Anda di halaman 1dari 3

Kehidupan dan Kematian Marcelino Iturriaga

Karya  Dea Anugrah,  Javier Marías. Dikliping tanggal 19 Januari 2015 dalam kategori  Arsip Cerpen,  Koran Tempo

TANGGAL 22 November 1957 cuaca benar-benar mendung. Segerombol awan yang tebal, lembap, dan
tak tertembus memenuhi langit. Badai mungkin segera datang.
Hari ini punya arti khusus bagiku. Tepat setahun silam, aku meninggalkan orang-orang yang kukasihi dan
tak akan kembali untuk selamanya. Ini adalah ulang tahun kematianku yang pertama. Pagi-pagi, istriku,
Esperancita, membawa sebuket bunga yang diletakkannya dengan hati-hati di atasku. Aku kurang suka ia
melakukan itu, sebenarnya, karena bunga-bunga tersebut menghalangi pandanganku. Tapi tanggal 22
setiap bulan memang hari di mana ia membawakanku bunga-bunga segar, dan setiap dua bulan, pada
tanggal yang sama, kedua anak lelaki kami turut serta.

Hari ini mereka dijadwalkan datang, tapi kupikir Esperancita datang sendirian karena ini ulang
tahun ketidakbersamaan kami yang pertama. Untuk alasan itu pula, buket anyelir yang diletakkan di atasku
lebih besar dari biasanya dan semakin mengganggu pandanganku. Untungnya aku tetap bisa melihat
Esperancita dengan jelas. Ia jadi lebih montok ketimbang bulan lalu dan jelas bukan lagi gadis langsing,
lincah, dan anggun yang dulu amat kusukai. Caranya bergerak agak kikuk dan terkesan ceroboh, serta
pakaian hitam-hitam yang masih dikenakannya sama sekali tidak cocok. Dengan penampilan macam
begitu, ia jadi mirip ibu mertuaku, lebih-lebih karena rambut Esperancita tidak lagi hitam pekat—ada uban
di sekitar kening dan pelipisnya. Aku mengingat saat terakhir kali kulihat Esperancita dengan mata yang
terbuka. Dan bersamaan dengan adegan yang terjadi di Calle Barquillo itu, seluruh hidupku ikut-ikutan
minta diingat. 
AKU lahir di Madrid pada 1921, di sebuah apartemen kecil di Calle de Narvaez. Ayahku punya
apotek di lantai bawah, yang keberadaannya hanya dijelaskan oleh papan gantung bertulisan:
ITURRIADA. APOTEKER serta KAMI JUGA MENJUAL PERMEN tepat di bawahnya dalam huruf-
huruf yang lebih kecil. Aku dan abangku melewatkan banyak waktu di apotek. Sisanya terpaksa kami
habiskan di kelas tua dan kumuh di sekolah lokal, tempat seorang guru mengajari empat belas murid
laki-laki semua mata pelajaran dalam kurikulum. Sekolah benar-benar membosankan dan yang kami
lakukan di sana hanyalah tidur atau saling melemparkan gumpalan-gumpalan kertas.

Ibuku adalah perempuan gemuk yang tenang. Meski sesekali aku dan abangku punya masalah,
ia selalu bisa membuat hidup kami terasa ringan. Juga ketika ayahku melimpahkan frustasinya—
biasanya karena apotek sepi—kepada kami.

Ayahku cepat naik pitam, khususnya jika suasana batinnya jelek, dan kupikir ia jauh lebih cocok
menjadi seorang tukang daging, atau apa sajalah, ketimbang apoteker.

Aku bersekolah di Calle de Narvaez sampai berumur lima belas. Lalu Perang Saudara pecah,
tapi peristiwa itu berlalu begitu saja dalam hidupku sebagaimana peristiwa-peristiwa lainnya.
Keluarga kami dan diriku tidak rugi-rugi amat. Abangku dikirim ke garis depan, pulang tanpa
tergores, dan disambut dengan kebanggaan serta patriotisme dalam kemenangan faksi
Nasionalis sayap Kanan yang tak ada urusannya denganku. Lalu aku kuliah di jurusan ekonomi.
Lulus setelah delapan tahun, diiringi ketidaksenangan ayahku terhadap penundaan dan semua
pengulangan mata kuliah yang kualami. Tapi di luar itu, hari-hari sebagai mahasiswa adalah
masa paling gembira dalam hidupku yang singkat. Aku bersenang-senang, belajar amat sedikit,
dan berjumpa Esperancita. Ia agak pemalu namun penuh kasih sayang dan suka menolong.
Kami biasa nonton film di bioskop atau melihat sirkus atau sekadar jalan-jalan, lalu
menghabiskan hampir setiap malam bersama-sama. Dua tahun setelah lulus, aku mengajak
Esperancita kawin dan ia setuju. Dua tahun berikutnya, anak pertamaku, Miguel, lahir, dan dua
tahun setelahnya, Gregorito menyusul. Aku tak pernah suka nama anak kedua kami, namun
terpaksa ia kunamai begitu atas desakan ibu mertuaku yang bernama Gregoria. Selain itu, aku
selalu merasa “Gregorito Iturriaga Aguirre” terlalu panjang dan mengandung kelewat banyak
huruf r.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya aku menikahi Esperancita bukan demi cinta, tapi karena kukira ia
bisa banyak membantu pekerjaanku di sebuah bank. Tapi ternyata ia tidak banyak menolong,
karena ia terlalu sungguh-sungguh membesarkan anak dan menghabiskan sepanjang hari
bersama mereka. Aku tidak benar-benar senang besamanya, tapi bukan berarti benar-benar
tidak senang.

Ibu Esperancita dan ayahku tinggal bersama kami. Keduanya tidak tahan melihat satu sama lain,
tapi karena mereka tak punya pilihan dan apartemen kamu lumayan kecil, dua manusia lanjut
usia sialan itu menghabiskan waktu untuk bertengkar dan berdebat tentang berbagai hal yang
semestinya tidak diperdebatkan karena tidak mereka pahami. Keributan itu, ditambah dengan
Esperancita yang berteriak-teriak kepada pembantu, ditambah lagi dengan tangisan anak-anak,
menjadikan rumah tidak tertanggungkan. Kantor bank jadi terasa seperti surga. Tujuh mulut yang
mesti kuberi makan adalah satu alasan untuk sering lembur, namun waktu yang tenang untuk
diri sendiri adalah alasan utamanya.

Ibuku meninggal empat tahun setelah Perang Saudara berakhir, dan ia, kupikir, adalah satu-
satunya orang di dunia ini yang benar-benar kusayangi. Tidak seperti kematian ayahku,
kematian ibu benar-benar membuatku terpukul.

KEMATIANKU sepertinya mengejutkan bagi semua orang. Pada Agustus 1956, aku mulai
merasakan perih seperti ditusuk-tusuk di dadaku. Aku menceritakan itu kepada abangku yang
sudah menjadi dokter. Ia bilang tenang saja, itu hanya efek-lanjutan dari demam atau sakit
tenggorokan.

Abangku memberi resep obat. Benar, rasa sakit hilang—setidaknya sampai tanggal 18
November, ketika penderitaan itu kembali dan tiga kali lebih dahsyat. Aku minum obat lagi, tapi
tidak ada hasilnya.

Tanggal 21 aku terkapar di tempat tidur dengan suhu badan tinggi; aku menderita kanker paru-
paru, dan tanpa kemungkinan selamat.

Itu adalah saat-saat penuh keputusasaan. Rasa sakitnya luar biasa dan tidak ada yang bisa
dilakukan untuk meredamnya. Aku samar-samar mengenali Esperancita yang berlutut di sisi
tempat tidurku. Ia menangis tersedu-sedu dan ibunya, Dona Gregoria, mengelus punggungnya
penuh kasih sayang. Anak-anakku tidak bergerak, mereka mungkin tidak paham apa yang
terjadi. Abangku dan istrinya hanya duduk dan menungguku mati supaya bisa segera pamit dari
adegan melodramatis yang membosankan. Bos dan sejumlah kolegaku berdiri di dekat pintu,
memandangiku, dan setiap kali aku balas melihat mereka, memberiku senyum persahabatan
yang jelas-jelas dipaksakan.

Pukul enam sore tanggal 22, ketika demam menghebat, aku berusaha bangkit dari tempat tidur
namun kepalaku jatuh ke bantal hanya setelah terangkt sedikit, segenap rasa sakit dan
penderitaanku menghilang. Aku ingin bilang kepada keluarga dan teman-temanku bahwa aku
tidak lagi kesakitan, aku hidup dan baik-baik saja, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa bicara atau
bergerak atau membuka mataku meski bisa melihat dan mendengar apa-apa yang terjadi.

Ibu mertuaku berkata:

“Dia sudah mati.”

“Semoga jiwanya istirahat dalam damai,” ujar yang lain bersamaan, seperti paduan suara.

Aku melihat abangku dan istrinya cepat-cepat pergi setelah bilang kepada Esperancita bahwa
mereka akan mengurus pemakaman. Perlahan-lahan yang lain juga pergi dan aku ditinggalkan
sendirian. Aku tidak tahu mesti melakukan apa. Aku bisa berpikir, melihat, dan mendengar, maka
aku ada, maka aku hidup, dan mereka akan menguburku keesokan harinya. Aku berusaha keras
untuk bergerak, tapi tidak bisa.
Lalu aku menyadari bahwa diriku sungguh-sungguh mati, bahwa setelah kematian tidak ada
apa-apa, dan semua yang tersisa dari diriku akan berbaring di kuburan selamanya. Tidak
bernapas, tapi hidup; tanpa penglihatan namun bisa melihat; tanpa pendengaran namun bisa
mendengar.

Besoknya, mereka menaruhku di peti hitam dan membawaku ke pemakaman. Tidak banyak
orang yang datang. Setelah kebaktian singkat, semua orang pergi dan aku kembali sendirian.
Mulanya aku tidak suka di sini, tapi sekarang aku sudah terbiasa dan menyenangi kesunyiannya.
Aku bertemu Esperancita sekali sebulan dan anak-anakku dua bulan sekali. Begitu saja. Ini
adalah kehidupan dan kematianku, di mana tidak ada apa-apa. 

Javier Marías adalah penulis novel dan cerita pendek Spanyol. 


Cerita di atas dialihbahasakan Dea Anugrah dari terjemahan Inggris oleh Margart Jull Costa. 

Anda mungkin juga menyukai