
pendirian bahwa sentral pengabdian manusia diarahkan kepada yang maha kuasa.
Jadi dalam masyarakat agama, inti orientasi hidup bermasyarakat itu senantiasa
dipusatkan kepada tuhan istimewannya pengabdian tuhan itu bukan sebatas harus
hadir, tapi bahkan selalu aktual dalam kurun waktu yang manapun. Aktualisasi
juga bahkan sebatas menuntut penyesuaian waktu, sebagaimana tidak dapat hanya
di ukur oleh tuntutan hidup seseorang diri dalam suatu daerah tertentu, melainkan
tetap bergantung pada komunitas bermasyarakat kenyataannya, masyarakat pun
tidak akan berkembang tanpa terjalin kerjasama dan pembagian tugas masing-
masing antar individunya. Akhirnya tetap kembali pada prinsip semula, yakni
tidak akan terjadi kerja sama apabila tidak di dahului oleh proses sosialisasi.

2.      Kompetensi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama

Kata “kompetensi” dalam bahasa Inggis competititon merupakan kata benda. Kata


itu berasal dari kata kerja  to compete, artinya perjuangan untuk memperoleh
superioritas. Sebagai kata benda menurut Sykes kompetensi artinya sebagai
kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; tau
kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; atau
kegiatan yang bersifat adu kecakapan yang melibatkan pribadi-pribadi untuk
memperoleh yang terbaik.

Itu berarti bahwa kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan
manusia yang di dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada
pihak lain di sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah
bagi keberhasilan kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa
kompetensi adalah usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan
yang dilakukan oeh setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik
bersifat/materi maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A
dan B bermain bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah
ada unsur ingin memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari
lawannya, sebagaimana satu sama lain juga ingin dhargai, paling tidak
penghargaan moral, dan apabila mungkin pada tingkat tertentu akan memperoleh
imbalan materi.

Pada dasarnya kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha,
walaupun dalam perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu
kompetisi itu di formalkan sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama
yang bersifat materi.

Sementara di sisi lain, dari lingkunganlah manusia endapatkan unsur-unsur yang


di perlukannya unuk produksi dan konsumsi. Kebutuhan dasar manusia itu
meliputi:

a.       Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati

b.      Kebutuhan dasar untuk memilih kelagsungan hidup manusiawi dan derajat


kebebasan memilih hanyalah muugkin apabila kelangsungan hidup hayati
terjamin dan terpenuhi.

Kalau prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai
upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh nilai
tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang
dimilikinya.

Karena itu apabila aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal
sebagai berikut:

a. Aktualisasi diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi
keadaan apa yang ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang
melebihi apa yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih
besar dari pa yang di lakukannya.

b. Aktualisasi diri akan berakibat meningkatnya kemampuan seseorang secara


berkelanjutan. Peningkatan ini bisa terjadi mungkin karena membaca buku,
majalah, mengikuti kursus dan lain-lain, atau melalui perjalanan tertentu,
termasuk anjang sono.

c.  Aktualisasi diri juga akan dapat menigkatkan pengertian-pengertian,


sehingga menjadi orang yang selalu ddorong untuk meninginginkan perolehan
lebih dari apa yang ada pada dirinya. Sebab dengan eningkatkan penegrtian akan
meningkat pula keingintahuannya
d.  Aktualisasi diri mendorong seseorang untuk mau memanfaatkan segala
kemampuan dan bakat yang di miliknya, bahkan akan berusaha menegmbangkan
kemampuan bagi dirinya dengan menyediakan modal yang sekecil-kecilnya.

Sekarang kita dapat memahami hubungan antara kompetesi dengan aktualisasi


diri. Namun masih ada masalah lain, apakah ada hubungan antara kompetisi dan
proses sosialisasi? Kalau ada, bagaimana logikanya kompetisi dapat mendorong
seseorang unutk melakukan interaksi sosial? Pertanyaannya sederhana, dan
memnag keduanya ada hubungannya, mengingat kompetisi disini dapat di
pandang sebagai tujuan tersembunyi yang di harapkannnya, sednag proses
sosialisi merupakan perantara yang dapat menyampaikan pad aperalihan tujuan
tersebut.

3.      Konflik Sebagai Faktor Sosial dalam Agama.

Konflik adalah kesulitan meneyeasikan pertentangan yang dialami oleh seseorang


karena dihadapkan pada keinginan-keinginan yang tidak dapat di persatukan atau
didamaikan. Atau juga bisa sebagai penyimpangan atau pertentangan sosial
berdampak terhadap individu.1

Ada dua jenis konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2)
konflik ektern/ antar anggota sosial.

a.       Konflik intern/individu.

Dari sekian banyak pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang
menghadapi dua pilihan atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan
sekaligus. Dalam penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat
kategori. Yaitu:

1)      Pendekatan-pendekatan

Dua orang kebutuhan keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang
saling bergantung akan menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-

1 Baihaqi , Wildan. 2012. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri hal 73-85
pendekatan. Dalam hal ini orang dituntut memutuskan dan menentukan pilihan
terhadap dua pekerjaan yang di pandang sama baiknya. Dalam kehidupan
beragama jelas konflik seperti ini buhan hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya
orang islam terjebak harus memillih antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan
shalat sunnah, padahal keadaan suasananya sangat mendesak, karena ia berada
ada stasiun pemberhentian kereta api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa
berdosa itu berakumulasi, tidak mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan
meminta nasehat kepad A, berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas
menyatakan kebutuhan dan kesesalan kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk
berinteraksi seperti ini dapat berlangsung karena mendengar orang lain atau
membaca suatu tulisan, sebelum ia mengalami sendiri. Dengan suatu konflik
orang beragama akan terdorong untuk melakukan proses sosialisasi.

2)      Penghindaran-Penghindaran

Dalam konflik jenis ini, orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang
sama-sama tidak mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat
pada diri seseorang dan tidak mungkin di persatukan.

Dalam konteks kehidupan beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang
hamil mengalami konflik karena disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa
karena untuk kesehatan si bayi dalam kandungannya, menghadapi keadaaan
seperti itu  sang ibu berpikir, apakah membatalkan puasanya demi anak, atau
meneruskan puasa, tapi keselamatan anak terancam? Dan itulah contoh khusus
dari peghindaran-penghindaran.

3)      Pendekatan Penghindaran

Berbada dengan dua kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus
menuntaskan, pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau
menghindari yang memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang
untuk memebli baju, berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di
rumah, akrena uangnya tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono
pada keluarga dekat. Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran
orang bergama akan terpaksa melakukan proses sosialisasi.

4)      Multi pendekatan dan penghindaran

Dalam konflik seperti ini terkumpul harapan, keinginan dan kewajiban yang dapat
mendatangkan kesenangan dengan melarang yang pasti membuat orang bosan dan
menyebalkan. Misalnya.Ali adalah anak orang kaya yang pada mulanya setelah
tamat SMA, ia berketetapan untuk tidak melanjutkan sekolah, namun setelah
mengikuti pengajian, ia memperoleh kepastian bahwa menuntut ilmu itu
hukumnya wajib. Menyadari kedudukannya sebagai seorang muslim, ia
memantapakan diri untuk kuliah walaupun sudah hampir dua tahun ia tidak aktif
belajar. Artinya konflik seperti ini pulalah maraknya kontak dan interaksi sosial.

b.      Konflik Eksternal antar anggota sosial.

Kalau kita mempelajari perkembangan kehidupan beragama, sejak dari dulu


sampai sekarang agaknya tidak akan pernah berakhir mengenai adanya perbedaan
agama. Dilihat dari banyak sedikitnya penganut suatu agama, kita dapat
mengklasifikasi ke dalam agama besar dan agama kecil walaupun sukar
menetapkan batas-batas besar-kecilnya suatu agama, akan tetapi COLE dalam
pengantar buku perbandingan agama, menyebutkan agama-agama Hindu,
Yahudi,Nasrani, Islam dan Sikh sebagai lima agam besar di dunia, karena kelima
agama inilah yang paling banyak  di jumpai di berbagai negara yag dapat didekati
dengan menggunakan bahasa inggris sebagai lata komunikaisnya. Di Indonesia
saja dalam agam islam terdapat NU,Muhammadiyah, Persis dan PUI (persatuan
umat islam), dll. Begitu juga dalam agam hindu, yahudi, nasrani atau sikh terdpat
sekte-sekte yang dari kacamata tertentu dapat di pisahkan satu sama lain, nah,
perbedaan-perbedaan itulah yang dapat menjadi pangkal munculnya konflik
dikalangan ornag beragama dengan berbagai variasinya.

4.      Asimilasi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama


Jean Peaget mengartikan asimilasi sebagai proses merubah suasana menjadi
bagian dari organisme manusia untuk kemudian di sesuaikan dengan tuntutan
lingkungan yang di hadapinya. Secara sosiologik, asimilasi itu merupakan suatu
proses yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan kelompok hilang secara
berangsur-angsur.

Untuk mengukur berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses
asimilasi, bisa jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh
WIEMAN sebagai berikut:

a.       Mungkinkah pada saatnya orang akan dapat mengembangkan


pengabdiannya terhadap tuhan secara lebih berarti bagi dirinya?

b.      Sejauhmana kemungkinan pemanfaatan pengalaman lama dalam


pengalaman barunya yang lebih segar dan lebih kuat/

c.       Sejauhmana pengalaman baru yang akan dilakukannya itu dapat


membebaskan dirinya dari ketegangan-ketegangan dan ketidakleluasannya akibat
beban yang dialami dari pengalaman lainnya?

d.      Sejauhmana pengalaman baru itu dapat mempercepat pengertian mengenai


kesempurnaan pengalaman barunya sebagai dasar pertimbangan untuk
meninggalkan pengalaman lainnya

C.    Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial

Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang
kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Masyarakat
samar-samar atau terang-terangan mesti hidup dengan mendapatkan pengakuan
secara agama dan bukan sekedar kntruk sosial lain. Agama memang diset untuk
masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim
kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran
keagamaan kepada orang lain yang tidak menyakininya. Upacara keagamaan,
magis,ritual dan praktik secara pribadi dlakukan tidak lagi sebagai worship kepada
tuhan belaka, akan tetapi sebagai kekuatan sosial yang menunjukan adanya geliat-
geliat massif yang bisa di arahkan.

D.    Faktor Sosial Dalam Agama Dilihat Dari Segi Perubahan Sosial

Memang ada sedikit bukti bahwa sesuatu yang abstrak yag di sebut agama,
berdasarkan pergulatan keyakinan dan sejarah dengan artefak historis yang masih
terus di gali. Penelitian sejarah menunjukan bahwa gama sebagai label harus bisa
masuk ke dalam kontruksi agama sebagai historical evidence dan khususnya
kepada agama-agama dengan penganut terbanyak seperti islam,kristen, hindu,
budha atau konghucu. Jadi sangat di sayangkan apabila bukti-bukti historis agama
malah di tutupi, disembunyikan atas nama iman, karena iman itu sendiri harus
mendapatkan verifikasi yang kuat dan memiliki dasar yang jelas.

Ini di pahami lantaran agama terkadang juga mengintil sisi kekuasaan, banyak
agamawan yang seklaigus menjadi raja atau ratu karena kekuasaannya begitu
setara agama menjadi sistem integratif di dalam suatu negara atau kerajaan.
Ketika legitimasi yang di berikan oleh pemuka agama bisa mengamankan
kekuasaan para penguasa dinasti agama sebagai keyakinan bersama pada kahirnya
juga harus menjadi suatu substrat feodal. Agama tidak lagi setara dalam hal ini
karena adanya keistimewaan yang di miliki para penguasa yang punya kekuasaan
pada teks agama.

Apabila faktor sosial dalam agama bisa di jelaskan, dengan demikian, agama


adalah faktor-faktor ikatan dan hubungan manusia yang mengatasnamakan
kekuasaan tuhan untuk mengatur kekeuasaan yang diantara anusia sendiri,
termasuk di dalamnya adalah perang yang di wariskan karena keyakinan agama.

Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan


masyarakat yang ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal. Di
satu sisi, perubahan sosial itu telah membawa implikasi berupa pereduksian peran
dan nilai agama. Sedangkan pada sisi lain perubahan yang terjadi
melahirkan ghirrah (semangat) keagamaan yang ditandai dengan adanya
kecenderungan untuk selalu meningkatkan intensitas keberagamaan.

Berikut ini akan dikemukakan kajian teori yang relevan dengan


pembahasan. Kajian-kajian yang dimaksud meliputi dua aspek. Pertama, konsep
tentang perubahan sosial, teori-teori tentang perubahan sosial dan proses
terjadinya perubahan sosial. Kedua, konsep tentang Agama, fungsi agama dan
peran agama dalam kehidupan.

Pendekatan pertama, menggunakan teori perubahan sosial. Perubahan sebagai


fakta sosial dapat terjadi karena adanya rencana dengan maksud untuk kemajuan
dan kebaikan hidup manusia. Perubahan yang direncanakan merupakan suatu
perubahan yang didasarkan atas pertimbangan dan perhitungan secara matang
tentang manfaat tersebut bagi kehidupan masyarakat. Cepat atau lambatnya
perubahan sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan dan tanggung jawab dari
pembaharunya. Di samping itu, terletak pada kesesuaian antara program yang
dirancang dengan kebutuhan masyarakat. Pihak yang menghendaki adanya
perubahan disebut dengan “agent of change”. Ia bertugas sebagai pimpinan dalam
mengarahkan suatu perubahan dan bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya
perubahan.

Aspek-aspek sosial yang penting dalam membentuk pola perilaku kehidupan


masyarakat adalah membentuk nilai peradaban yang rasional, adaptasi budaya dan
persiapan masa depan masyarakat. Seorang pembaharu, di samping ia dituntut
untuk dapat beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat, juga harus mempunyai
tanggung jawab dan martabat yang luhur demi perbaikan kehidupan masyarakat.
Tugas ini nampak rumit jika dihadapkan dengan masalah yang sifatnya kultural.
Karena itu ia harus memiliki wawasan dan pandangan yang luas.

Sedangkan perubahan alami adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak


sengaja atau terjadi secara otomatis. Perubahan ini dapat berlangsung dengan
cepat atau lambat tergantung pada tingkat keseimbangan kehidupan masyarakat
tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Perubahan yang terjadi secara otomatis
membawa implikasi positif apabila arah dan akibatnya baik bagi masyarakat dan
negatif apabila arah dan akibatnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Dalam merespon implikasi perubahan yang terjadi secara alami para filosof dan
sejarawan besar seperti Arnold Toybee dan Spengler

merekomendasikan bahwa untuk menghadapi persoalan yang semakin rumit,


meluas dan mendalam diperlukan pengembangan tata nilai baru, pandangan
dansikap-sikap baru, cara-cara serta pranata baru.

Pendekatan kedua, bahwa perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi


dalam struktur kehidupan manusia diyakini sebagai suatu peristiwa yang
mempunyai proses atau mekanisme tertentu. Terjadinya proses perubahan social
karena:

1.      Kontak dengan budaya lain,

2.      Sistem pendidikan formal yang maju,

3.      Sikap menghargai basil karya seseorang dan keinginan untuk maju,

4.      Toleransi

5.      Sistem terbuka.2

Pendekatan ketiga, industrialisasi dan perubahan social secara umum membuat


masyarakat berkembang secara sekuler. Masyarakat industrialisasi dikenal sangat
dinamis karena menetapkan kemampuan rasio dan semangat individualitas yang
tinggi. Dengan kemampuan rasio dan cara menyikapi realitas sosial dan alam di
sekitarnya, maka ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat.
Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin ditingkatkan. Ilmu
pengetahuan dan teknologi banyak berpengaruh terhadap cara beradaptasi dan
cara pandang masyarakat terhadap lingkungan fisik serta hubungan kemanusiaan.
Tanggapan terhadap masalah kemanusiaan (dalam masyarakat industrialisasi
2
modern) didasarkan metode berfikir berdasar penalaran dan rasionalisasi. Karena
itu, lingkungan sekuler berkembang dan bahkan mendesak lingkungan yang
sakral. Kecenderungan ini kian mempersempit dan melemahkan gerak agama.[3]

Namun, bagi Weber, kalkulabilitas rasional kehidupan modern justru menciptakan


”sangkar besi” dunia sosial dan dunia pribadinya kian mengecil.

Ilmu pengetahuan tak bisa memberikan solusi tentang ”what ought to be”. Kondisi
masyarakat dunia seperti itu, kata Weber merupakan ”kekecewaan dunia”.
[4] Ukuran kedewasaan individu modern bukan lagi terletak pada penguasaannya
terhadap adat, namun terhadap ilmu pengetahuan. Industrialisasi merupakan
upaya meningkatkan produktifitas kerja dalam berbagai sektor, termasuk sektor
pertanian dengan menggunakan prinsip rasionalisasi dan efisiensi. Sudah barang
tentu, dalam proses industrialisasi digunakan berbagai teknologi mekanis yang
sarat dengan efisiensi dan efektivitas dalam rangka pencapaian produktifitas.
Akibat yang menyertai proses mekanisasi sudah dapat diduga; perubahan
sosial.Perubahan sosial masyarakat yang tengah membangun sangat berpengaruh
terhadap tingkat konsumerisme, orientasi sosial, mobilitas sosial,
urbanisasi, institusi-institusi sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesakralan
agama. Nilai-nilai tradisional semakin tergeser dan tergantikan dengan nilai-
nilaimodern yang tidak saja terbatas pada kelembagaan formal, namun juga
sampai ke institusi informal dan individual.

Industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh


penggunaan ilmu pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi produksibesar-
besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasar yang lebih
luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja
yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, semuanya itu disertai dengan
meningkatnya masyarakat urbanisasi.

Intervensi teknologi dalam prosesnya telah terbukti mempengaruhi atau


mengubah pola-pola institusi kehidupan masyarakat. Agama ternyata telah
berubah menjadi ”musuh” manusia. Agama yang pada hakikatnya berfungsi
menerangi, mengarahkan dan sumber motivasi bagi manusia justru dipergunakan
sebagai alat pembelenggu dan penindasan sifat kemanusiaan manusia
sendiri.Perubahan masyarakat adalah proses differensiasi dan spesialisasiinstitusi-
institusi sosial yang ada. Perubahan institusi dalam konteks evolusioner adalah
proses peningkatan differensiasi dan spesialisasi organisasi dengan kapasitas yang
lebih besar sehingga menjadi lebih bebas dan terspesialisasi.

BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Agama berfungsi sebagai alat untuk memperkuat dan mengembangkan kehidupan


sosial. Adapun faktor-faktor sosial dalam agama antara
lain, koopreasi, kompetensi, konflik, dan asimilasi

Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang
kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Agama
memang diset untuk masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya,
bahkan secara ekstrim kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu
pola dan pemikiran keagamaan kepada orang lain yang tidak
menyakininya.Agama adalah faktor-faktor ikatan dan hubungan manusia yang
mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur kekuasaan yang
diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang yang di wariskan
karena keyakinan agama. Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut
mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya
dua gejala yang sangat paradoksal.
B.     Saran

Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam yang notabene adalah calon
“Guru Agama”, seyogianya mengetahui faktor-faktor sosial dalam agama agar
senantiasa mampu mengajarkan “Agama” secara baik terutama dalam
mensosialisasikannya ke masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi , Wildan. 2012.  Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri

Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar


Sosiologi Agama. Jakarta : CV.Rajawali

Soekanto, Soerjono. 1982. Fungsionalisme Impretive. Jakarta : Rajawali

Turner, Bryan S. 1974. Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis Atas Tesis


Sosiologi Weber. Jakarta: CV. Rajawali

[1] Wildan Baihaqi ,Psikologi Agama,( Bandung: CV Insan Mandiri, 2012), hlm


189.

[2] Soerjono Soekanto,. Fungsionalisme Impretive. (Jakarta : Rajawali, 1982), hal.


302.
[3] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi
Agama. ( Jakarta : CV.Rajawali, 1985), hal. 60.

[4] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis Atas Tesis Sosiologi


Weber (Jakarta CV. Rajawali, 1974), hal. 292.

Anda mungkin juga menyukai