Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

ALI BIN ABI THALIB


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Pelajaran Sirah

Disusun Oleh :

Nama : FARMIN HARAHAP


Kelas : XII-MIA (Ihwan)
Guru B. Studi : ALI RISKI, S.Pd

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


SMA-IT DARUL HASAN
KOTA PADANGSIDIMPUAN
Tahun Ajaran 2021
BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW. Tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya
dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafat beliau mengejutkan, tetapi
sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguang kesehatan
sekurang – kurangnya selama tiga bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan
segera tiba.
Masalah perebutan kepemimpinan mengakibatkkan suasana politik umat Islam menjadi
sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina
persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya
masalh itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini, yaitu
kaum Anshar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam makalah ini, dapat dibatasi sebagai
berikut:
1.      Siapa Ali bin Abi Thalib itu?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan dan kebijakan politiknya?
3.      Peristiwa – peristiwa penting apa yang terjadi pada masanya?

C.   Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk ;
1.      Menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib.
2.      Menjelaskan tentang sistem pemerintahan dan kebijakan politik yang ditempuhnya.
3.      Menjelaskan peristiwa – peristiwa penting yang terjadi pada masanya.
BAB II
ALI BIN ABI THALIB
A.  Biografi Ali Bin Abi Thalib
Nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd.
Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi
Rasul. Ia lahir di Mekah pada tahun 603 M, dan  wafat di Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24
Januari 661 M. Beliau merupakan khalifah keempat ( terakhir) dari khulafa ar- rasyidin ( empat
khalifah besar); beliaulah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak- anak, disamping itu, ia
adalah sepupu dari Nabi saw. yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin
Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah
bin Abd. Mutthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd. Manaf. Sewaktu
lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali. Para
sejarawan berpendapat bahwa kulit beliau berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar,
berbadan besar,berwajah tampan, dan kunniyahnya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turob.
Ketika beruasia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw., sebagaimana Nabi pernah
diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. Diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak
usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah binti
Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah saw. Taat kepadanya, dan
banyak menyaksikan  Rasulullah  saw. menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah saw, ia
banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara
teoritis dan praktis.

B.   Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a


Segera setelah terbunuhnya Usman, Kaum Muslimin meminta kesediaan Ali untuk
dibaiat menjadi kalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak adalagi orang yang patut
menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata,
“Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh – tokoh
ahl asy- syura bersama para pejuang perang Badar”.
Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat, pembaiatan dilakukan pada tanggal 25
Zulhijjah 33 H. Baiat berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair Ibn Awwam dan Thalhah Ibn
Ubaidillah mengangkat baiat denga terpaksa, dan justru keduanya mengajukan syarat di dalam
bai’at itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh khalifah
Utsman. 

C.     Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi


Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya
ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang
Siffin serta pemberontakan khawarij.
1.    Perang Jamal
Tahun 35 H/ 656 M  telah bergantikan tahun 36 H/ 657 M. akan tetapi khalifah Ali belum
juga memperlihatkan sikap yang pasti yang menegakkan hukum sepanjang syariat Islam
terhadap para pembunuh khalifah Utsman.
Sehubungan dengan itu maka Aisyah binti Abi Bakar, Janda Nabi Besar Muhammad
saw., yang dipanggilkan Ummul Mukminin, segera berangkat meninggalkan ibukota Madinah
menuju kota Mekkah. Tindakkannya itu disusuli oleh Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn
Ubaidillah. Ketiga tokoh itu sudah mempunyai harapan yang tipis bahwa hukum akan
ditegakkan, karena menurut tilikan ketiga tokoh itu, bahwa khalifah ali itu sudah terikat di dalam
menetapkan kebijaksanaannya karena didukung oleh pasukan- pasukan kaum pesuruh. Karena
sebab itu, mereka tidak merasakan terikat lagi kepada kewajiban bai’at, karena pihak khalifah
sendiri, sudah tidak memenuhi syarat baiat yang mereka ajukan sebelumnya. 

2.    Perang Shiffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri
Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh
sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk
Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini
dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan
Nailah yang terpotong. Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami
Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti
itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas,
tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap
Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di
Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh
Utsman dikupas tuntas

3.    Gerakan Kaum Khawarij


Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok
Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan
menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini
merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah.
Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya
telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal
menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi
antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan
hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata,
“tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian
datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih
dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan
mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair
dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij
dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan
pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap
bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar
Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij
dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan
kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan
membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi,
Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali
menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij
tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan
serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah.
Kaum Khawarij melihat bahwa sumber kekacauan adalah Ali, Mu’awiyah dan Amru bin
Ash. Oleh Karena itu mereka bersepakat untuk menghabisi nyawa ketiga pemimpin tersebut.
Tiga orng pembunuh dikirim masing – masing Abd. Al-Rahman bin Muljam ke Kufah untuk
membunuh ali, Barak bin Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan
Amru bin Bakar al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Pada hari yang
telah ditentukan, 24 Januari 661 ( 15 Ramadhan 40 H). ketiga algojo itu beraksi tetapi hanya
Ibnu Muljam saja yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang menuju ke mesjid untuk
memanggil dan mengimami shalat subuh. Muawiyah berhasil ditikam oleh Ibn Abdillah tetapi
tidak sampai membawa ajalnya. Sementara itu di Mesir Amru bin Ash terganggu kesehatannya
sehingga tidak keluar mengimami shalat shubuh. Kharijah bin Habib al-Suhami yang
menggantikannya ditikam oleh Ibnu Bakar.
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan
kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah
mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai
Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar
“Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai.
Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama
dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena
menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam
persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan
hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai
pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij
berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga,  Khalifah Ali
dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu
ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi
mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri
mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah
pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.

                                                                         
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ali Bin Abi Thalib,adalah  khalifah yang keempat itu, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi
Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy.
Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi Rasul. Ia lahir di Mekah pada tahun 603 M,
dan  wafat di Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Ali menikah dengan 9 wanita
dan mempunyai 19 orang putra- putri. Sepanjang masa kenabian Muhammad saw. Ali selalu
terlibat dalam setiap permaslahan pribadi dan sosial Rasulullah saw. Selama itu pula
keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski
sekejap mata. Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang luas
dan mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm kecerdasan dan
kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra al-Qur’an. Urusan
kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalgi dalam hal kepahlawanan atau
keberanian, niscaya tiada orang yang mampu menandinginya. Ali adalah singa podium dan
gelanggang. Ali adalah pembela umat manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali adalah musuh
paling gigih bagi segala bentuk anti kemanusiaan.
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk
pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi
politiknya, ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar
keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-
Quran. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan
dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum
muslimin. Keempat,  melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan
kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab
terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya
ada tiga kejadian yang sangat penting untuk dibahas, yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin serta
pemberontakan khawarij.

B.   Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan dapat
berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca dalam memahami sosok Ali yang
sebenarnya. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji
tentang sejarah peradaban Islam. Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik yang mengajarkan
sejarah peradaban Islam, sehingga bisa mengenalkan Islam secara kaffah lewat peradaban Islam.

 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ali al-Musawi, Abu Hasan, Najhul Balagah, Lampung: Yapi, 1990.
Amhazun, Muhammad, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam
Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain,
Jakarta: 1994).
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter
Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013.
Anshari, Hafidz, dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993
Atsir, Ibn, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965.
Ismail bin Katsir, Abu al-Fida, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet
ke-5, Jilid IV.
Mahmud al-Aqqad, Abbas, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka
Azzam, Jakarta: 2002).
Mufrodi, Ali,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,  Jakarta: Logos, 1997.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press,
Jakarta: 2002).
Patuhena, M. Saleh, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam,  terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M.
Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000).
Sou’yb, Joeseof, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007).
                        ,Sejarah Peradaban Islam edisi 1 cet.2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
Zainudin Abu Himam, Jeje. Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan
pertama.

Anda mungkin juga menyukai