Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGANTAR BIMBINGAN DAN KONSELING

“Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia”

Dosen Pengampu : Lukmanul Hakim, M.A

Oleh :

Yaqutullah Atiyah

NIM 210303137

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penyusun selesaikan dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam penyusun curahkan pada baginda besar Muhammad SAW. semoga kita,
orang tua kita, keluarga kita, guru-guru kita dan orang terdekat kita mendapat syafa’at beliau di Yaumul
mahsyar kelak Aamiin Ya rabbal’alamin.
Adapun tujuan penyusun menulis makalah ini utnuk memenuhi tugas mata kuliah “Pengantar
Bimbingan dan Konseling” yang berjudul Sejarah Perkembangan BK di Indonesia, dalam penyusunan
makalah ini penyusun tak henti-hentinya berharap bimbingan dari bapak dosen agar senantiasa
mengkritik kesalahan kami.
Kami mengucapkan terima kasih pada bapak Lukmanul Hakim, M.A. selaku dosen pengampu
mata kuliah ”Pengantar Bimbingan dan Konseling” yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan.
Penyusun beraharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca makalah ini
meskipun terdapat banyak kekurangan di dalamnya.
Penyusun mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. dan kekurangan pasti milik kita
sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Mataram, 26 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
A. Sejarah Perkembangan Bimbingan Konseling di Indonesia ............................... 3
B. Pra Lahirnya Pola 17 ........................................................................................... 6
C. Lahirnya Bimbingan Konseling Pola 17 ............................................................. 7
D. Penyempurnaan Pola 17 Menjadi Pola 17 Plus .................................................. 9
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 11
Kesimpulan ..................................................................................................................... 11
Daftar pustaka ................................................................................................................. 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah.
Sejarah tentang pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat Yunani Kuno. Mereka
menekankan upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu melalui pendidikan.
Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupan manusia.
Kenyataan menunjukan bahwa manusia didalam kehidupannya selalu menghadpi persoalan-persoalan
yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yang lain muncul, demikian
serterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalam sifat maupun kemampuannya. Ada
manusia yang sangup mengatasi persoalan tanpa bantuan pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang
tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibantu orang lain. Khususnya bagi yang terakhir inilah
bimbingan dan konseling sangat diperlukan.
Manusia perlu mengenal dirinya sendiri dengan sebaik-baiknya. Dengan mengenal dirinya
sendiri, mereka akan bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
Walaupun demikian, tidak semua manusia mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini
memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal dirinya, lengkap dengan segala kemampuan yang
dimilikinya dan bantuan tersebut dapat diberikan oleh bimbingan dan konseling. Pada kenyataanya
bimbingan dan konseling juga diperlukan, baik oleh masyarakat yang belum maju maupun masyarakat
yang modern.
Bila kita telusuri, bimbingan dan penyuluhan itu mulai timbul sekitar permulaan abad ke-20 yang
kemudian saat ini di kenal dengan bimbingan dan konseling. Gerakan ini mula-mula timbul di Amerika,
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Frans Parsons, Jesse B. Davis, Eli Wever, John Brewer, dan
sebagainya. Para ahli inilah yang memelopori bergeloranya bimbingan dan penyuluhan sehingga
masalah ini bekembang dengan pesatnya.
Pada tahun 1908 di Boston, Frank Persons mendirikan suatu biro yang dimaksudkan untuk
mencapai efisiensi kerja. Dialah yang mengemukakan istilah atau pengertian vocational guidance, yang
meliputi vocational choise, vocational placement, dan vocational training untuk memperoleh efisiensi
dalam pekerjaan. Dia pula yang mengusulkan agar masalah vocational guidance dimasukan dalam
kurikulum sekolah. Dengan langkah ini, dapat kita lihat bagaimana masalah bimbingan ini mendapat
perhatian yang begitu jauh oleh Frank Persons. Pada tahun 1909, Frans Parsons mengeluarkan buku
yang mengupas pemilihan jabatan, dan pemilihan jabatan ini kelak menjadi salah satu aspek yang
penting dalam bimbingan dan konseling.
Jesse B. Davis yang bertugas sebagai konselor sekolah di Cental High School di Detroit, mulai
pula bergerak dalam bidang ini, baik mengenai masalah-masalah yang ada dalam pendidikan maupun
dalam bidang pemilihan jabatan. Pada tahun 1910-1916, dia memberikan kuliah mengenai bimbingan
dan konseling. Kegiatan serupa dilakukan dilakukan pula oleh Eli Wever di New York, John Brewer di
Universitas Harvard. Itulah sebabnya, keduanya dipandang sebagai perintis dalam bidang bimbingan
dan konseling.
Maksud yang terkandung seperti yang dikemukakan oleh Frank Persons itu tetap ada di Indonesia.
Sebagai suatu contoh adalah Balai Latihan Kerja (BLK). Hal tersebut menggambarkan adanya tempat
untuk melatih para pencari kerja. Balai Latihan Keerja kiranya tidak jauh berbeda dari apa yang
dimaksud oleh Frank Persons sebagai vocational training.
Dengan diadakannya konferensi FKIP seluruh indonesia yang berlangsung di Malang sejak
tanggal 20-24 Agustus 1960, telah diputuskan bahwa bimbingan dan konseling dimasukan dalam
kurikulum FKIP. Hal tersebut menunjukan adanya langkah yang lebih maju, yaitu bimbingan dan

1
konseling sebagai suatu ilmu dikupas secara ilmiah. Dengan adanya instruksi dari pemerintah (
Departemen Pendidikan dan kebudayaan) untuk melaksanakan bimbingan dan konseling disekolah-
sekolah, telah membuat bimbingan dan konseling semakin maju di lingkungan sekolah.
Untuk mengetahui lebih jauh Bimbingan dan Konseling sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan
terlebih dahulu kita mengetahui bagaimana Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Konseling dari masa
ke masa, hingga perkembangannya di Indonesia. Sebagaimana isi makalah yang akan disampaikan oleh
pemakalah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia?
2. Apa itu pola 17 dalam Bimbingan dan Konseling?
3. Bagaimana pelaksanaan Bimbingan dan Konseling sebelum dan sesudah lahirnya pola 17?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Bimbingan dan Konseling
2. Untuk mengetahui pola 17 dalam Bimbingan dan Konseling
3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Bimbingan dan Konseling sebelum dan
sesudah adanya pola 17

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia

Kegiatan bimbingan pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan
bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah dan profesional masih
belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah Pancasila.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di Negara
asalnya Amerika Serikat. Bermula dari banyaknya pakar pendidikan yang telah menamatkan studinya
di negeri paman sam itu dan kembali ke Indonesia dengan membawa konsep-konsep bimbingan dan
konseling yang baru. Hal itu terjadi sekitar tahun 60-an. Tidak dapat dibantah bahwa para pakar
pendidikan itu telah menggunakan dasar-dasar pemikiran yang diambil dari pustaka Amerika Serikat
khusus mengenai pandangan terhadap peserta anak didik yaitu bahwa anak didik mempunyai potensi
untuk berkembang karena itu pendidikan harus memberikan situasi kondusif bagi perkembangan
potensi tersebut secara optimal.1
Potensi yang dimaksudkan adalah potensi yang baik, yang bermanfaat bagi anak-anak dan
masyarakatnya. Pandangan itu bersumber dari aliran filsafat humanistic, yang mana menganggap
bahwa manusia adalah unggul dan mempunyai kemampuan untuk mengatasi segala persoalannya di
dunia. Manusia menjadi sentral kekuatan melalui otaknya. Karena itu pendidikan haruslah
menyesuaikan otak (kognitif dan daya nalar) akibatnya manusia itu sangat sekuler, hanya
mengutamakan duniawi saja, dan mengabaikan kekuasaan Allah. Terjadilah apa yang disebut
kesombongan intelektual. Namun aspek lain yang dianggap positif adalah paham demokratis, dimana
manusia dihargai harkat kemanusiaan, mengembangkan sifat empati terbuka memahami dan
sebagainya. Sikap – sikap tersebut amat mendukung bagi kegiatan bimbingan dan konseling.
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan
dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak
tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada
delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP
Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan
dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan
Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat
Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP
(setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai
saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan
PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan.

1 Lilis Satriah, Bimbingan Konseling Pendidikan (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2020), hlm.9

3
Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya
SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya
kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih
belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan mereka.
Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi
pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan
bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke
sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada
masalah.
Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam
SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk
pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah
Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan
oleh Guru Pembimbing.2 Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Untuk kondisi Indonesia, sebaiknya diterapkan paham humanistic religious. Artinya menghargai
menusia atas potensinya, namun ketaatan kepada tetap tidak terabaikan sehingga bimbingan dan
konseling menjurus kepada pengembangan potensi dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Dengan
penyerahan diri yang bulat, maka masalah yang dihadapi akan lebih mudah diatasi. Karena persoalan
diri yang rumit biasanya bersumber dari adanya jarak individu dengan yang maha kuasa.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia cenderung berorientasi layanan pendidikan
(intruksional) dan pencegahan. Sejak tahun 1975 bimbingan dan konseling digalakkan di sekolah-
sekolah (Rochman Natawidjadja, 1987). Upaya ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada siswa
sehingga ia dapat berkembang seoptimal mungkin disini amat terlihat konsep barat mendominasi
bimbingan dan konseling di sekolah.
Dalam pelaksanaannya bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah lebih banyak menangani
kasus siswa bermasalah daripada pengembangan potensi siswa disamping itu, konsep perkembangan
optimal harus dalam keseimbangan perkembangan otak dan agama karena itu aspek penting yakni
agama harus mendapat tempat yang layak dalam bimbingan dan konseling. Berikut ini akan dibahas
mengenai perkembangan usaha bimbingan dalam pendidikan di Indonesia.
1. Sebelum Kemerdekaan
Masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan rakyat
Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah (Pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan
penjajah). Para siswa dididik untuk mengabdi untuk kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini
upaya bimbingan sudah tentu diarahkan bagi perwujudan tujuan pendidikan masa itu yaitu
menghasilkan manusia pengabdi penjajah. Akan tetapi, rasa nasionalisme rakyat Indonesia ternyata
sangat tebal sehingga upaya penjajah banyak mengalami hambatan.
Rakyat Indonesia yang cinta akan nasionalisme dan kemerdekaan berusaha untuk
memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satu di antaranya adalah
Taman Siswa yang dipelopori oleh K.H. Dewantara yang dengan gigih menanamkan nasionalisme di

2Henni Syafriana Nasution, Bimbingan Konseling “Konsep, Teori, dan Aplikasinya” (Medan:Lembaga Peduli
Pengembangan Pendidikan Indonesia, 2019), hlm. 55

4
kalangan para siswanya. Dari sudut pandangan bimbingan hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar
bagi pelaksanaan bimbingan.
2. Dekade 40-an (Perjuangan)
Dalam bidang pendidikan, pada dekade ini lebih banyak ditandai dengan perjuangan
merealisasikan kemerdekaan melalui pendidikan. Masalah kebodohan dan kerbelakangan
merupakan masalah besar dan tantangan yang paling besar bagi pendidikan pada saat itu. Tetapi
yang lebih mendalam adalah mendidik bangsa Indonesia agar memahami dirinya sebagai bangsa
yang merdeka sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Hal ini pulalah yang menjadi fokus
utama dalam bimbingan pada saat itu.
3. Dekade 50-an (Perjuangan)
Kegiatan bimbingan pada masa dekade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan
pendidikan. Upaya membantu siswa dalam mencapai prestasi lebih banyak dilakukan oleh guru di
kelas atau di luar. Akan tetapi, pada hakikatnya bimbingan telah tersirat dalam pendidikan dan benar-
benar menghadapi tantangan dalam membantu siswa di sekolah agar dapat berprestasi meskipun
dalam situasi yang amat darurat.
4. Dekade 60-an (Perintisan)
Memasuki dekade 60-an suasana politik kurang begitu menguntungkan dengan klimaksnya
pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Akan tetapi, dalam dekade ini pula lahir Orde Baru tahun
1966, yang kemudian meluruskan dan menegakkan serta ini sudah mulai mantap dalam merintis ke
arah terwujudnya suatu sistem pendidikan nasional. Keadaan di atas memberikan tantangan bagi
keperluan layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu kelengkapan sistem. Di
sinilah timbul tantangan untuk mulai merintis pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang
terprogram dan terorganisasi dengan baik.
5. Dekade 70-an (Penataan)
Kelahiran orde baru telah banyak menyadarkan bangsa Indonesia akan kelemahan di masa
lampau dan kesediaan memperbaiki di masa yang akan datang melalui pembangunan. Repelita
pertama mulai dicanangkan dilaksanakan dalam awal dekade ini, dan dilanjutkan dalam dekade-
dekade selanjutnya. Pembangunan dalam bidang pendidikan merupakan salah satu penunjang
pembangunan nasional. Keadaan tersebut memberikan tantangan dan peluang besar untuk upaya
penataan bimbingan baik dalam aspek konseptual maupun operasional.
6. Dekade 80-an (Pemantapan)
Setelah melalui penataan dalam dekade 70-an, maka dalam dekade 80-an ini bimbingan
diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada perwujudan
bimbingan yang profesional. Dengan demikian, maka upaya-upaya dalam dekade 80-an lebih
mengarah kepada profesionalisasi yang lebih mantap. Pada saat ini, profesi konselor secara legal
formal telah diakui dalam sistem pendidikan nasional. Konselor sekolah atau guru bimbingan dan
konseling merupakan profesi yang sudah diakui keberadaannya di sekolah. Hal ini dapat dilihat pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru pada pasal 15 yang
mengatakan bahwa guru bimbingan dan konseling atau konselor adalah guru pemegang sertifikat
pendidikan.

5
B. Pra Lahirnya Pola 17

Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak
jelas, ketidakjelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan
konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif
terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru
Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut.
Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap
semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK
dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK
bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa
pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja,
menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi
semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan
lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak
jelas, ketidakjelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain
pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan
I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan
dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan
berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan BP di sekolah
Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di
sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di
sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih
kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas.3 Lebih-lebih lagi
dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun,
guru yang kekurangan jammata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal
dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhandi sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan
dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau
pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka
kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk
menjadi Guru Pembimbing.

3 Ibid,57 hlm.

6
Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan
tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah
apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir
ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga
belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya.
Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
1. Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya
dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi
malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa
Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
2. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-
kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran
yang berhalangan hadir.
3. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para
siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian
seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
4. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program
pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya.
5. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi
guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam
organisasi bimbingan dan konseling. Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap
sekolah di Indonesia.

C. Lahirnya Bimbingan dan Konseling Pola 17

Sejak tahun 1993 penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) memperoleh
perbendaharaan istilah baru yaitu BK Pola-17. Hal ini memberi warna tersendiri bagi arah bidang, jenis
layanan dan kegiatan pendukung BK di jajaran pendidikan dasar dan menengah. BK Pola-17 merupakan
pola dasar dalam BK yang di laksanakan di lingkungan sekolah. Pola ini meliputi empat bidang
bimbingan, tujuh layanan BK, dan lima kegiatan pendukung BK. Dengan berkembangnya zaman, pada
abad ke-21 BK Pola-17 berkembang menjadi BK Pola-17 Plus.
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling
adalah:
1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan konseling.”
2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara
khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh
semua guru atau sembarang guru.
3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling
adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti
penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam.
4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas:
a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas- asasnya.
b. Bidang bimbingan: bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir.
c. Jenis layanan: layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran,
konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.

7
d. Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah
dan alih tangan kasus.
Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17”
5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap:
a. Perencanaan kegiatan
b. Pelaksanaan kegiatan
c. Penilaian hasil kegiatan
d. Analisis hasil penilaian
e. Tindak lanjut
6. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah.
Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah
lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti:
1. Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.
2. Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.
3. Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti:
a. Buku teks bimbingan dan konseling
b. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolah
c. Panduan penyusunan program bimbingan dan konseling
d. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling
e. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah.
4. Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling.
5. Penyusunan pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP)
Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling
sekarang menjadi jelas: istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru
pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam,
kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja.
Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan
guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan. Pola umum Bimbingan dan
Konseling di Sekolah; sistematika BK POLA 17 :
1. Seluruh kegiatan bimbingan dan konseling (BK) didasari satu pemahaman yang menyeluruh
dan terpadu tentang wawasan Dasar Bimbingan dan Konseling yang meliputi pengertian,
tujuan, fungsi, prinsip, dan asas-asas BK.
2. Kegiatan Bimbingan dan Konseling secara menyeluruh meliputi empat bidang bimbingan,
yaitu bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
3. Kegiatan Bimbingan dan Konseling dalam keempat bidang bimbingannya itu diselenggarakan
melalui tujuh jenis layanan, yaitu layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran,
pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.
4. Untuk mendukung ketujuh jenis layanan itu diselenggarakan lima jenis kegiatan pendukung,
yaitu instrumentasi bimbingan dan konseling, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan
rumah, dan alih tangan kasus.

8
D. Penyempurnaan Pola 17 Menjadi Pola 17 Plus

Pengembangan dan penyempurnaan dari Pola 17 (Prayitno, 2006) yaitu penambahan pada bidang
bimbingan, jenis layanan dan kegiatan pendukung.4 Pola 17 Plus menjadi:
1. Keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas serta landasan BK
(Wawasan Bimbingan dan Konseling: fungsi ditambah satu yaitu fungsi advokasi).
2. Bidang Pelayanan BK meliputi:
B.1. Bidang Pengembangan Pribadi
B.2. Bidang Pengembangan Sosial
B.3. Bidang Pengembangan Kegiatan Belajar
B.4. Bidang Pengembangan Karir
B.5. Bidang Pengembangan Kehidupan Berkeluarga
B.6. Bidang Pengembangan Kehidupan Beragama
3. Jenis Layanan BK meliputi:
L.1. Layanan Orientasi (Orin)
L.2. Layanan Informasi (Info)
L.3. Layanan Penempatan dan Penyaluran (PP)
L.4. Layanan Penguasaan Konten (PKO)
L.5. Layanan Konseling Perorangan (KP)
L.6. Layanan Bimbingan Kelompok (BKp)
L.7. Layanan Konseling kelompok (KKp)
L.8. Layanan Konsultasi (KSI)
L.9. Layanan Mediasi (MED)
4. Kegiatan Pendukung BK:
P.1. Aplikasi Instrumentasi (AI)
P.2. Himpunan data (HD)
P.3. Konferensi Kasus (KK)
P.4. Kunjungan Rumah (KR)
P.5. Tampilan Kepustakaan (TKp)
P.6. Alih Tangan Kasus (A.Tk)
Untuk pelaksanaan di sekolah bidang bimbingannya tetap empat yaitu bidang bimbingan pribadi,
sosial, belajar dan sosial. Walaupun sudah ada pola yang jelas pelaksanaan Bimbingan dan Konseling
di sekolah belumlah semulus dan lancar seperti yang diharapkan, hal ini banyak penyebabnya satu hal
diantarnya yang menjadikan “kebingungan’ di lapangan, pemikiran bahwa: BK Pola 17 saja belum

4 Ibid, hlm. 62

9
mapan dan mantap sudah dikembangkan BK Pola 17 Plus bahkan BK Pola 17 Plus-plus (45) yaitu
Spektrum Profesi Konseling. (Pengembangan dari Dasar Stadardisasi Profesi Konseling). Sedangkan
dalam Standar Komptensi Konselor Indonesia (SKKI, 2005) istilah yang dipakai tetap dengan nama
Bimbingan dan Konseling, pola pelaksanaan tidak secara tegas dinyatakan sebagai BK Pola 17, di sana
lebih berorientasi kepada perkembangan.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Bimbingan dan konseling pertama kali dikenal di Amerika dengan didirikannya Vodational
Berou yang dipelopori oleh Frank Parson pada tahun 1908. Bertepatan dengan itu seorang konselor
Jasse B. Davis memasukkan layanan konseling di SMA di Detroid (1907). Lalu dilanjutkan oleh tokoh-
tokoh lain hingga perkembangannya pesat hingga di Indonesia.
Dilihat dari perkembangannya, Bimbingan Konseling mula-mulanya hanya dikenal sebatas
pada bimbingan pekerjaan (Vocational Guidance), sebagaimana peran dari Biro yang didirikan Frank
Parson di Boston. Namun sebenarnya tidak hanya itu, di sisi lain perkembangan Bimbingan Konseling
pun merambah kebidang pendidikan (Education Guidance) yang dirintis oleh Jasse B. Davis. dan
sekarang dikenal pula adanya bimbingan dalam segi kepribadian (Personal Guidance).
Bimbingan dan Konseling telah terbentuk jauh sebelum era kemerdekaan, dari bimbingan itulah
siswa dipupuk untuk merealisasikan cita-cita bangsa, yaitu kemerdekaan. Setelah kemerdekaan
Bimbingan dan Konseling dalam system pendidikan Indonesia mengalami beberapa perubahan nama.
Pada kurikulum 1984 semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum
1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang. Layanan BK
sudah mulai dibicarakan di Indonesia sejak tahun 1962. Namun BK baru diresmikan di sekolah di
Indonesia sejak diberlakukan kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan ke dalam kurikulum 1984
dengan memasukkan bimbingan karir didalamnya. Perkembangan BK semakin mantap pada tahun
2001.
Tetapi karena BK tersebut dijalankan dengan pola yang tidak jelas dan terkesan negative, maka
lahirlah BK pola 17 dengan petunjuk SK Mendikbud No. 025/1995. Pelaksanaannya lebih terorganisir
dan terencana.
Hal ini dimaksudkan agar memepunyai fungsi sebagai pencegahan, penyesuaian, perbaikan dan
pengembangan kepada peserta didik. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu kiranya disusunnya asas-
asas BK yang sebagai pondasi dalam melaksakannya. Asas itu antara lain: asas kerahasiaan,
kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, keharmonisan,
keahliayan dan alih tangan kasus.
Disamping itu, BK pola 17 mempunyai tujuh layanan, sehingga tidak terkesan sebagai “rumah
sakit jiwa siswa”. Artinya tidak selamanya siswa yang masuk BK mengalami permasalahan
berat/pengacau sekolah tetapi BK pola 17 juga menjadi bahan informasi bagi siswa untuk memperolah
pendidikan. Karena itu, BK pola 17 sangat efektif untuk dilaksanakan di setiap sekolah, dan kalau perlu
ditingkatkan, sehingga anak didik memperoleh pelayanan yang terbaik. Kemudian selanjutnya di
sempurnakan dengan BK Pola 17 Plus.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Henni Syafriana, Abdillah. (2019) Bimbingan Konseling “Konsep, Teori dan Aplikasinya”.
Medan: Lembaga Peduli PengembanganPendidikan Indonesia (LPPPI)

Satriah Lilis.(2016). Bimbingan Konseling Pendidikan. Bandung: CV. Mimbar Pustaka.

12

Anda mungkin juga menyukai