Anda di halaman 1dari 4

LEMBAR TUGAS MANDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Jalan Jenderal Sudirman Km. 3 Cilegon Banten
Oleh : Syifa Nurfadillah (8881200009)

NAMA : SYIFA NURFADILLAH

NPM : 8881200009

PATOGENESIS DERMATITIS KONTAK ALERGEN

Pendahuluan
Dermatitis kontak adalah penyakit kulit inflamasi yang disebabkan oleh bahan kimia
atau ion logam yang mengerahkan iritan (beracun) efek, atau dengan bahan kimia
reaktif kecil (kontak allergen) serta protein yang memodifikasi dan menginduksi
respon imun. Sehingga dermatitis kontak dapat bermanifestasi sebagai CD iritan dan
CD alergi, yang dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Banyak zat yang dapat
jadi penyebab dermatitis kontak yaitu mengalami efek iritasi atau toksik. Zat tersebut
adalah agen kimia fisik, tanaman, agen fototoksik, iritasi, udara, dan lainnya.
Dermatitis kontak iritan adalah suatu keadaan ketika kulit merespon secara
nonspesifik terhadap kerusakan kulit kimiawi langsung atau dengan pelepasan
mediator inflamasi. Sedangkan dermatitis kontak alergi adalah respon kulit yang
mencakup respons imun (interaksi sel T dan sitokin), yaitu reaksi hipersensitivitas
tipe IV (tertunda) terhadap allergen. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan kedua jenis
dermatitis tersebut adalah tidak adanya reaksi imun dalam dermatitis kontak iritan,
sehingga diperlukan paparan sebelumnya terhadap zat apapun (sebsitisasi).
Pembahasan
Dermatitis kontak alergi adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh antigen sehingga
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Limfosit yang sebelumnya tersensitisasi memediasi, sehingga menyebabkan
peradangan dan edema pada kulit. Reaksi pada DKA dapat terjadi penyebaran
menyeluruh yaitu cenderung melibatan kulit disekitarnya ketika terjadi reaksi dan
dapat menyebar diluar area yang terkena. Data inggris dan Amerika menyebutkan
bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan dermatitis kontak iritan yaitu sekitar 50%-60%. Jika dibandingkan dengan
sebelumnya hanya sekitar 20% untuk Dermatitis kontak alergi dan 80% untuk
Dermatitis kontak iritan. Selain itu dermatitis kontak alergi juga banyak terjadi pada
perempuan sekitar 18,8%, sedangkan pada laki-laki hanya 11,5%.

Untuk pathogenesis dari dermatitis kontak memang tidak sepenuhnya dipahami,


bagaimanapun gangguan tersebut muncul akibat dari interaksi kompleks antara cacat
pada fungsi sawar kulit, disregulasi kekebalan tubuh, dan agen lingkungan yang
menular. Perkembangan dermatitis kontak alergi hanya setelah fase sensitisasi awal
dengan zat yang biasanya tidak berbahaya dan tidak dikenali oleh sistem imun
adaptif, seperti molekul kecil. Individu yang telah mengembangkan sel T kimia-
spesifik sering mengalami dermatitis kontak alergi. Sel T efektor adalah sel yang
memilki sifat pro-inflamasi. Tetapi, ketika protein kulit mengikat molekul tersebut
maka akan dapat berasosiasi dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas
II antigen (MHC II). MHC II yang ada pada sel Langerhans dan sel penyaji antigen
epidermal lainnya dan sebagian besar berasal dari dendritik akan mengikat beberapa
bahan kimia secara langsung.

Ketika terpapar sampai allergen dapat mereaksi sel-sel tersebut membutuhkan waktu
sekitar 6 jam. Sitokin inflamasi seperti faktor nekrosis tumor alfa, interleukin (IL) 1-b
dan irirtasi kulit serta diregulasinya molekul MHC dapat menjadi sinyal tambahan
yang mendukung sensitisasi. Hal itu berarti terdapat hubungan erat antara alergi dan
iritasi pada penyakit dermatitis kontak alergi. Sel T spesifik diaktivasi di kelenjar
getah bening, diikuti dengan sel penyaji antigen yang bermigrasi dan bergantung pada
sifatnya. Antigen tersebut adalah antigen pada MHC II (hapten polar) atau MHC I
(molekul urushiol larut lipid). Untuk menginduksi dermatitis alergi diperlukan
konsentrasi hapten, sedangkan pada pasien yang peka lebih rendah diperlukan untuk
menginduksi dermatitis kontak iritan pada individu non alergi.

Kemudian sel T prima klon mulai menyebar ke seluruh kulit dan sel T limfosit
antigen akan tinggal di kulit dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya sel T
diaktifkan yang menghasilkan sitokin seperti interferon gamma, IL-2 dan IL-17.
CCL27 yang diturunkan dari keratinosit akibat ekspresi FasL dan perforin akan
menarik mereka ke lokus inflamasi dan mengarah pada gejala klinis fenotip
dermatitis kontak alergi. Karena sel T diaktifkan sebelumnya, maka secara bersama-
sama reaksi hipersensitivitas akan tertunda pada kontak kedua yang menyebabkan
peradangan cepat. Setelah kontak dengan hapten, dermatitis kontak alergi terjadi pada
24 hingga 96 jam pada pasien yang peka.

Sebagai pengecualian pada kontak tunggal dengan allergen yang berkepanjangan


dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi tetapi diperlukan beberapa hari untuk
berkembang. Meskipun gambaran klinis serupa, tetapi fase sensitisasi terjadi pada
dermatitis kontak alergi, sedangkan pada dermatitis kontak iritan peradangannya
disebabkan oleh iritan walapun sedikit kontras dengan dermatitis kontak alergi
tergantung pada dosisnya.

Penutup/Kesimpulan
Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan salah satu penyakit kulit yang cukup
sering terjadi akibat bekerja. Tetapi hal itu tidak berkaitan dengan atopi dan
merupakan reaksi imunologi tipe IV dimana sel limfosit yang sebelumnya
tersensitisisasi memediasi serta cenderung melibatkan kulit sekitarnnya dan dapat
menyebar pada area sekitarnya. DKA disebabkan karena pemaparan dan sensitisasi
dari sel inang yang secara genetic rentan terhadap lingkungan allergen dan diikuti
dengan paparan ulang yang memicu reaksi imflamasi kompleks. Gejala klinis yang
timbul seperti eritema, edema, dan papulovesikulasi.

Referensi

1. Novak-Bilić, Gaby et al. “IRRITANT AND ALLERGIC CONTACT


DERMATITIS - SKIN LESION CHARACTERISTICS.” Acta clinica
Croatica vol. 57,4 (2018): 713-720. doi:10.20471/acc.2018.57.04.13
2. Kapur S, Watson W, Carr S. Atopic dermatitis. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2018;14(Suppl 2):52. Published 2018 Sep 12. doi:10.1186/s13223-
018-0281-6
3. Harlim A. Buku ajar ilmu kesehatan kulit dan kelamin penyakit alergi kulit. 1 st
ed. Jakarta. FK UI; 2016. 43 p.
4. Tersinanda TY, Rusyati LMM. Dermatitis kontak alergi. Universitas
Undayana/Rumah sakit umum pusat sanglah Denpasar. 2019; 1(1): 2-3 p.
5. Konstner L, Anzengruber F, Guillod C, Recher M, Grendelmeier PS,
Alexander A, et all. Allergic contact dermatitis. Immunology the clinics.
2017; 37: 142 p

Anda mungkin juga menyukai