Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH FIQH MUAMALAH: LETAK

KESALAHAN (TIDAK SYARIAH) PADA BANK


SYARIAH.

Disusun oleh : Muhammad Irsyad Hawari


NPM : 120401050043

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS PADJADJARAN
Lahirnya perbankan syariah di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri yang cukup
panjang, cerita panjang ini dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi
bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.  Sebagai uji coba, gagasan
perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di
Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). 

Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk
mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990,
yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan
diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
yang terkait. 

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah
pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992,
BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah
memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional.
Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya
diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil"pada
UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis
usaha yang diperbolehkan. 

Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan


penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang
secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di tanah
air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem
perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang
ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah
Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar
dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum
dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang
Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa.  Dengan
telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan
syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan
mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres
perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset
lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran
industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan
semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan
jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari
dua tahun (2009-2010).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua


dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian
kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat
regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat
terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi
salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional. 

Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22
Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS
dengan total aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus
untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak
Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410
Triliun dan Rp. 110,509 Triliun.

Dalam waktu kurang lebih dua decade perkembangan perbankan syariah di


Indonesia hingga detik ini, masih banyak kita temukan praktik perbankan syariah
yang belum ideal. Belum ideal disini kita artikan bahwa perbankan syariah saat ini
belum mencapai titik optimum dari konsep islami yang menjadi tujuan dari
berdirinya lembaha keuangan syariah. Meskipun, hasil temuan praktik yang
belum ideal ini tidak menggambarkan keseluruhan dari lembaga keuangan syariah
di Indonesia. Ada beberapa perbankan yang telah syar’I pada suatu
praktik/produk, namun masih ada pula perbankan yang belum menjalankan
produknya dengan nilai nilai islami.

Berikut adalah kesalahan praktik (tidak syar’i) yang terdapat pada perbankan
syariah di Indonesia.

1. Pengenaan denda keterlambatan pembayaran bagi debitur.


Menurut fikih, bank syariah boleh mengenakan sanksi keterlambatan berupa
nominal uang tertentu kepada nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran
berdasarkan hadis Rasulullah Saw: “Menunda-nunda (pembayaran) yang  dilakukan
oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR
Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad)

Pada dalil di atas telah disebutkan dengan jelas bahwa halal hukumnya pengenaan
denda kepada pihak debitur yang sengaja menunda pembayaran. Konsekuensi dari
hal ini adalah, pengenaan denda oleh kreditur harus dikenakan apabila debitur
ternyata mampu untuk membayar namun dengan sengaja tidak membayar
kewajibannya. Pada praktiknya dilapangan, pihak perbankan sebagai kriditur tidak
melakukan analisis kemampuan debitur untuk membayar kewajibannya (ability to
pay) sebelum mengenakan denda. Maka disinilah letak kesalahan perbankan syariah
sebagai kreditur.

2. Praktik murabahah pada perbankan syariah.


Umumnya, kesalahan praktik murabahah diperbankan syariah adalah terletak pada
proses/model transaksinya, dimana ada dua kesalahan umum yang terjadi yaitu;
 Tidak ada Qabdh (penerimaan barang) oleh perbankan syariah.
Panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI (Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions), yang berpusat di Bahrain,
ditegaskan, “Haram hukumnya pihak lembaga keuangan menjual barang
dalam bentuk murabahah sebelum barang dimilikinya. Maka, tidak sah
hukumnya kedua belah pihak menandatangani akad murabahah sebelum
pihak lembaga keuangan syariah membeli dan menerima barang yang
dipesan nasabah dari pihak penjual pertama.”
 Bank tidak memberikan barang kepada debitur, melainkan sejumlah uang.
Hal ini menjadi riba karena bank memberikan sejumlah uang, dengan
pengembalian oleh debitur yang akan dilebihkan. Hal ini tidak ada bedanya
dengan praktik bank konvensional.

Transaksi murabahah menjadi dibolehkan dengan syarat: (1) Barang telah resmi
dibeli oleh penjual kedua (bank); (2) Barang telah dipindah-tangankan ke penjual
kedua (bank), dan menjadi tanggungan bank; dan (3) Belum terjadi akad dan
transaksi jual-beli antara bank dan nasabah, sebelum ada serah terima barang
dari penjual pertama kepada pihak bank.

3. Praktik Mudharabah
DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000 dimana DSN
menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana,
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.”
(Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43)

Namun yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku,
perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN
secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari
perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh,
walaupun ia mengalami kerugian usaha.

Demikian kurang lebih tiga kesalahan yang kami temukan pada praktik perbankan
syariah di Indonesia saat ini, semoga semua pihak baik perbankan maupun
pemerintah dapat saling evaluasi agar kehadiran perbankan syariah dapat secara
nyata mendorong perekonomian ummat.

i
i
Website https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-Perbankan-Syariah.aspx
https://pengusahamuslim.com/2728-fatwa-dsn-mui-1451.html

Anda mungkin juga menyukai