Anda di halaman 1dari 15

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

ULUMUL HADITS TAMJIDNOR, S.Ag , M.Pd. I.

RESUMAN ULUMUL HADITS

Di Susun Oleh :
Fika Sulistyana : 210101070831

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

2021
BAB I
ULUMUL HADITS

A. Pengertian Hadits Dan Ulumul Hadits

Kata hadis secara etimologis berarti "komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau
duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual.Penggunaannya dalam bentuk
kata sifat atau adjektiva, mengandung arti aljadid, yaitu: yang baharu, lawan dari al-qadim, yang
Lama. Dengan demikian, pemakaian kata hadis disini seolah-olah dimaksudkan untuk
membedakannya dengan Al-Qur'an yang bersifat qadim. Di dalam Al-Qur'an, terdapat 23 kali
penggunaan kata hadis dalam bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak.3
Keseluruhannya adalah dalam pengertiannya secara etimologis di atas.Hadis telah dipergunakan di
dalam Al-Qur'an dengan pengertian cerita, komunikasi, atau pesan, baik dalam konteks religius atau
duniawi, dan untuk masa lalu atau masa kini.
Sedangkan Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam Ulama Hadis. Berasal dari bahasa arab
yaitu ‘Ulum al Hadits. ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al- Hadits. Kata ‘ulum
dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu” ; sedangkan al - hadits
dikalangan Ulama hadits berarti“segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad SAW dari
perkataan,perbuatan,taqrir, atau sifat. Dengan demikian, gabungan kata ‘ulum al - hadits mengandung
pengertian “ ilmu - ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis Nabi SAW. Pada mulanya, Ilmu
hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing masing berdiri sendirii, yang berbicara tentang
Hadis nabi SAW dan dan para perawinya, seperti imu al - hadits al shahih, Ilmu al- Mursal,Ilmu al-
Asma’wa al-Kuna , dan lain lain.
Ilmu- ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits , karena masing
masing membicarakan tentang hadits dan para perawinya . Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu
ilmu terpisah itu mulai digabungkan dan menjadi satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai salah
satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu
kesatuan tersebut tetap dipergunakan dalam Ulumul Hadits, sebagaimana halnya sebelum disatukan.
Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung
makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari
maknanya yang pertama , beberapa ilmu yang terpisah menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang
khusus , yang nama lainnya adalah Musthalah al-Hadits.

B. Pembagian Ulumul Hadits


Secara umum para Ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits
Riwayah (‘ilm al-hadits Riwayah) dan Ilmu Hadis Dirayah(‘ilm al-Hadits Dirayah).
1. Ilmu Hadits Riwayah
Menurut Ibn al- Akhfani , sebagaimana yang dikutip oleh Al – Suyuthi, bahwa yang dimaksud dengan
ilmu Hadis Riwayah adalah :
Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan
(periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa
perkataan,perbuatan,taqrir(ketetapan,atau pengakuan), sifat jasmaniah , atau tingkah laku ( akhlak )
dengan cara yang teliti dan terperinci.
Definisi yang hampir senada dikemukakan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al -‘Utsmani al -Tahnawi di
dalam Qawa’id fi ‘Ulum al- Hadits,
Ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan
perkataan,perbuatan dan keadaan rasul SAW serta periwayatan,pencatatan,dan perguraian lafaz –
lafaznya.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang cara periwayatan,pemeliharaan,dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi
Muhammad SAW.
Objek kajian Ilmu Riwayah adalah Hadis Nabi dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal
tersebut mencakup :

 Cara periwayatan Hadis, baik segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya
dari seorang perawi kepada perawi lain;
 Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan,penulisan, dan pembukaannya.

Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah : pemeliharaan terhadap Hadis Nabi
Muhammad SAW agar tidak lenyap dan sia sia , serta terhindar dari kekeliruandan kesalahan
dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian,
Hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW dapat terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum dan
tuntutan yang terkandung didalamnya, yang hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT agar
menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai ikutan atau suri teladan dalam kehidupan ini (QS
Al-Ahzab[33] : 21).
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi Muhammad SAW masih hidup, yaitu
bersamaan dengan dimulainya periwayatan Hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi Muhammad
SAW . Mereka berupaya untuk memperoleh Hadis Hadis Nabi Muhammad SAW dengan cara
mendatangi majelis rasulullah serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang
disampaikan beliau. Sedemikian perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji
satu sama lainnya untuk secara bergantian menghadiri majelis Nabi Muhammad SAW.
Tersebut, manakala diantara mereka ada yang sedang berhalangan . Hal tersebut seperti
dilakukan oleh Umar r.a , yang menceritakan , “ Aku beserta seorang tetanggaku dari kaum
Anshar , yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasulullah.
Apabila giliran ku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku
dapatkan dari Rasulullah pada hari itu ; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka
dia pun akan melakukan hal yang sama.
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah, baik dalam hal
beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi Muhammad SAW sehari-hari.
Rasulullah mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka. Tentang
hal ini, Anas ibn Malik mengatakan :

Manakala kami berada di majelis Nabi Muhammad SAW kami mendengarkan Hadis dari
beliau ; dan apabila kami berkumpul sesama kami, kamin saling mengingatkan (saling
melengkapi) Hadis-Hadis yang kami miliki sehingga kami menghafalnya.

Apa yang telah dimiliki dan dihafal oleh para Sahabat dari Hadis-Hadis Nabi Muhammad
SAW, selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat hati-hati kepada Sahabat lain yang
kebetulan belum mengetahuinya, atau para Tabi’in. Para Tabi’in melakukan hal yang sama,
yaitu memahami,memelihara,dan menyampaikan Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW
kepada Tabi’in lain atau Tabi’al-Tabi’in. Hal ini selain dalam rangka memelihara kelestarian
Hadis Nabi Muhammad SAW, juga dalam rangka memelihara kelestarian Hadis Nabi
Muhammad SAW, juga dalam rangka menyampaikan pesan yang terkandungdalam Hadis
Nabi Muhammmad SAW.

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi Muhammad SAW berlangsung


himgga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan dalam masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz(memerintah 99 H/717M – 102H/720M). Usaha tersebut
diantaranya dipelopori oleh Abu Bakar Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51 H/671-124H-
742M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah ;
dan dalam sejarah perkembangan hadits, dia di catat sebagai ulama pertama yang
menghimpun Hadis Nabi Muhammad SAW atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz,
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran
terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para Ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tirmidzi, dan lain-1ain. Dengan telah dibukukannya
Hadis-Hadis Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa
selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para Ulama yang datang kemudian, maka dengan
sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang. Berbeda halnya dengan Ilmu
Hadis Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan
perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam Ilmu Hadis. Dengan demikian, pada masa
berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang Ilmu Hadis, maka yang
dimaksud adalah Ilmu Hadis Dirayah, yang oleh para Ulama Hadis disebut juga dengart 'Ilm
Mushthalah al-Hadits atau Ilm Ushul al-Hadits.

2. Ilmu Hadis Dirayah

Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan
tetapi, apabila dicermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di
antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya. Ibn al-
Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:

Dan Ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui
hakikat riwayat, syarat-syarat , macam-macam, hukum-hukumnya, kedaan para perawi
syarat syarat mereka, jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya.

Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai berikut:
Hakikat riuagat, adalah kegiatan periwayatan Sunnah (Hadis) dan penyandarannya kepada
orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi
"haddatsana fulan", (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar seperti
perkataannya "akhbarana fulan", (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).

Syarat-sarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya
dengan menggunakan (cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat tahammul al-Hadits)
seperti sama’ (perawi mendengar langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira'ah (murid
membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin
kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang Ulama tanpa dibacaka
sebelumnya, munawalah (menyerahkan suatu Hadis yang tertulis kepada seseorang untuk
diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), i'lam (memberi tahu seseorang
bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang
koleksi Hadis yang dimilikinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis
dari seorang guru).
Macam-macam Riwayat, adalah, seperti periwayatan muttashil, yaitu periwayatan yang
bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir, atau munqathi', yaitu
periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.
Hukum riwayat adalah al-qabul yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi
persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak
terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka
(al-'adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika
menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat
(syarat pada al-adda'). Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis
di dalam kitab al-musnad, al-mu'jam, atau al-ajza' dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang
menghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW.

Al-khathib lebih lanjut menguraikan delinisi di atas sebagai berikut: Al-rawi atau perawi,
adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang
lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atau Tabi'in; keadaan perawi
dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan
ta'dil ketika tahammul dan adda' al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya 'illat
atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.

Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah
sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu
bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada
periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak
dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terakhir Ulumul Hadis Pengertian dan
Seiarah Ulumul Hadis terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar; (ii)
segi keterpercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam
sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau
dokumentasi Hadisnya); (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz); (iv)
keselamatannya dari cacat ('illat); dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.

Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dha'ifan-
nya. Hal tersebut dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang
terkadung di dalam Al-Qur'an, atau selamatnya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat at-faz);
(ii) dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad al-ma'na), karena bertentangan dengan
akal dan pancaindera, atau dengan kandungan dan makna Al - Qur'an, atau dengan fakta
sejarah; dan (iii) dari katakata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami
berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayahadalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-
Hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang
Mardud (yang ditolak).
BAB II
SEJARAH PERIWAYATAN HADITS

1. Periode Utama: Masa Kenabian (13 SH – 11 H)


Pada periode ini Rasulullah Saw. masih berada di tengah-tengah kaum muslimin yang terdiri dari para
sahabat golonan Muhajirin dan golongan Anshar. Mereka bertemu dan bergaul dengan bebas, baik
ketika Nabi Saw. di rumah, di masjid, di pasar, ataupun dalam peperangan dan peribadatan. Seluruh
perbuatan dan ucapan Nabi Saw. menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik Beliau
Saw. menjadi teladan dan pedoman hidup para sahabat. 3 Namun pada masa ini para sahabat lebih
banyak berkonsentrasi pada turunnya ayat-ayat Alquran dengan menulis dan menghafalkannya.
Sementara hadits tidak menjadi perhatian khusus untuk ditulis, karena memang Nabi Saw. melarang
untuk menulis hadits agar tidak bercampur baur dengan firman-firman Allah SWT.Larangan tersebut
sebagaimana disabdaan Nabi Saw. berikut:
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Alquran. Barang siapa menuliskan
yang ia terima dariku selain Alquran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku,
tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki
tempat duduknya di neraka”. (HR.Muslim)
Hadits di atas disamping menganjurkan agar meriwayatkan hadits secara lisan saja dan juga memberi
ultimatum kepada seseorang yang membuat hadits palsu.
Disini Nabi Saw., melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau
membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan
hadits tersebut merupakan satusatunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Meskipun
banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat
yang menjadi pembicaraan di kalangan ahli hadits.
Namun disamping melarang menulis hadits Nabi Saw. juga memerintahkan kepada beberapa orang
sahabat secara khusus atau tertentu untuk menulis hadits . Misalnya hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah ra. yang menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekkah telah dikuasai, yakni ketika Fathul
Mekkah, Rasulullah Saw. berpidato tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama
Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah Saw. dengan katanya:
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku! Rasulullah Saw. menjawab: “Tuliskanlah untuk Abi Syah ini.”
Menurut Abu Abdirrahman bahwa tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis hadits yang
lebih sah selain hadits ini. Sebab dengan tegas Nabi Saw. memerintahkannya. Selain itu ada beberapa
orang sahabat yang secara khusus mempunyai catatan-catatan hadis Nabi Saw. yang dimiliki secara
pribadi, seperti:
1. Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. atau sering disebut Ibnu Amr al-‘Ash. Beliau hidup antara tahun 7
SH hingga 65 H, merupakan salah satu sahabat yang selalu menulis apa yang pernah di dengar dari
Nabi Saw. Tindakan ini pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan: “Kau tuliskan
semua apa-apa yang telah kau dengar dari Nabi Saw.? Padahal beliau sebagai manusia, kadang-
kadang berbicara dalam suasana duka”. Atas teguran tersebut, Ibnu Amr al-‘Ash mengadukan kepada
Rasulullah Saw. Kemudian Nabi Saw. menjawab:
“Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ditangan-Nya, tidaklah keluar daripada-Nya, kecuali hak.” (HR.
Abu Daud dengan sanad yang shahih).
Rasulullah Saw. mengizinkan Abdullah bin Amr al-‘Ash ra. untuk menulis apa-apa yang didengarnya
dari Rasulullah Saw. Karena Abdullah bin Amr al-‘Ash ra. adalah salah seorang penulis yang handal.
Catatan-catatan hadis beliau dinamakan “Ash Shahifah Ash Shadiqah” yang berisi 1000 buah hadits
yang dipelihara dan dihafal oleh keluarganya. Cucunya yang bernama ‘Amr bin Syu’aib
meriwayatkan hadits tersebut sebanyak 500 hadis.
Bila naskah Ash Shahifah Ash Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka
dapatlah kita temukan kutipan pada Kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasai,
Sunan at-Turmudzi, dan Sunan Ibnu Majah. 8
2. Jabir bin Abdullah al-Anshari (16 H – 73H)
Naskah hadits Jabir bin Abdullah al-Anshri dinamakan “Shahifah Jabir”. Selain itu dari kalangan
Tabi’i pun ada yang mempunyai naskah, yaitu Human bin Munabbih, beliau adalah tabi’i yang alim
yang berguru kepada sahabat Rasulullah Saw., Abu Hurairah ra. Dan mengutip hadits Rasulullah
Saw., dari Abu Hurairah banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu
naskah yang dinamai “Ash Shahifah Ash Shahihah” yang berisi sebanyak 138 hadits.
Ketiga naskah hadits tersebut adalah diantara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi
oleh para sahabat dan tabi’in yang muncul pada abad pertama.
Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan mengizinkan pada pihak lain bukanlah
nash yang bertentangan, akan tetapi nash-nash itu bisa dikompromikan sebagai berikut:
1) Bahwa larangan menulis hadis itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits tidak
bercampur dengan Alquran. Tetapi setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak
yang mengenal Alquran, maka hukum larangan menulisnya telah dinasakh dengan perintah yang
membolehkannya.
2) Bahwa larangan menulis hadits itu bersifat umum, sedangkan perizinannya bersifat khusus bagi
yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak
dikhawatirkan salah, seperti Abdulah bin Amr bin Ash ra.
3) Bahwa larangan menulis hadis ditujukan kepada orang yang lebih kuat hafalannya daripada
menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti
Abu Syah.
A. Sistem Meriwayatkan Hadits
Dr. M. Ajaj al-Khatib dalam buku Hadits Nabi Saw. sebelum di bukukan, menjelaskan cara-cara
Sahabat menerima hadits dari Nabi Saw., yaitu:
1. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah Saw., kemudian beliau menjelaskan
hukumnya sehingga tersiar kabar dikalangan kaum muslimin melalui sahabat yang mendengarnya dari
beliau Saw. Ada kalanya sahabat yang mendengar jumlahnya 9 Ibid. 10 Ibid 7 banyak sehingga berita
tentang hukum itu tersebar dengan cepat dan ada kalanya jumlahnya sedikit sehingga beliau perlu
mengutus sahabat untuk menyampaikan hukum itu kepada manusia.
2. Peristiwa-peristiwa yang dialami kaum muslimin, kemudian mereka menanyakan kepada
Rasulullah Saw., dan beliau memberikan fatwa dengan menjelaskan hukum peristiwa/persoalan
tersebut. Semua peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia. Para sahabat tidak merasa malu
menanyakan segala persoalan, bahkan bersegera datang kepada guru pertama untuk mendapatkan
kebenaran yang menyejukkan hati. Ada juga sahabat yang merasa malu bertanya sehingga meminta
sahabat lain untuk menanyakannya kepada Rasulullah Saw.
3. Kejadian dan peristiwa yang dialami para sahabat dan mereka menyaksikan tindakan Rasulullah
Saw. terhadapnya. Hal ini banyak terjadi pada diri beliau, misalnya menyangkut shalat, haji, puasa,
saat perjalanan dan saat berdiam di rumah. Para sahabat meriwayatkan semuanya itu kepada tabi’in
kemudian mereka menyampaikan kepada generasi sesudahnya. Masa ketiga ini terhimpun menjadi
bagian besar as-Sunnah, khususnya petunjuk Rasulullah Saw., dalam hal ibadah dan muamalah serta
keseluruhan perjalanan hidup beliau.
B. Penyebaran Sunnah pada Masa Rasulullah Saw.
Sunnah tersebar bersama Alquran sejak saat-saat pertama dakwah, yaitu pada saat kamu muslimin
dalam jumlah sedikit, berkumpul secara sembunyisembunyi di rumah al-Arqam bin Abdi Manaf.
Mereka menerima ajaran-ajaran agama baru, membaca Alquran dan menegakkan syiar-syiar Islam.
Banyak faktor yang memungkinkan dan menjamin tersebarnya Sunnah ke berbagai kawasan dunia.
Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
1. Semangat dan kesungguhan Rasulullah Saw. dalam menyampaikan dakwah dan menyebarkan
Islam.
2. Watak Islam dan sistem kehidupan baru yang dibawanya yang membuat manusia bertanya-tanya
tentang hukum Islam, Rasulnya, dan sasaran-sasarannya.
3. Semangat para sahabat Rasulullah Saw. dan motivasi mereka mencari ilmu, menghafalkannya dan
menyampaikanya kepada orang lain.
4. Ummahat al-Mukminin (isteri-isteri Rasulullah Saw.) sangat berjasa dalam menyampaikan agama
dan menyebarkan sunnah dikalangan wanita kaum muslimin (anak-anak, pen).
5. Para sahabat wanita (sahabiyah) juga mempunyai pengaruh yang tidak kalah besar dari pengaruh
sahabat pria ra. dalam memelihara dan menyampaikan sunnah.
6. Para utusan, delegasi dan pejabat Rasulullah Saw., setelah hijrah kota Madinah menjadi pusat
kedaulatan Islam dan aktifitas dakwah.
7. Perang penaklukan besar (penaklukan kota Mekah). Pada tahun 8 hijriah, bangsa Quraisy
melanggar perjanjian Hudaibiyah. Maka Rasulullah Saw. menyeru kepada seluruh kabilah yang
memeluk Islam di Madinah pada bulan Ramadhan, bersama 10.000 mujahid, beliau berangkat menuju
Mekkah.
8. Haji Wada’, pada bulan Zulhijjah tahun 10 H, Rasulullah Saw. pergi ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji bersama sahabat. Beliau disertai sahabat yang berjumlah 90.000 orang wukuf di Arafah
dan berpidato yang temanya mencakup berbagai persoalan.
9 Delegasi-delegasi setelah penaklukan besar dan haji wada’ yang dikirim ke berbagai kawasan
jazirah Arab datang untuk berbaiat kepada Rasulullah Saw. dan bersatu di bawah panji-panji Islam.
Rasulullah Saw. menyambut baik delegasi itu, mengajari mereka tentang Islam, membekali mereka
dengan berbagai nasihat dan petunjuk. Sebagian mereka bermukim di rumah Rasulullah Saw.
beberapa hari, kemudian kembali ke kabilahnya masing-masing untuk menyampaikan agama yang
lurus. Selain itu Rasulullah Saw. juga mengutus sahabatnya yang alim untuk mengajar agama ke
beberapa tempat, seperti Mu’az bin Jabal ra. ke Yaman. Rasulullah Saw. melihat bahwa delegasi itu
membawa dampak positif sehingga beliau menghormati mereka. Mereka bertanya dan beliau
menjawabnya. Mereka mendengar hadits beliau, menyaksikan sebagian perilaku beliau dan bersama
beliau melakukan ibadah. Mereka melihat banyak tindakan beliau sehingga mereka mempunyai
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penukilan, periwayatan dan penyebaran as-Sunnah. 12
2. Periode Kedua: Masa Khulafa ar-Rasyidin (12H – 40 H), masa membatasi riwayat.
Para sahabat mengetahui kedudukan sunah, maka mereka pegang teguh dan mereka ikuti atsar-atsar
Rasulullah Saw. Mereka tidak mau menyalahi sunnah itu jika sunnah itu mereka yakini kebesarannya,
sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati
meriwayatkan hadits dari Nabi Saw., karena khawatir berbuat kesalahan dan takut sunnah yang suci
itu ternodai oleh kedustaan dan pengubahan.
Sunnah merupakan Syariat pertama setelah Alquran al-Karim. Oleh sebab itu mereka menempuh
segala macam cara untuk memelihara hadits. Mereka lebih 12 Ibid. 99-106. 10 memilih bersikap
“sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah Saw., bahkan sebagian dari mereka lebih
memilih “sedikit dalam meriwayatkan hadits”.
Cara- cara sahabat meriwayatkan hadits:
1. Adakalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi Saw. yang mereka
hafal benar dari Nabi itu
. 2. Adakalanya dengan makna saja, yakni dengan meriwayatkan maknanya bukan dengan lafalnya,
karena mereka tiddak hafal lafalnya yang asli dari Nabi Saw.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, perkembangan hadits tidak begitu pesat. Hal ini
disebabkan oleh anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan mentiarkan Alquran, karena
Alquran belum tersebar luas. Dengan kebijakan ini, maka Khalifah Umar membatasi periwayatan
hadits. Kebijakan ini bukan berarti menghambat berkembangnya hadits, melainkan hanya belum
menaruh perhatian secara sempurna.
Saat Utsman yang memerintah, merupakan saat yang penting bagi perkembangan hadits. Para sahabat
dan sebagian tabi’in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan hadits dari
kibar ash-shabah yang jumlahnya mulai berkurang dan tersebar di berbagai pelosok.
Karena untuk menghadapi beberapa masalah sangat membutuhkan beberapa petunjuk praktis yang
pernah dikerjakan oleh Nabi Saw. atau memerlukan status hukum yang pernah diciptakannya, sedang
dalam semua perbendaharaan hadits ada dalam dada para sahabat besar, maka tidak sedikit para
sahabat kecil dan tabi’in menghabiskan waktu, tenaga, dan harta melawat timur dan barat, utara dan
selatan mengunjungi tempat-tempat kediaman para sahabat untuk menggali beberapa hadits. Satu
contoh, apa yang dilakukan sahabat Abu Ayyub al-Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat ‘Uqbah
bin ‘Amir untuk menanyakan satu hadits.
Kegiatan Ilmiah dan Tersebarnya Hadits pada Masa Sahabat
Para sahabat melihat adanya kebutuhan yang mendesak untuk memelihara sunah. Maka Abu Bakar
ash-Shidiq dan ‘Umar al-Faruq berusaha memeliharanya dalam bentuk tulisan. Tidak ada yanga
mendorong mereka untuk hal itu kecuali keinginan keras untuk memelihara Alquran dan Sunnah.
Setiap orang dari mereka selalu mempelajari dan besertanya tentang sunnah yang berada di tangan
para penghafalnya.
Pada pemerintahan Utsman ra. kekuasaan kaum muslimin menjangkau Asia Kecil, setelah mereka
berhasil menaklukkan Persia pada tahun 21 H, dan pada tahun 56 H mereka sampai ke Samarkand.
Selanjutnya panji-panji Islam berkibar di Andalusia setelah barat tahun 93 H. Tiga tahun kemudian
sampai pegunungan Pirenia hingga perbatasan China di sebelah Timur.
Berikut pusat-pusat pengajaran dan kegiatan ilmiah terpenting di berbagai kota Islam:
1. Madinah al-Munawwarah Madinah adalah rumah hijrah dan ibu kota pemerintahan Islam yang
menampung Rasulullah Saw. dan para sahabat yang melakukan hijrah. Kota ini merupakan proses
awal perkembangan Islam. Masjid-masjid menjadi tempat berlindung untuk mempertahankan agama
mereka dibawah tekanan bangsa Quraisy, masjid juga merupakan tempat bergantung cita-cita
perdamaian Hudaibiyah dan penaklukan kota Mekah. Madinah merupakan tempat mukimnya Kibar
ash-Shahabah (sahabat senior) yang mendalam ilmunya dan agung kedudukannya dalam hadits.
Diantara mereka terdapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Zaid bin
Tsabit Radiallahu ‘anhum. Dari mereka ini melahirkan para tabi’in yang ‘alim seperti Sa’id ibnu
Musayyab, Urwah bin Az Zubair, Ibnu Syihab Az Zuhri, Ubaidillah bin 16 M. Ajaj al-Khatib. Op.Cit.
hal. 182 17 Ibid. hal. 204 12 Utbah, Salim bin Abdullah bin Umar dan Muhammad bin al-Munkadir.
Mereka merupakan rujukan umat Islam mengenai as-Sunnah.
2. Makah al-Mukarramah Banyak sahabat yang meriwayatan hadits dari Muadz, diantaranya
Abdullah bin Abbas yang pernah menjabat sebagai Duta Besar sekembalinya dari Bashrah ke Mekkah
al-Mukarramah. Di Mekah ada Itab bin Asid yang pernah ditunjuk Rasulullah Saw. menjadi imam
shalat di Mekah. Selain itu ada lagi Khalid bin Asid, al-Hakan bin Abi al-Ash dan Utsman bin Abi
Thalhah. Dibawah bimbingan para sahabat, di Mekah muncullah Mujahid bin Jabr, Atha bin Abi
Rabah, Thawus bin Kaisan, Ikrimah, Budak Ibnu Abbas dll.
3. Kufah
Setelah Irak takluk pada masa Umar ra., banyak sahabat Rasulullah Saw. tinggal di Kufah dan
Bashrah menjadi basis penaklukkan Islam ke Khurasan, Persia dan India. Selanjutnya datanglah 300
sahabat beserta bait ar-ridhwan dan 70 sahabat peserta perang Badar. Yang masyhur diantaranya Ali
bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid dan Abdullah bin Mas’ud. Di Kufah terdapat
60 Syekh sahabat Abdullah bin Mas’ud. Di Bani Tsaur yang bertempat tinggal di Kufah terdapat 30
orang guru. Selain mereka dikenal nama Kamil bin Zaid anNakha’i, Abu Ishak dan Abdul Malik bin
Umar.
4. Bashrah
Diantara sahabat yang tinggal di Bashrah adalah Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdulah
bin Abbas. Juga terdapat Utbah bin Gazwan, Imran bin Husain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qil bin
Yasar, Abdurrahman bin Samurah, Abu Zaid al-Anshari, Abdullah bin AlAsyikhkhir serta al-Hakam
dan Usman. Alumni madrasah Bashrah yang terkenal adalah Hasan al-Bashri (yang bertemu 500
sahabat), Muhammad bin Sirin, Ayub as Sakhtiyani, Bahz bin Hakim alQusyairi, Yunus bin Ubaid,
Khalid bin Mahran dan lain-lain. 21
5. Syam
Sulit menghitung jumlah sahabat yang tinggal di Syam, namun Walid bin Muslim memperkirakan
10.000 orang. Atas permintaan Yazid bin Abu Sofyan kepada Umar ra. untuk mengirim sahabat yang
alim ke Syam. Maka dikirimlah Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shamit, Abu Darda dan Abdurrahman
bin Ghanam. Selain itu terdapat juga di Syam sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah, Bilal bin Rabah,
Syahrabil bin Hasanah, Khalid bin Walid, Iyadh bin Ghanam, Fardh bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Dari bimbingan mereka lahirlah orang-orang yang alim dikalangan tabi’in, diantaranya Salim bin
Abdullah al-Muharibi, Abu Idris alKhaulani, Abu Sulaiman ad-Darani dan lain-lain.
6. Mesir
Mesir ditaklukkan pada masa Umar ra., dibawah pimpinan Amr bin Ash ra, disertai sejumlah besar
sahabat seperti Zubair bin Awwam, Ubadah bin Shamit, Maslamah bin Mukhallad dan Miqdad bin
Aswad disertai Abdullah bin Umar, salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari
Rasulullah Saw. dan yang membukukan hadits di depan Rasulullah Saw. Diantara sahabat yang
tinggal di Mesir adalah Uqbah bin Amir alJuhani, Kharijah bin Hazafah dan lain-lain.
7. Maroko
Amr bin Ash sampai di Barqah dan Tharabil tahun 21 H pada masa Umar ra. Diantara sahabat yang
dikirim ke Maroko adalah Abdullah bin 21 Ibid. 22 Ibid. hal. 210 23 Ibid. hal. 211 14 Abbas,
Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abdullah bin Ja’far, Hasan dan Husein, Abdullah bin Zubair dan
Uqbah bin Nafi’.
8. Yaman
Rasulullah Saw. mengirim Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, dan menyusul
sahabat yang lain. Di negeri ini lahir ulama yang cemerlang dari tabi’in diantaranya Haman dan
Wahab (keduanya putera Manbah), Thawus dan putranya, Ma’mar bin Rasyid serta Abdurrazaq bin
Haman.
9. Khurasan
Sahabat yang bermukim di Khurasan antara lain Buraidah bin Hashib al-Aslami, Abu Barzah, Al-
Hakam bin Amr al-Ghifari, Abdullah bin Khazim dan Qasam bin Abbas. Di negeri-negeri ini lahir
lama senior bidang hadits seperti Isan bin Musa Ghanjar, Ahmad bn Hafshal Faqih, Muhammad bin
Salam al-Bikandi, Abdullah bibn Abdurrahman ad Darimi, Muhammad bin Nashr al-Maruzi dan Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
3. Periode Ketiga: Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar (Masa berkembang dan meluas periwayatan
hadits)
Diantara sahabat yang membanyakkan riwayat adalah:
1. Abu Hurairah, Menurut Ibnu Jauzi, bahwa hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah berjumlah 5374
buah,
2. Abdullah bin Umar, meriwayatkan hadis 2630 buah,
3. Anas bin Malik, meriwayatakan 2276 hadits,
4. Aisyah, meriwayatkan 2210 hadits,
5. Abdullah bin Abbas, meriwayatkan 1660 hadits,
6. Jabir bin Abdullah, meriwayatkan 1540 hadits
7. Abu Said al-Khudri, meriwayatkan 1170 hadits.

4. Periode Keempat: Masa Pembukuan dan Pengumpulan Hadits


Dikala kendali khalifah di tangan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 99 H, berliau tergerak hati
untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits kian lama
kian banyak yang wafat. Maka bila tidak dibukukan dari perawinya, memungkinkan hadits-hadits
akan lenyap bersama para penghafalnya ke alam barzakh. Untuk menghasilkan maksud mulia ini,
pada tahun 100 H, khalifah meminta gubernur Madinah, Abu Bakar ibnu Muhammad ibn Amer ibn
Hazm yang menjadi guru Ma’mar, al-Laits, al-Auza’iy, Malik, Ibnu Ishak dan Abu Dzibin supaya
membukukan hadits Rasulullah Saw., yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu
Amrah bint Abdirrahman bin Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades, seorang ahli fiqih murid Aisyah ra., dan
hadits-hadits yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar ashShiddiq, seorang pemuka
tabi’i dan salah satu seorang fuqaha Madinah yang tujuh (al-Qasim, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Sa’id bin Musayyab, Abdillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Kharijah ibn Zaid
ibn Tsabit, dan Sulaiman bin Yasar)
Selanjutnya, Umar bin Aziz memerintahkan Abu Bakar bin Hazm menulis hadits-hadits yang ada
pada Amraah binti Abdurrahman al-Anshariyah dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Dia juga
mengirim surat kepada pejabatpejabatnya di beberapa pusat kota Islam agar mengumpulkan hadits.
Diantara orang yang menerima perintah tersebut ialah Muhammad bin Syihab al-Zuhri. Pada masa itu
ulama bergerak menulis dan membukukan sunnah, sehingga tersebarlah beberapa penulisan sunnah
pada suatu periode sesudah periode alZuhri tersebut, diantaranya ialah:
1. Ibnu Juraij, di Mekah pada 150 H
2. Ibnu Ishak di Madinah pada 151 H.
3. Malik di Madinah pada 179 H.
4. Rabi’a bin Subeh di Bashrah pada 106 H.
5. Said bin Abu Arubah di Bashrah pada 156 H.
6. Hammad bin Salamah di Bashrah pada 176 H.
7. Sufyan al-Tsauri di Kufah pada 161 H.
8. Al-Auz’i di Syam pada 156 H.
9. Husyain di Khurasan pada 188 H.
10. Ibnu al-Mubarak di Khurasan 181 H.
Sistematika penulisan kitab hadits mereka ialah dengan menghimpun haditshadits yang tergolong
dalam satu munasabah, atau hadits-hadits yang ada hubungannya antara yang satu dengan yang
lainnya dihimpun dalam satu bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu
kitab.
Sistem Ulama dalam membukukan hadits pada masa ini adalah dengan tidak menyaringnya. Yakni
mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam buku
itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka
terdapatlah dalam kitab itu hadits-hadits marfu’, hadits-hadits mauquf dan hadits maqthu’. Diantara
kitab.
5.Periode Kelima: Masa Mentashhih Hadits
Kalau masa sebelumnya pengumpulan hadits yang membedakan sandarannya, apakah marfu’, mauquf
atau maqthu’. Namun pada masa ini fatwafatwa sahabat dan tabi’in mulai dipilah. Mereka hanya
membukukan hadits saja dalam buku-buku hadits dan masih bercampur antara shahih, hasan, dan
dhaif. Segala hadits diterima dan didewankan dengan tidak menerangkan kualitasnya. Lantaran itu tak
dapatlah orang yang kurang ahli mengambil hadits-hadits yang terbuku didalamnya.
Pada masa ini bertambahnya lawatan dan pentashhihan hadits. Mulamulanya kebanyakan ulama
mengumpulkan yang terdapat di kota mereka masingmasing. Sebagian kecil saja diantara mereka
yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan oleh Bukhari yang mula-
mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan,
dan Himmash. Ringkasnya Imam Bukhari membuat langkah mengumpulkan hadits yang tersebar di
berbagai daerah. Enam belas tahun lamanya terus menerus Imam Bukhari menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahihnya.
Selain periode ini, masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitabkitab jami’. Dan periode
terakhir yaitu ketujuh masa membuat syarah dan takhrijul hadits. al-Suyuthi fi ulum al-hadis.
Pada periode ketujuh ini sunnah Nabawiyah telah dapat diusahakan dalam penulisan dan penyusunan
dengan cara yang lebih khusus dan lebih sempurna. Yaitu dengan cara memisahkan hadits-hadits yang
shahih saja dari hadits-hadits yang da’if, sekalipun di berbagai kitab yang telah disusun demikian,
masih juga didapatkan yang tidak shahih setelah diadakan penelitian, namun sudah jauh memadai
kesempurnaannya dari pembukuan dimasa sebelumnya. Selain itu, juga telah dapat disusun dalam
penertibannya berdasarkan bab-bab tertentu. Orang-orang yang tampil berusaha seperti itu diantara
lain yang dikenal dengan ashab al-Kutub al-Sittah.
Di antara kitab-kitab yang termasuk ke dalam kitab syarh adalah sebagai berikut.
1. Fath al-Bari; Syarh Shahih al-Bukhari, tulisan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
2. Syarh an-Nawawi; Syarh Shahih Muslim, tulisan An-Nawawi.
3. Tuhfat al-Ahwadzi; Syarh al-Jami at-turmudzi, tulisan Muhammad bin Abdurrahman
Bersamaan dengan penulisan hadits dan segala problematikanya, dalam upaya memelihara
keotentikan suatu hadits para ulama menyusun sistematika ilmu hadits, di antaranya adalah ilmu rijal
hadits dengan dua aspek keilmuan yang meliputi tarikh ar-ruwat dan kritik sanad melalui ilmu al-jarh
wa at-ta’dil. Di antara para ulama yang membahas tentang Tarikh ar-Ruwat adalah sebagai berikut
1) Muhammad bin Sa’ad (168 – 230 H) dengan kitabnya At-Thabaqat alKubra.
2) Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H) dengan kitabnya AtTarikh al-Kabir.
3) Syihabuddin Ahmad bin Ali (Ibnu Hajar) al-‘Asqalani (773 – 852 H) dengan kitabnya Tahdzib at-
Tahdzib.
4) Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 – 405 H) dengan kitabnya Tarikh Naisabur.
Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1993). hal.73 37
Kangyosep. Sejarah Perkembangan Hadis. Online
5) Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Baghdadi (al-Khatib al-Baghdadi) (392 – 463 H) dengan kitabnya
Tarikh Baghdad.
6) Ali bin Husain Ibnu ‘Asakir ad-Dimasyqi (499 – 571 H) dengan kitabnya Tarikh Dimasyq.
Adapun penyusunan sistematika al-jarh wa at-ta’dil terjadi sejak akhir abad kedua hijrah sampai abad
kedelapan hijrah. Di antara para ulama yang memiliki perhatian tinggi terhadap al-jarh wa at-ta’dil ini
adalah sebagai berikut.
1) Yahya bin Ma’in (158 – 233 H) dengan kitabnya Ma’rifat al-Rijal.
2) Ali bin al-Madini (161 – 234 H).
3) Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).
4) Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H) dengan kitabnya AdDhu’afa.
5) Ahmad bin Syu’aib Ali An-Nasai (215 – 303 H) dengan kitabnya AdDhu’afa wa al-Matrukin.
6) Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi (240 – 327 H) dengan kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil.
7) Abu Hatim bin Hibban al-Busti (w. 354 H) dengan kitabnya AsTsiqat.
8) Abdullah bin Muhammad al-Jurjani (277 – 365 H) dengan kitabnya Al-Kamil.
9) Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi (673 – 748 H) dengan kitabnya Mizan al-I’tidal.
10) Syihabuddin Ahmad bin Ali (Ibnu Hajar) al-‘Asqalani (773 – 852 H) dengan kitabnya Lisan al-
Mizan..
BAB III
KEDUDUKAN HADITS

1. Fungsi Hadits Dalam Pembentukan Hukum Syar’i Dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
Hadits merupakan landasan hukum Islam yang kedua setelah alQur’an.Hadits sebagai sumber kedua
ini ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu; al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal
sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasulullah berfungsi menjelaskan maksud firman-
firman Allah. Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul
harus diteladani oleh kaum Muslimin. Tulisan ini menemukan bahwa fungsi hadist terhadap al-Quran
adalah sebagai bayan dan muhaqiq (penjelas dan penguat) bagi al-Quran. Baik sebagai bayan taqrir,
bayan tafsir, takhshish al-’am, bayan tabdila. Tidak hanya itu, tulisan ini juga menemukan bahwa
hadist Rasulullah telah menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an. Karena dalam
al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara
mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah, serta mengancam orang yang
menyelisihinya.
a. Bayan Taqrir
Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan mengokohkan apa yang
telah ditetapkan alQur`ân, sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh
al-Hadits tentu saja yang sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai
kaum muslimin salah menyim-pulkan.
b. Bayan Tafsir
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya global atau
mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri dari
(1) tafshîlal-mujmal, (2) tabyîn al-musytarak, (3) takhshish al-’âm.
1) Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang maknanya masih
global. Contoh:
a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah shalat, tapi tidak dirinci
bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada
setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci.
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian pelaksanaannya
c. Bayan Nasakh.
Secara etimologi, nasakh memiliki beberapa arti, di antaranya; menghapus dan menghilangkan,
mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan memindahkan sesuatu.
Sedangkan dalam terminologi studi hadis, bayan nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus
ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh
tidaknya hadis menasakh Al-Qur’an. Ulama yang membolehkanpun juga berbeda pendapat tentang
kategori hadis yang boleh menasakh Al-Qur’an.
Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas
menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan
demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta
kepada ahli warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang
meninggal tersebut.
d.Bayan Tasyri’
Bayan at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang
tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas Muthawali Hamadah bayan at-tasyri’
disebut dengan bayan zaid ‘ala al-Kitab al-Karim, yaitu penjelasan sunnah/hadis yang merupakan
tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang berfungsi sebagai
bayan al-tasyri.
Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/hadis sebagai tambahan atas
Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran dari Al-Qur’an.
Mereka mengambil dari hadis tersebut dalil yang menjadi rincian dari Al-Qur’an, karena Rasulullah
Saw tidak mewajibkan zakat kecuali kepada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an,
karena zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sementara kesucian hanya untuk orang Islam.

Anda mungkin juga menyukai