Anda di halaman 1dari 4

Cinta ku seindah asma Allah

Prolog
Aku mengagumimu wahai guruku karena kelembutanmu seperti mendiang ibuku. Tapi rasa
kagumku berubah menjadi rasa cinta. Walau usia kita terpaut jauh dan status yang berbeda, aku
mencintaimu.
Kecelakaan
Suasana rumah sakit begitu mencekam bagi seorang wanita yang gelisah menunggu hasil
pemeriksaan dokter yang menangani kondisi suaminya. Kecemasan begitu nampak di wajahnya.
Tak ada yang menemaninya di lorong ruang tunggu IGD.

Air mata mulai membasahi pipinya. Sambil berdoa dia terus melihat ke arah pintu ruang
penanganan. Hidup suaminya kini sedang dipertaruhkan.

"Ya Allah! Kuatkanlah suamiku. Beri dia kesembuhan atas luka-lukanya!"

"Maaf!"

Tiba-tiba seorang pria dengan setelan dokter mendekati perempuan itu. Seketika perempuan itu
mendongak melihat orang di hadapannya. Perempuan itu pun lalu berdiri dan mengusap air mata
dengan kerudungnya.

"Dengan keluarga korban kecelakaan tadi sore?"

"I-iya. Saya istrinya. Dokter? Apakah dokter yang sedang menangani suami saya?"

Dokter itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Lalu ada apa?" Perempuan itu menatap dokter dengan penuh tanda tanya.

"Saya mau meminta maaf atas kecelakaan yang melibatkan suami anda. Maaf saya ikut andil di
dalamnya. Karena...anak saya di bawah umur mengendarai motor dengan ugal-ugalan. Sekali lagi
saya mohon maaf!" Dokter itu pun mengulurkan tangannya hendak meminta maaf.

Perempuan itu hanya menangkupkan tangannya membalas uluran tangan dokter tersebut sambil
menunduk.

"Ini semua sudah takdir Allah, Dok! Tak ada yang harus saya maafkan!"

"Keluarga pasien atas nama pak sopiadi!" Terlihat seorang perawat keluar mencari kerabat
pasien.

"Iya sus! Saya istrinya!" Perempuan itu berjalan menuju suster yang berdiri di depan pintu.

"Maaf, Bu! Dokter ingin bicara dengan ibu. Silahkan masuk!"


Perempuan itu pun masuk ditemani suster menuju tempat dokter itu berada. Terlihat seorang
dokter yang sedang memeriksa rekam medis di tangannya.

"Dok! Ini keluarga pasien yang bernama Pak sopiandi"

Dokter itu pun menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arah perempuan itu. "Eh, dokter Devi
juga ikut?"

Perempuan itu pun melirik ke belakang. Ternyata dokter yang berbicara dengannya mengikuti
dirinya. Entahlah apa urusannya yang terpenting dia harus siap menerima penuturan dari dokter
yang menangani suaminya.

"Maaf dokter Guntur! Kebetulan pasien ini tabrakan dengan anak saya. Jadi saya pun merasa
perlu tahu tentangnya!"

"Oh. Lalu bagaimana keadaan anak dokter?"

"Anakku keadaannya masih belum sadar. Hanya saja ada beberapa tulang yang patah. Tapi dia
sudah melewati masa kritisnya. Jadi bagaimana keadaan suami ibu ini?"

"Oh iya sampai lupa. Maaf, Bu! Jadi begini...saya meminta persetujuan dari ibu untuk
menandatangani surat pernyataan bahwa ibu sebagai wakil pasien mengijinkan tim medis
memakaikan beberapa peralatan untuk keberlangsungan hi...."

"Dok! Maaf pasien kembali kritis!" Seorang suster berlari memberitahukan keadaan pasien. Tentu
saja perempuan itu ikut panik karena pasien yang dituju adalah suaminya sendiri.

Kini di hadapannya dia benar-benar melihat bagaimana suaminya berjuang antara hidup dan
mati. Tangan kanannya hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis. Sedangkan tangan kirinya
memegang dadanya yang seakan-akan sesak. Tetapi tetap saja tangisan itu tak tertahankan.
Tubuhnya bergetar dan air mata bebas meluncur di pipinya. Tak ada yang menguatkannya.

"Ibu bisa tunggu di luar. Mari saya antarkan!" Seorang suster yang mengerti keadaannya
menuntunnya keluar ruangan yang begitu menyiksa mata dan hatinya.

Kini di luar dia bisa melihat adik iparnya beserta istrinya datang menghampirinya. Raut
kecemasan pun ikut menyelimuti keduanya melihat bagaimana keadaan perempuan itu yang
dikatakan tidak baik.

"Teh Dea yang tenang ya! Maaf saya dan A Fian baru datang. Tadi menitipkan anak-anak dulu!"

"Bagaimana keadaan A Sopiandi, Teh?" Alfian yang memang adik kandung sopiandi begitu
cemas.

Dea hanya menggelengkan kepalanya dan tak hentinya menangis di pelukan istri Alfian, Zahira.
Kini Zahira hanya bisa mengusap punggung Jihan untuk menenangkan Jihan.
"Anak-anak sama siapa Teh di rumah? Mereka belum tahu keadaan ayahnya?"

"Kebetulan ada salwa adikku di rumah. Jadi anak-anak ada yang jaga. Mereka tahu ayahnya di
rumah sakit,"

"Dokter?" Suara Alfian cukup keras sehingga Dea dan Zahira pun ikut menengok ke arah dokter
yang baru keluar dari ruangan.

"Bagaimana keadaan kakak saya dok?" Alfian begitu penasaran.

Dokter Guntur menarik nafas kasar. "Maaf sebelumnya! Rupanya Tuhan lebih sayang pada
Pak Sopiandi. Saya sudah melakukan semampu saya, tapi....Pak sopiandi lebih memilih untuk
menghadap Sang Illahi,"

"Ja-jadi kakak saya sudah meninggal dok?" Alfian masih tak percaya dengan penuturan dokter.

Cukup dengan anggukkan kepala, membuat Alfian, Zahira dan tentunya Dea menangis
tersedu-sedu.

"Innalillahi wa inna illaihi rojiuun! A Sopaindi


!!" Alfian tak kuasa menahan tangis sambil menatap tembok rumah sakit.

Dea dan Zahira pun masih berpelukan ikut menguatkan sesama sambil tak kuasa menahan
deraian air mata yang tak terbendung lagi. Bahkan Jihan merasa tak kuasa berpijak di atas
kedua kakinya yang begitu lemas tak kuasa menahan beban yang baru saja dia hadapi.

Dokter Revan hanya bisa menepuk bahu Alfian sebagai tanda bela sungkawa dan menguatkan
hati Alfian. Dokter Guntur pun berlalu meninggalkan ketiganya dengan langkah yang gontai.

Suara tangisan masih menyelimuti ketiganya. Tak ada sepatah kata yang mampu terucap di
antara ketiganya. Hingga muncullah dokter Ardi yang keluar dari ruangan dan langsung menatap
Jihan.

"Bu! Saya ikut berbela sungkawa atas meninggalnya suami ibu. Bila memang ibu meminta
pertanggungjawaban, saya akan bertanggung jawab atas nama anak saya,"

Jihan yang masih menangis pun mulai berusaha menghentikan tangisannya dan menjawab
perkataan dokter Devi. "Maaf dok! Saya tadi sudah bilang tak ada yang harus dimaafkan. Ini
semua sudah takdir. Bila urusan ini diperpanjang yang ada suami saya menjadi tak tenang di
alam sana!"

"Baiklah! Tapi bila ibu butuh apa-apa saya siap membantu! Saya ucapkan terima kasih dan
berdoa semoga suami ibu amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan ibu sekeluarga diberi
kesabaran dan ketabahan menghadapi ujian ini! Saya pamit dulu mengecek keadaan anak saya!
Permisi!" Dokter Devi pun berlalu meninggalkan ketiganya.

Seorang suster pun keluar dan mempersilahkan ketiganya untuk melihat tubuh Sopiandi yang
kaku tak bernyawa. Tentu saja Dea tak kuasa memeluk suaminya dengan deraian air mata begitu
juga dengan Alfian yang tak kuasa terduduk di samping blankar dimana sang kakak terbaring tak
bernyawa. Zahira hanya bisa mengusap bahu suaminya ikut menguatkan.

Di hari selepas pemakaman, Jihan masih duduk dengan pandangan kosongnya. Tak ada
gairah maupun semangat walapun keluarga teman-teman sesama guru berdatangan memberi
kekuatan bagi dirinya. Lamunannya terpecah dengan rengekan anak keduanya yang berumur tiga
tahun yang meminta digendong oleh dirinya.

Kembali Dea menangis melihat rengekan anaknya. Anak sekecil ini harus kehilangan sosok
ayahnya. Inilah kesedihan yang kini menyelimuti Jihan. Tak lama anak pertamanya pun ikut
memeluk dirinya. Anak perempuan berumur enam tahun itu pun ikut menangis di hadapan
ibunya.

"Sudah ya sayang jangan menangis! Nanti abi ikut nangis juga lihat kalian menangis!" Jihan
berusaha mengusap air mata anaknya dan tersenyum perih.

"Teh! Aku akan menemani teteh di sini. Kan sebentar lagi aku kuliah di sini. Aku akan ikut
bantu teteh ngurus Hani sama Arpan !" Hanin tersenyum membantu Dea untuk bangkit demi
anak-anaknya.

Dea hanya bisa mengangguk dan memeluk Arpan dan Hani kemudian mencium pucuk kepala
kedua anaknya sambil menahan tangis yang masih bertahan di dalam hatinya.

"Ya Allah kuatkanlah hatiku menerima ujian ini. Berilah hamba kesabaran dalam menghadapi
semua ini! Semoga engkau tenang di alam sana A! Aku di sini akan berjuang demi anak-anak
kita. Semoga aku bisa menjadi ibu yang mendidik kedua anak kita menjadi anak yang sholeh dan
sholehah yang bisa mendoakanmu dan menolongmu di akhirat nanti! Aamiin." Dea hanya bisa
berdoa mengusap lembut punggung anak-anaknya.

Begitulah hidup mati seseorang tak ada yang bisa menebaknya. Hanya Tuhan yang tahu.
Manusia hanya bisa menerima dan menjalaninya. Ikhlaskan dia! Karena ketika kita bilang he's
mine hanya berlaku di hadapan manusia tetapi Tuhanlah yang memilikinya.

Maca nepi ka akhir lamun panasaran chet we 🤣🤣🤣 thank you

Anda mungkin juga menyukai