Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN MANGROVE DI PERAIRAN PARADISO

OLEH

FATIMA YASIN

NIM : 1855111025

PRORAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

KUPANG

2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN MANGROVE DI PERAIRAN PARADISO

Oleh :

FATIMA YASIN
NIM : 1855111025

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing pada tanggal

……………………………

Pembimbing PKL

GUFRAN, S.Pi.M.Si
NIDN : 0812097501

Mengesahkan Mengetahui
Dekan Fakultas Perikanan Ketua Program Studi PSP

Sitti Halija,S.Pi,M.Si Kumala Sari,S.Pi,M.Si


NIK.9769063 NIK.0376216
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas berkat dan rahmatnya, sholawat
serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para
sahabatnya. Alhamdulillah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan
(PKL) dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan laporan ini merupakan berkat bantuan
dari berbagai pihak moral maupun material untuk itu penulis menyampaikan kepada :
1. Ibu Sitti Halija,S.Pi,M.Si Dekan Fakultas Perikanan yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perairan Paradiso.
2. Ibu Kumala Sari,S.Pi,M.Si,Ketua Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL)
di Perairan Paradiso.
3. Bapak Gufran S.Pi,M.Si selaku pembimbing Tulisan.
Dengan menyadari akan keterbatasan penulid sebagai manusia yang tidak luput dari
kekeliruan,maka kritik dan saran dari bapak, ibu dan saudara saudari demi kesempurnaan
Praktek Kerja Lapangan (PKL) penulis terima dengan senang hati.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan jasa baik atas semua
pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL).

Kupang,April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………………………………..i
Halaman Pengesahan……………………………………………………………………………...ii
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………...iii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….....v
Daftar Tabel……………………………………………………………………………………...vii
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………..viii
Daftar Lampiran………………………………………………………………………………….xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang………………………………………………………………………………...1
1.2. Tujuan Praktek Kerja
Lapangan………………………………………………………………2
1.3. Manfaat Praktek Kerja
Lapangan……………………………………………………………..2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Aktivitas Masyaraka.………………………………………………………………………….3
2.2. Hutan Mangrove……………………………………………………………………………...4
2.3.Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Mangrove………………………………………………
2.4. Keterkaitan Aktivitas Masyarakat Terhadap Ekosistem Hutan Mangrove…………………….
BAB III METODE PRAKTEK KERJA LAPANGAN
3.1. Waktu dan Tempat………………………………………………………………………….....
3.2. Objek dan Alat Praktek………………………………………………………………………..
3.3. Metode Praktek Lapangan……………………………………………………………………..
3.4. Metode Pengumpulan Data……………………………………………………………………
3.5. Data Primer dan Data Sekunder……………………………………………………………….
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove………………..............................................................
4.2. Faktor Lingkungan Fisik……………………………………………………………………….
4.3. Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perlengkapan Praktek Kerja Lapangan………………………………………………….


DAFTAR GAMBAR

1. Kerusakan Mangrove…………………………………………………………………..
2. Penyebab Kerusakan Mangrove………………………………………………………..
3. Penebangan Mangrove………………………………………………………………….
4. Pembuangan Sampah Di Pesisir………………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN

1. Kerusakan Mangrove…………………………………………………………………..
2. Penyebab Kerusakan Mangrove………………………………………………………..
3. Penebangan Mangrove………………………………………………………………….
4. Pembuangan Sampah Di Pesisir………………………………………………………..
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan Mangrove merupakan salah satu komunitas tumbuhan yang hidup di kawasan
pinggiran pantai. Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan bukan hanya menimbulkan
masalah lingkungan tapi juga masalah sosial dan ekonomi masyarakat pengguna jasa lingkungan.
Hutan mangrove juga sangat penting peranannya yaitu sebagai penyangga kehidupan di kawasan
pantai dengan ekosistem laut. Wilayah propinsi Sulawesi Tengah, luas hutan mangrove (bakau)
terdapat seluas 26.536,1 Ha yang tersebar di sembilan wilayah Kabupaten (Donggala, Poso,
Banggai, Buol, Toli-Toli, Morowali, Bangkep, Touna dan Parimo). Berdasarkan hasil
identifikasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan tahun 2006 ternyata luas areal yang masih
bervegatasi mangrove tersisa seluas 6.996,1 Ha (26,4%) dan seluas 19.540 Ha (76,6%) yang
telah mengalami kerusakan. Kerusakan ekosistem hutan mangrove seluas 19.540 Ha dan
sebagian disebabkan oleh abrasi pantai dan penebangan pohon bakau untuk pemenuhan kayu
bakar dan arang (BPDAS, 2006).
Salah satu ekosistem hutan mangrove di perairan oesapa kelapa lima kota kupang yang
terletak di pantai paradiso yang merupakan daerah yang sangat berdekatan dengan laut sehingga
memiliki beberapa jenis tumbuhan pinggir pantai salah satunya adalah mangrove. Setiap
tahunnya hutan mangrove yang ada di pantai paradiso telah mengalami kerusakan, hal tersebut
dapat diketahui dengan melihat luas kawasan hutan mangrove yang mengalami penurunan
fungsi, baik fungsi ekonomi,ekologi dan sosial.
Untuk mengetahui penyebab kerusakan yang terdapat pada kawasan hutan mangrove maka
diadakan penelitian. Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian tentang
”Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove di Perairan Oesapa Kelapa Lima Kota Kupang yang
terletak di pantai Paradiso’’.
1.2 Tujuan Praktek Kerja Lapangan
Untuk mengetahui faktor penyebab kerusakan mangrove yang ada di Perairan oesapa kelapa
lima kota kupang di pantai Paradiso.

1.3 Manfaat Praktek Kerja Lapangan


Dapat memberikan informasi mengenai peranan penting mangrove sebagai penahan
abrasi,dan sebagai bahan referensi atau bahan bacaan pada penulis berikutnya dengan
pendekatan yang berbeda.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aktivitas Masyarakat


Aktivitas adalah keaktifan, kegiatan. Aktivitas adalah keaktifan jasmani dan rohani dan
kedua-keduanya harus dihubungkan (Nasution 2010). Aktivitas adalah melakukan sesuatu
dibawa ke arah perkembangan jasmani dan rohaninya (Zakiah Darajat 2011). Aktivitas artinya
“kegiatan atau keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi
baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktifitas (Anton M, Mulyono 2001:26).
Dalam ilmu filsafat, aktivitas adalah suatu hubungan khusus manusia dengan dunia, suatu
proses yang dalam perjalanannya manusia menghasilkan kembali dan mengalihwujudkan alam,
karena ia membuat dirinya sendiri subyek aktivitas dan gejala gejala alam objek aktivitas. Dalam
ilmu psikologi, aktivitas adalah sebuah konsep yang mengandung arti fungsi individu dalam
interaksinya dengan sekitarnya (Biker, 2013). Dari beberapa definisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa aktivitas adalah melakukan sesuatu baik yang berhubungan dengan jasmani
maupun rohani dalam interaksinya dengan sekitarnya.
2.2. Hutan Mangrove
Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat
mengenai asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan
antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu, menurut Mastaller
(1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk
menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada
dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan
mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai
komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di
pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983). Sementara itu
Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada
tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut,
dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Pada dasarnya, menurut Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui pada saat
bekerja dengan komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang
tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah
yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove.
Mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya
adalah tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat
pasang pertama, tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, daerahnya
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, airnya berkadar garam
(bersalinitas) payau (2–22 ppt) hingga asin. Mangrove biasanya hidup di rawa payau yang
terlindung dari gelombang besar dan berair tenang. Namun sebenarnya mangrove merupakan
tumbuhan darat yang beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang bersalinitas tinggi sehingga
mampu hidup di darat hingga pantai berkarang pada kedalaman tertentu (Sulastini dkk, 2011).

2.3. Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Mangrove


Kerusakan hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotik di
dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor
alam dan faktor manusia (Khosim, 2005). Kerusakan ekosistem hutan mangrove dikarenakan
adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan
ekosistem hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun
penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada
dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan
rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 menyatakan bahwa “ekosistem hutan mangrove
yang mengalami kerusakan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a. Kerusakan Ringan
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong ringan apabila jumlah
populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
50% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 1.000 pohon/Ha. Untuk
kerusakan ringan ekosistem hutan mangrove hanya berpengaruh kecil terhadap
kelangsungan hidup fauna yang ada di sana maupun aktivitas ekonomi penduduk
yang tinggal di daerah tersebut.
b. Kerusakan Sedang
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong sedang apabila jumlah
populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
30% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 600 pohon/Ha. Untuk
kerusakan sedang ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan sebagian besar
fauna kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal, serta sebagian besar
aktivitas ekonomi penduduk dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan
mangrove akan berkurang.
c. Kerusakan Berat
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong berat apabila jumlah
populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
10% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 200 pohon/Ha. Untuk
kerusakan berat ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan kehidupan fauna
yang berhabitat disana terancam bahaya bahkan kepunahan dan aktivitas ekonomi
penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan terhenti.

2.4. Keterkaitan Aktivitas Masyarakat Terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove


Menurut Soesanto dan Sudomo, 1994, dalam Fadlan, (2011). kerusakan ekosistem hutan
mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: (1). Kurang dipahami kegunaan
ekosistem hutan mangrove; dan (2). Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya,
namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya
dalam skala dan intensitas yang terus meningkat. “Perubahan dari hutan mangrove primer dan
sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan
areal untuk pertambakan, pertanian maupun pembangunan” Rudianto, 2009.
Bengen, 2004, (Fadlan, 2011). menyatakan bahwa Dengan pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman,
perikanan, pelabuhan, dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem
hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak
terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung (misalnya
kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh
limbah berbagai kegiatan pembangunan ).
Menurut Ibrahim, 2006, dalam Fadlan, (2011). bahwa “penyebab ancaman dan kerusakan
ekosistem hutan mangrove antara lain: (1). Meningkatnya jumlah penduduk yang bermukim di
lingkungan sekitar ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam hutan
mangrove semakin meningkat; (2). Pemanfaatan sumberdaya alam hutan mangrove yang semula
dilakukan secara tradisional berubah menjadi secara komersial; (3). Ekosistem hutan mangrove
peka terhadap perubahan dan tekanan dari luar yang melampaui kemampuan dan daya
dukungnya, misalnya pencemaran lingkungan berupa limbah industri dan sampah di dalam
ekosistem hutan mangrove; (4). Semakin meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan
kawasan ekosistem hutan mangrove diubah menjadi perumahan, permukiman, perkantoran,
industri, pelabuhan, tempat rekreasi (objek wisata), dan lain-lain; serta (5). Kawasan ekosistem
hutan mangrove menjadi berkurang karena adanya perubahan pemanfaatan lahan hutan
mangrove menjadi lahan pertambakan, baik tambak ikan maupun tambak udang.
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas masyarakat untuk memanfaatkan hutan
mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan, antara
lain: (1). Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan
ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah; (2). Kebutuhan kayu bakar yang
sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa
ditebang; dan (3).Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove,
adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern,
sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional (Perum Perhutani 1994).
Menurut Dahuri, (1996) “bahwa dampak potensial yang dapat timbul akibat aktivitas ekonomi
penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove.
BAB III

METODE PRAKTEK KERJA LAPANGAN

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di laksanakan pada hari kamis tanggal 22 april 2021
bertempat di perairan Oesapa Kelapa Lima Kota Kupang khususnya di pantai paradiso.

3.2 Objek dan Alat Praktek

Adapun alat yang digunakan,dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1 : Perlengkapan Praktek Kerja Lapangan

Alat Kegunaan
Alat Tulis Untuk mencatat hasil praktek
Kamera Hp Dokumentasi
Data: Olahan 2021

3.3 Metode Praktek Kerja Lapangan


Metode yang digunakan dalam praktek ini adalah metode survey dan observasi yaitu
dengan mengamati secara langsung krusakan mangrove di perairan pantai paradiso. Tujuan dari
praktek kerja lapangan ini adalah untuk membuat deskripsi,gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada praktek kerja lapangan ini adalah:
1. Metode Survey langsung
Survey langsung adalah pengamatan secara langsung untuk mengambil data
dengan menggunakan mata tanpa adanya pertolongan standar lain. Data yang
diperoleh tanpa bersifat primer,dengan cara melakukan pencatatan dan
pengamatan langsung tentang materi yang dipelajari. Survey dilakukan untuk
mendapatkan pengetahuan tentang faktor penyebab kerusakan mangrove di
perairan oesapa kelapa lima kota kupang di pantai paradiso. Adapun yang diamati
sebagai berikut.
 Fakto Penyebab Kerusakan Mangrove

2. Metode Wawancara
Wawancara dilakukan kepada masyarakat disekitar pesisir mengenai faktor penyebab
kerusakan mangrove di perairan oesapa kelapa lima kota kupang khususnya di pantai
paradiso.

3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dilakukan dengan mengambil foto obyek secara langsung yang
meliputi foto kerusakan mangrove yangdiperoleh dengan menggunakan kamera.

3.5 Data Primer dan Data Sekunder


Data yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini berasal dari data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung dari praktek yaitu dengan
survey atau pengamatan secara langsung, wawancara dengan masyarakat disekitar pesisir dan
data sekunder digunakan sebagai pelengkat data primer.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove


Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanan-tekanan akibat
pemanfaatannya dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan
pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan infrastruktur
fisik seperti konversi hutan mangrove telah terbukti menjadi faktor penyebab kerusakan
ekosistem mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat dengan
terjadinya pencemaran air sungai atau air laut dan eksploitasi sumber daya laut yang tidak ramah
lingkungan, sehingga kualitas lingkungan pantai saat ini berada dalam kondisi yang
mengkhwatirkan. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan
fisik dan faktor sosial ekonomi masyarakat (Toknok, dkk 2014).
Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, kondisi hutan mangrove di di pantai
paradiso telah banyak mengalami kerusakan. Salah satu penyebab utama adalah pembuangan
sampah,penebangan mangrove sebagai kayu bakar dan limbah rumah tangga.
4.2 Faktor Lingkungan Fisik
Menurut kusmana (1997), kondisi fisik yang jelas nampak didaerah mangrove adalah
gerakan air yang minim sehingga mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai di
daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul di dasar berupa lumpur halus yang
menjadi dasar (substrat) hutan. Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal,
ditambah dengan banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigen di dalam
dasar sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam substrat.
Berdasarkan parameter untuk faktor lingkungan fisik penyebab kerusakan hutan
mangrove dapat dideskripsikan sebagai berikut
1. Pencemaran Air (pa)
Data pencemaran air dilakukan melalui 2 cara yaitu analisis laboratorium dan juga
observasi lapangan. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan didapatkan bahwa
pada kawasan mangrove telah mengalami pencemaran air, yaitu telah tercamar
limbah padat hasil pembuangan sampah rumah tangga serta pencemaran minyak
yang disebabkan oleh kebocoran perahu nelayan.

2. Abrasi (a)
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut
yang bersifat merusak. Dari hasil pengamatan dilapangan tingkat abrasi yang terjadi
di wilayah pesisir pantai hutan mangrove sebesar 0-3 meter /tahun. Tingkat abrasi
yang tinggi menyebabkan instrusi air laut. Perubahan garis pantai yang terjadi di
pesisir dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 15 meter selama 10
tahun terakhir. Pengukuran tingkat abrasi dilakukan pada saat air laut surut agar
memudahkan mengetahui seberapa besar tingkat abrasi yang terjadi setiap tahunnya.
4.3. Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan pengamatan dan wawancara pada faktor sosial ekonomi masyarakat,
aktivitas yang sangat mempengaruhi kerusakan hutan mangrove adalah konversi lahan secara
permanen untuk berbagai manfaat lainnya (deforestasi). Diantaranya pembukaan lahan tambak,
pemukiman dan persawahan. Meskipun areal sawah yang dikelola tidak cukup luas sekitar ± 2
Ha, namun secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan hutan mangrove karena luas
hutan yang semakin berkurang.
Berdasarkan Salam dan Rachman (1994) yang menyatakan bahwa daerah mangrove
berfungsi sebagai penyangga fisik yang kuat untuk melindungi dan mengurangi terpaan angin,
gelombang dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan
oleh faktor manusia seperti mengkonversi hutan mangrove menjadi areal tambak dan sawah
adalah salah satu aktivitas masyarakat yang paling dominan dilakukan di kawasan hutan
mangrove.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil dari praktek kerja lapangan ini adalah sebagai berikut:

Aktivitas masyarakat yang dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan mangrove dipantai


paradiso adalah kegiatan penebangan yang digunakan sebagai kayu bakar,pembuahan limbah
rumah tangga disekitar pesisir pantai.

5.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan dari praktek kerja lapangan ini adalah sebagai berikut:

Dibutuhkan peran pemerintah untuk mengeduksi lebih baik lagi kepada masyarakat
setempat juga pihak lain tentang manfaat ekosistem mangrove dan juga perlu
kesadaran dari masyarakat setempat agar menjaga kondisi ekosistem mangrove di
pantai paradiso.
DAFTAR PUSTAKA

Direktoral Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI,1997 Pedoman
Penentuan Tingkat Kerusakan Kawasan Bakau yang Rusak, Jakarta: Departemen Kehutanan

Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi. Istitut Pertanian Bogor.

Dahuri, 2003 Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta: PT Pramadya
Paramita.

Ibrahim, 2006, penyebab ancaman dan kerusakan ekosistem hutan mangrove.

Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun
2004. Tentang Kriteria Buku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta
.Kementrian LH.
LAMPIRAN

Gambar 1. Kerusakan Mangrove

Gambar 2. Penyebab Kerusakan Mangrove


Gambar 3. Penebangan Mangrove

Gambar 4. Pembuangan Sampah di Pesisir

Anda mungkin juga menyukai