1. LingkupFilsafatMatematika
Dalam bab sebelumnya kita telah mempunyai hipotesis bahwa pengetahuan matematika
adalah seperangkat kebenaran, dalam bentuk kumpulan proposisi dengan bukti, dan bahwa
fungsi dari filsafat matematik aadalah untuk menetapkan kepastian pengetahuan
matematika. Telah ditemukan bahwa hipotesis ini tidak bisa dipertahankan,kita diharuskan
untuk meninjau kembali sifatdasar filsafat matematika. Apa fungsi dan lingkup filsafat
matematika?
1
dilakukan dantelah dilakukan oleh matematikawan untuk empat ribu
tahunterakhir. "... Pengetahuan tentang sifat matematika terletak pada
kemampuan untuk mengerjakannya.
2
Filsafat absolutis matematika seperti logicisme, formalisme dan intuitionis mengupayakan
untuk memberikan penjelasan yang bersifat menentukan (prescriptive) dari sifat
matematika. Penjelasan-penjelasan tersebut, seperti telah kita lihat, adalah terprogram
(programatic), mengatur (legislating) bagaimana matematika harus dipahami, daripada
melengkapi dengan akurat penjelasan deskriptif dari sifat matematika. Sehingga mereka
gagal untuk menjelaska matematika seperti apa, dengan harapan bagaimana seharusnya
pandangan merekaterpenuhi . Tetapi deskripsi dan program yang membingungkan - untuk
kata 'adalah' dengan 'seharusnya' atau 'harus'- adalahsama berbahaya dalam filsafat
matematika seperti filsafat lain. "
(Korner, 1960, halaman 12)
Namun, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan memberikan sebuah penjelasan
deskriptif tentang sifat matematika. Selama fokus pertanyaan 'internal' tentang filsafat
matematika sempit, gagal untuk menemukan matematika dalamkonteks yang lebih luas dari
pemikiran manusia dan sejarah. Tanpa konteks seperti itu, menurutLakatos, filsafat
matematika kehilangan isinya.
Jadi seharusnya lebih banyak masuk dalam lingkup filsafat matematika dari pada sekedar
pembenaran pengetahuan matematika, disediakan melalui rekonstruksi oleh program
foundationist. Matematika adalah multi-faceted (banyak-segi), dan juga sebagai pokok
pengetahuan proposisional, hal itu dapat dijelaskan dalam hal konsep, karakteristik, sejarah
3
dan praktek. Filsafat matematika harus memperhitungkan kompleksitas ini, dan kita juga
perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut. Apa tujuan dari matematika? Apa peran
manusia dalam matematika? Bagaimana pengetahuan subyektif dari individu menjadi
pengetahuan obyektif matematika? Bagaimana pengetahuan matematika berkembang?
Bagaimana sejarah menjelaskan filsafat matematika? Apa hubungan antara matematika
dan bidang lain dari pengetahuan dan pengalaman manusia? Mengapa teori matematika
murni terbukti sangatkuat dan berguna dalam aplikasi mereka untuk ilmu pengetahuan dan
untuk masalah praktis?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan perluasan ruang lingkup filsafat
matematika yang menjadi perhatian internal absolutisme. Tiga isu dapat dipilih seperti
kepentingan tertentu, filsafat, dan edukasional. Setiap isu ini dinyatakan dalam bentuk
dikotomi, perspektif absolutist dan perspektif fallibilist yang saling bertentangan. Ketiga
isu tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, ada perbedaan antara pengetahuan sebagai produk jadi, sebagian besar
dinyatakan sebagai proposisi, dan kegiatan mengetahui atau mendapatkan
pengetahuan.Yang terakhir ini berkaitan dengan asal-usul pengetahuan, dan dengan
kontribusi manusia untuk pembentukannya. Sebagaimana telah kita lihat, pandangan
absolutis fokus pada yang sebelumnya, yaitu pengetahuan yang sudah selesai atau yang
sudah diterbitkan (dipublikasikan), dan dasar-dasar serta pembenarannya. Pandangan
absolutis tidak hanya fokus pada pengetahuan sebagai produk objektif, mereka sering
menyangkal legitimasi filsafat dengan mempertimbangkan asal-usul pengetahuan, dan
menyerahkan hal ini kepada psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Satu pengecualian parsial
untuk ini adalah konstruktivisme, yang mengakui agen pengetahuan dalam bentuk model.
Sebaliknya, fallibilist memandang dari sifat matematika, dengan mengakui peran
kesalahan dalam matematika tidak dapat lepas dari pertimbangan teori penggantian dan
pertumbuhan pengetahuan. Di luar ini, pandangan tersebut harus terkait dengan konteks
manusia dari pembentukan pengetahuan dan asal-usulsejarah matematika, jika mereka
menjelaskanyang memadai untuk matematika, dalam segala kesempurnaannya.
Karena pentingnya isu, perlu adanya penambahan argumen lebih umum untuk
kebutuhan mempertimbangkan asal-usul pengetahuan. Argumen ini didasarkan pada
kenyataan pertumbuhan pengetahuan. Sebagaimana sejarah menggambarkan, pengetahuan
4
terus-menerus dalam keadaan berubah di semua disiplin, termasuk matematika.
Epistemologi tidak memberikan penjelasan yang memadai untuk pengetahuan jika hanya
berkonsentrasi pada perumusan statis tunggal, dan mengabaikan dinamika pertumbuhan
pengetahuan. Hal ini seperti meninjau sebuah film berdasarkan pengamatan yang rinci dari
frame tunggal. Jadi epistemologi harus memperhatikan dirinya sendiri dengan dasar
pengetahuan, yang menjadi bagian penting dari dinamika pertumbuhan pengetahuan,seperti
halnya pokok tertentu dari pengetahuanyang diterimapada suatu waktu. Filosuf tradisional
seperti Locke danKant mengakui legitimasi dan tentu saja mempertimbangan perlunya asal-
usul dalam epistemologi. Demikian juga peningkatan jumlah filosuf modern,
sepertiDewey(1950), Wittgenstein(1953), Ryle(1949), Lakatos(1970), Toulmin(1972),
Polanyi(1958), Kuhn(1970) danHamlyn(1978).
Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai disiplin ilmu yang terisolasi dan
terpisah, yang secara ketat dibatasi dan dipisahkan dari pengetahuan bidang lain, sebagai
lawan terhadap pandangan bahwa matematika dihubungkan dengan, dan tidak terpisahkan
dari keseluruhan struktur pengetahuan manusia. Pandangan absolutist matematika
mempunyai status yang tunggal, ia (dengan logikanya) hanya menjadi bidang tertentu dari
pengetahuan, dengan letak keunikannya pada pembuktian yang ketat. Kondisi ini, bersama
dengan penolakan kelompok internalis dari relevansi sejarah atau asal-usul atau konteks
manusia, membuat suatu garis pemisah terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang
terisolasi dan terpisah.
Fallibilists memasukkan banyak hal ke dalam filsafat matematika. Karena
matematika dimungkinkan salah, ini tidak dapat dikategorikan terpisah dari hal-hal yang
bersifat pengetahuan empirik secara fisik dan ilmu yang lain. Karena fallibilists
memperhatikan asal-usul pengetahuan matematika sebagai produknya, matematika seperti
ditempelkan dalam sejarah dan dalam praktek manusia. Oleh karena itu,matematika tidak
dapat dipisahkan dari humaniora dan ilmu-ilmu sosial, atau dari pertimbangan budaya
manusia secara umum. Jadi dari perspektif fallibilist matematika terlihat terhubung dengan,
dan tidak terpisahkan, merupakan bagian dari keseluruhan struktur pengetahuan manusia.
Perbedaan ketiga dapat dilihat sebagai spesialisasi dan pengembangan lebih lanjut
dari yang kedua. Ini membedakan antara pandangan matematika sebagai tujuan dan bebas
nilai, menjadi perhatian hanya dengan logika innernya, berbeda dengan matematika yang
5
terlihat sebagai bagian integral dari budaya manusia, dan dengan demikian secara penuh
diilhami dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bidang lain dari pengetahuan dan usaha.
Pandangan absolutists, dengan perhatian internal mereka, melihat matematika sebagai
tujuan dan bebas secara mutlak dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Pandangan
Fallibilist, di sisi lain, mengaitkan matematika dengan seluruh pengetahuan manusia
melalui sejarah dan asal-usul sosial. Oleh karena itu ia melihat matematika sebagai sarat
nilai, diilhami dengan nilai-nilai moral dan sosial yang memainkan peran penting dalam
pengembangan dan aplikasi matematika.
Apa yangtelah diusulkan adalah bahwa perhatian yang tepat dari filsafat matematika
harus mencakup pertanyaan eksternal mengenai asal-usul sejarah dan konteks sosial
matematika, sebagai tambahan untuk pertanyaan internal mengenai pengetahuan,
eksistensi, dan justifikasinya.Selama beberapa tahun telah terjadi perdebatan atas dua hal
yang berbeda dari internalis-eksternalis dalam filsafat ilmu(Losee, 1987). Seperti dalam
filsafat matematika telah terjadi perpecahan antara filsuf yang mendukung pandangan
internalis dalam filsafat ilmu (seperti penganut logika empiris dan Popper) dan mendukung
pandangan eksternalis. Yang terakhir kebanyakan filosuf ilmu yang paling berpengaruh ,
sepertiFeyerabend, Hanson, Kuhn, Lakatos, Laudan danToulmin. Kontribusi daripara
penulis untuk filsafat ilmu ini merupakan bukti kuat terhadap perlunya pertimbangan
pertanyaan 'eksternal' dalam filsafat ilmu. Bagaimana pun dalam filsafat ilmu, bahkan filsuf
yang mendukung posisi internalis, seperti Popper, mengakui pentingnya
mempertimbangkan pengembangan pengetahuan ilmiah untuk epistemologi.
6
(iii) Aplikasi matematika: efektivitas dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan ranah
lainnya.
(iv) Matematika praktis: kegiatan matematikawan, baik di masa sekarang dan masa
lalu.
Itu diusulkan, karena itu, untuk mengadopsi ini sebagai kriteria ketercukupan untuk setiap
filsafat matematika yang diusulkan. Kriteria ini merupakan rekonseptualisasi peran filsafat
matematika. Tetapi peran ini diperdebatkan merupakan tugasyang tepat dari filsafat
matematika, yang dikaburkan oleh kesalahan identifikasi dari filsafat matematika dengan
mempelajari dasar-dasar logika dari pengetahuan matematika.
7
B. Aliran Absolutisme Progressif
Meskipun berbagai bentuk absolutisme dikelompokkan dan dikritik bersama-sama, bentuk-
bentuk yang berbeda dari absolutisme dalam matematika dapat dibedakan. Paralel dengan
filsafat ilmu, Confrey (1981) memisahkan aliran filsafat matematika yang absolut formal
dan aliran absolut progresif. Aliran absolut formal memandang matematika sebagai
Simbol kepastian, kebenaran abadi, metode tak terbantahkan...
Terjamin melalui kesempurnaan metode terbaik (supreme), deduksi...
Konsep-konsep dalam matematika tidak mengembangkan, mereka ditemukan...
Kebenaran yang sebelumnya tidak berubah oleh penemuan kebenaran baru...
Matematika berjalan dengan akumulasi kebenaran secara matematika dan tidak
fleksibel, struktur dugaan (a priori structure).
(Confrey, 1981, halaman246-247)
Hal ini kontras dengan pandangan absolut progresif matematika, yang juga absolut melihat
matematika sebagai hasil dari perjuangan manusia untuk kebenaran, bukan pencapaiannya.
Menurut pandangan ini
Perbedaan utama antara konsep absolut statis dan dinamis dari pengetahuan matematika
dan teori, dengan aktivitas manusia yang memberikan kontribusi yang dinamis dalam aliran
absolutist progresif. Formalisme dan logicisme adalah absolutist formal. Mereka menerima
penemuan dan bukti teorema baru dalam teori matematika formal, berdasarkan aksioma-
aksiomanya. Namun, mereka tidak memperlakukan penciptaan atau perubahan teori
8
matematika ataupun matematika informal, agen manusia dibiarkan sendiri. Berdasarkan
pandangan tersebut, matematika terdiri dari tidak lebih dari yang sudah ada, teori
matematika formal.
Sebaliknya, filsafat absolut progresif:
1.mengakomodasi penciptaan dan perubahan teori aksiomatik;
2.mengakui bahwa lebih dari pada kemurnian matematika formal yang ada, untuk
matematika yang bersifat intuisi diperlukan sebagai dasar untuk penciptaan teori, dan
karenanya
3.mengakui aktivitas manusia dan hasil-hasilnya, dalam penciptaan pengetahuan dan
teori-teori baru.
Intuisionisme (dan konstruktivisme, lebih umum) sesuai dengan deskripsi ini. Untuk
intuisionisme adalah foundationist dan absolut, mencari dasar yang aman untuk
pengetahuan matematika melalui bukti intuitionistic dan 'ur-intuisi' (Kalmar, 1967).
Namun, intuisionisme(1) mengakui aktivitas matematika manusia sebagai fundamental
dalam pembangunan bukti atau obyek-obyek matematika, penciptaan pengetahuan baru,
dan(2) mengakuibahwa aksioma-aksioma teori matematika intuitionistic (dan logika) pada
dasarnya tidak lengkap, dan perlu ditambahkan sebagai kebenaran matematis dinyatakan
secara informal atau dengan intuisi (Brouwer, 1927;Dummett, 1977).
Konsekwensinya, intuisionisme, dan aliran filsafat absolut progresif secara umum,
memenuhi lebih dari kriteria ketercukupan dari pada aliran filsafat absolute formal, namun
sementara ada yang disangkal/dibantah. Karena mereka memberikan tempat, meskipun
terbatas, terhadap aktivitas matematikawan (kriteria 4). Mereka setuju agensi manusia,
meskipun dalam bentuk model, di dalam domain dari matematika informal. Pemenuhan
sebagian kriteria yang layak pengakuan, karena hal itu berarti tidak semua filsafat absolutist
sama. Ia ternyata juga sangat signifikan buat pendidikan.
C. Platonisme
Platonisme berpandangan bahwa obyek matematika adalah nyata, adanya tujuan di
beberapa wilayah yang ideal. Pandangan ini berawal dari Plato, dan dapat dilihat dalam
tulisan-tulisan para ahli logika Fregedan Russell, dan termasukCantor, Bernays(1934),
9
Hardy(1967) dan Godel(1964) di antara pendukung-pendukungnya yang berbeda. Platonis
mempertahankan bahwa obyek dan struktur matematika memiliki eksistensinya taterlepas
dari kemanusiaan, dan bahwa mengerjakan matematika adalah proses menemukan
hubungan mereka yang sudah ada.
Menurut Platonisme pengetahuan matematika terdiri dari deskripsi obyek-obyek
dan hubungan-hubungan dan struktur yang menghubungkan mereka. Platonisme jelas
memberikan solusi untuk masalah objektivitas matematika. Ia memberikan penjelasan
tentang dua hal, yaitu kebenaran dan keberadaan obyek, seperti otonomi matematika,yang
mematuhi hukum-hukumnya sendiri dan logika.
Masalah Platonisme, tidak seperti fundasional absolutist, tidak sepenuhnya salah
satu dari kegagalan,untuk itu tidak menawarkan program yang foundasionist untuk
merekonstruksi dan menjaga matematika. Hal yang lebih menarik adalah memberikan
penjelasan terhadap fakta bahwa filsafat yang masuk akal menyediakan bantuan (alat) dan
kenyamanan untuk kesuksesan matematikawan berperawakan tinggi seperti Cantor
danGodel.
Sekalipun ini menarik, Platonis memempunyai dua kelemahan utama. Pertama,
tidak mampu menawarkan penjelasan yang memadai tentang bagaimana matematika
mendapatkan akses kepengetahuan dari dunia platonis. Kita dapat sokongan bahwa
Platonisme menjelaskan pengetahuan matematika dengan cara yang benar-benar sains
induktif yang menjelaskan pengetahuannya. Yaitu didasarkan pada pengamatan dunia nyata
(suatu dunia ideal, dalam kasusPlatonisme), kemudian diperumum. Tetapi jika matematika
adalah sejarah alami dari pengkristalan platonik umum, bagaimana mungkin
matematikawan memperoleh pengetahuan darinya? Ini pasti harus melalui intuisi, atau
beberapa seperti fakultas mental yang khusus, dan tidak menjelaskan dari yang diberikan.
Jika akses adalah melalui intuisi, maka diperlukan rekonsiliasi antara fakta bahwa (i)
matematikawan yang berbeda ‘bertukar intuisi’, sesuai dengan subjektivitas intuisi, dan (ii)
intuisi Platonis harus objektif, dan mengarah padakesepakatan. Dengan demikian
pandangan Platonis tidak memadai tanpa penjelasan dari akses manusia ke dunia objek
platonis yang mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Jika, di sisi lain, akses Platonis terhadap dunia objek matematika tidak melalui
intuisi tetapi melalui nalar danlogika, maka masalah lebih lanjut muncul. Bagaimana para
10
Platonis tahu bahwa penalarannya adalah benar? Salah satu bentuk lain dari intuisi yang
dibutuhkan, yang memungkinkan Platonis untuk melihat bukti-bukti yang mana yang
secara benar menggambarkan realitas matematika, atau Platonis berada dalam perahu yang
sama seperti orang lain yang berkaitan dengan bukti. Tapi dalam kasus kedua ini, apa
Platonisme tetapi keyakinannya kosong,karena tidak memberikan wawasan tentang
kebenaran atau eksistensi?
Kelemahan kedua dalam penjelasan Platonis adalah bahwa ia tidak dapat
menawarkan penjelasan yang memadai terhadap matematika, baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, merupakan bagian penting dari matematika adalah konstruktif
dan komputasinal. Hal ini tergantung pada representasi proses matematis dinamis, seperti
iterasi, fungsi rekursif, teori bukti, dan sebagainya. Platonisme hanya menjelaskanuntuk
himpunan statis-teoritis dan aspek struktural matematika. Jadi Platonist menghilangkan
daerah pusat matematika dalam penjelasannya. Secara eksternal, Platonisme gagal untuk
memberikan penjelasan memadai untuk kegunaan matematika, hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, aktivitas manusia atau budaya, dan asal-usul pengetahuan. Bagi Platonis
untuk mengatakan bahwa matematika lanjutitu semakin terungkap, seperti geografi maju
dengan pelayaran para penjelajah, tidak cukup. Ini juga tidak cukup untuk mengatakan
kegunaannya yang berasal dari fakta bahwa matematika menggambarkan struktur perlu dari
realitas yang dapat diamati. Untuk penjelasan ini meminta pertanyaan-pertanyaanmereka
yang dimaksudkan untuk mennyelesaikan.
Karenagagal pada semua penjelasan di atas, Platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D. Kovensionalisme
Pandangan konvensionalisme menyatakan matematika bahwa pengetahuan matematika dan
kebenarannya didasarkan pada konvensilinguistik. Khususnya, bahwa kebenaran-kebenaran
dari logika dan matematika adalah analitik, benar dengan baik berdasarkan arti dari istilah
yang terlibat. Suatu bentuk moderat konvensionalisme, seperti dari Quine(1936) atau
Hempel(1945), menggunakan konvensilinguistik sebagai sumber kebenaran matematika
dasar di mana bangunan matematika dikonstruksi. Menurut pandangan ini
konvensilinguistik menyediakan dasar, kebenaran tertentu dari matematika dan logika, dan
11
logika deduktif (bukti) mentransmisikan kebenaran ini ke sisa pokok pengetahuan
matematika, sehingga membentuk kepastiannya. Bentuk konvensionalisme kurang lebih
sama dengan 'thenisme', dibahas dalam Bab1sebagai posisi mundur ke belakang untuk
mengalahkan foundasionist. Pandangan ini tetap absolut, dan dengan demikian tunduk pada
sanggahan yang sama.
Bentuk-bentuk yang lebih menarik dari konvensionalisme adalah bukan absolutist
(dan inilah bahwa saya akan menyatakan dengan istilah 'konvensionalisme'). Priest (1973)
mengusulkan untuk menghidupkan kembali konvensionalisme, tapi yang terbaik
pendukung terkenal dari pandangan ini adalah Wittgenstein, yang keduanya meletakkan
dasar-dasar dari bentuk moderat dengan menyatakan kebenaran matematika menjadi
tautologi (Wittgenstein, 1922), sebelum membuat kontribusi yang luas (Wittgenstein, 1953,
1978). Filsafat matematikaselanjutnya dari Wittgenstein tidak jelas arahnya karena dari
gaya epigrammatiknya, yang mana ia menghindari penampilan yang sistematis, dan karena
sebagian besar kontribusinya untuk filsafat matematika diterbitkan secara anumerta, dalam
keadaan belum selesai (Wittgenstein, 1953, 1978).
Wittgenstein mengkritik foundationist, dan berdiam lama (panjang lebar) terhadap
yang diketahui sebagai proses dalam matematika (Wittgenstein, 1953, 1978). Dalam aliran
konvensionalnya, Wittgenstein mengklaim bahwa matematika adalah 'beraneka ragam',
koleksi 'permainan bahasa', dan bahwa gagasan kebenaran, kesalahan dan bukti tergantung
pada kami menerima peraturan linguistik konvensional dari permainan ini, seperti
ditunjukkan kutipan berikut.
Kata 'kesepakatan' dan 'aturan' adalah berhubungan satu sama lain, mereka
adalah sepupu. Jika saya mengajar siapapun penggunaan satu kata, orang
tersebut belajar penggunaan kata lain dengan itu.
12
"Jadi Anda sedang mengatakanbahwa perjanjian manusia memutuskan apa
yang benar dan apa yang salah '-Ini adalah apa yang manusia katakan itu benar
dan salah, dan mereka setuju dengan bahasa yang mereka gunakan. Itu bukan
kesepakatan dalam pendapat tetapi dalam bentuk kehidupan.
(Wittgenstein, 1953, masing-masing,halaman227,86dan 88)
Apa yang tergoyahkan tertentu tentang apa yang terbukti? Untuk menerima
proposisi sebagai tergoyahkan tertentu-saya ingin mengatakan-berarti
menggunakannya sebagai aturan tata bahasa (gramatikal): ini menghilangkan
ketidak pastian dari itu.
(Wittgenstein, 1978, halaman170)
13
Sayabelum membuat peran kesalahan menghitung yang jelas. Peran proposisi:
"Saya pasti telah salah menghitung”'. Ini benar-benar kunci untuk memahamai
tentang 'dasar' matematika.
(Wittgenstein, 1978, hal. 221)
14
Keberatan kedua adalah karena Quine.
Secara singkat intinya adalah bahwa kebenaran logika, yang tak terbatas
jumlahnya, harus diberikan oleh konvensi umum dari pada secara tunggal, dan
logika diperlukan kemudian untuk memulai dengan, dalam metateori, untuk
menerapkan konvensi umum untuk kasus-kasus individual.
(Quine, 1966, halaman 108)
Menurut Quine, konvensi linguistik kita harus mencakup salah satu dari takhingga
kebenaran bentuk ” (sentence 1) dan (Sentence 2) mengakibatkan (Sentence 2) , atau single
ini, konvensi umum, dalam hal ini kita perlu logika dalam metalanguage untuk
mendapatkan semua contohnya.
Tapi perhatikan bahwa keberatan yang sama berlaku untuk kemungkinan konvensi
gramatikal dalam bahasa. Kita juga harus mengetahui dari yang takhingga banyak contoh-
contoh gramatikal dari bentuk (subjek) adalah (predikat), atau kita akan memerlukan
aturan-aturan metalinguistic dari penggantian untuk mendapatkan 'contoh-contohnya dari
konvensi gramatikal umum. Tapi kita jelas tidak perlu aturan tambahan seperti untuk
berbicara, karena skema adalah ’aturan produksi '. Fungsi tunggal aturan tersebut dalam
bahasa alami adalah untuk menghasilkan contoh. Demikian pula, skema logis adalah aturan
yang membimbing produksi kebenaran logis. Sehingga tidak terjadi bahwa kita perlu
mengandaikan logika dalam metabahasa untuk mendapatkan contoh dari skema logis. Ia
tidak sesuai (inappropriate) untuk mencari semua bentuk dan perbedaan bahasa formal
dalam bahasa alami, yang mana, misalnya yang sudah berbeda dalam meta-bahasa.mereka
sendiri.
Sebenarnya, kebenaran bentuk ’A & B mengakibatkan B' tidak mungkin bergantung
pada skema sentensial di atas, namun pada peraturan yang mengatur penggunaan kata
’dan’. Aturan-aturan ini mungkin aturan semantik yang menghubungkan ’dan (and)’
dengan 'menggabungkan (combine)', ’bergabung (join)’, dan ’mengumpulkan (put
together)’, bahwa dengan makna kata penghubung 'dan'. Aturan-aturan semantik ini
15
menyiratkan bahwa konsekuensi dari ’A & B’ adalah konsekuensi dari 'A' dikombinasikan
dengan B’.
Keberatan Quine adalah diberhentikan dan bahwa hal itu tidak berlaku untuk bahasa
alami, dan menerapkan peran yang terlalu ketat pada konvensi umum. Di sisi lain dia benar
untuk mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan semua kebenaran matematika dan
logika diwakili secara harfiah sebagai aturan ahli linguistic dan konvensi.
Walaupun Quine kritis terhadap aliran konvensional dalam logika, dia menganggap
potensinya sebagai ahli filsafat matematika sama sekali berbeda.
Untuk teori himpunan, doktrin linguistik telah tampak sedikit kosong, dalam
teori himpunan, sebagai tambahan, konvensi dalam arti biasa tampaknya
cukup banyak yang terjadi. Aliran konvensional memiliki tuntutan yang serius
terhadap filsafat
matematika, jika hanya karena teori himpunan
(Quine 1966 halaman 108)
E. Empirisme
16
Empiricist memandang sifat-sifat matematika (‘naive empirisme ’, untuk membedakannya
dari ‘quasi empirisme Lakatos) berlaku bahwa kebenaran-kebenaran matematika adalah
generalisasi empiris. Kita bisa membedakan dua tesis aliran empiris:(i) konsep-konsep
matematika mempunyai asal usul empiris, dan (ii ) kebenaran matematika memiliki
pembenaran secara empiris , artinya, berasal dari pengamatan dunia fisik. Tesis yang
pertama adalah ketidakberatan (unobjectionable), dan diterima oleh sebagian besar filosuf
matematika (mengingat bahwa banyak konsep yang tidak secara langsung terbentuk dari
pengamatan tetapi didefinisikan dalam istilah konsep lain yang mendahului, melalui rantai
definisi, konsep-konsep observasional). Tesis kedua ditolak oleh semua kecuali empiricist,
karena menyebabkan beberapa kerancuan (absurditas). Keberatan awal adalah bahwa
sebagian besar pengetahuan matematika diterima secara teoritis, yang bertentangan dengan
dasar empiris. Sehingga saya tahu bahwa 999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui observasi
kebenarannya dalam dunia, melainkan melalui pengetahuan teoritis terhadap bilangan dan
penomoran.
Mill (1961) mengantisipasi sebagian keberatan ini, menunjukkan bahwa prinsip-
prinsip dan aksioma matematika yang diinduksi dari pengamatan dunia, dan bahwa
kebenaran lainnya diperoleh dengan deduksi. Namun, empirisme ini terbuka untuk
sejumlah kritik lebih lanjut.
Pertama-tama, ketika pengalaman kita bertentangan dengan kebenaran matematika
elementer, kita tidak memberikan mereka (give them up)(Davis dan Hersh 1980).
Sebaliknya kita berasumsi bahwa beberapa kesalahan telah merayap ke nalar kita, karena
ada kesepakatan bersama tentang matematika, yang menghalangi penolakan kebenaran
matematika (Wittgensteein, 1978). Jadi, ‘1 + 1 = 3’ adalah tidak perlu salah, bukan karena
satu kelinci ditambahkan ke lain tidak memberikan tiga kelinci, tetapi karena dengan
definisi berarti '1 + 1' penerus 1 'dan 2 adalah penerus dari 1.
Kedua, matematika adalah sebagian besar abstrak, dan begitu banyak konsep-
konsepnya tidak memiliki asal-usul dalam pengamatan dunia. Sebaliknya mereka
didasarkan pada konsep-konsep yang sebelumnya dibentuk. Kebenaran mengenai konsep
tersebut. yang merupakan bagian terbesar dari matematika, karena itu tidak dapat dikatakan
diperoleh (di induce) dari pengamatan dunia luar.
17
Akhirnya, aliran empirisme dapat dikritisi untuk memfokuskan hampir secara
eksklusif pada isu-isu foundationist, dan jatuh ke penjelasan yang memadai untuk sifat dari
matematika. Hal ini, seperti telah dikatakan di atas, adalah tujuan utama dari filsafat
matematika. Atas dasar kritik ini kita 'dapat menolak pandangan naive empiricist tentang
matematika sebagai memadai.
3. Quasi-Empirisme
Quasi-empirisme adalah nama yang diberikan untuk filsafat matematika yang
dikembangkan oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Ia memandang matematika adalah apa
yang matematikawan kerjakan dan telah dikerjakan, dengan semua kekurangan dalam
sebarang aktivitas atau penciptaan manusia. Quasi-empirisme merupakan suatu “arah baru
dalam filsafat matematika” (Tymoczko, 1986), karena keunggulannya sesuai untuk
matematika praktis. Pendukung pandangan ini termasuk Davis (1975), Hallet (1979), Hersh
(1979), Tymoczko (1979) dan paling akhir, Putnam (1975). Sketsa awal pandangan quasi-
empirisme matematika seperti berikut ini.
Matematika adalah suatu dialog antara kelompok orang yang mengerjakan
permasalahan matematika. Matematikawan dapat berbuat keliru dan hasil-hasil mereka,
termasuk konsep dan bukti, dapat tidak pernah sampai hasil akhir atau sempurna, tetapi
mungkin memerlukan negosiasi kembali sebagai patokan dari perubahan kekakuan, atau
tantangan baru, atau pemaknaan yang muncul. Sebagai aktivitas manusia, matematika tidak
dapat dipandang terisolasi dari sejarahnya dan aplikasinya dalam sains dan yang lainnya.
Quasi-empirisme merupakan kebangkitan kembali dari empirisme dalam filsafat baru
matematika (Lakatos, 1967)
18
2. Matematika adalah hipotetis-deduktif
Matematika mengakui adanya sistem hipotetis-deduktif, seperti diterimanya konsepsi
secara luas dari sains empiris menurut Propper (1959). Seperti dalam sains, penekanan
dalam sistem yang demikian adalah tidak pada transmisi dari kebenaran dari premis yang
benar ke konklusi (pandangan aliran absolute), tetapi pada pentransmisian kembali
kesalahan dari konklusi salah ke premis hipotesis. Karena teori aksiomatis adalah
pemformalan dari teori matematika informal yang ada sebelumnya, potensi kepalsuan
mereka adalah teorema informal dari teori yang ada sebelumnya, (tambahan pada
kontradiksi formal). Eksistensi seperti suatu (teorema informal) kepalsuan menunjukkan
bahwa akiomatisasi tidak mempunyai ekspresi valid pada teori informal, yaitu, sumbernya
(Lakatos, 1978).
19
5. Teori dari penciptaan pengetahuan disertakan.
Perhatian sentral dari filsafat matematika adalah logika dari penemuan matematika, atau
‘heuristik (ketat)’. Ini mendasari dialek autonomi dari matematika (Lakatos,1976, halaman
146), mekanisme asal dari pengetahuan matematika. Proses ini hasil dari individu
matematikawan (biasanya suatu konstelasi/kumpulan dari definisi, konjektur dan bukti
informal) diekspos untuk dikritisi, dan dirumuskan dalam respon untuk dikritisi, dalam
siklus dialek iterasi. Proses ini, berikutnya merupakan logika autonomi sendiri, adalah perlu
untuk item-item baru (defnisi, teorema, bukti) menjadi tergabung dalam tubuh dari
penerimaan pengetahuan matematika.
Ada pola sederhana dari penemuan matematika – atau dari pertumbuhan teori
matematika informal. Dia terdiri dari tahap-tahap berikut:
1. Konjektur primitif.
2. Bukti (suatu percobaan yang dipikirkan secara kasar atau argumen,
pendekomposisian konjektur primitif ke subkonjektur atau lemma).
3. Contoh penyangkal ‘global’ (contoh penyangkal untuk konjektur primitif)
dimunculkan.
4. Pemeriksaan kembali bukti: suatu ‘kesalahan lema’ yang untuk contoh penyangkal
global adalah contoh penyangkal ‘lokal’ diberi tanda. Kesalahan lema mungkin
dahulu tetap ‘hilang’ atau mungkin salah mengidentifiikasi. Sekarang ini dibuat
eksplisit, dan membangun konjektur primitif sebagai kondisi. Teorema –konjektur
yang diperbaharui – digantikan konjektur primitif dengan bukti baru-konsep
diperumum sebagai sesuatu corak baru yang penting.
Keempat tahap tersebut merupakan inti esensial dari analisis bukti. Tetapi ada beberapa
tahap standar lebih lanjut yang sering terjadi:
5. Bukti-bukti dari teorema yang lain diuji untuk melihat jika lemma yang baru
ditemukan atau bukti baru--konsep diperumum terjadi dalam mereka.: konsep
ini mungkin ditemukan berbaring pada seberanng-jalan dari bukti yang
berbeda, dan oleh karena itu muncul sebagai dasar penting.
6. Sampai sekarang konnsekuensi diterima dari konjektur asal dan sebarang
konjektur yang disangkal diperiksa.
20
7. Contoh penyangkal diubah menjadi contoh baru--lapangan baru dari
peyelidikan terbuka.
(Lakatos,1976, hal 127-128)
Aktivitas matematika adalah akivitas manusia. Aspek tertentu dari aktivitas ini –
sebagai aktivitas semua manusia – dapat dipelajari dengan psikologi, yang lain
dengan sejarah. Heuristik (keketatan) tidak menjadi perhatian utama dalam aspek
ini. Tetapi aktivitas matematika menghasilkan matematika. Matematika, hasil ini
dari aktivitas manusia, ‘mengasingkan diri’ dari aktivitas manusia yang telah
menghasilkannya. Itu menjadi penghidupan, perkembangan organisme, yang
memperoleh otonomi tertentu dari aktivitas yang telah dihasilkannya; itu
berkembang hukum otonomi sendiri dari perkembangan, dialeknya sendiri.
Matematikawan asli mengharuskan suatu personifikasi, pada penjelmaan dari
hukum itu yang hanya dapat menyadari diri mereka dalam tindakan manusia.
Penjelmaan mereka, namun demikian, adalah jarang sempurna. Aktivits dari
matematikawan seperti itu muncul dalam sejarah, adalah hanya realisasi meraba-
raba dialek bagus dari ide matematika. Tetapi kebanyakan matematikawan, jika
mempunyai bakat, genius, komunikasi dengan ide-ide, merasakan sentuhan dari
ide-ide, dan mematuhi dialek dari ide-ide.
(Lakatos, 1976, hal 146)
Itu dapat dilihat bahwa pada hati filsafat matematika Lakatos adalah suatu teori dari
pengetahuan asal-usul matematika. Ini adalah teori matematika praktek, dan oleh karena itu
teori dari sejarah matematika. Lakatos tidak menawarkan teori psikologi dari penciptaan
dan penemuan secara matematika. Dia tidak berurusan dengan asal aksioma, definisi, dan
konjektur dalam pikiran individu. Fokusnya adalah diterimanya proses yang
mentransformasi penciptaan pribadi ke pengetahuan matematika umum, adalah proses yang
terpusat yang melibatkan kritik dan perumusan kembali. Dalam hal ini, falsafahnya mirip
dengan falsafah aliran falsification dari sains Karl Propper, suatu kekurangan yang Lakatos
akan mengakui. Proper (1959) menduga suatu ‘logika dari penemuan ilmu pengetahuan ‘,
yang dia bantah bahwa ilmu pengetahuan lanjut melalui proses konjektur dan sangkalan.
21
Perbedaannya adalah bahwa Propper hanya memperhatikan dirinya sendiri dengan
pengkonstruksian kembali secara rasional, atau idealisasi dari teori, dan menyangkal
kesahihan filsafat dari penerapan modelnya sains ke sejarah. Lakatos pada pihak lain,
menolak untuk memisahkan teori filsafat dari perkembangan pengetahuan untuk realisasi
secara historis.
Di samping penghindarannya dari perangkap filsafat, Lakatos mungkin dituduh
tersesat di luar batasan dari perhatian secara filsafat yang sah. Karena kontras dengan
kebanyakan espitemologi dalam dunia bahasa Inggris yang khusus fokus pada pengetahuan
objektif, atau pokok pengetahuan tunggal, quasi-empirisme mendiskusikan pengetahuan
atau generasi pengetahuan sebagai bagian dari proses sosial. Meskipun demikian, dalam
filsafat matematika, seperti telah kita lihat, ada kelangkaan dari teori yang menawarkan
ketercukupan penjelasan matematika. Oleh karena itu pembatasan tradisional pada apa
yang dianggap sah di filsafat mungkin sebenarnya menjadi suatu rintangan terhadap filsafat
tmatematika yang mencukupi. Kita kembali ke evolosi dari filsafat matematika quasi-
empirisme Lakatos. Bagaimanapun harus dikatakan bahwa filsafat matematika Lakatos
adalah jauh dari lengkap atau sepenuhnya sistem kita bekerja. Ini karena dua faktor.
Pertama-tama, kematiannya terlalu cepat. Lakatos menulis hanya satu volume ramping dan
lima paper pada filsafat matematika dan sejumlah ini tidak selesai dan dipubliksikan
dengan anumerta. Kedua, gaya dari presentasinya di pekerjaan utamanya adalah tidak
langsung, pemanfaatan suatu tanya jawab yang bersifat persaudaraan untuk mengkonstruks
kembali suatu aspek dari sejarah matematika. Oleh karena itu Lakatos telah mewariskan
pada kita suatu yang menggairahkan berupa filsafat matematika yang tidak lengkap, jauh
dari pekerjaan penuh atau dielaborasikan. Oleh karena itu berpotensi baik untuk
realisasinya, haruslah lahir pemikiran dalam menilai quasi-empirismenya.
22
matematika formal dia menambahkan sesuatu yang baru, lapisan rendah, sebut saja sebagai
pengetahuan matematika informal. Untuk sistem perluasannya dia menambahkan sesuatu
yang dinamis, yang menunjukkan tidak hanya bagaimana pengetahuan dalam
pengembangan lapisan bawah berkembang, tetapi juga keterhubungan antara dua lapisan.
Secara khusus, bagaimana pengetahuan dalam lapisan bawah direfleksi menaik, oleh
formalitas, untuk membentuk bayangan ideal pada tingkat atas, yang terlihat seperti
kebenaran yang tidak dapat diragukan dari matematika. Lakatos menjelaskan sifat
pengetahuan matematika sebagai hipotesis-deduktif dan secara quasi-empirisme,
membangun suatu benturan analogi yang ketat dengan filsafat sains Propper (1979). Dia
menjelaskan kesalahan dalam pengetahuan matematika, dan menyajikan teori elaborasi dari
asal-usul pengetahuan matematika. Ini secara potensial memberikan penjelasan yang
banyak dari matematika praktek, dan sejarahnya.
Karena teori Lakatos dari asal-usul pengetahuan matematika dikatakan setara,
dalam banyak hal, dengan pengetahuan ilmiah, keberhasilan dari aplikasi matematika
adalah berpotentsi diterangkan dengan anlogi dengan sains dan teknologi. Penjelasan dari
kesuksesan matematika terapan akan sangat signifikan, khusunya dalam menghadapai
kelalaian yang ditunjukkan oleh filolof matematika yang lain (Korner, 1960). Akhirnya,
kata kunci dari filsafat matematika Lakatos adalah bahwa dia tidak prespektif dan
diskriptif, dan berusaha untuk mendiskribsikan matematika seperti apa adanya dan tidak
seharusnya dipraktekkan.
Dalam empat kriteria ketercukupan, quasi-empirisme memenuhi sebagian, yaitu:
pengetahuan matematika (i), aplikasi (iii) dan praktek (iv).
23
Kedua, Lakatos tidak memberikan penjelasan dari sifat objek-objek matematika,
atau dari asal-usulnya. Tidak ada indikasi dalam penjelasannya dari masuk akalnya
platonisme. Dia bahkan tidak menawarkan dasar objektivitas dari heuristik atau hukum
otonomi dari perkembangan pengetahuan matematika, yang diasumsikan dalam
penjelasannya.
Ketiga, Lakatos tidak menjelaskan salah satu sifat atau keberhasilan dari aplikasi
matematika, atau keefeektifannya dalam sain, teknologi, dan dalam dunia lain. Mungkin
saja dibantah, seperti saya telah mengerjakan, ada pembenaran potensial dari kemanfaatan
matematika dalam quasi-empirisme. Faktanya adalah tak diisyaratkan atau diberikan.
Selanjutnya, Lakatos setuju dan menunjuk secara eksklusif untuk matematika murni, juga
menjelaskan bahwa sifat dari matematika terapan adalah hilang dari filosofnya.
Keempat, Lakatos tidak mempunyai bukti cukup yang sah untuk membawa sejarah
matematika ke inti dari filsafat matematika. Dalam hal ini, dia membayangkan wajah dari
filsafat tradisionil (namun demikian, seperti telah kita lihat, bertambah banyak dari filosof
membawa isu genetik ke dalam epistemology). Pendekatannya berpotensi bermanfaat,
barangkali lebih dibanding filsafat matematika sebelumnya. Meskipun demikaian
pendekatan sejarahnya memerlukan pembenaran eksplisit secara filsafat (di luar
pembenaran implisit bahwa dia mencoba menjelaskan diskripsi secara matematika).
Kelima, ada permasalahan dari pertentangan status filsafat dan tesis dan historisnya.
Lakatos gagal menyajikan pembenaran untuk mengantarkan secara empiris (yaitu,
konjektur) tesis historis ke dalam pendekatan filsafat analitis pada pijakan yang sama
dengan metodologi logis. Ini, saya percaya, adalah disebabkan kegagalannya untuk
membedakan logika dialektika umum dari penemuan matematika, dari tesis langsung,
mengenai langkah-langkah dari pengembangan dan elaborasi pengetahuan matematika.
Logika umum dari penemuan matematika, seperti sain logika Propper (1968) dari
penemuan, adalah hipotetis-deduktif. Itu melibatkan metoda dialektika umum dari
konjektur (termasuk bukti) dan sangkalan. Itu metoda logika murni, menggambarkan
format umum dan kondisi untuk peningkatan, dan pada akhirnya suatu penerimaan dari
pengetahuan matematika.
Perbedaan, hipotesis empirisme Lakatos memperhatikan langkah-langkah historis
nyata melalui pengetahuan matematika yang lolos dalam perkembangannya dari konjektur
24
awal untuk menerima pengetahuan matematika (tujuh langkah heuristik kutipan di atas). Ini
adalah konjektur empirisme, dan tidak merupakan kondisi perlu untuk keabsahan quasi-
empirisme filsafat matematika. Oleh karena itu, detail dari tesis empiris khusus ini boleh
dimodifikasi, tanpa menyebut ke pertanyaan dasar (dan umum) filsafat. Dalam
kenyataannya tesis filsafat dan historis adalah bebas secara logika, artinya bahwa penolakan
dari satu tidak mempunyai implikasi logis untuk yang lainnya. Lakatos melihat untuk tidak
acuh pada perbedaan ini.
Keenam, filsafat matematika quasi empiricist Lakatos menyajikan alasan-alasan
yang perlu tetapi tidak cukup untuk membuktikan pengetahuan matematika. Contoh-contoh
dapat ditemukan dari pengetahuan matematika yang telah dikembangkan dan dirumuskan,
berikut pola umum dari heuristik Lakatos, adalah masih tidak disatukan ke dalam pokok
dari pengetahuan matematika yang diterima. Perhatikan, seperti suatu penyangkal contoh
khayal, matematika idiosinkratik (sejenis penyakit asma) yang dikembangkan oleh
kelompok mistis, berbagi sekumpulan konvensi dan norma-norma, termasuk dasar
metodologi kritis mereka, yang adalah khusus untuk mereka sendiri. Kenyataan bahwa
penciptaan secara matematika kelompok ini proses mereka bertahan dari bukti dan
sangkalan tidak memberi mereka penerimaan umum. Untuk mengesampingkan contoh
seperti itu, quasi-empirisme memerlukan asumsi secara berrsama untuk metodologi kritis,
jika ada adalah untuk persetujuan umum pada hasil-hasilnya. Akibatnya, ini adalah asumsi-
asumsi dari penggunaan dari suatu logika standard dan keabsahannya.
Terakhir, tidak ada penjelasan sistematis dari quasi-empirisme, meletakkan bagian
depannya secara rinci, dan mengantisipasi dan membantah keberataannya itu. Publikasi
Lakatos pada filsafat matematika terdiri dari belajar kasus secara historis pengkonstruksian
kembali dan penulisan polemik.
Secara keseluruhan, itu dapat dilihat bahwa kegagalan utama dari quasi-empirisme
adalah dosa dari penghilangan, dibanding perbuatan. Kritik di atas, tak dapat disangkal dari
sudut pandang simpatis, tidak menyingkapkan apapun kekurangan yang pokok atau gagal.
Itu menandai adanya suatu program riset yang diperlukan, yaitu untuk mengembangkan
quasi-empirisme secara sistematis dan mengisi celah.
25
D. Quasi-empirisme dan Filsafat Matematika
Quasi-empirisme menawarkan sebagian penjelasan tentang sifat pengetahuan matematika,
asal-usul dan dasar kebenarannya. Dalam hal ini Lakatos berpotensi menawarkan
penjelasan yang jauh lebih luas daripada filsafat matematika lain yang telah diterima.
Sebagian besar, bergantung pada pengkonsepan dan pendefinisian kembali dari filsafat
matematika Lakatos. Dia telah menyangsikan kekolotan yang dominan di filsafat
matematika terhadap keduanya foundationisme dan absolutisme (argumentasi dalam bab
sebelumnya tidak tampak dirumuskan, tetapi untuk Lakatos). Dengan begitu ia telah
membebaskan filsafat matematika untuk mempertimbangkan lagi fungsinya yang telah
diuraikan di bab ini, seperti halnya untuk mempertanyakan status yang tidak tertandingi
tentang kebenaran matematika. Walaupun ini kritik (yaitu, essensi negatif) prestasi dari
quasi-empirisme pentingnya tidak dapat dinilai berlebihan.
Dalam istilah yang positif quasi-empirisme mempunyai potensi untuk menawarkan
banyak permasalahan baru yang diajukan Lakatos untuk filsafat matematika. Dalam bab
selanjutnya saya akan berusaha untuk membuat cerita konstruktivis sosial filsafat
matematika berdasarkan pada quasi-empirisme milik Lakatos.
26