Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Menikah/ berkawin dalam tuntutan hidup sebagai manusia yang mempunyai
hawa nafsu sudah terjadi mulai sebelum adanya agama islam. Hanya cara
melaksanakan perkawinan yang terdapat didalamnya mempunyai perbedaan. Hal ini
bias disebabkan karena social kehdupan dalam masyarakatyang kebiasaan menikah
ada ritual yang sudah menjadi keyakinan. Mengenai perkawinan dimulai dari riwayat
nabi adam mencari hikmah dari satu persatu anggota tubuhnya. Maka disitu allah
menciptakan seseorang sosok perempuan yaitu saidah hawa untuk menjadi pasangan
hidunya..
Disisi lain allah juga memberi batas untuk mengatur hubungan seorang laki-
laki-dan perempuan dalam pernikahan yang mana dinamakan larangan, pencegahan,
dan pembatalan perkawinan. Agar manusia itu melakukan sesuatu tidak melakukan
kehendak hawa nafsunya, bisa ada yang mengawasi atau mengkontrol dalam mereka
melakukan hubungan perkawinan. sehingga tidak ada yang namanya saling merasa
didiskriminasi, apakah itu dari sisi seorang laki-laki atau sisi perempuannya.
Dalam masalah yang diterangkan dibab II dalam pemabhasan, bagaimana
seorang itu tidak melakukan pekerjaaan, yang mana dalam perkawinan tidak
melanggar sesuatu pantangan yang sudah menjadi larangan, pencegahan, dan
pembatalan. Sehingga dalam perkawinan menjadi sah dan berjalan sebagai mestinya,
yang menjadi tujuan dalam perkawinan menacapai mawaddah warahmah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. LARANGAN PERKAWINAN
Larangan perkawinan adalah Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab
perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan maka keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu1. Dalam ulama fiqh, larangan ada dua macam:
pertama, larangan untuk waktu tertentu diantaranya: a. karena wanita yang
bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain, b. wanita masih berada
dalam masa iddah, c. seorang wanita berbeda agama.
Untuk larangan yang bersifat tidak diperbolehkan untuk selamanya
diantaranya: a. karena hubungan darah (nasab), b. karena hubungan semenda (ibu dari
istri, anak tiri, istri bapak/ ibu, saudara istri) 2. Undang perkawinan menentukan
beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang mana dimuat dalam pasal
8, 9 dan 10, kiranya dapat digolongkan menjadi tujuh macam diantaranya:
a. karena adanya hubungan darah; perkawinan antara keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah. Juga, garis keturunan
kesamping.
b. karena adanya hubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu dan ibu/
bapak);
c. karena adanya hubungan susuan: perkawinan yang dilakukan adanya
hubungan menyusui;
d. karena larangan agama: perkawinan antara orang-orang yang oleh
agamanya dilarang;
e. karena hubungan dalam perkawinan poligami: karena sudah melebehi
batas yang sudah ditentukan oleh syara’;
f. karena masih terikat dalam perkawinan;
g. karena bercerai kedua kali. orang yang suka melakukan cerai sampai
melebihi dua kali.3

2. PENCEGAHAN PERKAWINAN
1
Hilman hadikusuma, hokum perkawinan ada, (cipta aditya bhakti; bandung 1997) hal. 103-104
2
Amiur nuruddin, hokum perdata diindonesia, (Jakarta; prenidia media: 2004)hlm.145-151
3
Wantjik shaleh, hokum perkawinan Indonesia. (Jakarta; ghalia Indonesia: 1978) hlm. 27
a. Pencegahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan
Pada prinsipnya perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan ini diatur
didalam pasal 13 undang-undang perkawinan, sedangkan pihak-pihak yang dapat
melakukan pencegahan diatur didalam pasal berikutnya, yaitu:
1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-
nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat
diatas4.
Kemudian suami atau istri dapat melakukan pencegahan akan terjadinya
perkawinan lagi dari salah satunya, karena mereka masih terikat tali perkawinan.
Selain itu yang dapat mencegah perkawinan adalah pejabat yang ditunjuk berdasarkan
pasal 16 UU perkawinan. Pejabat tersebut dapat mencegah perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12
undang-undang perkawinan tidak terpenuhi5.
Sedangkan mekanisme pengajuan pencegahan tetap berpedoman kepada pasal
15 UU perkawinan yang pada prinsipnya adalah:
a. pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada pegawai pencatat perkawinan.
b. Kepada calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini oleh pegawai pencatat
perkawinan6.
Selain itu mencegah perkawinan (pasal 20), pengawai pencatat perkawinan
berdasarkan pasal 21 ayat 1 UU perkawinan juga dapat melakukan penolakan untuk
melangsungkan perkawinan, apabila pegawai pencatat tersebut berpendapat ada

4
sudarsono, hokum perkawinan nasional, (rineka cpta; Jakarta: 1991) hlm. 100
5
Gatot supramono, segi-segi hokum hubungan luar nikah, (djambatan; Jakarta: 1998) hlm. 33
6
sudarsono, hokum perkawinan nasional, (rineka cpta; Jakarta: 1991) hlm 101
larangan menurut UU7. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak
yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-
alasan penolakannya.
Para pihak yang pernikahannya ditolak berhak mengajukan permohonan
kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang
mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. Pengadilan akan memeriksa
perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan
menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan
dilangsungkan.
Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat
mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka8. Undang-undang perkawinan
mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan
perkawinan. Pencegahan otomatis ini dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan
dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 UU perkawinan. Pencegahannya
tidak mengikuti prosedur sebagaimana diuraikan diatas, melainkan pegawai pencatat
cukup bersikap pasif, tidak melangsungkan perkawinan atau membantu
melangsungkan perkawinan.9
b. Pencegahan Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat
Pencegahan perkawinan erat kaitannya dengan syarat-syarat formal
perkawinan yang diatur didalam kitab UU hukum perdata. Ketentuan-ketentuan
tersebut meliputi:
1. pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pencegahan
2. hal-hal tertentu yang membolehkan bapak atau ibu melakukan pencegahan.
3. kedudukan kakek-nenek dalam melakukan pencegahan perkawinan
4. keluarga/ famili yang lain dan atau pihak lain yang berhak melakukan
pencegahan perkawinan.
5. kedudukan bekas suami didalam melakukan pencegahan perkawinan
7
Gatot supramono, segi-segi hokum hubungan luar nikah, (djambatan; Jakarta: 1998) hlm 34
8
sudarsono, hokum perkawinan nasional, (rineka cpta; Jakarta: 1991) hlm 102
9
Gatot supramono, segi-segi hokum hubungan luar nikah, (djambatan; Jakarta: 1998) hlm 33
6. peranan kejaksaan didalam melakukan pencegahan perkawinan

3. PEMBATALAN PERKAWINAN
a. Pembatalan Perkawinan Menurut UU Perkawinan
Menurut UU perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Hal ini diatur didalam pasal 22, sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu diatur didalam pasal 23 UU perkawinan terdiri dari:
1) Para keluarga pada garis keturunan terus keatas dari suami atau istri
2) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
3) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 UU ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.10
Walaupun syarat-syarat perkawinan menurut UU telah dipenuhi, UU juga
mengatur beberapa alasan perkawinan yang dapat dibatalkan sebagaimana pasal 26
dan pasal 27 , sebagai berikut:
1) Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah tidak sah atau perkawinan yang dilangsungkan
tanpa dihadiri dua orang saksi.
2) Perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum
3) Perkawinan yang terjadi karena adanya salah sangka mengenai diri suami atau
istri.
Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan,
oleh karena itu permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan kepengadilan
yang berwenang, yaitu salah satu dari: a. pengadilan ditempat perkawinan
dilangsungkan, b. pengadilan ditempat tinggal kedua suami-istri, c. pengadilan
ditempat tinggal suami atau istri11.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a) anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut; b) suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu; c) orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk

10
sudarsono, hokum perkawinan nasional, (rineka cpta; Jakarta: 1991) hlm106
11
Gatot supramono, segi-segi hokum hubungan luar nikah, (djambatan; Jakarta: 1998) hlm 37
dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap
b. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat
Pada prinsipnya perkawinan dapat dituntut pembatalannya oleh orang-orang
tertentu. Pembatalan tersebut yang dilakukan oleh orang tertentu harus berdasarkan
keadaan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang pada garis
besarnya karena alasan:
1. pelanggaran terhadap azas monogami;
2. salah satu pihak tidak memiliki kebebasan didalam kata sepakat
3. suami atau istri dibawah pengampuan
4. belum mencapai umur yang ditentukan undang-undang
5. pelanggaran terhadap larangan yang ditentukan undang-undang
6. karena tidak memenuhi perizinan yang ditentukan undang-undang
7. perkawinan dilaksanakan tidak didepan pejabat yang berwenang menurut
undang-undang12

BAB III
KESIMPULAN

12
sudarsono, hokum perkawinan nasional, (rineka cpta; Jakarta: 1991) hlm 108-109
Setelah mendengarkan beberapa penjelassan diatas yang telah kami sampaikan
mengenai tentang penjelasan pernikahan diantara : larangan, pembatalan, pencegahan.
Kami mencoba menyimpulkan bahwa mengenai Larangan perkawinan adalah Segala
sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika
dilakukan maka keseimbangan masyarakat menjadi terganggu
Dalam ulama fiqh, larangan ada dua macam: pertama, larangan untuk waktu
tertentu, dan kedua, larangan yang bersifat tidak diperbolehkan untuk selamanya.
Pencegahan bias terjadi pada prinsipnya apabila seorang tidak memenuhi syarrat yang
sudah menjadi ketetapan dari undang-undang dan hokum barat.
Mengenai pembatalan karena tidak syarat-syarat dari salah satu pihak laki-laki
atau perempuan sehingga pernikahan itu menjadi batal. Walupun mengenai
persyaratan sudah lengkap tetapi permasalahan yang lain sehingga pernikahan bias
dibatalkan yang terdapat dalam uu mengenai persyaratan walaupun sah.

DAFTAR PUSTAKA
 Gatot Supramono, Segi-Segi Hokum Hubungan Luar Nikah, Djambatan;
Jakarta: 1998
 Sudarsono, hokum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta; Jakarta: 1991
 Hilman Hadikusuma, Hokum Perkawinan Adat, Cipta Aditya Bhakti; Bandung 1997
 Amiur Nuruddin, Hokum Perdata diIndonesia, Jakarta; Prenidia Media: 2004
 Wantjik Shaleh, Hokum Perkawinan Indonesia. Jakarta; Ghalia Indonesia:
1978

Anda mungkin juga menyukai