Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah ‘Ulumul Qur’an
Disusun oleh :
Ahmad Muhasibi
SERANG - BANTEN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat alllah SWT, atas segala limpahan dan rahmatnya.
Taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas uts
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga tugas uts ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.
Dalam penulisan tugas uts ini penulis menyampaikan banyak terima kasih
yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam penulisan tugas uts
ini.
Penuli
s
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................2
2
1. SEJARAH AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH , MASA
TURUNNYA DAN CARA-CARA TURUNNYA, CARA PENYIARAN
DAN PEMELIHARAAN ALQURAN OLEH RASULULLAH
Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar,
ayat-ayat Al-Quran belum dibukukan, karena umat Islam pada masa itu belum
memerlukannya sebab Al-Qur’an pertama kali diturunkan di Jazirah Arab. umat
Islam pada waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka tidak memerlukan
ilmu khusus terkait untuk memahami Al-Qur’an, karena bahasa Al-Qur’an adalah
bahasa mereka sendiri dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-
maksud ayat.1
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-
tulis) dan diutus di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian Nabi
1
Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadis,hlm.83.
2
Ibid., hlm. 77-78.
3
hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang
diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa selalu
merindukan turunnya wahyu-wahyu dari Allah kemudian menghafal dan
memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:
Proses turunnya Al-Qur’an terkadang hanya satu ayat dan kadang sampai
sepuluh ayat atau lebih. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal di dalam dada dan
ditempatkan dalam hati. Pada dasarnya bangsa Arab memilik kecerdasan dan daya
hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.( 3 )
Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat yang pertama kali mengumpulkan
Al-Qur’an pada masa Nabi atas perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah
menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan Al-
Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan
bahwa Sahabat Ali memiliki kumpulan Al-Qur`an. Di kalangan ortodoks Islam,
pengumpulan Al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan
Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan
Al-Qur`an dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus
terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa
turunnya Al-Qur’an dengan wafatnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan
penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan
janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya “.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-
Qur’an beliau membacakannya di hadapan para sahabat, kemudian para sahabat
menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun kemudian
beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru
diterimanya itu. Mereka yang masyhur ialah; Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin
Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit,
3
( ) Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, UlumulQur’an I,hlm.71-72.
4
Az-Zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Al-arqam bin Maslamah,
Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As, Maslamah bin Khalid,
Qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin Makhlad, Abu Musa AL-
Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti Abdillah binti Harits.( 4 )
Pada dasarnya, seluruh al-Quran sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada,
hanya saja pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-
pencar. Sehingga dalam sejarah disebutkan bahwa orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Siddiq. Oleh karena itu,
Abu ‘Abdillah al-Muhasibi Berkata dalam kitabnya, Fahm As-Sunan:
4
( )Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. Hlm.18
5
( )Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, UlumulQur’an I,hlm. 67-68.
5
pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar
kemudian berinisiatif menghimpun semuanya.” 6
Kejadian tersebut dikritisi oleh Umar Ibn Khattab. Ia khawatir peristiwa yang
serupa akan terulang kembali. Sehingga semakin banyak huffadz yang gugur. Bila
demikian,”masa depan” Alqur’an menjadi terancam. Maka muncul ide kreatif
Umar yang disampaikan kepada Abu Bakar Ash-Siddiq untuk segera
mengumpulkan tulisan-tulisan al-Aur’an yang pernah ditulis pada masa Nabi.
Semula Abu Bakar keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar berhasil
meyakinkanya. Maka dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid Ibn Tsabit
dan tiga orang lainnya sebagai anggotanya yakni Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib, dan ubay Ibn Ka`ab dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci
tersebut.
6
( ) Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid I, hal. 60
6
Abu Khuzaifah tersebut.7
Sehingga jelaslah bahwa Zaid beserta panitia yang lainnya menghimpun al-
Qur`an menggunakan metode penghimpunan pada tulisan dan hafalan. Tidak
pernah mereka menetapkan kesahihan ayat-ayat al-Qur`an hanya berdasarkan
hapalan tanpa tulisan, dan tidak pula pernah mengakui validasi ayat-ayat al-
Qur`an hanya merujuk kepada tulisan tanpa mengeceknya dengan hafalan.
Masa pemerintahan Ustman bin Affan adalah yang terpanjang dari semua
khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun. Sejarahwan membagi
masa pemerintahan Utsman bin Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama
merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah
merupakan masa pemerintahan yang buruk. Enam tahun pertama pada
pemerintahan, Beliau melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai
Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian
ekspedisi militer yang terencana secara cermat dan simultan di semua front.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin
oleh Kholid bin Walid untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku
bahwa dirinya adalah Nabi. Peperangan yang terjadi di Yamamah itu
menggugurkan 700 sahabat penghafal al-Qur’an. Melihat hal ini, Umar bin
Khathab meminta kepada Abu Bakar ash-Shidiq agar al-Qur’an dikumpulkan
7
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M Ulumul qrr`anHal 51
7
karena khawatir al-Qur’an akan hilang dengan gugurnya para penghafal al-
Qur’an.8 Atas usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar ash-Shidiq
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karena beliau
adalah orang yang pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis
wahyu di masa Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin
Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.9
8
Sebagian orang ada yang salah dalam membaca, disamping itu tiap-tiap orang
berusaha sungguh-sungguh memperbaiki bacaannya. Juga memperbaiki wakaf-
wakafnya, dari perbedaan itu maka terjadilah perbedaan dikalangan mereka. Di
antara mereka itu timbul perbedaan pendapat. Bagi para sahabat yang terkemuka
malah ini menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dengan secara berangsur-angsur
akan terjadi perubahan dan pertukaran nantinya.11
11
Halimuddin, S.H, Pembahasan Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, T.th), 46.
12
Halimuddin, S.H, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992, T.th), 57.
13
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma’arif,
1984), 94.
9
pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru
yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid
tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai
kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita
tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan:
“Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang
bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Sebagai khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi
tersebut dan memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk
bahasa Quraisy, dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit
untuk memimpin pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek
tidak menjadi sebab disharmonisnya dalam komunitas muslim.14
14
Farid Wadji, Fenomena Al-Qur’an : Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung
: PT. Marja, 2002), 41
10
empat hijrah.15 Utsman berkata kepada mereka yaitu:
ۤ
ٍ َي ٍء ِمنَ ْالقُرْ ا ِن فَا ْكتُبُوْ هُ بِلِ َسا ِن قُ َر ْي
فَإِنَّهُ إِنَّ َما نَ َز َل بِلِ َسانِ ِه ْم,ش ٍ ِاختَلَ ْفتُ ْم اَ ْنتُ ْم َو زَ ْي ٌد بْنُ ثَاب
ْ ت فِى ش ْ إِ َذا.
Artinya:
“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentag sesuatu dari al-
Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Quraisy.”16
15
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
16
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
17
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 193.
18
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 35.
11
Artinya:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah.”
3. Pengumpulan Al-Qur’an
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu
merupakan sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi.
Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya
disimpan di rumah, maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu.
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun
kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan
dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokkannya dengan yang telah
dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang
didengarnya saja, tapi juga mencocokkan kepada yang ditulis. 20
Dia hanya menerima catatan yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi.
Cara itu lebih menjamin daripada hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid
sendiri termasuk orang yang hafal al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan
berdasarkan keputusan Khalifah Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin
Tsabit dan Umar, Abu Bakar mengatakan:
19
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 194.
20
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1992), 75.
12
ُب هللاِ فَا ْكتُبَاه ِ اُ ْق ُعدَا َعلَى بَا
ْ فَ َم ْن َجا َء ُك َما بِشَا ِه َد ْي ِن َعلَى ش.ب ال َمس ِْج ْي ِد
ِ َي ٍء ِم ْن ِكتَا
Artinya:
“Duduklah kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datanag kepada kalian
membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi maka catatlah”.21
Menurut tokoh hadis yang dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak
harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan.
Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu itu, sudah diterima ayatmnya
apabila ayat yang disodorkan kepada tim didukung oleh dua hafalan dan atau
tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa
oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau
hafalan sahabat lainnya.pengertian Ibnu Hajar tentang syahidain ini sedikit
berbeda, yaitu catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu seorang sahabat
sudah dapat diterima bila memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa
catatan itu memang ditulis di hadapan Rasulullah.22
13
pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-
Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah
binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil
dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan
setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafshah mengabulkannya.
Umar bin Shabba meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke
kelompok kecil untuk bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan
kepadanya kenapa Utsman memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia
menjawab “pada zaman pemerintahan Umar ada pembual bicarayang telah
mendekati khalifah memberitahukan kepadanya bahwa orang-orang telah berbeda
dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan masalah ini dengan
mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan bacaan mereka,
tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum beliau dapat
melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman, orang yang
sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian
Utsman memerintahkan untuk membuat mushhaf tersendiri. Lalu dia mengutus
saya menemui bekas istri Nabi Muhammad SAW, Aisah, agar mengambil kertas
kulit (suhuf) yang Nabi Muhammad SAW. sendiri telah mendiktekan keseluruhan
al-Qur’an. Mushhaf yang dikumpulkan secara independen kemudian
dibandingkan dengan suhuf ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap
kesalahan-kesalahan yang ada, kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah
al-Qur’an itu dimusnahkan.
Walaupun riwayat ini dianggap lemah menurut ukuran pada ahli hadis, tapi
ada gunanya dalam menyebutkan riwayat ini yang menerangkan pengambilan
suhuf yang ada dibawah pengawasan atau penjagaan Aisah. Riwayat dibawah ini
bagaimanapun menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Ibn Shabba
meriwayatkan dari Harun bin Umar, yang mengaitkan bahwa: “Ketika Utsman
hendak membuat salinan (naskah) resmi, dia meminta Aisah agar
mengirimkannya kepada kertas kulit (suhuf) yang dibacakan oleh Nabi
Muhammad yang disimpan dirumahnya. Kemudian dia menyuruh Zaid bin Tsabit
membetulkan sebagaimana mestinya, pada waktu itu beliau merasa sibuk dan
14
ingin mencurahkan waktunya mengurus masyarakat dan membuat ketentuan
hukum sesame mereka”.24
Maka dari mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di
seluruh pelosok menyalin al-Qur’an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai
sekarang masih ada karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari
Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah
berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa
Utsman itu.
15
Apakah kalian mengerti kenapa mereka mengakhirkannya?” ia mejawab: ”Tidak”.
Muhd berkata: “Aku mengira, mereka mengakhirkannya karena terjadi
perselisihan. Sedangkan yang lain melihat orang berselisih, padahal diantara
mereka ada yang menulis tentang perjanjian lalu mereka menulis atas dasar
perkataan orang itu.
e. Susunan ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).
c. Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda
dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushhaf
Utsman.
16
mengambil mushhaf tersebut dan membakarnya”.
Kendati nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun
Ibn Katsir pernah melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir
mengatakan sebagai berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai
Mushhaf Imam maka yang termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam
dan tersimpan di Masjid Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di
kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H.
sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan
tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan
ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah kulit unta.26
26
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997), 124.
17
pun menjadi berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian
disampaikanlah kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat
khawatir, kemudian menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut:
“Kamu sekalian yang dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an
dan salah bacaan, apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin,
mereka lebih hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca
al-Qur’an. Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam
untuk manusia”.
Pembakuan teks al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada
suatu saat antara 650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik
utama dalam apa yang biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-
Qur’an. Bagaimanapun bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab
yang di tangan kita sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di
bentuk Utsman menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti
dikeluarkan, organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka
konsonantal (bentuk teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita
berpendapat bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli)
merupakan suatu syarat mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah
menghasilkan suatu karya yang sangat mengagumkan.28
18
Utsman mempertahankan kekuasannya atas masyarakat melalui suatu keturunan
Utsman yang bernama Muawiyah, sementara Ali sebagai menantu Nabi dan
sahabat Nabi terkemuka, juga menginginkan posisi sebagai khalifah. Persaingan
dalam merebut kekuasaan tersebut akhirnya mengakibatkan peperangan antara
kedua belah pihak dan Muawiyah berhasil merebut kekuasaan tersebut, meskipun
dia tidak pernah mengalahkan Ali secara total. Akan tetapi secara politik,
masyaarakat mengalami perpecahan, dan lahirlah dua kelompok Islam.29
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni dimana
mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita
kenal sekarang ini. Pada masa itu, tulisan hanya terdiri atas beberapa symbol
dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering
menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.
Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena
bercampur dengan bahasa lainnya, maka para penguasa mulai melakukan
perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang benar. Perlunya pembubuhan
tanda baca dalam penulisan al Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah
menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi
29
Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Qur’an, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), 67.
19
Sufyan (661-680 M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslim
dalam membaca Al Qur’an.
Melihat kenyataan seperti itu, Ziyad bin Samiyah meminta Abu al Aswad al
Duali (w.69H/638 M) untuk member syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda
bunyi (a) dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau
tanda bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda
dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di
antara bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun atau tanda bunyi konsonan
(huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa padahuruf
bersangkutan. (Faizah, Nur, 2008:194)
Kemudian, tanda baca Abu al Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama
sesudahnya pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu oleh al Khalil bin Ahmad. Ia
berpendapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah adalah ya, dan dammah
adalah wawu. Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas
huruf, kasrah di bawah huruf, dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf,
sedangkan tanwin dengan mendobelnya. Ia juga memberi tanda pada tempat alif
yang dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan
hamzah warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan
huruf ba diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan
dengan huruf halqiyah diberi tanda sukun dengan warna merah.
Tatkala Islam semakin meluas ke berbagai daerah, dan telah banyak pula
masyarakat non-Arab yang masuk Islam. Maka timbul upaya untuk menciptakan
tanda-tanda pada huruf Al Qur’an. Halini dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan
bahkan kekeliruan dalam membaca Al Qur’an terutama bagi kalangan non-Arab.
Upaya tersebut dilakukan pada masa Khalifah Bani Umayyah ke-5, Abdul
Malik bin Marwan (66-86 H/785-705 M). Ia memerintahkan seorang ulama
bernama al Hajjaj bin Yusuf as Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al
Qur’an.Untuk mewujudkan usaha tersebut, al Hajjaj menugaskan hal ini kepada
Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, keduanya adalah murid Abu al aswad ad
Duali. Akhirnya, mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf al Qur’an
20
dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan
huruf yang satu dengan lainnya. Misalnya, huruf dal dengan huruf zal, huruf ba
dengan huruf ta dan huruf sa. Demikian pula dengan huruf-huruf lainnya
sebagaimana kita kenal saat ini.
Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al Usmani terjadi melalui tiga proses,
yaitu :
Pemberian a’jam, titik, yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al
Hajjaj.
30
https://khilmifauzan.blogspot.com/2012/06/penyempurnaan-tulisan-al-quran.html
21
Selain buku tersebut, Encyclopaedia of the Qur'an (Brill: Leiden-Boston,
2004) yang di-chief-editor-i oleh Jane Dammen McAuliffe, juga memberikan
informasi yang cukup memuaskan tentang sejarah pencetakan al-Qur'an, terutama
di entri Printing of the Qur'an yang ditulis oleh Michael W. Albin dan beberapa
entri lainnya terkait dengan pencetakan al-Qur'an seperti Qur'an and Media.
22
al-Qur'an. Hal ini mendorong dicetaknya terjemah al-Qur'an. Terjemah al-Qur'an
pertama kali ke dalam bahasa Latin dicetak di Nurenberg pada 1543 M.
Pada tahun 1787, Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherin II menyuruh agar
al-Qur'an dicetak dengan tujuan politis, seperti toleransi keagamaan. Dia ingin
agar keturunan Muslim Turki mudah mengakses kitab suci tersebut. Al-Qur'an
cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan
keterangan dari kitab-kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun
1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798.
23
Eropa—yang menurut mereka kafir. Oleh sebab itu, penerbitan untuk mencetak
buku-buku didirikan pada akhir abad ke-15 di Constantinopel dan kota-kota
lainnya di Imperium Ottoman.
Baru kemudian pada tahun 1787 Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-
Quran dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal
dengan edisi Malay Usmani.
Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di kota Volga, Kazan, al-
Qur'an pertama kali dicetak pada tahun 1801 (ada pula yang menyatakan pada
tahun 1803). Persia (Iran) mulai mencetak al-Qur'an pada tahun 1838. London
pada tahun 1833. India pada tahun 1852, dan Istanbul pada tahun 1872.
Namun edisi ini dinilai masih memiliki banyak kecacatan, terutama pada
sistem penomeran surah yang tidak sesuai dengan yang digunakan umat Islam
umumnya.
Pada tahun 1798, percetakan dimulai di Mesir. Pada saat itu Napoleon (1769-
1821) berkampanye dengan mencetak leaflet dan pamflet-pamflet dekrit-dekrit
dan peraturan Napoleon. Namun ketika Muhammad Ali Basha menjadi penguasa
Mesir pada 1805, dia memulai laki kerja percetakan pada 1819 dan percatakan itu
dinamai "al-Matba'ah al-Ahliyah" (The National Press).
24
satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah
perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi
bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh
dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak
beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.
Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini
juga dikenal dengan edisi Raja Fadh karena dialah yang memprakarsainya.
Di Asia Tenggara, al-Qur'an dicetak sendiri oleh orang daerah. Pada tahun
1848, menurut penelitian Abdurrazak dan Proudfoot, Muhammad Azhari, orang
asli Sumatera membuat sebuah litografi al-Qur'an yang kemudian dia cetak pada
tahun 1854. Kisahnya, setelah kembali dari pengembaraannya di Makkah, dia
mampir di Singapura memberi peralatan dan perlengkapan percetakan.
Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kali Al-Qur'an dicetak dengan
teknik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah.
Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang
terkemuka, Badiuzzaman Sa'id Nursi (1876-1960).
Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur'an dicetak dalam berbagai ukuran dan
jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa'id Nursi di Berlin
(Jerman).
Mulai abad ke-20 pencetakan al-Qur'an sudah ditangani oleh umat Islam
sendiri dan menjamur di negara-negara Islam. Pada tahun 1984 berdirilah
percetakan khusus Al-Quran "Majma' Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif",
percetakan terbesar di dunia, yang memang hanya mencetak Al-Quran saja.
Letaknya di kota Madinah. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama
Kerajaan Arab Saudi.
Semenjak edisi Raja Fadh INI, al-Qur'an mulai dicetak dengan berbagai
ukuran, bentuk, jenis kaligrafi, hiasan (ornamen) dan penambahan keterangan-
keterangan lainnya, sebagaimana yang kita temukan sekarang ini.31
31
https://solusinews.blogspot.com/2012/12/pencetakan-al-quran.html
25
26
6. PENTERJEMAHAN ALQURAN DAN PERKEMBANGANNYA
Kata terjemah berasal dari bahasa Arab ترجمةyang diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi terjemah atau tarjamah.
Secara definitif terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan yang terdapat
di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan
padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language).34 Dalam
The New Oxford Dictionary of English disebutkan : the process of translating
32
[ Al-‘Ak. op. cit. h, 461]
33
[ Poerwadarminta. op. cit. h, 1062]
34
[ Yusuf, op. cit. h, 8]
27
words or text from one language into another. 35 Dari dua pengertian tadi terlihat
ada dua kata kunci dalam
kegiatan terjemah; teks dan padanan. Yang dimaksud teks di sini adalah teks
dalam pengertian yang luas bisa berarti wacana atau juga satuan bahasa yang
paling lengkap bisa berupa tulisan ataupun lisan. Kemudian yang dimaksud
dengan padanan juga dalam pengertian yang luas, bukan saja padanan kata per
kata. Jadi terjemah dalam pandangan ini berarti proses pemindahan kata atau teks
dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan jalan mencarikan padanan maknanya.
Dari sini jelas bahwa kegiatan terjemahan adalah kegiatan yang menuntut
kemahiran dua bahasa, atau
35
[ The New Oxford Dictionary of English on CD-ROM.
28
dalam prakteknya banyak profesional terjemah menuangkan pengalamannya
dalam menterjemah sebagai langkah-langkah dari kegiatan tersebut.
E.A. Nida dan Taber seperti yang dikutip Harimurti Kridalaksana maupun
Suhendra Yusuf memberikan bahasa terjemah sebagai memindahkan suatu
amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.
Translating consists in repfoducting in the receptor language the closest natural
equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly
in terms of style. Pengertian dari Nida di atas menunjuk pada dua kata makna dan
gaya yang memberikan batas amanat terjemahan, jadi bukan hanya sekedar makna
yang harus diterjemahkan tapi gaya bahasa juga menjadi amanat yang harus
diterjemahkan. Namun barangkali harus diberikan catatan di sini bahwa
penterjemahan gaya tersebut tidak berarti penterjemahan harus bersifat harfiyah,
karena jika itu dilakukan , yang terjadi justru hilangnyagaya asli. Dalam hal ini
yang dituntut bagi penterjemah adalah selain menangkap makna juga harus
menangkap gaya untuk kemudian gaya tersebut diekpresikan dalam padanan gaya
yang ada pada bahasa sasaran. Berdasarkan pada pengertian terjamah di atas
dapatlah dikatakan bahwa terjemah adalah suatu proses pengalihan makna dengan
segala yang bertautan dengannya dan gaya dari bahasa sumber kepada bahasa
sasaran sehingga aspek emosi dan kekuatan magis dari pesan naskah asli tidak
hilang.
B. Macam-macam Terjemah
29
Seperti misalnya menterjemah ayat:
C. Syarat-syarat Terjemah
1.Setiap kandungan ayat secara lahiriah, baik naskah asli atau naskah
terjemahan, harus diperhatikan dengan jeli. Makna ayat yang menyertakan
rasionalitas dan membutuhkan istidlal, maka hal ini harus dimasukkan dalam
kategori penafsiran.
2.Memilih padanan makna seakurat mungkin dan idiom yang tepat untuk
mengalihbahasakannya. Makna dan pemahaman sempurna tentang ayat harus
tercermin dalam naskah terjemahan. Seandainya di perlukan penambahan
30
indiom ayat atau kata, maka harus diletakkan dalam kurung.
31
1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada
tahun 1776. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Savari terbit pada tahun
1783, dan oleh Kasimirski yang juga dalam bahasa Perancis pada tahun 1840.
Terjemahan ini terbit untuk beberapa kali. Perhatian Perancis kepada Islam ini
karena mereka menduduki al-Jazair dan Afrika Utara. Kemudian menyusul lah
terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Jerman oleh Boysen pada tahun 1773.
Pada tahun 1828 dan Ullmann pada tahun 1840.
32
mendapatkan pujian dan restu dari Sir E. Denison Ros.
Karena luasnya tujuan-tujuan yang tidak baik yang dilakukan oleh orientalis-
orientalis Barat yang bukan Islam dan anti Islam dalam penterjemahan Al-Qur’an,
maka hal ini menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha untuk
menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris ialah DR. Muhammad Abdul
Hakim Chan dari Patiala pada tahun 1905. Mirza Hairat dari Delhi juga
menetrbitkan terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pada tahun 1919. Dan
masih banyak lagi kaum muslimin yang menulis terjemah Al-Qur’an. Namun
yang paling penting dari terjemahan itu adalah “The Holy Qur’an” karya Yusuf
Ali, selain menterjemahkan ayat ia juga mengomentarinya dengan aqidah yang
diyakininya.
33
7. PENULISAN DAN PERCETAKAN ALQURAN DI INDONESIA
Selama lebih dari 160 tahun perkembanganrrya hingga dewasa ini, banyak
hal-hal menarik untuk dikaji, baik aspek kesejarahan, teks, maupun visualnya.
Pemahaman akan perkembangan pencetakan mushaf sejak masa awal akan
memperjelas pemahaman kita tentang keberadaan mushaf di Indonesia dewasa ini.
Di sini, kesinarnbungan mata rantai sejarah mushaf menjadi penting. Di
Nusantara, mushaf Al-Qur'an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak
batu (litografi) Haji Muhammad Azharibin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak
pada 2l Ramadan 1264 (21 Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga kini,
inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara.l Tinggalan yang diketahui sampai
saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin, Palembang .
Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebih muda, selesai
dicetak pada Senin, 14 Z:ulqa'dah 1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung
Pedatu'an, Palembang. Von de Wall, seorang kolektor naskah abad ke-19, pernah
membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini atas permintaan Presiden Belanda
di Palembang yang dimuat dalam TBG 1857 . Berdasarkan catatan itu, mushaf
34
cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional
RI Jakarta. Dengan adanya cetakan mushaf tahun 1854 itu, dapat diketahui bahwa
percetakan milik Azhari, paling kurang, produktif dalam masa tujuh tahun (1848-
1854). Meskipun demikian, luasnya peredaran mushaf hasil cetakan Azhari tidak
diketahui dengan pasti, karena langkanya bukti.
35
kaset, piringan hitam, dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di
Indonesia; dan (3) menyetop pengedaran mushaf yang belum ditashih oleh
Lajnah. Untuk memperlancar tugas pentashihan yang dilakukan oleh Lajnah,
terbit Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 1984 tentang Penetapan
Mushaf Standar.
37
https://arifhidayatullah50.blogspot.com/2013/12/sejarah-percetakan-mushaf-al-quran-di.html
36
8. PENGERTIAN AL-QUR’AN,DEFINISI AL-QUR’AN, PENGERTIAN
AYAT DAN SURAT.
Pengertian Al-Qur’an
Dalam pembahasan tentang arti al-Qur’an akan ditinjau dari dua segi, yaitu
arti al-Qur’an menurut bahasa (etimologi) dan arti al-Qur’an menurut istilah
(terminologi).
Qur’an adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a, berarti “bacaan” kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.[38]
Kata Al-Qur’an adalah isim mashdar (kata benda) dari kata ( )ق––رأdengan
makna isim Maf’ul, sehingga berarti “bacaan”.[ 39] Al-Qur’an Merupakan mashdar
(kata benda) dari kata kerja Qoro-’a ( )ق––رأyang bermakna Talaa ( )تالkeduanya
38
Said Agil Husin Al Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Cet. III, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). hlm. 4
39
Muhaimin Zen, Al-Qur’an Seratus Persen Asli Sunni-Syi’ah Satu Kita Suci, Cet. I,
(pejaten Jakarta: Nur Al-Huda, 2012), hlm. 49
37
bererti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda
dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan ( )قرأ قرءا وقرآناsama seperti anda
menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan ( )غف––ر غف––را وغفرانا. Berdasarkan
makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang
semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan
berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism
Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia
mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
)18( ُ) فَإ َذا قَ َر ْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه17( ُإن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُرْ آنَه
َّ [41]
DEFINISI QUR’AN
كالم هّللا ِ المن ّزل على مح ّمد صل ّى هّللا عليه وسلم المتلو بالتّاتر والمتّعبد بتالوت ِه
42
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014), Cetakan
ketiga, hlm 15
38
“Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang dibaca
dengan mutawatir dan beribadah dengan membacanya”.
43
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an……, hlm. 16
39
kitab-kitab samawi yang lain.[44]
Qur’an adalah risalah Allah kepada manusia semuanya, banyak nas yang
menunjukkan hal itu, baik di dalam Qur’an maupun di dalam sunah.[46]
َ ك ْال ِكت
ْ َاب تِ ْبيَانًا لِ ُك ِّل ش
َي ٍء َ َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي
yang disebut Al-Qur’an tidak hanya yang ditulis di dalam mushaf, tetapi juga
yang dibaca secara lisan berdasarkan hafalan. Apalagi pada era teknologi
informasi sekarang ini, Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf yang tertulis
tetapi juga dalam bentuk digital, compact disc dan rekaman suara.
40
bahkan satu ayat saja dari Kitab Suci Al-Qur’an anda sudah disebut membaca Al-
Qur’an.[48]
Menurut Subhi Al Salih yang dikutif dalam buku metode penulisan karia
ilmiah MPI pada program pascasarjana UMI Makassar mendefinisikan Al-Qur’an
sebagai berikut: Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan
mutawatir, membacanya termasuk ibadah.[49]
Bilangan surat dan ayat yaitu seratus empat belas (144) surat dan enam
ribu enam ratus enam puluh enam (6666) ayat.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Manna/, (Bogor: Pustaka Litera
48
41
Mengenai keuntungan mengetahui Makkiyah dan Madaniyah antara
lain bisa mengetahui mana surat yang turun terlebih dahulu dan bisa mengetahui
ditetapkannya suatu hukum.
Permulann surat ada yang dimulai dari satu huruf saja hingga lima huruf,
27 dari 29 itu turun di Makkah dan 2 dari itu turun di Madinah. Jumlah huruf hija-
iyah yang dijadikan pembuka surat itu ada 14 semuanya.50
50
https://muhammad-mansur.blogspot.com/2013/04/makalah-al-quran-surat-ayat.html
42
9. SEGI-SEGI POKOK-POKOK SIKAP KAUM ORIENTALIS
TERHADAP AL-QUR’AN
Beberapa karya yang dihasilkan dari upaya awal ini adalah sebuah
terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Latin oleh seorang sarjana berkebangsaan
Inggris Robert Ketton (yang namanya sering ditulis Robertus Retenensis) yang
diselesaikan pada tahun 1143. Upaya ini dianggap sebagai gerbang pertama
mengkaji al-qur’an. Hanya saja, menurut Watt, karya ini tidak pernah bisa
mengangkat nilai penting kajian Islam, karena meski beberapa abad selanjutnya
terbit beberapa buku lain, namun tetap saja Islam masih menjadi musuh besar
Barat. Di satu sisi Islam ditakuti, tetapi di sisi lain ia disanjung, namun apa yang
ditulis para sarjana Barat ketika itu masih bersifat apologetik dan polemikal,
bahkan terkadang cenderung bernada menyerang dan memanas-manasi.51
51
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), (Ciputat: Pusat Studi al-
Qur’an, 2006), vol. I, hlm. 147
43
mengingat hanya sebatas terjemahan yang mereka hasilkan.52 Dan karya Rodewell
pada abad 18 yang menerjemahkan al-qur’an danmenyusunya kembali menurut
kronologinya dari al-alaq sampai al-Maidah.
Pada abad selanjutnya, studi al-qur’an semakin luar biasa di tangan Flugel.
Pada paruh abad 19, tepatnya 1834 Flugel memulai sebuah riset dengan menulis
edisi kritis teks al-qur’an. Karena penting dan signifikan, karya ini direvisi dan
diedit oleh orientalis-orientalis belakangan.[3]53 Minat untuk mengkaji al-Qur’an
meningkat dengan diadakannya sayembara penulisan monograf tentang “kritik
sejarah terhadap teks al-Qur’an” yang diprakarsai oleh Akademi Inskripsi dan
Sastra Paris pada tahun 1857. Sayembara ini dimenangkan oleh Theodor Noldeke.
Tema lainnya yang menarik perhatian orientalis adalah tafsir al-qur’an. Akan
tetapi belum ada karya khusus dari mereka tentang tafsir al-qur’an. Kalaupun ada
hanyalah sebatas analisa terhadap sejarah tafsir al-qur’an di kalangan umat, inilah
yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher pada akhir abad 19. Ia mengkaji secara kritis
tafsir-tafsir pada masa klasik.[4]54
44
Menurut Nasarudin Umar, hal yang melatarbelakangi kajian, kritik, dan
penyerangan mereka terhadap al-qur’an adalah karena ia merupakan kitab suci
agama islam yang menjadi rujukan standar nilai utama. Al-qur’an merupakan
simbol pemersatu, sebagai landasan dan pedoman hidup di sepanjang sejarah. Jika
al-qur’an diusik, baik mengenai orisinalitas dan otentisitasnya, maka kebesaran
dan keutuhan islam akan terancam menurut mereka.56
1. Otentisitas al-Qur’an
56
Nasarudin Umar, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 92
57
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 3
58
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema Insani,
2005), hlm. 337.
45
menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian bibble.
Akibatnya mereka menaggap al-qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman
situasi dan refleksi budaya arab. Mereka juga mengatakn bahwa mushaf sekarang
berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.
46
demikian, hanya dua yang turun di Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum
Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan Yahudi.62
Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam al-
qur’an adalah jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah
hasil dari kebohongan dan tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya
sekian kesamaan antara al-qur’an dan kitab mereka. Bahkan sekian ulama tafsir
menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi. Tetapi kesamaan tersebut
bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya mengunjungi
objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.63
Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks al-Qur’an, ia juga sengaja
menguras tenaga ingin mengubah teks-teks al-qur’an yang berbahasa arab
sehingga dapat diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan
bagi kaum muslim untuk membaca al-qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari
tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah
dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh
qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu
qiraat dengan tidak menentu.
62
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 42
63
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 36
47
manuskrip al-qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara
keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.64
Metodologi yang dipakai sarjana barat dalam mendekati Al Qur’an ada tiga
yaitu: Pendekatan historis, Pendekatan Fenomenologis, Pendekatan Historis-
Fenomenologis.
1. Pendekatan Historis
Metode semacam ini muncul pada abad 19, yang dipelopori oleh Leopold
Von Ranke (1795-1886). Historis berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu
intuisi, nilai-nila maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan
sosio religius tempat entitas itu muncul. Prinsip historisme menurut Meinecke
adalah mencari kausalitas peristiwa historis, dan kausalitas itu tidak berasal dari
dunia metafisik atau trans-historis tetapi empiric sensual. Bias dari munculnya
teori ini menurut Fuck-Franfurt mendorong kecendrungan dalam studi Al Qur’an
di Barat yang yang mengasalkan Al Qur’an dari kitab suci tradisi Yahudi dan
Kristen.
64
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344
65
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 347
48
Kristen.
2. Pendekatan Fenomenologis
49
Pendekatan semacam ini tidak melacak asal-usul suatu intuisi, tetapi dengan
mengidentifikasi struktur internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan ini
dalam studi al Qur’an antara lain: Roest Crolius, Maurice BUcaille, Marcel A dan
lain-lain. Namun kami akan memunculkan pemikiranya Marcell A. Bouisard yang
tidak melihat sisi formal al Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi subtansinya.
Boisard memandang bahwa nabi Muhammad adalah nabi yang sebenarnya.
Muhammad hanya sebagai penyambung lidah wahyu yang abadi. Boisard juga
memandang al Qur’an berisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia tetapi
adalah wahyu Allah.
3. Pendekatan Historis-Fenomenologis
Watt dalam satu sisi tidak menolak Islam yang fundamelntal, tetapi disisi lain
dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan
Islam. Watt juga menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya
dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi
Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari ini menurutnya dimungkinkan
terhadinya keliru dalam al Qur’an seperti tentang penolakan penyaliban Yesus
dalam al Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad
dari sekte Kristen Syiria yang keliru.
50
mengkaji al Qur’an atau Islam secara objektif dan subjektif.66
“dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah
kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh kaum yang
lain, Maka Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang
besar. (Q.S al-Furqan: 4)[17]
51
sekian banyak bagian lainnya dicatatnya kembali dari pernyataan berbagai murid
yang mengatakan pernah mendengarkannya secara lisan dari pihak Nabi sendiri.
Sekian banyak kekeliruan, sisipan-sisipan dan kontradiksi-kontradiksi
menyelusup ke dalam naskah-naskah tersebut, sehingga utsman khalifah yang
ketiga. Mengumpulkan kembali semua naskah yang beredar tersebut, dan
membentuk naskah baru yang dikatakannya al-Qur’an yang murni, dan lantas
naskah-naskah lainnya itu dimusnahkan.”
52
terpelajar. Terlebih khusus guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”
53
Dari pandangan Reinhart Dozy, tokoh Orientalist dari holand (belanda) itu,
tampak bahwa ia mengakui dengan mengemukakan bukti-bukti yang rasional
sekali bahwa orang-orang pada masa nabi Muhammad SAW itu memiliki
kemampuan ingatan yang kuat sekali. Jika pada masa itu orang punya ingatan
yang kuat sekali dan andai ada sesuatu pihak pada masa itu dengan sesuatu alasan
yang lain melakukan perubahan maupun tambahan, niscaya akan cepat terlihat
dan cepat memperoleh reaksi dari sana sini. Karena itulah argumentasi terakhir
dari R. Dozy itu tidak logis sama sekali.
Dari sekelumit pendapat Philip K. Hitti mengenai kitab suci al-Qur’an itu
terlihat suatu kenyataan bahwa, dari banyaknya kekaburan, sisipan dan tambahan
pada ayat al-Qur’an itu menurut pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya,
kini bergeser kepada sedikit sekali ketidakpastian pada ayat al-Qur’an itu.
Pergeseran pendapat serupa itu dari abad ke abad tidaklah menakjubkan, karena
apa yang disebut dengan pendapat ilmiah itu senantiasa dapat saja berubah dari
waktu ke waktu berkat perkembangan hasil penelitian. Pergeseran serupa itu tetap
berkelanjutan disebabkan perkembangan aktivitas penelitian seseorang tokoh
ilmuan dari waktu ke waktu.
e. Prof. Dr, Tor Andrae, Orientalis dari Jerman itu menulis mengenai
54
kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “Muhammad tampaknya termasuk tipe
mendengar suara. Wahyu yang diterimanya itu didiktekan kepadanya oleh suatu
suara yang dia atributkan kepada malaikat jibril. Pembuktian atas kemurnian
wahyu yang diterimanya itu dikemukakan Muhammad dalam surah al-
Qiyamah,ayat 16-19 yang disitu kita baca ( janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya). Justru sang Nabi itu tidaklah menggerakkan lidahnya dengan
sengaja membentuk lebih dulu kata-kata yang akan diucapkan malaikat. Tapi
dengan tenang dan dia, dia menantikan bacaan malaikat, dengan jaminan bahwa
kalimat-kalimat Illahi itu akan tetap membekam di dalam ingatannya.”
55
negatif, dalam bukunya tersebut ia menulis: “Muhammad itu seorang yang jujur
janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagi kepercayaan,
kepercayaan Muhammad bahwa wahyu-wahyu itu datang dari Allah tidaklah
mencegahnya untuk menyusun sendiri dan selanjutnya memperbaikinya dengan
jalan penghapusan ataupu penambahan.”
Jika kalangan sarjana Bible dalam dunia kristen sendiri menyatakan bahwa
di dalam Bible itu banyak yang dihilangkan dan banyak yang merupakan
sisipan/tambahan, mereka memang mampu membuktikannya dengan
membandingkan Codex Sinaiticus, naskah Grik yang ditemukan tahun 1862,
dengan Vulgata naskah latin yang menjadi pegangan dunia kristen sejak abad ke-
5 sampai pertengahan abad ke-19. Tetapi sebaliknya, kalangan Orientalis yang
menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan adan ada yang
ditambahkan, tidak pernah mengemukakan bukti untuk mengukuhkan pernyataan
tersebut. Disinilah bedanya ungkapan tokoh-tokoh orientalis tertentu mengenai
al-Qur’an dengan ungkapan kalangan sarjana Bible dalam dunia Kristen sendiri
mengenai Bible.
56
bahwa di samping catatan-catatan tertulis itu, kalangan sahabat Nabi
mengingatnya dalam ingatan dan menyalurkan versi hafalannya itu dengan sedikit
ragam variasi.”
Pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb yang didasarkan pada hasil penelitiannya
mengenai kitab suci al-Qur’an itu, tampak lebih maju lagi dibanding pendapat
tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya. Seperti dinyatakan sebelumnya, makin luas
dan mendalam suatu penelitian ilmiah, semakin terjadi perkembangan paendapat,
sebagai akibat yang wajar dan logis.
57
ilmiah (Sains Modern), di dalam perbandingannya dengan ayat-ayat di dalam
Holy Bible. Ia mengutip ayat-ayat Holy Bible yang berkaitan dengan berbagai
cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya berlawanan dengan penemuan-
penemuan ilmiah pada zaman baru. Sebaliknya ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata kebenaran satu
persatunya dibuktikan oleh penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru.
58
keistimewaan bangunan Alhambra di Andalusia itu. Demikian pula sikap dan
pandangan pihak Orientalis terhadap kitab suci al-Qur’an.67
67
M. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Cet III, Hlm 123-
146
59