Anda di halaman 1dari 27

BAB VI

HUKUM ISLAM, HAM DAN DEMOKRASI

A. HUKUM ISLAM
1. Definisi Hukum Islam

Hukum Islam dalam bahasa Arab yaitu Al- Fiqh Al-Islami atau Al-Syari’ah Al- Islami .
Secara etimologi Syari’ah berarti jalan ke tempat mata air/tempat yang dilalui air. Secara
terminologi syari’ah berarti seperangkat norma ilahi untuk mengatur manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Pengertian
etimologi Fiqh adalah kefahaman, pengertian, pengetahuan. Sedangkan secara terminologi
Fiqh berarti hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis atau alamiah dan dalil-dalil yang
terperinci.

Perbedaan dari Syariah dan Fiqhi

SYARIAH

FIQHI
1. Sumbernya dari manusia
2. Kebenarannya relative
1. Sumbernya dari Allah
3. Bermacam-macam
2. Kebenarannya mutlak
4. Berubah-ubah sesuai dengan
3. Satu saja
4. Bersifat tetap / tidak berubah
perkembangan pikiran manusia.
5. Ruang lingkupnya lebih luas
5. Ruang lingkupnya sempit

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Hukum Islam adalah peraturan
yang berdasar wahyu Allah dan Sunnah Rassul tentang tingkah laku mukallaf yang diyakini
dan diakui mengikat bagi setiap pemeluk agama Islam.

2. Tujuan Hukum Islam a. Pengertian Umum


Tujuan umum pembuatan syari’at/hukum Islam adalah : Merealisasikan maslahat bagi
manusia dalam kehidupan ini, baik dengan mendapatkan manfaat bagi
mereka, atau dengan menolak bahaya dari diri mereka. Dalil-dalil syar'i yang menguatkan
makna di atas diantaranya :

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
(QS. Al-Anbiya/21 : 107 )

“Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman”.(QS. Yunus/10 : 57)

Kemudian ada pula yang disebut dengan tujuan khusus dari disyariatkannya sebuah Ibadah.
Misalnya Sholat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar ( QS Al- ‘Ankabut/29 : 45),
Puasa untuk menjadi orang bertakwa (QS Al Baqarah/2 : 183 ), Zakat untuk menyucikan
harta ( QS. at-Taubah/9 : 103 ), dan seterusnya. Sehingga yang dimaksud Maqoshid Syariah
adalah : Makna-makna dan tujuan-tujuan yang ditekankan dalam syariat pada seluruh
hukum-hukumnya atau sebagian besarnya. Bisa juga diartikan tujuan dari pembuat syari’at
dalam setiap hukum dari hukum-
hukumnya.

b. Jenis-jenis Maslahat

Maslahat dalam pandangan syar'i terbagi menjadi tiga : Maslahat dharuriyah (keharusan),
maslahat haajiyat (kebutuhan) dan maslahat tahsiniyah (kebaikan/keindahan). Penjelasan
singkatnya sebagai berikut :
Pertama, Maslahat Dharuriyah. Adalah maslahat yang kehidupan manusia bergantung
kepadanya baik kehidupan duniawi maupun kehidupan beragama.
Maslahat ini harus ada dan terwujud, dan jika hilang atau rusak maka akan terganggu
keteraturan hidup mereka, serta menyebarnya kerusuhan dan kerusakan.
Maslahat Dharuriyah terbagi menjadi lima jenis, yaitu :

1. Penjagaan atas Agama (Hifdz ad-diin)

Islam memandang agama sebagai maslahat pokok manusia, maka penjagaannya adalah
sebuah keharusan. Maka di dalam Islam juga disyari’atkan berjihad ketika agama mulai
diperangi. Demikian pula Islam memandang mereka yang murtad, tidak menjaga agamanya,
adalah seorang yang halal darahnya, dan
diancam dengan keabadian di neraka.

"Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang


yang memerangimu Karena agama" .( QS. Al-Mumtahanah/60 : 9 )

2. Penjagaan atas Jiwa ( Hifdz an-nafs)

Islam memuliakan nyawa seorang manusia, menganggap bahwa menghilangkan nyawa


seseorang adalah kejahatan besar, yang sama dengan menghilangkan seluruh nyawa manusia.
Islam juga menjaga jiwa seseorang dengan
memberikan ancaman hukuman qishos bagi seorang yang menghilangkan nyawa seseorang.
Islam juga melarang seseorang tidak menghargai nyawanya sendiri. Sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran ; “...Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya...”. (QS. al-Maidah/5 : 32) dan "dan janganlah
kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS an-
Nisa/4 : 29)

3. Penjagaan atas Akal ( hifdz al-aql)

Islam memuliakan akal manusia, meminta mereka mengoptimalkan penggunaannya untuk


kemaslahatan manusia. Islam juga melarang aktifitas yang
merusak dan menghilangkan akal, seperti : minum khamr dan mabuk-mabukan. Lebih dari
itu Islam juga memberikan hukuman kepada setiap orang yang berpartisipasi dalam setiap
aktifitas produksi, distribusi dan juga konsumsi khamr.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban


untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”. (QS. Almaidah/5 : 90 )

Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda : " Terlaknat sepuluh orang dalam khamr :
yang memerasnya, yang meminta diperaskan, yang membawanya, yang dibawakan
kepadanya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang mendapat harganya, yang
membeli dan yang membelikan baginya " (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

4. Penjagaan atas kehormatan dan nasab (hifdzhul al-ird wa an-nasab)

Islam tegas memuliakan kehormatan dan garis keturunan. Maka syari’at Islam jauh-jauh telah
melarang mendekati zina.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra/ : 32)

Bagi mereka para pelaku zina diancam hukuman yang berat, karena merusak kehormatan
seseorang. Lebih khusus pezina yang sudah berkeluarga,

diancam hukuman mati (rajam) karena merusak kehormatan rumah tangga sekaligus
mencampur adukkan nasab.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera”. (QS an-Nuur/24 : 2 )

5. Penjagaan atas Harta (Hifdzhul Maal )

Islam mengakui kepemilikan individu atas harta dan menghargainya. Maka Islam melarang
memperoleh harta dari yang lainnya kecuali dengan cara dan transaksi yang sah, baik, dan
saling meridhoi. Islam juga tidak ragu untuk

menjatuhkan hukuman potong tangan bagi mereka yang mencuri dalam jumlah besar.

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS Al-Baqarah/2 : 188)

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS al-Maidah/5 : 38)
Kedua , Maslahat Haajiyah, Adalah maslahat yang manusia membutuhkannya untuk
mendapatkan kemudahan bagi mereka serta menghilangkan kesukaran
dalam kehidupan mereka. Ketika maslahat ini hilang atau tidak terwujud, tidak merusak
kehidupan mereka, akan tetapi menjadikan kehidupan mereka sangat sukar dan berat. Contoh
maslahat ini dalam masalah ibadah : disyari’atkannya rukhsokh (keringanan) untuk Sholat
Qashr dan Jamak dalam perjalanan, begitu pula kebolehan berbuka bagi yang sakit dan
musafir dalam puasa Ramadhan. Kemudian contoh dalam muamalat, yakni dibolehkannya
beragam transaksi dan akad yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.

Dalil syar'i dalam masalah ini antara lain sebagaimana disebutkan dalam Al-
Quran; “...dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan...". (QS. al-Hajj/22 : 78) dan “...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu...”. (QS. Al-Baqarah/2 : 185)

Ketiga, Maslahat Tahsiniyah, Adalah maslahat yang jika terwujud akan

menambah kehormatan dan kepantasan, yaitu yang berhubungan dengan adat- adat yang baik
dan kesempurnaan akhlak. Jika tidak terpenuhi tidak mengganggu kehidupan dan tidak
menyebabkan kesulitan, namun akan dianggap kurang pantas bagi setiap orang yang berakal.
Contoh dalam masalah ibadah yakni disyari’atkannya Thoharoh (suci) bagi badan, pakaian
dan tempat sebelum sholat, dianjurkannya memakai pakaian yang baik di masjid, serta
berbagai bentuk shalat dan puasa sunnah. Contoh dalam masalah muamalat, larangan
membeli barang yang telah ditawar saudaranya, larangan penetapan harga bagi pemerintah.
Contoh
dalam masalah jihad, larangan membunuh pendeta, wanita dan anak-anak, larangan
membunuh dengan cara sadis/mutilasi.

Dalil syar'i tentang maslahat tahsiniyah kita dapatkan sebagaimanamana maksud ayat Al-
Quran : “...Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah/5 : 6 ).
Rasulullah SAW juga bersabda dalam beberapa hadits : " Sesungguhnya Allah maha Indah
Menyukai keindahan ", " Sesungguhnya
Allah itu Maha Terpuji dan tidak menerima kecuali yang terpuji / baik ", serta hadits :
" Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak ".

3. Prinsip-prinsip hukum Islam


a. Prinsip Tauhid

Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia
ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat Laa ilaha Illa Allah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman
Allah QS. Ali Imran Ayat 64, yang artinya : “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah.
Dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasi
kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap bentuk men”Tuhan”kan
sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah
dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. Prinsip tauhid inipun
menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang
diturunkan
Allah (Al-Quran dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah,
maka orang tersebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok orang- orang yang kafir, dzalim
dan fasiq (QS. Al-Maidah/5 : 44, 45 dan 47).

Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari
prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut, Prinsip
Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara, artinya bahwa tak seorang
pun manusia dapat menjadikan dirinya
sebagai zat yang wajib disembah. Prinsip Kedua : Beban hukum (taklif) ditujukan untuk
memelihara aqidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan
pembentukan pribadi yang luhur, artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai
bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.

Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas
kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah- kaidah
hukum ibadah sebagai berikut :

a. Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’, yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib
dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah
dan Rasul-Nya.
b. Al-masyaqqah tajlibu at-taysiir, Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan
mendatangkan kemudahan

b. Prinsip Keadilan

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizaan (keseimbangan/ moderasi). Kata
keadilan dalam Al-Quran kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizaan yang berarti
keadilan di dalam Al-Quran terdapat antara lain dalam QS. Al-Syura/42 : 17 dan dalam QS.
Al-Hadid/57 : 25

“Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca
(keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu

(sudah) dekat?” (QS. Al-Syura/42 : 17)


Keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan
tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika
dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili, adalah bahwa perintah
Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari
ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemudharatan dari perbuatan maksiat manusia. Namun
ketaatan tersebut
hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa
kebaikan bagi individu dan masyarakat.

Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :

a. QS. Al-Maidah/5 : 8, yang juga hamper sama dengan maksud QS. An- Nisa/4 : 135,
Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintaan dan
kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada
kebenaran (dalam bersaksi) ;

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

b. QS. Al-An’am/6 : 152, Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal
terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan
kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang ;
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan
sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji
Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.

c. QS. An-Nisa/4: 128, Kemestian berlaku adil kepada siapapun ;

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka
tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam
praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang
menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai
kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :

‫ ضاق اتسع‬P‫االمر اذا‬


Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi luas;
apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
c. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan
tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan,
demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan
dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun
kebebasan komunal. Keberagamaan dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada
paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)

d. Prinsip Persamaan/Egalite

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-
Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas
manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti
tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

e. Prinsip At-Ta’awun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai
prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

f. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya
hak-hak Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak
merugikan agama Islam. Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada
tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan Hadits yang menghindari kesempitan dan
kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari’at
ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah
saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana,
ketetapan peradilan
dan lain sebagainya

4. Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Fungsi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, yakni : Pertama, memelihara agama

Syari’at Islam berpegang dan menjaga agama, baik dalam hal menanamkannya dalam hati,
dan memperdalamnya, atau dalam mendukung asal- usulnya dan memeliharanya untuk
kelangsungan dan mempertahankan kelanjutan agama. Oleh karena itu Islam menjaga agama
dengan cara berikut:

A. Memelihara agama dari segi wujud keberadaan


Di antara cara untuk menanamkan agama dalam hati, dalam hukum Islam

adalah cara-cara berikut :


- mengokohkan dan menetapkan iman.
- membentuk dan mendirikan iman ini atas bukti mental dan argumen ilmiah.
- mendirikan dasar –dasar ibadah dan rukun-rukun Islam.
- berdakwah ke jalan Allah, melindungi dan memberikan keamanan untuk orang
yang berdakwah.

B. Memelihara agama dari segi ketetapan dan terus menerus


Di antara cara untuk memelihara agama untuk mencegah semua hambatan

dan rintangan dari agama dan untuk mensucikanya di dalam jiwa, yakni :
- menjamin kebebasan dalam keyakinan beragama dan melindunginya.
- membangun pagar kebaikan dan keindahan dalam beragama, seperti mendirikan sholat
berjamaah dan berbagai ibadah dan sunah. Sehingga agama akan berakar, dan mendalam ke
dalam jiwa manusia dan masyarakat , membuat ketenangan dan kebaikan untuk individu dan
masyarakat.

Kedua, Memelihara jiwa

Menurut hukum Islam jiwa harus di lindungi karena itu hukum Islam wajib memelihara hak
manusia untuk hidup dan mampertahankan hidupnya karena itu Islam menetapkan fungsi
hukum untuk memelihara jiwa :

A. Memelihara agama dari segi wujud keberadaan


Islam mewajibkan menikah untuk mengembangkan keturunan.

B. Memelihara agama dari segi ketetapan dan terus menerus Di antara cara Islam dalam
menjaga jiwa antara lain :

o memerintahkan kepada manusia untuk menyediakan sarana untuk mempertahankan


kehidupan seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal.

o mewajibkan kepada negara untuk membentuk lembaga untuk menjamin penyediaan


personel keamanan publik seperti polisi dan lain-lain untuk mencapai keamanan masyarakat.

 -  Hukum Islam mewajibkan untuk menjaga martabat manusia dan mencegah


pencemaran nama baik, penghinaan, dan mencegah pengurangan aktivitas manusia
tanpa alasan yang tepat untuk melindungi kebebasan pemikiran dan tindakan,
pendapat, dan memilih tempat tinggal, membebaskan perpindahan dan semua itu
dijamin oleh hukum Islam.
 -  Hukum Islam memberi rukhsoh (izin, keringanan) bila ada kesulitan yang muncul
dan membebani seorang, seperti : membolehkan tidak puasa di bulan Ramadan karena
penyakit dan perjalanan, dan sholat qoshar dalam bepergian.
 -  Islam melarang membunuh, baik membunuh dirinya sendiri atau membunuh orang
lain tanpa alasan yang benar.
 -  Hukum Islam mewajibkan hukuman qishos dalam pembunuhan, diyat dan kafarat
dalam kesalahan membunuh.

Ketiga, melihara dan menjaga Akal

- Hukum Islam mengharamkan apa yang dapat mempengaruhi dan merusak akal dan pikiran,
seperti alkohol dan ganja.

Islam mendorong pengembangan akal secara moril dan material, seperti dengan cara
memakan makanan yang memperkuat tubuh dan pikiran yang aktif, maka hukum Islam tidak
membolehkan (makruh) seorang hakim untuk memimpin sidang kasus dalam keadaan lapar,
dan juga Islam mengutamakan dan mendahulukan makan dari shalat jika kedua waktunya
hadir bersama-sama. Dan dari segi moril Islam

menekankan untuk menuntut ilmu pengetahuan, karena ilmu merupakan dasar iman dan
penegakan hukum Islam.

Keempat, memelihara keturunan

Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan menjaga spesies manusia di muka bumi, dan
dalam rangka mencapai tujuan ini Islam mendirikan prinsip-prinsip sebagai berikut :

  Mensyari’atkan perkawinan, Islam menganggap perkawinan adalah jalan yang

fithrah dan bersih yang menyatukan pria dan wanita, yang tidak hanya termotivasi
semata-mata karena kebutuhan sexsual, akan tetapi lebih dari itu, mereka bertemu
dalam rangka untuk mencapai tujuan yang suci dan mulia, untuk menjaga spesies
manusia dan mengharap mendapat keturunan yang shaleh.

  Menjaga dan mendidik anak serta memperdalamkan ikatan kasih sayang, Islam
mewajibkan kedua orang tua untuk memelihara dan memperhatikan anak- anak
mereka, memberi nafkah dan berusaha untuk menyediakan kehidupan yang layak
pada mereka, sehingga mereka bisa mandiri dan tidak tergantung lagi kepada orang
tua.
  Memperhatikan keluarga agar terbina dengan asas yang benar, karena keluarga
sebagai unit terkecil masyarkat, sehingga apabila baik keluarga maka akan baik pula
masa depan anak dan masyarakat.
  Islam melarang dan mengharamkan perzinahan juga melarang pencemaran nama
baik untuk menjaga dan memelihara keturunan.

Kelima, memelihara harta

Islam mendorong untuk mencari rizki dan mata penghidupan, Islam juga mendorong
untuk mencari uang sebagai kekuatan kehidupan manusia dan menganggap itu - jika
ada niat dan dengan cara yang baik - suatu bentuk ibadah dan cara untuk mendekat
diri kepada Allah.

Islam mengangkat kedudukan kerja dan meninggikan martabat seorang pekerja.

Islam melarang bentuk muamalat yang tidak adil dan serangan terhadap hak orang lain
seperti Riba’.
Islam mencegah pengeluaran uang di jalur yang ilegal, dan menganjurkan untuk berinfaq
dengan cara-cara yang baik, dan semua itu di bangun sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada
dalam sistem ekonomi Islam yang menunjukkan bahwa uang dan harta adalah kepunyaan
Allah dan seseorang diamanatkan untuk menjaga harta itu.

Islam mewajibkan memelihara harta anak di bawah umur, yang tidak tahu bagaimana untuk
mengunakan uang mereka, di antaranya anak yatim dan anak yang masih kecil sampai
mereka mencapai usia baligh.
Mengatur muamalat terhadap keuangan atas dasar kepuasan dan keadilan, kemudian Islam
memutuskan bahwa akad (kontrak) harus terbangun dengan persetujuan dan keadilan dan
karena itu Islam mengharamkan perjudian.

Islam memanggil untuk pengembangan uang dan menginvestasikan dana untuk menjalankan
pembangunan sosial, karena itu Islam melarang pembekuan dan penyimpanan terhadap dana
dari harta.

5. Urutan Prioritas Dalam Maqoshid Syariah

Kaidah dalam urutan prioritas ini adalah tidak boleh menjaga maslahat dengan urutan
dibawahnya, jika dalam pelaksanaannya melanggar maslahat yang diatasnya. Berikut ini
beberapa contoh untuk memperjelas :

1. Tidak dianggap penjagaan atas maslahat tahsini, jika pelaksanaannya melanggar


maslahat haajiyah dan maslahat dharuriyah. Contoh, dibolehkannya membuka aurat
ketika darurat seperti operasi dan pengobatan, dibolehkannya memakan bangkai
dalam kondisi darurat.
2. Tidak dianggap penjagaan atas maslahat haajiyat jika pelaksanaannya melanggar
maslahat dharuriyat. Contoh, Tidak sahnya pengguguran kewajiban sholat pada saat
tidak mampu memastikan arah kiblat, tetapi

bagi mereka cukup untuk memperkirakannya saja.


3. Dalam maslahat dharuriyat, juga ada urutan prioritas sebagai berikut, penjagaan agama,
jiwa, akal, kehormatan dan kemudian harta. Contoh, Jihad
menjaga agama lebih diutamakan meskipun dalam pelaksanaannya akan mengancam jiwa
seseorang. Begitu pula dibolehkannya meminum khamr, ketika diancam jiwanya akan
dibunuh jika tidak meminumnya.

6. Karakteristik Hukum Islam

Manusia mempunyai pegangan dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini, dan terikat
dengan aturan yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya,
sehingga manusia tidak bisa seenaknya dan bersikap dengan kemauannya sendiri tanpa
adanya aturan yang mengikat. Aturan yang dijadikan pedoman itu adalah hukum Islam yang
bersumber pada al-Quran dan al- Sunah. Hukum Islam sering disebut juga sebagai Syariat
Islam, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran, “...Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (al-
Mumtahinah/60 : 10 ).

Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa ketetapan yang dibuat-Nya, dan dijadikan sebagai
hukum-hukum berupa aturan-aturan yang bersangkutan antara hubungan Allah dengan
manusia, Hubungan Manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan
makhluk Allah yang lainnya. Ketetapan itulah yang disebut dengan hukum Islam atau lebih
dikenal dengan Syariat Islam, sebagaimana yang didefinisikan oleh Prof. Hasbi dalam
bukunya “Etika Hukum Islam”.

a. Universalitas ( ‘Alamy – Ijmali )


Universalitas adalah Kemampuan sifat yang umum secara menyeluruh, dengan arti lain lain
tidak memandang keberpihakan kepada salah satunya atau sebagian. Dengan demikian,
hukum Islam harus mampu memberikan solusi dan alternatif sebagai jalan keluar untuk
keluar dari berbagai permasalahan dan problematika kehidupan manusia di dunia. Hukum
Islam juga harus mampu memberikan pandangan dengan cara penerapannya terhadap objek
yang di jadikan sasaran dan subjeknya yang menjalani aturan tersebut, dengan tidak
keberpihakan terhadap sebagian dari bagian yang lain.

Agama Islam yang mempunyai sifat universal, yang mencakup semua objek (manusia) secara
menyeluruh, tanpa memandang golongan, kasta, bangsa, warna, dan wilayah/daerah, serta
tidak dibatasi lautan ataupun suatu aturan negara. Dengan ke-universal-an agama Islam,
membuat hukum yang dilahirkannya juga bersifat Universal tanpa ada batasan untuk
menghalangi sebagian dari sebagian yang lain.

Allah SWT sebagai pembuat hukum Islam atau Syariat yang terekam dalam Al-Quran dan
diperjelasnya oleh nabi-Nya dalam al-Sunah, dijadikannya sebagai aturan-aturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Khaliknya dan dengan hubungan manusia sesamanya,
serta dengan sesama makhluk Allah yang lainnya, baik yang menyangkut kehidupan agama
atau akhirat atau yang menyangkut dengan kehidupan duniawi.

Nabi Muhammad SAW yang dipercaya dan diutus Allah SWT juga tidak terlepas dari sifat
ke-universalitas-annya dalam berdakwah terhadap ummatnya, tanpa memandang objek tujuan
dakwah tersebut dari kalangan Rasulullah sendiri ataupun diluar ummatnya. Rasul dalam
dakwahnya tidak memandang ia dari salah satu golongan, suku, bangsa, warna kulit, orang
muhajirin ataupun orang anshor, semua itu diakuinya dengan tidak memihak dan memandang
sebelah mata.

Al-qur’an dengan nash-nashnya yang dijadikan sebagai sumber untuk mengambil ketetapan
hukum mempunyai pemaknaan dan pemahaman yang sangat mendasar yang bersifat
universal (Kulli). Sehingga perlu adanya pemaknaan yang lebih terinci agar dapat menghasil
ketetapan hukum yang pasti.

b. Partikularitas ( Tafshily )

Secara kontekstual hukum Islam sangat diharapkan mampu menerobos jantung


individualisme subjek pelaku hukum. Di dalam hukum Islam ada semacam pengklasifikasian
hukum yang terkadang tidak semua orang wajib untuk melaksanakannya ataupun
meninggalkannya. Seorang wanita yang mengalami haidh tidak wajib melaksanakan sholat,
puasa, dan ibadah haji, batas usia baligh atau mukallaf untuk lelaki 15 tahun, sedangkan
untuk perempuan mulai usia 9 tahun. Hal ini menunjukan bahwa hukum Islam mempunyai
aturan-aturan tertentu

yang membatasi semua pelaku hukum dan tingkah laku semua pelaku hukum, serta
pandangan terhadap orang yang tidak terkena dengan kewajiban hukum.

Banyak dalil-dalil dari sumber hukum yang menunjukan partikularitas hukum, dalam hal ini
terbagi dua : (1) ada yang bersifat kontekstual, (2) dan ada pula yang bersifat ijtihadi. Yang
bersifat kontekstual adalah suatu hukum yang diambil dari dalilnya langsung tanpa ada
pemaknaan yang lebih luas. Dan yang bersifat ijtihadi adalah hukum yang diambil dari dalil
serta membutuhkan pemikiran dalam mengeluarkan hukum tersebut. Biasanya hukum yang
bersifat kontekstual sifatnya tunggal, dalam arti tidak mempunyai hukum yang bermacam-
macam. Berbeda dengan hukum yang bersifat ijtihadi mempunyai kebiasaan hukumnya
bercabang, tidak terpaku pada satu hukum, bisa jadi dari satu bentuk ibadah muncul dua, tiga,
atau mungkin lima hukum.

Seperti yang dikemukakan diatas, bahwa hukum Islam atau yang dikenal dengan nama
Syariat berhubungan langsung dengan segala tindak tanduk dan gerak gerik manusia di luar
akhlak yang diatur secara tersendiri. Hukum Islam tersebut diramu dan dirangkum menjadi
aturan-aturan dimasukan dengan berbagai kasifikasi yang luas yang menyangkut kewajiban,
had-had perintah dan larangan, hikmah-hikmah, dan ibarat-ibarat yang tercakup dalam
agama.

Ada terdapat beberapa macam bentuk dan jenis dari pembagian hukum Islam yang
merupakan klasifikasi dari hukum Islam itu sendiri. Di antaranya ada hukum Fiqh, Tauhid,
Mahkamat, Munakahat, Tarikh, dan yang lainnya. Mengenai bagian-bagian dari Hukum
Islam tersebut, Allah pun telah menetapkannya dan terdapat keterangan dalam al-Quran Surat
al-Isra ayat 106 :

“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan menurunkannya bagian demi bagian”.
(QS. Al-Isra/17 : 106 ).

C. Dinamis dan Elastis

Hukum Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat. Atau bisa dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap
zaman. Mungkin ada beberapa orang yang berasumsi bahwa ke”dinamis”an suatu hukum itu
tidak mungkin terjadi. Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga sebuah
hukum yang sudah pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat dinamis ini harus
dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Lalu bagaimana sifat elastis pada hukum Islam ini
dapat kita lihat? Dalam Islam, kita kenal dengan sebutan ijtihad yang mana menurut Iqbal di
sebut dengan “prinsip gerak dalam Islam”. Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk
menyesuaikan hukum yang ada pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan
keadaan sekarang yang terjadi di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan ke”elastis"an
hukum Islam

Sifat dinamis dan elastis ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh
adalah jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah, jual beli dilakukan
dengan saling tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu untuk
melakukan akad. Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah satu
orang tersebut bisa dilakukan seperti di swalayan, plaza, mall, dan sebagainya. Nah, dari
persoalan ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi sistem seperti ini agar jual beli
itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum asal/nash yang menerangkan
jual beli. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah : 275 dan 282, An-Nisa’ : 29, Al-Jum’ah : 9.
Prinsip dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara kedua
belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan sebagainya.
Fathurrahman Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual beli adalah untuk
menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut terpenuhi, meski tanpa lafal ijab dan
qabul seperti ketika masuk plaza, maka hukumnya sah.”

D. Sistematis

Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu mencerminkan
sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa di antaranya saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya. Contoh, wajibnya hukum shalat

tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa Islam tidak hanya
mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi juga
diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan. Rasulullah SAW menyebutkan : “Bekerjalah
kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah
kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan kamu akan mati besok.” (Al-Hadits)

Fathurrahman Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa berhubungan satu


dengan yang lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan apabila diterapkan hanya
sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain.” Seperti halnya hadits di atas, kita dapat
menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu beribadah untuk mencapai akhirat dengan
mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk
menuju kehidupan akhirat itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini

E. Moral

Manusia merupakan makhluk sosial di mana ia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya
bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib bagi setiap
insan. Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ta’awun, zakat, infaq, waqaf, dan sedekah
yang semua itu merupakan wujud kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai
hukum Islam. Ayat-ayat hukum yang menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling
tolong-menolong di jelaskan pada ayat berikut

‫وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على االثم والعدون‬


“...Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-
menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan...” (QS. Al-Maidah/5 : )2

Yang kedua adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu
manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk mewujudkan
pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlaq itu sudah
terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak akan mewujudkan suatu
pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga dapat berimbas pada pelanggaran aturan-aturan
hukum positif. Aspek moral dalam Islam

mengambil contohnya yang nyata dari sikap, akhlak dan peri laku Rasulullah SAW. Dalam
Al-Qur’an disebutkan;
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab/33 : 21)

B. ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

Salah satu isu penting yang menjadi kajian Islam kontemporer adalah menyangkut masalah
Islam dan hak asasi manusia (HAM). Kedua istilah tersebut sesungguhnya berasal dari alam
yang berbeda; yang satu menunjuk pada agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sedangkan yang satunya lagi adalah produk pemikiran Barat. Orang sering
memperhadapkan kedua istilah tersebut dalam hubungan antagonis antara Islam dan Barat.
Begitu pula banyak yang memandang secara optimis hubungan yang sebanding antara Islam
dan HAM.

Di dalam Islam, istilah HAM itu sendiri belum pernah dikenal sebelumnya. Peristilahan yang
disesuaikan dengan bahasa Arab adalah huquq al-insan. Nah, kita tidak akan menemukan
peristilahan semacam ini di dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu, cukup wajar jika HAM sering dianggap sebagai barang asing, sehingga selalu
muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: apakah HAM sesuai dengan Islam?
Apakah Islam dapat sejalan dengan nilai- nilai Islam? Atau dengan pertanyaan yang lebih
spesifik, apakah orang Islam dapat menjankan HAM seraya tetap mempertahankan
keislamannya?

Maksud dari sub bab ini adalah memperkenalkan konsep dasar HAM serta kaitannya dengan
nilai dan praktik Islam. Tujuannya adalah agar mahasiswa dapat memahami dan memberikan
penilaian mengenai hubungan ideal antara HAM dan Islam, sehingga mampu
memperlihatkan sikap yang terbaik menyangkut masalah ini.

1. Sejarah Ham

Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak Asasi Manusia ialah hak-
hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia. Pada umumnya, kebanyakan penulis sepakat bahwa sejarah lahirnya HAM
diilhami oleh Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Piagam ini antara lain
mencanangkan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan
hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan
mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari doktrin inilah lahir
doktrin bahwa raja tidak lagi kebal terhadap hukum karena pertanggungjawabannya di muka
hukum.

Lahirnya piagam menjadi langkah awal bagi pelaksanaan HAM, yaitu jika raja melanggar
hukum ia harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen.
Dengan kata lain, sejak itu sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan
bertanggung jawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa
itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi
sebagai cikal-bakal lahirnya monarki konstitusional yang intinya adalah kekuasaan raja
sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta selanjutnya diikuti oleh perkembangan yang lebih konkrit dengan
lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689 yang intinya adalah bahwa manusia harus
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Prinsip ini memperkuat
dorongan timbulnya supremasi negara hukum dan demokrasi.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of


Indepence di Amerika Serikat yang lahir dair paham Rousseau (kontrak sosial) dan
Montesquieu (trias politika). Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka
sejak di dalam kandungan, sehingga tidak masuk akal bila setelah lahir ia harus dibelenggu.

Kemudian, pada tahun 1789 lahir The French Declaration, di mana antara lain disebutkan
bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semena- semena, termasuk tanpa
alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di
dalamnya dinyatakan pula asa preasumption of innocence (praduga tak bersalah), yaitu
bahwa orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak
bersalah sampai ada

keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap menyatakan ia bersalah. Dalam
Deklarasi ini juga dipertegas dengan asas freedom of expression (kebebasan mengeluarkan
pendapat), freedom of religion (kebebasan menganut keyakinan/agama yang dikehendaki),
the right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya.

Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir kawasan dunia, di mana hak-
hak asasi manusia diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia
itu di dalam suatu naskah internasional. Usaha ini baru dimulai pada tahun 1948 dengan
diterimanya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HAM/DUHAM)
oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini
merupakan reaksi dari kekejaman yang ditimbulkan oleh kaum sosialis Jerman (Nazi) selama
1933 sampai 1945.

2. Ham Dalam Islam

Apakah HAM dapat sejalan dengan ajaran Islam? Terhadap pertanyaan ini, kita terlebih
dahulu harus melakukan analisis mengenai pandangan Islam tentang manusia sebagai pemilik
hak. Menurut Qomaruddin Hidayat, sebuah analisis mengenai hak-hak asasi manusia dalam
Islam akan sulit dilakukan sebelum kita mempunyai gambaran terlebih dahulu bagaimana
Islam melihat dan mendefenisikan siapa manusia dan di mana martabatnya di tengah jagad
raya ini. Tentang hal ini, secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah puncak
ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, manusia dengan segala kelebihan dan kemuliaan yang
diberikan oleh Tuhan berhak mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Menurut ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an tersebut, perbedaan antara satu individu
dengan individu yang lain terjadi bukan karena haknya sebagai manusia, melainkan
didasarkan keimanan dan ketakwaannya. Walau demikian, adanya perbedaan ini tentu tidak
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kedudukan sosial. Hal ini merupakan dasar yang
sangat kuat dan tidak dipungkiri telah memberikan kontribusi pada perkembangan prinsip-
prinsip hak asasi manusia di dalam masyarakat internasional.
Dengan demikian, baik secara historis maupun doktrin agama, sebenarnya Islam sudah jauh
mendahului konsep HAM. Secara historis, konsep hak asasi manusia yang bersumber dari al-
Qur’an jelas sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Demikian pula, praktik dan pengakuan
akan perlindungan hak asasi manusia sudah dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW, baik
dalam hubungan sosial maupun politik dalam bentuk perjanjian-perjanjian. Yang paling
terkenal adalah Piagam Madinah (Mitzaq al-Madinah). Piagam Madinah yang dideklarasikan
oleh Rasulullah SAW pada tahun 622 M, merupakan buah kesepakatan masyarakat Madinah
untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga masyarakat tanpa melihat latar
belakang, suku dan agama.

Ada dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam Piagam Madinah,
yaitu:

1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku.
2. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non-Muslim didasarkan pada

prinsip-prinsip:

1. Berinteraksi secara baik dengan sesama tentangga.


2. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
3. Membela mereka yang teraniaya.
4. Saling menasihati.
5. Menghormati kebebasan beragama.

Menurut ahli sejarah, piagam ini merupakan naskah otentik yang tidak

diragukan lagi keasliannya. Secara sosiologis, piagam tersebut merupakan antisipasi dan
jawaban terhadap realitas sosial masyarakatnya. Secara umum sebagaimana terbaca dalam
naskah tersebut, Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah. Meskipun
mereka heterogen, kedudukan mereka adalah sama, di mana masing-masing memiliki
kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan melaksanakan aktivitas dalam
bidang sosial dan ekonomi.

Setiap individu memiliki kewajiban yang sama membela Madinah, tempat tinggal mereka.
Dengan demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Nabi Muhammad SAW untuk
memimpin bukan saja kaum Muslimin (Muhajirin dan Anshar), tetapi juga bagi seluruh
penduduk Madinah. Secara substansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian
politik dan mengembangkan toleransi sosio- religius dan budaya seluas-luasnya.

Sejalan dengan perkembangan HAM yang telah disebutkan di atas, umat Islam yang berada
di negara-negara Islam merasakan adanya tantangan baru dalam kehidupan beragama
mereka. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada tuntutan diterapkannya HAM. Di sisi lain,
mereka juga memandang bahwa HAM Barat seringkali tidak cocok dengan ajaran Islam yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam
Organization of the Islamic Conference (Organisasi Konferensi Islam/OKI) pada tanggal 5
Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi kemanusiaan yang disesuaikan dengan syariat Islam,
di Kairo. Konsep hak-hak asasi manusia ini dikenal dengan sebutan Deklarasi Kairo, yang
merupakan deklarasi HAM menurut Islam. Namun, bila diperhatikan deklarasi yang
dikeluarkan di Kairo ini memiliki banyak kesamaan dengan The Universal Declaration of
Human Rights yang dideklarasikan oleh PBB.
Oleh karena itu, sejauh menyangkut nilai-nilai universal HAM, akan kita temukan sejumlah
kesamaan prinsip dengan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
Nabi, antara lain:

a. Hak Hidup

Dalam pandangan Islam, hidup adalah pemberian Allah kepada manusia, karena itulah ia
merupakan hak manusia. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Janganlah engkau
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang hak. Barang siapa yang
dibunuh dengan aniaya maka kami berikan kepada walinya kekuasaan, karena itu janganlah
dia berlebihan dalam membunuh” (QS. al- Isra’/17: 33). Demikian pula firman-Nya
“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat, Kamilah yang memberi
mereka dan kamu rezeki”. (QS. al- Isra’/17 : 31).

Penghargaan terhadap martabat manusia sangatlah tinggi di dalam Islam, karena manusia
adalah puncak kesempurnaan dari ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah segala hal yang dapat
menjatuhkan kemanusiaan adalah terlarang di dalam Islam. Prinsip-prinsip ini ditemukan
dalam Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disingkat UDoHR), antara lain
dalam pasal 1 dan pasal 3.

b. Hak menikmati hidup

Allah memberikan kehidupan kepada manusia agar ia menjalaninya dan menikmatinya. Allah
telah menundukkan apa yang ada di sekitar manusia untuk

dipergunakannya dan memudahkan jalan baginya untuk memenuhi berbagai keinginan dan
kebutuhannya. Di dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa hak menikmati hidup itu haruslah
pada hal-hal yang baik (at-thayyibat). Sebagaimana firman Allah SWT : “Mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang halal bagi mereka, katakanlah dihalalkan bagimu hal-hal yang
baik” (QS. al-Maidah/5 : 4), “Dan Dia menjadikan bagimu anak-anak dan cucu-cucu dan
memberimu rezeki yang baik-baik” (QS. an-Nahl/16 : 72). Demikian pula, “Beramallah kamu
untuk akhiratmu seolah-olah engkau mati esok hari, dan berbuatlah untuk duniamu seakan-
akan kamu hidup selamanya” (al-Hadits). Jadi menikmati hidup secara baik- baik dan wajar
merupakan salah satu dari HAM. Dalam UDHR prinsip ini terlihat pada pasal 17.

c. Hak kebebasan beragama

Al-Quran mengakui kebebasan beragama dan menganggapnya sebagai hak asasi manusia.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sebaik mungkin serta
membekalinya dengan akal dan kemampuan untuk mengetahui dan sekaligus membedakan
mana yang baik dan mana pula yang jahat. Tentang kebebasan beragama, Allah berfirman:
“Tidak ada paksaan dalam agama, sebab telah jelas kebenaran dari kesesatan...”(QS. al-
Baqarah/2 : 256), “Seandainya Allah mengehendaki niscaya beriman semua yang ada di
muka bumi. Apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?” (QS.
Yunus/10 : 99). Dalam UDHR prinsip ini terlihat pada pasal 18.

d. Hak atas pendidikan

Pentingnya ilmu pengetahuan yang telah digariskan al-Qur’an sejak pertama kali diwahyukan
dapat dikatakan sebagai bentuk pengakuan akan hak untuk mendapatkan pendidikan. Allah
berfirman: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia
dengan pena. Dia ajari manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq/96 : 1-5).

Dengan melihat sejumlah ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan serta praktik-praktik
pengajaran agama dalam sejarah Islam, maka dengan jelas bahwa Islam telah memberikan
satu kebebasan bagi penganutnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini disebabkan karena
ajaran Islam yang meyakini

bahwa pendidikan dalam rangka mendapatkan pengetahuan merupakan fondasi utama dalam
melaksanakan agama. Dalam UDHR prinsip ini terlihat pada pasal 26.

e. Hak untuk berbeda.

Al-Quran menetapkan perbedaan sebagai bagian dari sifat alamiah manusia. Bahkan
dikatakan bahwa segala perbedaan yang ada merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah
SWT. Allah berfirman: “Sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia
ciptakan bagi kamu istri-istri kamu...dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya adalah
bahwa Dia ciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasa, dan warna kulit kamu. Sesungguh
pada yang demikian itu adalah tanda-tanda bagi semesta alam” (QS. ar-Ruum/30 : 21-22).
Dalam UDHR prinsip ini implisit pada pasal 2 dan pasal 19.

f. Hak akan persamaan

Al-Qur’an menetapkan persamaan di antara manusia dalam sebuah ayat yang masyhur, jelas,
dan tegas, yaitu firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu terdiri dari
laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah
yang paling takwa” (QS. al- Hujurat/49 : 13).

Persamaan manusia ini berimplikasi pada persamaan derajat tanpa memandang suku, ras,
agama, dan jenis kelamin, seperti di depan hukum, Dalam UDHR prinsip ini terlihat pada
pasal 6 dan pasal 7.

Beberapa pasal di atas, jelas memperlihatkan keserasian HAM dan prinsip- prinsip dasar
Islam. Meskipun demikian, terdapat perbedaan di antara keduanya. Perbedaan tersebut
terletak dari sudut pandangnya masing-masing. HAM menurut pemikiran Barat semata-mata
bersifat antroposentris, segala sesuatu berpusat kepada manusia. Maksudnya, HAM Barat
menempatkan manusia sebagai tolok ukur segala sesuatu, biasanya tolok ukur kebenaran dan
moral.

Sementara itu, HAM dalam prinsip Islam bersifat teosentris, Tuhan adalah tolok ukur segala
sesuatu, dan karenanya HAM Islam mendahulukan kewajiban dibanding hak. Maksudnya,
bagi orang Islam manusia terlebih dahulu harus bersandar kepada ajaran pokok Islam dengan
meyakini sepenuhnya bahwa tiada

tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia
melakukan perbuatan-perbuatan baik, menurut isi keyakinan itu.
Oleh karena itu, HAM Barat lebih terfokus pada hak, sedangkan HAM di dalam Islam lebih
mendahulukan kewajiban. HAM Barat mengedepankan hak Bagi Islam, pelaksanaan HAM
didasarkan pada prinsip kewajiban memenuhi hak Tuhan. Dengan kata lain, HAM dalam
Islam terletak pada kepatuhan menjalankan hukum Tuhan. Jadi, bila HAM bertentangan
dengan kewajiban yang berasal dari Tuhan, maka HAM itu harus ditolak. Ambillah contoh
tentang kebebasan beragama. Dalam kasus Islam, tidak seorangpun boleh dipaksa dalam
beragama, bukan karena itu adalah haknya untuk tidak dipaksa, melainkan karna perbuatan
itu dilarang oleh Tuhan.

Sementara itu HAM Barat, karena bersifat antroposentris, maka ia lebih mendahulukan hak.
Dengan kata lain, kewajiban untuk memenuhi hak orang lain adalah karena memang orang
tersebut berhak mendapatkannya. Namun, meski berbeda sudut pandang, terdapat banyak
sekali kesamaan antara HAM Islam dan HAM Barat seperti yang telah diperlihatkan di atas.

C. ISLAM DAN DEMOKRASI

Demokrasi merupakan term mutakhir dalam ilmu perpolitikan, sekaligus juga merupakan
term yang menjadi awal pembicaraan, awal cita-cita, kemudian menjdai pola pikir, berbagai
pendapat, seterusnya menjadi komitmen dan usaha bersama dan terakhir menjadi tujuan
seluruh umat manusia. Term demokrasi merupakan istilah kontemporer, yang bila ingin
dikembalikan kepada nilai-nilai, ajaran serta pemikiran Islam dikenal juga dengan istilah
syura. Sejak masa klasik, hingga saat ini, istilah syura dalam Islam sering diidentikkan
dengan demokrasi.

Demokrasi (Inggris : democracy) dalam arti harfiahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni
demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan. Jadi demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat dan untuk rakyat, atau pemerintahan oleh mereka yang diperintah. Pola ini tidak
hanya dipakai dalam Negara saja, tetapi juga dalam perkumpulan dan organisasi biasa. Bila
pemerintahan itu kecil seperti desa, rakyat atau para anggota dapat langsung mengurus
kepentingannya, dan bila

pemerintahan itu besar atau luas, maka harus melalui perwakilan. Kebalikan demokrasi
adalah aristokrasi, artinya pemerintahan kaum bangsawan, teokrasi, pemerintahan kaum
raja,sultan dan oligarki, pemerintahan segolongan kecil.

Demokrasi mengandung makna suatu system politik di mana rakyat memegang kekuasaan
tertinggi, bukan raja atau kaum bangsawan. Karena itu, dalam wacana politik modern,
demokrasi didefenisikan, seperti yang dirumuskan oleh negarawan Amerika, Abraham
Lincoln pada tahun 1863 yang mengatakan : “government of the people, by people, for the
people shall not perish from the earth” (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
yang tidak akan sirna dari muka bumi ini). Demokrasi juga sering dikatakan sebagai “rule by
the people”, yakni system pemerintahan atau kekuasaan oleh rakyat, baik yang bersifat
langsung (direct democracy) maupun demokrasi dengan system perwakilan (representative
democracy).

Joseph A. Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Sosialism and Democracy menjelaskan


bahwa metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Hal ini senada dengan pendapat Sidney Hook dalam
Encyclopaedia Americana yang mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di
mana keputusan- keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan
ini secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Sebagai sebuah ide politik, demokrasi memiliki kriteria-kriteria yang melekat, antara lain
menurut Henry B. Mayo bahwa nilai-nilai yang harus dipenuhi untuk mendefinisikan
demokrasi adalah (1) menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela, (2) menjamin
terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang selalu berubah, (3) penggantian
penguasa secara teratur, (4) penggunaan paksaan sesedikit mungkin, (5)pengakuan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai keaneka ragaman, (6) menegakkan keadilan, (7)
memajukan ilmu pengetahuan, dan (8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan dan
pluralisme.

Dalam perjalanan sosial historis Islam, benih-benih demokrasi telah ditanam sejak masa awal
Rasulullah SAW dan “negara Islam” Madinah sebagai tonggak sejarah atau contoh utama
yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW dalam mengayomi kemajemukan dan pluralitas
rakyat Madinah. Misi kenabian Muhammad SAW, yang membawa rahmat bagi sekalian alam
(rahmatan li al- ‘Alamin) menjadi dasar bagi “hukum sejarah” tumbuhnya kehidupan umat
yang penuh dengan semangat kebersamaan dan demokrasi. Keberhasilan Rasulullah SAW
dalam membangun masyarakat “madani” Madinah, mempersaudarakan antara kaum
Muhajirin (pendatang) dan Anshar (Asli-putra daerah), antara berbagai kabilah (suku-etnis)
dan merukunkan antara berbagai pemeluk agama yang ada (di Madinah) merupakan “titik
sukses” Islam di Madinah.

Langkah strategis Nabi, yang telah meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi masyarakat majemuk tersebut, menurut Tolchah Hasan, paling tidak dapat
diintisarikan ke dalam lima prinsip pokok, yakni :

1. Saling membantu dalam pengamanan wilayah Madinah.


2. Membela sesama warga negara (yang teraniaya).
3. Menghormati kebebasan beragama dan beribadah.
4. Menjaga hubungan sesama warga negara yang baik.
5. Mengadakan musyawarah apabila terjadi sesuatu di antara mereka.

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam,

banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Demokrasi Islam digambarkan sebagai sistem yang mengukuhkan konsep- konsep Islami
yang sudah lama mengakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’) dan penilaian
interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat,
istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak
konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun lepas dari konteks dan pemakaian lainnya,
istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan
masyarakat Muslim.

Perlunya musyawarah merupakan konsekwensi politik kekhalifahan manusia. Masalah


musyawarah ini dengan jelas disebutkan dalam Al-Quran (QS. 42 : 28/3 : 159), yang
memberikan petunjuk atau perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk
menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan
demikian tidak ada kesewenang-wenangan seorang pemimpin terhadap rakyat yang
dipimpinnya. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin
terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap
Muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan adalah khalifah
Allah di muka bumi. Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka
pada pemimpin, dan pendapat mereka harus diperhatikan serta titah mereka harus diikuti
selama tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam menangani masalah
negara.

Di samping musyawarah, masalah penting dalam demokrasi dalam Islam adalah Ijma’
(konsensus). Ijma’ diterima sebagai konsep pengesahan resmi dalam hukum Islam. Ijma’
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan
sumbangan yang besar pada korpus hukum dan tafsir hukum. Namun hampir sepanjang
sejarah Islam cenderung dibatasi pada ijma’ para cendekiawan (ijma’ al-ulama’), sedangkan
ijma’ rakyat kebanyakan mempunyai makna yang tidak begitu penting dalam kehidupan umat
Islam.

Dalam pemikiran Muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep ijma’
akhirnya mendapat saluran yang lebih besa untuk mengembangkan hukum Islam dan
menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah. Dalam pengertian yang lebih luas,
syura dan ijma’ sering dipandang sebagai landasan demokrasi menurut Islam. Konsep ijma’
memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas, karena tidak ada
rumusan yang pasti mengenai struktur negara dalam Al-Quran, legitimasi negara bergantung
pada sejauh mana organisasi dan pemimpin negara mencerminkan kehendak umat. Sebab,
seperti yang ditekankan oleh ulama dan cendekiawan klasik, legitimasi pranata-pranata
negara tidak berasal dari sumber-sumber tekstual, tetapi terutama didasarkan pada prinsip

ijma’. Atas dasar inilah ijma’ dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu
demokrasi Islam.

Selain syura dan ijma’ konsep penting lain dalam proses demokrasi Islam adalah ijtihad. Bagi
para pemikir Muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan
di suatu tempat dan waktu, Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberikan
manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai
dengan semangat dan keadaan zamannya. Di dalam Islam kekuasaan itu berasal kerangka Al-
Quran. Prinsip-prinsip Islam tersebut bersifat dinamis, oleh karena itu sudah selayaknya
dilakukan pemikiran untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan
kreativitas.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara ijma’
demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunya The Reconstuction of religious Thought in Islam,
ia menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap
majelis-majelis legislatif di negara-negara Muslim merupakan langkah awal yang besar.
Pengalihan wewenang ijtihad dari individu- individu berbagai mazhab dan golongan kepada
majelis legislatif Muslim, yang dalam kondisi kemajemukan mazhab merupakan satu-satunya
bentuk ijma’ yang dapat diterima di zaman modern, akan menjamin kontribusi dalam
pembahasan hukum dari kalangan rakyat. Bahkan Iqbal menambahkan bahwa bentuk
pemerintahan republik yang demokratis tidak hanya sesuai dengan semangat Islam, tetapi
merupakan satu keharusan dan kewajiban untuk diperjuangkan dan di terapkan menuju
kebeasan dunia Islam.
Musyawarah, ijma’ dan ijtihad merupakan konsep atau pilar yang sangat penting bagi
artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini masih banyak diperdebatkan, tetapi terlepas
dari perdebatan maknanya di kalangan cendekiawan Muslim, istilah-istilah ini memberikan
landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia
kontemporer.

Di Indonesia, respon intelektual Muslim terhadap konsep demokrasi telah terjadi sejak awal
kebangkitan nasional. Para pemimpin dan intelektual Muslim Indonesia telah membuka pintu
bagi demokrasi sebagai sistem yang harus dijalankan dalam nkehidupan sosial politik.
Syarikat Islam (SI) dalam kongres keduanya (1917) telah menuntut pemerintah kolonial
Belanda untuk menerapkan sistem demokratis. Selanjutnya dalam sidang-sidang BPUPKI
yang mendiskusikan tentang dasar dan konstitusi negara, para tokoh-tokoh Muslim
mendukung npelaksanaan diskusi-diskusi ini secara demokratis.

Muhammad Natsir, ketua Masyumi (1952-1958) mendukung tegaknya demokrasi, walaupun


dia mempunyai penafsiran berbeda tentang demokrasi. Menurutnya Islam adalah sistem
demokratis, dalam pengertian bahwa Islam menolak Istibdad (despotisme), absolutisme dan
otoritarianisme. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua hal dalam pemerintahan Islam
diputuskan melalui majelis syura (Dewan Permusyawaratan Legislatif). Keputusan-keputusan
demokratis hanya diimplementasikan pada masalah-masalah yang tidak disebutkan secara
spesifik dalam syari’ah, sehingga tidak ada keputusan demokratis, misalnya pada larangan
berjudi dan zina. Dan tidak boleh pula keputusan demokratis yang melanggar perintah dan
ajaran Tuhan. Menurut Natsir, Islam adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi. Oleh
sebab itu, meskipun ia dikenal sebagai demokrat sejati dan pendukung demokrasi, namun ia
tetap mengakui adanya kedaulatan Tuhan, bukan demokrasi liberal yang bebas.

Pendapat yang senada juga dilontaskan Ismail Sunny yang mangakui adanya kedaulatan
Tuhan, di samping demokrasi. Menurutnya, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan,
sementara otoritas rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas
kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat sebagaimana juga dipahami di Indonesia,
pada dasarnya penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat sebagai hamba-Nya, di mana
implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik diimplementasikan
oleh rakyat melalui wakil mereka.

Sementara itu, Jalaluddin rahmat memandang demokrsi sebagai istilah yang mempunyai
pengertian berbeda-beda. Dia mendukung demokrasi sebagai konsep bagi sistem politik yang
didasarkan pada dua prinsip ; partisipasi politik dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini
menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan- keputusan publik dan melindungi hak-
hak asasi manusia, yakni kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan
di muka hukum. Konsep ini tidak hanya sesuai dengan Islam, tetapi juga merupakan
perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.

Selanjutnya menurut Munawir Syazali, tidak dapat dipungkiri bahwa pada hakikatnya
kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan, tetapi konsep kedaulatan rakyat tidak pernah
diartikan untuk menolak kedaulatan Tuhan. Secara historis, kedaulatan rakyat diperkenalkan
untuk menentang kedaulatan monarchi, yang mempunyai kekuasaan absolut, sebagaimana
didukung juga oleh Ahmad Syafi’i ma’arif.
Ada beberapa argumen untuk menerima konsep demokrasi melalui rujukan Al-Quran serta
pengalaman Nabi dan al-Khulafa al-Rasyidin. Amin Rais, misalnya, menafsirkan Syura
sebagai penolakan tehadap elitisme. Menurut Amin Rais, mungkin benar bahwa syura dapat
disebut demokrasi, tetapi demokrasi tidak persis sama dalam konteks sistem politik Islam,
karena saat ini demokrasi menjadi konsep yang disalah pahami, dalam arti bisa saja beberapa
negara yang anti demokrasi menyebut sistem mereka demokratis.

Tentu saja pendapat beberapa intelektual Muslim di atas menjadi gambaran pemikiran
mengenai bagaimana Islam berusaha memahami, mengadaptasi dan berupaya menerapkan
nilai-nilai kepemimpinan dan demokrasi yang sesuai dengan maksud yang termaktub dalam
Islam, terutama Al-Quran dan Sunnah Nabi, atau paling tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, apalagi melanggar prinsip-prinsip dasar yang ada dalam Islam.

Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi merupakan tiga konsep yang tidak dapat
dipisahkan. Hal ini disebabkan karena salah satu syarat utama

terwujudnya demokrasi adalah adanya penegakan dan supremasi hukum dan perlindungan
serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tidak ada demokrasi tanpa HAM dan pada
umumnya HAM tidak dapat eksis tanpa adanya demokrasi. Demokrasi akan selalu rapuh
apabila HAM setiap rakyat tidak terpenuhi. Sedangkan pemenuhan dan perlindungan HAM
akan terwujud apabila hukum ditegakkan. Dalam ajaran Islam, hukum,HAM dan demokrasi
dengan jelas disebutkan dalam Al- Quran dan al-Sunnah. Dengan demikian manusia sebagai
khalifah Allah di bumi akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, apabila ia
selalu berpegang teguh pada aturan-aturan yang ada di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hauken. S.J, dkk, (1991), Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta,
Edisi 7, Yayasan Cipta Loka Caraka

Abu Zahrah, (1994), Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus


Ahmad Syafi’i Maarif, (1987), Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang

percaturan dalam konstituante, Jakarta, LP3ES


Anthony Giddens, (1994), Beyond Left and Right : The Future of Radical Politics,

Cambridge, Polity Press


AG. Pringgodigdo, Prof, Mr, dkk (Ed), (1993), Ensiklopedi Umum, Cet X, Yogyakarta,

Penerbit Kanisius
Al-A’jam, Rafiq, (1983), Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha, Beirut, Dar al-Ilmi Al-
Jabiri, Muhammad Abid, (2003), Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas,

penerjemah: Mujiburrahman, Yogyakarta, LKiS.


Al-Jawaziyah, Ibnu Qayyim, (tt), I’lam al-Muwaqi’in, Beirut, Dal al-Jil
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, (tt), Tafsir al-Maraghi, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr Al-Nadawi,
Ali Ahmad, (1986), Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Damaskus, Dar al-Qalam Al-Qarrafi,
Syaihabuddin Ahmad ibd Idris, (tt), al-Furuq fi Anwa’il Buruq, Beirut,
‘Alam al-Kutb
Al-Yamani, Abu Bakar al-Ahdal, (tt), al-Fara’id al-Bahiyyah, Semarang, al-Munawar Al-
Zarqa’, Ahmad bin Muhammad, (1988) Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Beirut, al-

Qalam.
Anonim, (tt), Ensiklopedi hukum Islam, Kairo, Kementerian Wakaf Mesir
Baharuddin Lopa, (1999), Al-Quran dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PT. Dana

Bakti Prima Yasa


Bisri, M. Adib, (1977), Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus, Menara Kudus

Ditpertais, Depag RI, (2004), Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum, Jakarta

Fatah, Syekh Abdul, (1990), Tarikh al-Tasyri al-Islam, Kairo, Dar al-Ittihad al’Arabi Harun
Nasution dan Bachtiar Effendi (Ed), (1987), Hak Asasi manusia dalam Islam,

Jakarta, Pustaka Firdaus-yayasan Obor


Haidar, Ali, (tt), Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam, Beirut, Maktabah al-

Nahdhah.
Henry B. Mayo, (1982), Nilai-nilai Demokrasi, dalam Miriam Budiharjo (Ed), Masalah

Kenegaraan, Jakarta, Gramedia


Husaini, S. Waqar Ahmad, (1983), Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj),

Bandung, Pustaka
Ibnu Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim, (1985), al-Asybah wa al-Naqza’ir,

Beirut, tp
Ismail Sunny, (1987), Mekanisme Demokrasi pancasila, Jakarta, Aksara Baru
Jalaluddin Rahmat, (1992), Islam dan Demokrasi, Jakarta, Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat


Joseph A. Schumpeter, (1943), Capitalism, Sosialism and Democracy, London, George

Allen and Urwin Ltd


Juhaya S. Praja, (1995), Filsafat Hukum Islam, Bandung, LPPM Unisba
Khamami Zada dan Idy Muzayyad (Ed), (1999), wacana Politik Hukum dan

Demokrasi Indonesia, Jakarta, Pustaka Pelajar


Mayer, Ann Elizabeth, (1999), Islam and Human Rights, Tradition and Politics, United

States of America, Westview.


Madjid, Nurcholish, (1995), “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya

dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam

dalam Sejarah”. Jakarta, Paramadina


M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, (1993), Falsafah Hukum Islam, Cet-V, Jakarta, Bulan
Bintang
__________________________, (1958), Pengantar Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang
1958 : 209 M. Amin Rais, (1992), Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, Bandung, Mizan
Muhammad Iqbal, (1968), The Recontruction of religious Thought in Islam, Lahore, Dar

al- Islami

Muhammad Natsir, (1973), Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang

Muhammad Tolchah Hasan, (1999), Hak-Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama
(Tinjauan Kultural Teologi Islam) dalam HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, PKSK

Muhsin, Abdullah bin Abdul, (1980). Ushul al-Madzahib al-Imam Ahmad, ttp, tp Nickel,
James W., (1996), Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, penerjemah: Titis Eddy Arini, Jakarta, Gramedia Pustaka

Utama.
Ridla, Muhammad Rasyid, (tt), Tafsir al-Manar, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr.
Saleh bin Ghanim Alsdlan, (tt), Risalah fil fikh almuyassar, Arab Saudi, Departemen

Islam Negeri, Wakaf,da’wah dan Penyuluhan


Syarifuddin, Amir, (1990), Ushul Fiqh, Jakarta, Logos
Sidney hook, “Democracy” dalam The Encyclopaedia Americana, Edisi

Internasional, New York, Americana Coorporation, VIII, 1975


Suryadi, (1980), Kamus Baru Bahasa Indonesia, Surabaya, Usaha Nasional
Tim Penyusun Puslit IAIN Syahid, (2000), Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi,

HAM & Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press.


Wahbah Az-Zuhaili, (1997), Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Jakarta, Gaya

Media Pratama
___________________, (tt), Al-Dharurah Al-Syar’iyyah, Damaskus Muassasah al-Risalah
_________________, (tt), Al-fikh al- Islami wa’adillatihi, Damaskus, Dar El-Fikr William
Ebstein, (1988), “Democracy” dalam William D. Hasley and Bernard Johnston

(Eds), Collier’s Encyclopaedia, New York, Macmillan Educational

Company
Yamanni, Ahmad Zaki, (1388 H), Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah, The Saudi
Publishing House.
Yusuf Qardhawi, (1993), Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Kairo,
Maktabah Wahbah

Anda mungkin juga menyukai