Sistem Keuangan Dan Bauran Kebijakan Bank Sentral
Sistem Keuangan Dan Bauran Kebijakan Bank Sentral
Mandat bank sentral dalam stabilitas sistem keuangan: Sejak krisis global bank
sentral di banyak negara mendapat tambahan mandat baru untuk turut
mendukung stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan (pengaturan dan
pengawasan) makroprudensial. Fokusnya pada prosiklisitas keuangan dan
akumulasi risiko sistemik yang timbul dari fungsi sistem keuangan dalam
perekonomian (macro-financial linkages).
Bauran kebijakan bank sentral untuk stabilitas harga dan sistem keuangan:
Mencakup: kebijakan suku bunga, nilai tukar, manajemen aliran modal asing,
dan makroprudensial, serta didukung oleh koordinasi dan komunikasi. Semakin
banyak bank sentral yang menerapkannya, khususnya di EMEs. Mampu
mencapai stabilitas harga dan mendukung stabilitas sistem keuangan, dengan
dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable.
Pengalaman bauran kebijakan Bank Indonesia sejak 2010: Dua episode
penerapan: sejak 2010 hingga Fed tapper tantrum, dan periode sesudahnya.
Mampu memperkuat ketahanan ekonomi dan keuangan Indonesia dari global
spillovers. Stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan terjaga, dengan
pertumbuhan ekonomi yang relatif baik. Perlu bauran kebijakan makroekonomi,
stabilitas sistem keuangan, dan reformasi struktural.
3
Reformasi peran dan kebijakan bank sentral sejak krisis global: tambahan mandat
dalam stabilitas sistem keuangan, tugas kebijakan makroprudensial, dan penguatan
manajemen aliran modal asing.
Selain mencapai stabilitas harga, bank sentral perlu mendukung stabilitas sistem keuangan (SSK).
Stabilitas moneter dan SSK saling komplementer. Tanpa mempertimbangkan SSK, kebijakan
moneter dapat menimbulkan instabilitas sistem keuangan dan ekonomi. . ‘Stability is
destabilizing’. Terjaganya SSK memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter. Contoh di AS,
Great Moderation menimbulkan: house price bubbles, credit booms, excessive risk taking and
leverages. Demikian pula di Asia sebelum krisis 1997/98.
Kebijakan moneter umumnya kurang mempertimbangkan prosiklisitas keuangan dan risiko
sistemik, tidak ‘leaning against the winds’ untuk mendukung SSK. Demikian pula pengaturan dan
pengawasan mikroprudensial fokus pada kesehatan lembaga keuangan, tidak akan mampu
mempertimbangkan ‘macro-financial linkages’. Perlu kebijakan makroprudensial untuk
pengaturan dan pengawasan sistem keuangan dari perspektif makro dan fokus pada risiko
sistemik untuk mendukung SSK.
Volatilitas aliran modal asing semakin tinggi sejak krisis global dan mengancam stabilitas
moneter dan SSK di banyak negara EMEs: (i) risiko makroekonomi dengan pertumbuhan kredit
yang tinggi, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan volatilitas nilai tukar, (ii) ketidakstabilan
sistem keuangan karena risiko nilai tukar dan maturitas, serta volatilitas harga aset, serta (iii)
risiko pembalikan modal asing dan sudden stops.
Pelajaran Krisis Global: Perlunya Stabilitas Sistem Keuangan 5
Krisisi global semakin menegaskan perlunya menjaga SSK melalui integrasi kebijakan
makroekonomi, kebijakan mikroprudensial, dan kebijakan makroprudensial
• Kebijakan makroekonomi (fiskal/moneter/eksternal): menjaga stabilitas makroekonomi (inflasi,
defisit CA, dan defisit fiskal) dan mendukung pertumbuhan. Agar tidak terjadi shocks thd SSK.
• Kebijakan (pengaturan dan pengawasan) mikroprudensial: menjaga kesehatan individual
lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Necessary (but not sufficient) for SSK.
• Kebijakan (pengaturan dan pengawasan) makroprudensial: menjaga SSK dari sisi perspektif
makro (macro-financial linkages) dan risiko sistemik.
Sebelum Krisis Global Paska Krisis Global
Pelajaran Krisis Global: Waspadai Risiko Sistem Keuangan 6
Dinamika prosiklisitas keuangan dan akumulasi risiko sistemik pada waktu ekonomi ‘boom’ sangat
penting diwaspadai untuk pencegahan krisis finansial.
1. Kesehatan individual lembaga keuangan ‘necessary but not sufficient’ untuk SSK. Perlu
mendalami keterkaitan makro-finansial pada prosiklisitas keuangan dan akumulasi risiko sistemik
2. Prosiklisitas keuangan pada ekonomi ‘boom’ sbg ancaman utama SSK dan penyebab krisis:
– Faktor prosiklisitas: akselerasi keuangan (Bernanke, Gettler & Gilchrist, 1999; Kiyotaki dan Moore, 1997),
deregulasi dan inovasi keuangan, perhitungan modal bank dan akuntansi, serta herding behavior.
– Siklus keuangan terbukti mempercepat siklus ekonomi (Claessens, et.al, 2011), serta mendahului dan
akumulasi risiko sistemik penyebab krisis (Claessens and Kose, 2013; Reinhart and Rogoff, 2009),
– Empat prosiklisitas yang bahaya dan perlu diwaspadai: housing bubles, credit booms, external debts,
volatile capital flows (Jorda, et.al., 2011, 2014; Calvo and Reinhart, 2000).
3. Penyebaran risiko sistemik melalui interkoneksi dan jejaring keuangan:
– Diversifikasi portfolio melebihi threshold tertentu meningkatkan risiko sistemik karena interkoneksi
(Allen, et. al., 2010; Acemoglu, et.al., 2015). Lending standard juga berfluktuasi (Rajan, 1994),
– Krisis nilai tukar karena sudden stop pembalikan modal asing menyebar melalui interkoneksi di pasar
valas shg market freeze (Calvo and Reinhart, 200). Juga, bank runs menyebar ke bank contagion karena
interkoneksi di pasar uang antar bank (Freixas, et. al., 2000; Morris and Shin, 2004).
4. Percepatan dan pewabahan ‘contagion’ melalui herding behaviour dan informasi:
– Perilaku latah krn ‘follow the leader’ dan remunerasi berdasar keuntungan (Bikhchandani and Sharma,
2001). Pewabahan informasi krn perilaku latah dan mis-informasi (Acharya and Yorulmazer, 2003)
– Krisis sub-prime mortgage di AS yang mewabah menyebabkan ‘fire sales’ dan ‘credit squeeze’ di seluruh
sistem keuangan (Diamond dan Rajan, 2010), dan kemudian mewabah ke Eropa dan seluruh dunia.
SSK: Pencegahan Ketidakseimbangan Makro-Finansial 7
Desired
economic cycle Bank
Downswing C
(“Burst”)
Prosiklisitas di Indonesia: Beberapa Contoh 10
• Prosiklisitas ekonomi dan keuangan terjadi di Indonesia: kredit, properti, utang LN, dan aliran
modal asing. Faktor penyebab: kebijakan makroekonomi, ’akselerasi keuangan’, regulasi modal
bank dan akuntansi, juga perilaku latah (herding behaviour).
• Berdampak pada akselerasi ‘boom’ dan ‘bust’ sistem keuangan dalam siklus ekonomi. Perlu
diantisipasi agar tidak terjadi krisis.
Siklus Kredit Perbankan Siklus Aliran Modal Asing
• Untuk mencapai stabilitas harga dan mendukung SSK, bank sentral perlu memperluas asesmen
outlook makroekonomi dengan ketidak-seimbangan makro-financial dalam sistem keuangan.
Umumnya tercermin pada prosiklisitas dan akumulasi risiko sistemik pada: kredit bank, bubbles
aset (keuangan dan properti), akumulasi utang LN, dan volatilitas aliran modal asing.
• Konsep pokok yang melandasi building block bauran kebijakan bank sentral:
1. Kebijakan moneter perlu diarahkan pada stabilitas harga, dengan mempertimbangkan harga
aset (keuangan dan properti), secara langsung atau tidak langsung. Bubbles harga aset telah
terbukti meningkatkan risiko SSK yang dapat berujung pada krisis finansial dan ekonomi.
2. Kebijakan makroprudensial mencakup pengaturan dan pengawasan makroprudensial
terhadap lembaga jasa keuangan dari perspektif makro dan fokus pada risiko sistemik yang
diperlukan untuk mendukung SSK. Sasarannya untuk memitigasi prosiklisitas dalam sistem
keuangan (time-dimension), serta untuk mencegah akumulasi risiko sistemik karena
interkoneksi dan jejaring antara lembaga keuangan, pasar maupun infrastruktur keuangan,
termasuk payment systems (cross-section dimension).
3. Manajemen aliran modal asing diarahkan untuk memitigasi prosiklisitas dan akumulasi risiko
sisyemik dari utang LN dan aliran modal asing. Kebijakan ini mendukung stabilitas nilai tukar
dan memitigasi risiko krisis neraca pembayaran dan krisis sudden stop pembalikan modal
asing yang sangat penting dalam menjaga SSK.
Kebijakan Moneter dan Stabilitas Keuangan 15
• Dua aspek dalam memasukkan pertimbangan SSK dalam ITF: (i) bagaimana menempatkan harga
aset (keuangan dan properti) dalam dimensi stabiitas harga, dan (ii) haruskan kebijakan moneter
“leaning” terhadap ketidak-seimbangan makro-finansial dan risiko sistemik.
• Pertimbangan harga aset dalam dimensi stabilitas harga:
– Nilai tukar telah masuk dalam model dan pertimbangan ITF. Harga aset lainnya (saham,
obligasi, dan properti) dapat dianalisis tersendiri. Perlukan komposit harga: CPI dan aset?
– Bukti empiris dari 140 tahun hubungan kondisi moneter, pertumbuhan kredit dan harga
perumahan di 14 negara maju (Jorda, et. al., 2014): 1% penurunan suku bunga meningkatkan
harga perumahan 6% dalam 2 tahun, dan kredit perumahan (rasio PDB) 3% dlm 4 tahun.
• Respon moneter terhadap SSK: “Lean vs. Clean”? Pandangan “Clean” ala Greenspan telah
ditinggalkan. Sejak krisis global, kuat dukungan keb moneter “leaning against the wind” utk
mitigasi ‘bubbles from bursting’. Krn dampak krisis berat dan respon moneter akan lebih sulit.
• Bagaimana cara “Leaning” dalam ITF?
– Selain inflasi target dan output gap, respon suku bunga memperhitungkan pula credit gap
dan real exchange rate utk mitigasi time-dimensi risiko sistemik (Agenor and da Silva, 2013).
– Selain proyeksi makroekonomi, kondisi sistem keuangan, dan transmisi moneter, perumusan
keb moneter mempertimbangkan pula indikator SSK terkait siklus keuangan, vulnerabilitas
pasar keuangan, dan early warning signals (Vredin, 2015)
• Kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial saling komplementer. Keduanya perlu
dikalibrasi bersama dan diintegrasikan berdasarkan model proyeksi makroekonomi yang
memasukkan ketidaksempurnaan sistem keuangan dan efektivitas transmisi moneter.
Kebijakan Makroprudensial: Sasaran dan Instrumen 16
• Sasaran utama kebijakan makroprudensial: (1) Mengelola prosiklisitas sistem keuangan karena
keterkaitan macro-finansial (time dimension), (2) Mitigasi akumulasi risiko sistemik karena
interkoneksi dan jejaring keuangan (cross-section dimension). Sasaran lain: mendorong regulasi
keuangan scr system-wide untuk insentif dan disinsentif para pelaku pasar (structural dimension).
• Instrumen kebijakan makroprudensial
berupa: (1) untuk pengelolaan prosiklisitas
seperti LTV ratio dan counter-cyclical capital
buffer, (2) untuk risiko sistemik mencakup
net open position, batasan eksposur valas
dan pinjaman LN.
• Sejumlah instrumen kebijakan
makroprudensial dan mikroprudensial
hampir sama. Tapi sasaran dan perspektif
berbeda. Rumusan instrumen perlu
pertimbangan dari: individual soundness,
risiko sistemik, dan prosiklisitas.
• Contoh: Ketentuan modal untuk G-SIB a.d.
Total Loss Absorbency Capacity (TLAC): modal
risk profil (kesehatan individual), capital
surcharge (risiko sistemik), countercyclical
buffer (prosiklisitas).
Manajemen Aliran Modal Asing: Sasaran dan Instrumen 17
• Sasaran MAM: (1) mendukung stabilitas nilai tukar, serta mencegah risiko krisis neraca
pembayaran dan sudden-stop capital reversal, (2) mitigasi prosiklisitas dan risiko sistemik dari
akumulasi utang LN dan volatilitas aliran modal asing. Keduanya penting utk menjaga stabilitas
moneter dan SSK.
• MAM bagian dari kebijakan untuk memperkuat ketahanan eksternal: s
– Kebijakan makroekonomi sehat, fleksibilitas nilai tukar, pendalaman pasar keuangan,
penguatan regulasi dan pengawasan sistem keuangan, dan memperbaiki kapasitas
institusional IMF, 2012, 2013, 2015).
– Kecukupan cadangan devisa dan kerjasama internasional dalam mitigasi external spillovers
• MAM Inflows: tax on portfolio equity and debt inflows (Brazil, 2009), holding period SBI and limit
on short-term foreign borrowing by banks (Indonesia, 2011), withholding tax on interest income
on nonresident purchases of treasury and monetary stabilization bonds (Korea, 2011), fee on
nonresident purchases of central bank paper (Peru, 2010), or withholding tax on nonresidents'
interest earnings and capital gains on new purchases of state bonds (Thailand, 2010).
• MAM outflows: 12-month waiting period for nonresidents to convert proceeds from the sale of
securities (Malaysia, 1998), limits on forward transactions and imposing of export surrender
(Thailand, 1997), limit bank withdrawals and restrictions on transfers and loans in foreign
currency (Argentina, 2001), stop of convertibility of domestic currency for capital transactions
(Iceland, 2008), and a 5-day waiting period for nonresidents to convert local currency proceeds
from investment transaction to foreign currency (Ukraine, 2008).
18
• Dampak global spillovers: pemulihan ekonomi global lambat, divergensi kebijakan moneter
negara maju, harga komoditas turun, dan pengaruh Tiongkok.
• Ketahanan ekonomi Indonesia dengan stabilitas makroekonomi dan SSK yang terjaga, dengan
pertumbuhan ekonomi yang relatif baik.
• Bauran kebijakan BI berperan penting dalam stabilisasi makroekonomi dan SSK. Koordinasi
erat kebijakan moneter, fiskal, SSK, dan reformasi struktural.
Indonesia: Selected Macroeconomic Indicators, 2009-2015
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
GDP Growth (%) 4.63 6.22 6.49 6.26 5.78 5.02 4.79
a. Consumption (%) 6.20 4.14 4.51 4.77 5.23 4.82 4.93
b. Investment (%) 3.29 8.48 8.77 9.25 4.71 4.12 5.07
c. Export (%) -9.69 15.27 13.65 2.00 5.30 1.02 -1.97
d. Import (%) -14.98 17.34 13.34 6.66 1.21 2.19 -5.84
CPI Inflation (%) 2.78 6.96 3.79 4.30 8.38 8.36 3.35
a. Core inflation (%) 4.28 4.28 4.34 4.40 4.98 4.93 3.95
b. Volatile food prices (%) 3.95 17.74 3.37 5.68 11.02 10.88 4.84
c. Administered prices (%) -3.26 5.40 2.78 2.66 2.91 17.57 0.39
Exchange Rate (Rp/$) 9,447 9,036 9,113 9,715 12,250 12,135 13,395
- % Change 14.16 4,35 -0.85 -6.61 -26.09 0.94 -10.38
Interest Rates
a. BI (Policy) Rate (%) 6.50 6.50 6.00 5.75 7.25 7.75 7.50
b. Deposit Rate (%) 6.87 6.69 6.35 5.85 7.92 8.58 7.48
c. Lending rate (%) 13.69 12.75 12.18 11.50 12.12 12.79 12.58
Banking
a. CAR (%) 17.42 17.18 16.05 17.43 18.13 19.57 21.20
b. Deposit Growth (%) 13.76 20.45 18.72 15.61 13.11 12.17 7.30
c. Lending Growth (%) 10.12 23.28 24.67 23.13 21.39 11.56 10.30
d. NPLs (%, gross) 3.40 3.07 2.23 2.01 1.82 2.23 2.50
Bauran Kebijakan Bank Indonesia 20
Tujuan: mencapai target inflasi dan stabilitas nilai tukar, serta mendukung terjaganya SSK.
Dari sisi moneter: memperkuat transmisi suku bunga, nilai tukar, likuiditas/uang beredar,
kredit, perilaku risiko, dan ekspektasi
Dari sisi SSK: mengelola prosiklisitas dan risiko sistemik, khususnya dari kredit, properti, utang
LN, dan aliran modal asing.
Dalam perumusan kebijakan BI berdasarkan ITF telah dipertimbangkan SSK, selain fiskal dan
makroekonomi secara keseluruhan:
– Selain inflasi dan output gap, penentuan BI Rate mempertimbangkan pula nilai tukar.
– Model prakiraan makroekonomi telah memasukkan sektor perbankan (credit gap) dan sektor
eksternal (risk premium). Respon kebijakan: BI Rate, GWM, LTV.
– Pendalaman analisis dan riset untuk: Risiko SSK dari harga aset keuangan dan harga properti,
demikian pula untuk prosiklisitas kredit, properti, utang LN, dan aliran modal asing.
Perumusan kebijakan ‘forward looking’ memungkinkan untuk ‘leaning against the winds’ atas risiko
makroekonomi dan SSK, berdasarkan prinsip keseimbangan stabilitas moneter dan SSK.
LOW HIGH
Nilai tukar dalam ITF: Berdasarkan ITF, penentuan suku bunga kebijakan untuk mencapai target
inflasi. Tetapi apabila volatilitas dan penyimpangan nilai tukar dari fundamental terlalu tinggi,
penargetan ganda dengan kombinasi suku bunga dengan intervensi valas memperkuat kredibilitas
kebijakan moneter (Ostry et al, 2012). Banyak EMEs memasukkan nilai tukar dalam kaidah Taylor
(Mohanty and Klau, 2004; Aizenmann et. al., 2011).
Nilai tukar dalam Macroeconomic forecasting and policy analysis (FPAS) sesuai ITF:
– Perkiraan nilai tukar fundamental berdasarkan sejumlah model, seperti: REER, IMF_External
Balance Approach (EBA), dll. Pertimbangkan pula perkiraan nilai tukar oleh pelaku pasar.
– Konsistensi perhitungan nilai tukar dengan pencapaian target inflasi dan respon kebijakan suku
bunga sesuai dengan FPAS.
– Keputusan mengenai ‘stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan fundamental’ dalam RDG, setelah
melalui pembahasan berlapis dalam komite-komite sebelumnya
– Keputusan BI Rate dan ‘arah’ nilai tukar sebagai pedoman dalam operasi moneter, termasuk
dalam intervensi valas untuk stabilitas nilai tukar.
Taktik intervensi ganda, yaitu intervensi di pasar valas dan pembelian SBN dari pasar sekunder:
– Memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar. Karena tekanan nilai tukar umumnya terkait aliran
investasi portfolio: terlalu apresiasi kalau lagi banjir, terlalu depresiasi kalau reversals.
– Memperkuat efektivitas intervensi terselirisasi. Dampak likuiditas dari intervensi valas diimbangi
dengan operasi moneter dan/atau pembelian SBN dari pasar sekunder.
– Mendukung terjaganya SSK. Stabilitas pasar valas dan pasar SBN sangat penting bagi SSK.
Kebijakan Nilai Tukar dan Manajemen Aliran Modal 23
Manajemen aliran modal asing sebagai bagian integral dari bauran kebijakan BI. Bukan
kebijakan yang berdiri sendiri.
– Mendukung stabilitas moneter: stabilitas nilai tukar, transmisi suku bunga, dan pengendalian
dampak likuiditas dalam perekonomian
– Mendukung SSK: stabilitas nilai tukar, akumulasi utang LN, dan volatilitas aliran modal asing.
Dalam pelaksanaannya, manajemen aliran modal asing didasarkan pada prinsip sbb:
1. Konsisten dengan sistem devisa bebas yang dianut Indonesia. Pengaturan arus modal asing
berbeda dengan kontrol devisa.
2. Mendorong arus modal asing ke jangka menengah-panjang dan bermanfaat bagi
perekonomian. Arus modal asing dalam bentuk PMA, investasi portfolio dan utang luar
negeri yang berjangka panjang diutamakan.
3. Pengaturan ditujukan untuk pembatasan arus modal asing jangka pendek dan spekulatif.
Arus modal asing jenis ini sering menimbulkan risiko pembalikan yang mengganggu
stabilitas moneter dan sistem keuangan.
4. Dapat diimplementasikan secara efektif. Pengaturan arus modal asing dilakukan pada jenis
dan dengan instrumen yang dapat dimonitor dan diawasi secara efektif.
5. Komunikasi yang jelas. Komunikasi mengenai prinsip, tujuan, dan instrumen pengaturan
penting untuk menjaga confidence pasar dan publik.
Kebijakan Moneter dan Makroprudensial 24
• Favorable global spillovers: high commodity prices and surge in capital inflows.
KONTEKS • Economic growth was high at the peak of 6.5% in 2011 and moderate slightly at
MAKROEKONOMI 6.3% in 2012.
• Inflation was at the lowest history of 3.8% in 2011, even below the lower bound
of the target of 5±1% at that time, and only slightly increased to 4.3% in 2012.
• Large capital inflows, driven by both global excess liquidity searching for higher
yield and Indonesia promising economic outlook.
• Exchange rate appreciated by the surge in capital inflows, corroborated with
favorable current account surplus from commodity exports.
PERMASALAHAN • Managing capital inflows to mitigate build-up risks to financial stability as
KEBIJAKAN lending growth was high, above 23% per year during 2010-2012.
• The case of second quadrant where the risks of price stability are low while of
financial stability are high.
1. Cut BI rate by 75bps bps from 6.5% in 2010 to 5.75% in 2012.
2. Intervene in the foreign exchange market to stem the surge in capital inflows as
BAURAN well as to moderate the exchange rate appreciation.
KEBIJAKAN 3. Build FX reserves from US$ 66.2 billion at the beginning of 2010 to the peak of
US$112.8 billion in 2012 for buffers to capital reversals.
4. Six-month holding period for SBI and limit of 30% capital to the short-term off-
shore borrowings of the banks.
5. Increase reserve requirement from 5% to 8% in November 2011.
6. Introducing LTV ratio to lending to automotive and property sectors averaging
at about 70 percent in 2012.
Penerapan Bauran Kebijakan BI: Periode mid2013-mid2015 26
In 2015, with forecasted inflation and CA deficit to decline and to mitigate economic slowdown,
macroeconomic has been adjusted: fiscal stimulus by the government and relaxation of
macroprudential by BI. Uncertainty about FFR witheld the use of interest rate policy.
In 2016, cuts on BI Rate and further reduction on reserve requirement reinforce fiscal stimulus and
relaxed macroprudential policy.
Accelerated structural reforms further reinforce macroecnomic policy for better Indonesia
economic performance in 2016 and beyond.
Perlunya koordinasi yang erat antara kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter),
kebijakan SSK, dan reformasi struktural agar pertumbuhan ekonomi tinggi dengan
stabilitas makroekonomi dan SSK tetap terjaga.
• Structural reforms: increasing growth potential from productivity of the supply side.
• Macroeconomic (fiscal and monetary) policy: managing aggregate demand for mitigating
risks of economic overheating and managing macroeconomic stability.
• Macroprudential policy: mitigating macro-financial imbalances that create procyclicality
and systemic risks of boom-bust in the economy so as manage financial system stability.
Perspektif jangka menengah-panjang:
Cyclical demand management + reformasi strutural