Anda di halaman 1dari 60

TUGAS UTS ULUMUL QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah ‘Ulumul Qur’an

DOSEN PENGAMPU : Dr.Hj.Sulastri.,M.A

Disusun oleh :

Ahmad Muhasibi

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

INSTITUT AGAMA ISLAM BANTEN (IAIB)

SERANG - BANTEN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat alllah SWT, atas segala limpahan dan rahmatnya.
Taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas uts
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga tugas uts ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.

Dalam penulisan tugas uts ini penulis masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan
yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak dapat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah ini

Dalam penulisan tugas uts ini penulis menyampaikan banyak terima kasih
yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam penulisan tugas uts
ini.

Akhirnya penulis berharap semoga allah memberikan imbalan yang


setimpal pada mereka yang memberikan bantuan dan dapat  menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah. Aamiin ya’allah ya robal alamin.

Serang, 04 November 2021

Penuli
s

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................2

1. SEJARAH AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH , MASA


TURUNNYA DAN CARA-CARA TURUNNYA, CARA PENYIARAN DAN
PEMELIHARAAN ALQURAN OLEH RASULULLAH.....................
.................................................................................................................3
2. PENGUMPULAN ALQURAN PADA MASA ABU BAKAR.
.................................................................................................................5
3. PEMBUKUAN ALQURAN PADA MASA USTMAN.............7
4. PENYEMPURNAAN TULISAN MUSHAF DAN PEMBAGIANNYA
.................................................................................................................20
5. PENCETAKAN ALQURAN DAN PERKEMBANGANNYA.
.................................................................................................................22
6.PENTERJEMAHAN TERJEMAHAN ALQURAN DAN
PERKEMBANGANNYA.......................................................................28
7.PENULISAN DAN PERCETAKAN ALQURAN DI INDONESIA
.................................................................................................................34
8. DEFINISI ALQURAN, PENGERTIAN ALQURAN, PENGERTIAN
AYAT DAN SURAT..............................................................................37
9. SEGI-SEGI POKOK-POKOK SIKAP KAUM ORIENTALIS
TERHADAP ALQURAN ......................................................................43

2
1. SEJARAH AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH , MASA
TURUNNYA DAN CARA-CARA TURUNNYA, CARA PENYIARAN
DAN PEMELIHARAAN ALQURAN OLEH RASULULLAH

Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar,
ayat-ayat Al-Quran belum dibukukan, karena umat Islam pada masa itu belum
memerlukannya sebab Al-Qur’an pertama kali diturunkan di Jazirah Arab. umat
Islam pada waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka tidak memerlukan
ilmu khusus terkait untuk memahami Al-Qur’an, karena bahasa Al-Qur’an adalah
bahasa mereka sendiri dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-
maksud ayat.1

Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukukan seperti sekarang ini


karena disebabkan oleh beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an barulah mulai
dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan dalam satu mushaf.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan melalui dua cara yakni
dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang
tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari
benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa di antaranya menjadi
koleksi para sahabat yang pandai baca tulis.2

Rasulullah SAW telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk


menulis wahyu Al-Qur’an, yaitu: Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab dan Zaid bin
Tsabit, jika ayat turun Nabi memerintahkan mereka untuk menulis dan
menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu
membantu penghafalan di dalam hati. Sebagian sahabat menuliskan Al-Qur’an
yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintahkan oleh Nabi.

Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-
tulis) dan diutus di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian Nabi
1
Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadis,hlm.83.

2
Ibid., hlm. 77-78.

3
hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang
diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa selalu
merindukan turunnya wahyu-wahyu dari Allah kemudian menghafal dan
memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu)


dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah: 17).

Proses turunnya Al-Qur’an terkadang hanya satu ayat dan kadang sampai
sepuluh ayat atau lebih. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal di dalam dada dan
ditempatkan dalam hati. Pada dasarnya bangsa Arab memilik kecerdasan dan daya
hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.( 3 )

Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat yang pertama kali mengumpulkan
Al-Qur’an pada masa Nabi atas perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah
menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan Al-
Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan
bahwa Sahabat Ali memiliki kumpulan Al-Qur`an. Di kalangan ortodoks Islam,
pengumpulan Al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan
Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan
Al-Qur`an dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus
terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa
turunnya Al-Qur’an dengan wafatnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan
penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan
janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya “.

Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-
Qur’an beliau membacakannya di hadapan para sahabat, kemudian para sahabat
menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun kemudian
beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru
diterimanya itu. Mereka yang masyhur ialah; Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin
Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit,

3
( ) Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, UlumulQur’an I,hlm.71-72.

4
Az-Zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Al-arqam bin Maslamah,
Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As, Maslamah bin Khalid,
Qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin Makhlad, Abu Musa AL-
Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti Abdillah binti Harits.( 4 )

Pada masa Nabi ilmu-ilmu Al-Qur’an belum dibukukan, karena umat


Islam belum memerlukannya serta ulumul quran masih belum ada, sebab pada
waktu itu Rasulullah SAW masih hidup, sehingga jika terdapat suatu pertanyaan
atau permasalahan mengenai al-Quran bisa ditanyakan langsung kepada Rasul
kemudian diingat dalam pikiran dan hati para sahabat. Selain alasan di atas, belum
adanya kebutuhan untuk menulis kitab-kitab tentang ulumul quran merupakan
alasan di balik belum munculnya ulumul quran pada masa Nabi. Terdapat
beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakni Zaid bin Tsabit,
Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang
lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun
lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di
samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-
Qur’an setelah wahyu diturunkan.5

2. PENGUMPULAN ALQURAN PADA MASA KHALIFAH ABU


BAKAR

Pada dasarnya, seluruh al-Quran sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada,
hanya saja pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-
pencar. Sehingga dalam sejarah disebutkan bahwa orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Siddiq. Oleh karena itu,
Abu ‘Abdillah al-Muhasibi Berkata dalam kitabnya, Fahm As-Sunan:

“penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rasulullah pernah


memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran berpencar-pencar pada

4
( )Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. Hlm.18

5
( )Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, UlumulQur’an I,hlm. 67-68.

5
pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar
kemudian berinisiatif menghimpun semuanya.” 6

. Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar Ash-


Siddiq sebagai khalifah sepeninggalan Nabi Saw. Pada awal masa pemerintahan
Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta
pengikut- pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam.
Pasukan yang dipimpin Khalid Ibn Walid segera menumpas gerakan ini. Peristiwa
tersebut terjadi di Ymamah tahun 12 H. Akibatnya banyak sahabat yang gugur,
termasuk 70 orang yang diyakini hafal al-Qur’an.

Kejadian tersebut dikritisi oleh Umar Ibn Khattab. Ia khawatir peristiwa yang
serupa akan terulang kembali. Sehingga semakin banyak huffadz yang gugur. Bila
demikian,”masa depan” Alqur’an menjadi terancam. Maka muncul ide kreatif
Umar yang disampaikan kepada Abu Bakar Ash-Siddiq untuk segera
mengumpulkan tulisan-tulisan al-Aur’an yang pernah ditulis pada masa Nabi.
Semula Abu Bakar keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar berhasil
meyakinkanya. Maka dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid Ibn Tsabit
dan tiga orang lainnya sebagai anggotanya yakni Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib, dan ubay Ibn Ka`ab dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci
tersebut.

Panitia penghimpun yang semuanya hafal dan penulis al-Qur`an terkemuka


itu dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun, yakni dari
tahun 12 H/633 M – 13 H/634 pasca peperangan yamamah hingga sebelum
wafatnya Abu Bakar Ash siddik tampa mengalami hambatan yang berat. Namun
satu hambatan teknis yang dihadapi Zaid dan kawan-kawan panitia lainnya yakni
ketika mengumpulkan surah at-Taubah, mereka tidak memiliki catatan dua ayat
terakhir dari surah tersebut. Setelah Zaid bekerja keras dan mengumumkannya
pada khalayak ramai, diperolehlah catatan kedua ayat tersebut darin seorang
sahabat yang bernama Abu Khuzaimah al-Ansari. Setelah disumpah dan diperiksa
keaslian tulisannya, Maka Zaid pun atas kesepakatan panitia, menerima catatan

6
( ) Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid I, hal. 60

6
Abu Khuzaifah tersebut.7

Sehingga jelaslah bahwa Zaid beserta panitia yang lainnya menghimpun al-
Qur`an menggunakan metode penghimpunan pada tulisan dan hafalan. Tidak
pernah mereka menetapkan kesahihan ayat-ayat al-Qur`an hanya berdasarkan
hapalan tanpa tulisan, dan tidak pula pernah mengakui validasi ayat-ayat al-
Qur`an hanya merujuk kepada tulisan tanpa mengeceknya dengan hafalan.

3. PEMBUKUAN ALQURAN PADA MASA USTMAN

Masa pemerintahan Ustman bin Affan adalah yang terpanjang dari semua
khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun. Sejarahwan membagi
masa pemerintahan Utsman bin Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama
merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah
merupakan masa pemerintahan yang buruk. Enam tahun pertama pada
pemerintahan, Beliau melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai
Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian
ekspedisi militer yang terencana secara cermat dan simultan di semua front.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin
oleh Kholid bin Walid untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku
bahwa dirinya adalah Nabi. Peperangan yang terjadi di Yamamah itu
menggugurkan 700 sahabat penghafal al-Qur’an. Melihat hal ini, Umar bin
Khathab meminta kepada Abu Bakar ash-Shidiq agar al-Qur’an dikumpulkan
7
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M Ulumul qrr`anHal 51

7
karena khawatir al-Qur’an akan hilang dengan gugurnya para penghafal al-
Qur’an.8 Atas usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar ash-Shidiq
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karena beliau
adalah orang yang pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis
wahyu di masa Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin
Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.9

Dari berbagai riwayat menyebutkan bahwa penyimpanan shuhuf-shuhuf itu


dipegang oleh khalifah, namun setelah khalifah Umar bin Khathab wafat, shuhuf-
shuhuf itu tidak disimpan oleh Utsman sebagai khalifah berikutnya, tetapi
dipegang oleh Hafshah. Karena beliau adalah istri Rasul dan anak khalifah Umar,
beliau juga sosok yang pandai membaca dan menulis. Penyebaran Islam
bertambah luas dan para qurra’ pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di
setiap wilayah itu mempelajari qira’at dari para qari yang dikirim kepada mereka.
Cara-cara pembacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan
dengan perbedaan huruf pada saat al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka
berkumpul di suatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka
merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka
merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya
disandarkan kepada Rasulullah.

Akan tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan


keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah, sehingga terjadilah
pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan
pada gilirannya akan menimbulkan saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan
akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini
harus segera diselesaikan.10

Pada waktu terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbeijan dari


penduduk Irak. Dalam kedua pertempuran ini Huzaifah bin al Yamaniy
memperhatikan banyak terdapat bentuk perbedaan dalam masalah qira’at.
8
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, cet.VIII, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 98.
9
Ibid, 100.
10
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT.Mitra Kerjaya Indonesia, 2009), 192.

8
Sebagian orang ada yang salah dalam membaca, disamping itu tiap-tiap orang
berusaha sungguh-sungguh memperbaiki bacaannya. Juga memperbaiki wakaf-
wakafnya, dari perbedaan itu maka terjadilah perbedaan dikalangan mereka. Di
antara mereka itu timbul perbedaan pendapat. Bagi para sahabat yang terkemuka
malah ini menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dengan secara berangsur-angsur
akan terjadi perubahan dan pertukaran nantinya.11

Bencana yang terjadi di Yamamah itu telah menggetarkan hati untuk


mengadakan perbaikan. Bencana yang terjadi setelah meninggalnya Umar
menggerakkan pula hati Usman untuk memperbaikinya. Sepulangnya Huzaifah al
Yamaniy dari perang Armenia dan Azerbaijan dia menghadap khalifah Utsman
untuk mengatakan tentang kekhawatirannya tentang perbedaan umat Islam dalam
hal membaca al-Qur’an. Katanya kepada khalifah, “Bagaimana pendapat tuan dari
hal umat yang berbeda-beda membaca al-Qur’an? ”.12

Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat


perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar.
Latar belakang pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena
beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar.
Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah
terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan
sahabat yang mengajar mereka.

Penduduk Syam membaca al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab,


penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain
mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan
tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada
pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling
kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.13

Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa

11
Halimuddin, S.H, Pembahasan Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, T.th), 46.
12
Halimuddin, S.H, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992, T.th), 57.
13
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma’arif,
1984), 94.

9
pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru
yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid
tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai
kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita
tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan:
“Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang
bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.

Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman dengan kehebatan


pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan
tindakan prefentip menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan
mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan
sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah
dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.

Sebagai khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi
tersebut dan memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk
bahasa Quraisy, dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit
untuk memimpin pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek
tidak menjadi sebab disharmonisnya dalam komunitas muslim.14

Mereka semua sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan


memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota
dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang
lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan
perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an.

Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia


menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat
diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said
Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy
golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar.
Adapun Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh

14
Farid Wadji, Fenomena Al-Qur’an : Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung
: PT. Marja, 2002), 41

10
empat hijrah.15 Utsman berkata kepada mereka yaitu:

ۤ
ٍ ‫َي ٍء ِمنَ ْالقُرْ ا ِن فَا ْكتُبُوْ هُ بِلِ َسا ِن قُ َر ْي‬
‫ فَإِنَّهُ إِنَّ َما نَ َز َل بِلِ َسانِ ِه ْم‬,‫ش‬ ٍ ِ‫اختَلَ ْفتُ ْم اَ ْنتُ ْم َو زَ ْي ٌد بْنُ ثَاب‬
ْ ‫ت فِى ش‬ ْ ‫إِ َذا‬.

Artinya:

“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentag sesuatu dari al-
Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Quraisy.”16

Tugas panitia ini adalah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-


lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman
menasihatkan supaya: 17

a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.

b. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka


haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu diturunkan
menurut dialek mereka.

Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka,


dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam
dari Hafshah itu dikembalikan kepadanya. Selanjutnya Utsman mengirim ke
setiap wilayah mushhaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua al-Qur’an
atau mushhaf lainnya dibakar. Zaid berkata: “ketika kami menyalin mushhaf saya
teringat akan satu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh
Rasulullah, maka kami mencarinya dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit
al-Anshari, ayat itu adalah:18

َ ‫ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ ِر َجا ٌل‬


‫ص َدقُوْ ا َماعَاهَدُوا هللاَ َعلَ ْي ِه‬

15
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
16
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
17
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 193.
18
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 35.

11
Artinya:

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah.”

3. Pengumpulan Al-Qur’an

Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu
merupakan sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi.
Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya
disimpan di rumah, maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu.

Langkah Utsman memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf


Abu Bakar sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap
menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah
dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan penghimpunan al-Qur’an,
dapat dipastikan di dalam panitia ini lebih banyak bereperan ketimbang tiga
anggota panitia lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya perubahan,
penambahan atau hilangnya kalimat tertentu dapat ditekan sampai pada titik nol
dan keaslian al-Qur’an tetap terjamin.19

Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun
kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan
dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokkannya dengan yang telah
dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang
didengarnya saja, tapi juga mencocokkan kepada yang ditulis. 20

Dia hanya menerima catatan yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi.
Cara itu lebih menjamin daripada hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid
sendiri termasuk orang yang hafal al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan
berdasarkan keputusan Khalifah Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin
Tsabit dan Umar, Abu Bakar mengatakan:

19
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 194.
20
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1992), 75.

12
ُ‫ب هللاِ فَا ْكتُبَاه‬ ِ ‫اُ ْق ُعدَا َعلَى بَا‬
ْ ‫ فَ َم ْن َجا َء ُك َما بِشَا ِه َد ْي ِن َعلَى ش‬.‫ب ال َمس ِْج ْي ِد‬
ِ ‫َي ٍء ِم ْن ِكتَا‬

Artinya:

“Duduklah kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datanag kepada kalian
membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi maka catatlah”.21

Menurut tokoh hadis yang dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak
harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan.
Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu itu, sudah diterima ayatmnya
apabila ayat yang disodorkan kepada tim didukung oleh dua hafalan dan atau
tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa
oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau
hafalan sahabat lainnya.pengertian Ibnu Hajar tentang syahidain ini sedikit
berbeda, yaitu catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu seorang sahabat
sudah dapat diterima bila memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa
catatan itu memang ditulis di hadapan Rasulullah.22

Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushhaf”, dan


panitia ditulis lima buah al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah,
Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing
Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri
dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam”.23

Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-


lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya.
Ia khawatir kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu beredar.
Padahal pada mushhaf-mushhaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat
kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat
tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan
bukan Kalam Allah.

Utsman mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan


21
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 112.
22
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, 71.
23
Ibid, 72.

13
pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-
Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah
binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil
dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan
setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafshah mengabulkannya.

Umar bin Shabba meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke
kelompok kecil untuk bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan
kepadanya kenapa Utsman memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia
menjawab “pada zaman pemerintahan Umar ada pembual bicarayang telah
mendekati khalifah memberitahukan kepadanya bahwa orang-orang telah berbeda
dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan masalah ini dengan
mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan bacaan mereka,
tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum beliau dapat
melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman, orang yang
sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian
Utsman memerintahkan untuk membuat mushhaf tersendiri. Lalu dia mengutus
saya menemui bekas istri Nabi Muhammad SAW, Aisah, agar mengambil kertas
kulit (suhuf) yang Nabi Muhammad SAW. sendiri telah mendiktekan keseluruhan
al-Qur’an. Mushhaf yang dikumpulkan secara independen kemudian
dibandingkan dengan suhuf ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap
kesalahan-kesalahan yang ada, kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah
al-Qur’an itu dimusnahkan.

Walaupun riwayat ini dianggap lemah menurut ukuran pada ahli hadis, tapi
ada gunanya dalam menyebutkan riwayat ini yang menerangkan pengambilan
suhuf yang ada dibawah pengawasan atau penjagaan Aisah. Riwayat dibawah ini
bagaimanapun menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Ibn Shabba
meriwayatkan dari Harun bin Umar, yang mengaitkan bahwa: “Ketika Utsman
hendak membuat salinan (naskah) resmi, dia meminta Aisah agar
mengirimkannya kepada kertas kulit (suhuf) yang dibacakan oleh Nabi
Muhammad yang disimpan dirumahnya. Kemudian dia menyuruh Zaid bin Tsabit
membetulkan sebagaimana mestinya, pada waktu itu beliau merasa sibuk dan

14
ingin mencurahkan waktunya mengurus masyarakat dan membuat ketentuan
hukum sesame mereka”.24

Maka dari mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di
seluruh pelosok menyalin al-Qur’an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai
sekarang masih ada karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari
Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah
berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa
Utsman itu.

Dengan demikian keistimewaan pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman itu


adalah:25

a. Adanya penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek.


Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: Utsman mengumpulkan manusia diatas satu
dialek dari yang semula tujuh dialek, yang oleh Rasul telah dimutlakkan sebagai
bacaan umatnya, ketika hal itu masih merupakan maslahah.

b. Mengembalikan bacaan yang telah dihapus. Utsman bermaksud


menyatukan mushhaf umat. Bacaanya tidak ada yang dihapus, ditulis dengan
bentuk yang kokoh, dan mewajibkan umat membaca dan menghafalnya, (karena)
dikhawatirkan masuknya kerusakan dan kesamaran pada generasi selanjutnya.

c. Peringkasan terhadap apa yang ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan


membuang selain hal tersebut. Sesungguhnya Ibnu Daudi telah meriwayatkan
tentang mushaf-mushaf dari Muhd bin Sairi, dari Kutsair bin Aflah: Ketika
Utsman menginginkan agar mushhaf-mushhaf ditulis, ia mengumpilkan dua belas
orang dari golongan Anshar dan Quraisy. Diantara mereka terdapat Ubay bin
Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Rawi berkata: “Lalu mereka diutus keruangan
dirumah umar dan dibawalah (mushhafnya). Saat itu Utsman mengadakan
perjanjian dengan mereka, yakni apa bila diantara mereka berselisih dalam
sesuatu, maka ia harus mengakhirkannya.” Muhd berkata: “Lalu ku katakan
kepada orang-orang banyak tersebut, diantara mereka ada yang menulis (wahyu).
24
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, 36.
25
Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani,
2005), 101-102.

15
Apakah kalian mengerti kenapa mereka mengakhirkannya?” ia mejawab: ”Tidak”.
Muhd berkata: “Aku mengira, mereka mengakhirkannya karena terjadi
perselisihan. Sedangkan yang lain melihat orang berselisih, padahal diantara
mereka ada yang menulis tentang perjanjian lalu mereka menulis atas dasar
perkataan orang itu.

d. Peringkasan terhadap bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenal dari


Rasulullah dan pembatalan hal-hal yang belum kuat.

e. Susunan ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).

Utsman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf


yang memenuhi persyaratan berikut:

a. Harus mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.

b. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak


diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.

c. Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda
dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushhaf
Utsman.

d. Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qira’at


yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur’an ketika turun.

e. Semua yang bukan termasuk al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang


ditulis di mushhaf sebagian sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di
dalam mushhaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.

Mushhaf Abu Bakar setelah dipinjam dan disalin, Utsman


mengembalikannya kepada Hafshah. Mushhaf itu tetap berada ditangannya hingga
ia wafat. Dalam buku Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dr. Shubhiy Shalih yang
mengutip keterangannya dari Kitab Al-Mashhahif karya Ibnu Abi Daud,
menurunkan riwayat sebagai berikut: ”Marwan telah berusaha mengambilnya
(mushhaf) dari tangannya (Hafshah) untuk kemudian membakarnya. Tetapi ia
(Hafshah) tidak mau menyerahkannya sampai ketika ia wafat, Marwan

16
mengambil mushhaf tersebut dan membakarnya”.

Bila dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushhaf maupun


Marwan yang bersikeras meminta mushhaf yang ada pada mushhaf, maka hal itu
dapat dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushhaf Abu Bakar yang ia
terima dari ayahnya yaitu Umar, karena ia tahu mushhaf itulah yang disalin oleh
Utsman untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan
berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal satu mushhaf. Dan Marwan tahu
bahwa penulisan Mushhaf Utsman atau Mushhaf Utsmaniy dilakukan dengan
menggunakan kaidah-kaidah tertentu tetapi memperhatikan qira’at-qira’at yang
dibenarkan Rasulullah.

Kaum muslimin sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke


berbagai penjuru negeri, berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan
mencakup semua isi al-Qur’an, yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf
tersebut berisi 114 surat, naskah tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat),
dan tidak pula memiliki tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan
menurut pendapat yang populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan
bagian-bagian yang memisahkannya satu sama lain.

Kendati nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun
Ibn Katsir pernah melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir
mengatakan sebagai berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai
Mushhaf Imam maka yang termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam
dan tersimpan di Masjid Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di
kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H.
sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan
tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan
ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah kulit unta.26

Perlu diketahui bahwa sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan


mengenai bacaan al-Qur’an, baik di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap
guru mempunyai bacaan tersendiri sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran

26
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997), 124.

17
pun menjadi berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian
disampaikanlah kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat
khawatir, kemudian menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut:
“Kamu sekalian yang dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an
dan salah bacaan, apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin,
mereka lebih hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca
al-Qur’an. Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam
untuk manusia”.

Karena itulah mushhaf Utsman dinamakan Al-Imam, Utsman telah


mengirimkan naskah mushhaf ini ke beberapa daerah dan memerintahkan agar
membakar semua mushhaf selain mushhaf Utsman. Ibn Fadhli al ‘Umariy dalam
kitabnya Masaliku I’Abrar ketika menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata:
”Disebelah kirinya terdapat mushhaf Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin.
Mushhaf Utsmaniy ini berada di masjid Damaskus pada masa al ‘Umary hingga
abad 8 H. Para peneliti peninggalan bangsa Arab menegaskan, mushhaf inilah
yang dipelihara di perpustakaan Leningrad, kemudian dipindahkan ke Inggris dan
tetap disana hingga sekarang.27

Pembakuan teks al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada
suatu saat antara 650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik
utama dalam apa yang biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-
Qur’an. Bagaimanapun bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab
yang di tangan kita sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di
bentuk Utsman menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti
dikeluarkan, organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka
konsonantal (bentuk teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita
berpendapat bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli)
merupakan suatu syarat mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah
menghasilkan suatu karya yang sangat mengagumkan.28

Periode Khulafaur-Rasyidin diakhiri dengan sebuah tragedi. Keluarga


27
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 170-171.
28
Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 81.

18
Utsman mempertahankan kekuasannya atas masyarakat melalui suatu keturunan
Utsman yang bernama Muawiyah, sementara Ali sebagai menantu Nabi dan
sahabat Nabi terkemuka, juga menginginkan posisi sebagai khalifah. Persaingan
dalam merebut kekuasaan tersebut akhirnya mengakibatkan peperangan antara
kedua belah pihak dan Muawiyah berhasil merebut kekuasaan tersebut, meskipun
dia tidak pernah mengalahkan Ali secara total. Akan tetapi secara politik,
masyaarakat mengalami perpecahan, dan lahirlah dua kelompok Islam.29

4. Penyempurnaan tulisan mushaf dan pembagiannya

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni dimana
mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita
kenal sekarang ini. Pada masa itu, tulisan hanya terdiri atas beberapa symbol
dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering
menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena
bercampur dengan bahasa lainnya, maka para penguasa mulai melakukan
perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang benar. Perlunya pembubuhan
tanda baca dalam penulisan al Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah
menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi
29
Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Qur’an, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), 67.

19
Sufyan (661-680 M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslim
dalam membaca Al Qur’an.

Melihat kenyataan seperti itu, Ziyad bin Samiyah meminta Abu al Aswad al
Duali (w.69H/638 M) untuk member syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda
bunyi (a) dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau
tanda bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda
dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di
antara bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun atau tanda bunyi konsonan
(huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa padahuruf
bersangkutan. (Faizah, Nur, 2008:194)

Kemudian, tanda baca Abu al Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama
sesudahnya pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu oleh al Khalil bin Ahmad. Ia
berpendapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah adalah ya, dan dammah
adalah wawu. Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas
huruf, kasrah di bawah huruf, dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf,
sedangkan tanwin dengan mendobelnya. Ia juga memberi tanda pada tempat alif
yang dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan
hamzah warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan
huruf ba diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan
dengan huruf halqiyah diberi tanda sukun dengan warna merah.

Tatkala Islam semakin meluas ke berbagai daerah, dan telah banyak pula
masyarakat non-Arab yang masuk Islam. Maka timbul upaya untuk menciptakan
tanda-tanda pada huruf Al Qur’an. Halini dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan
bahkan kekeliruan dalam membaca Al Qur’an terutama bagi kalangan non-Arab.

Upaya tersebut dilakukan pada masa Khalifah Bani Umayyah ke-5, Abdul
Malik bin Marwan (66-86 H/785-705 M). Ia memerintahkan seorang ulama
bernama al Hajjaj bin Yusuf as Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al
Qur’an.Untuk mewujudkan usaha tersebut, al Hajjaj menugaskan hal ini kepada
Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, keduanya adalah murid Abu al aswad ad
Duali. Akhirnya, mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf al Qur’an

20
dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan
huruf yang satu dengan lainnya. Misalnya, huruf dal dengan huruf zal, huruf ba
dengan huruf ta dan huruf sa. Demikian pula dengan huruf-huruf lainnya
sebagaimana kita kenal saat ini.

Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al Usmani terjadi melalui tiga proses,
yaitu :

 Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al Aswad Duali.

 Pemberian a’jam, titik, yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al
Hajjaj.

 Perubahan syakal pemberian Abu al Aswad ad Duali menjadi seperti sekarang


ini yang dilakukan oleh al Khalil.30

5. PENCETAKAN ALQURAN DAN PERKEMBANGANNYA

Informasi tentang sejarah pencetakan al-Qur'an masih minim dan simpang


siur. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus untuk merekonstruksi sejarah
pencetakan al-Qur'an yang objektif dan nir-bias. Ini menjadi pekerjaan rumah
(PR) tersendiri bagi sejarawan muslim dan pengkaji al-Qur'an.

Pada tahun 2004, sarjana-sarjana pengkaji al-Qur'an di Jerman dan


Netherland telah menjawab 'PR' tersebut. Penerbit IDC, penerbit akademis buku-
buku sumber yang jarang di Leiden telah me-launching hasil penelitian koleksi-
koleksi al-Qur'an yang dicetak di Barat pada tahun 1537-1857 M. Penelitian
tersebut dibukukan dengan judul Early Printed Korans: The Dissemination of the
Koran in the West, yang diedit oleh Hartmut Bobzin dan August den Hollander.
Buku ini memberikan informasi yang lebih tentang sejarah pencetakan al-Qur'an
awal yang cukup comprehensif dan terhitung baru. Meskipun tidak menutup
kemungkinan terjadinya bias-bias kepentingan.

30
https://khilmifauzan.blogspot.com/2012/06/penyempurnaan-tulisan-al-quran.html

21
Selain buku tersebut, Encyclopaedia of the Qur'an (Brill: Leiden-Boston,
2004) yang di-chief-editor-i oleh Jane Dammen McAuliffe, juga memberikan
informasi yang cukup memuaskan tentang sejarah pencetakan al-Qur'an, terutama
di entri Printing of the Qur'an yang ditulis oleh Michael W. Albin dan beberapa
entri lainnya terkait dengan pencetakan al-Qur'an seperti Qur'an and Media.

Tulisan ini mencoba merangkum sejarah pencetakan al-Qur'an untuk


pembaca dengan mengacu pada terutama kedua referensi tersebut dan referensi
sekunder lainnya.

Informasi tentang siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana al-Qur'an


dicetak pertama kali masih belum jelas betul. Namun mayoritas sarjana
menyepakati bahwa Al-Qur'an pertama kali dicetak dengan the moveable type,
(jenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg sekitar 1440 M di
Mainz, Jerman) oleh Paganino dan Alessandro Paganini (ayah dan anak, keduanya
adalah ahli pencetakan dan penerbitan), antara 9 Agustus dan 9 Agustus 1538 di
Venice, Itali (sekarang lebih dikenal dengan Venesia. Sarjana Islam menyebut
kota ini dengan al-Bunduqiiyah). Sebagian informasi menyatakan bahwa cetakan
ini konon tidak beredar karena dilarang Gereja Katolik. Akhirnya cetakan tersebut
musnahkan.

Namun informasi lain menyatakan bahwa lain. Konon, cetakan al-Qur'an


yang dibuat oleh Paganino dan Alessandro Paganini akan dikirim ke Imperium
Ottoman. Ketika Alessandro Paganini pergi ke Istanbul untuk menjual produknya
(al-Qur'an cetakan), Kaisar Ottoman tidak menyambutnya dengan hangat karena
banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang mencetak adalah orang yang
dianggap kafir (non-muslim). Memang, sultan Ottoman, Bayazid II (1447 atau 8-
1512 M) dan Salim I (1470-1520 M) pernah mengeluarkan larangan penggunaan
buku-buku yang dicetak. Namun kebenaran isu ini masih tetap perlu diteliti lebih
lanjut.

Pelarangan peredaran al-Qur'an sudah berlangsung berabad-abad semenjak


Paus Clemens VI sekitar 1309 M. Hingga akhir, al-Qur'an boleh dicetak dan
diedarkan apabila disertai komentar penyangkalan dan kritikan atas kebenaran isi

22
al-Qur'an. Hal ini mendorong dicetaknya terjemah al-Qur'an. Terjemah al-Qur'an
pertama kali ke dalam bahasa Latin dicetak di Nurenberg pada 1543 M.

Terjemahan al-Qur'an bahasa Latin dipersiapkan di Toledo oleh Robert of


Ketton (Robertus Ketenensis), dibantu oleh seorang native Arab dan diedit oleh
teolog Zurich, Theodore Bibliander. Edisi ini terdiri dari tiga bagian: al-Qur'an itu
sendiri; sejumlah pembuktian kesalahan al-Qur'an oleh sarjana terkemuka; dan
sejarah Turki. Edisi ini sukses besar dan dicetak ulang pada 1550 M.

Ada juga cetakan-cetakan bagian al-Qur'an, yakni Surah Yusuf. Cetakan


surah Yusuf ini dilakukan oleh orientalis Belanda Thomas Epernius (1584-1624)
pada 1617 di Leiden. Awalnya Surah Yusuf dijadikan sebagai bahan latihan untuk
pelajaran bahasa Arab. Pada tahun tersebut Epernius telah mendidirikan
percetakannya dengan tipe Arabic, yang disebut dengan 'Erpenian type', sebuah
landmark dalam sejarah tipografi Eropa tentang Arab.

Pencetakan al-Qur'an berikutnya dilakukan di Hamburg pada 1694 oleh


Abraham Hinckelmann yang memberikan kata pengantar dengan bahasa Latin.
Empat tahun kemudian, yakni 1698, al-Qur'an cetakan edisi lain diterbitkan oleh
Ludovico Maracci dengan tujuan teologis, dimana edisi ini dilengkapi dengan teks
Arab dan terjemah bahasa Latin dan penolakan atas Islam oleh Ludovico Maracci.

Pada tahun 1701 orientalis Andreas Acoluthus dari Breslau mempublikasikan


sebuah lembaran untuk sebuah poliglot al-Qur'an, yang di dalamnya di mencetak
Surah Pertama al-Qur'an dalam bahasa Arab, Persia dan Turki.

Pada tahun 1787, Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherin II menyuruh agar
al-Qur'an dicetak dengan tujuan politis, seperti toleransi keagamaan. Dia ingin
agar keturunan Muslim Turki mudah mengakses kitab suci tersebut. Al-Qur'an
cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan
keterangan dari kitab-kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun
1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798.

Pendirian percetakan di dunia Islam tertunda karena para sultan di


Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan buku-buku yang dicetak oleh orang

23
Eropa—yang menurut mereka kafir. Oleh sebab itu, penerbitan untuk mencetak
buku-buku didirikan pada akhir abad ke-15 di Constantinopel dan kota-kota
lainnya di Imperium Ottoman.

Baru kemudian pada tahun 1787 Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-
Quran dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal
dengan edisi Malay Usmani.

Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di kota Volga, Kazan, al-
Qur'an pertama kali dicetak pada tahun 1801 (ada pula yang menyatakan pada
tahun 1803). Persia (Iran) mulai mencetak al-Qur'an pada tahun 1838. London
pada tahun 1833. India pada tahun 1852, dan Istanbul pada tahun 1872.

Pada tahun 1834, al-Qur'an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh


orientalis Jerman, Gustav Flugel. Mungkin cetakan al-Qur'an yang lebih baik
tinimbang edisi-edisi yang dicetak orang-orang Eropa sebelumnya. Edisi ini
dilengkapi dengan concordance (pedoman penggunaan) al-Qur'an yang dikenal
dengan 'Flugel edition'. Terjemahan Flugel membentuk fondasi penelitian al-
Qur'an modern dan menjadi basis sejumlah terjemahan baru ke dalam bahasa-
bahasa Eropa pada tahun-tahun berikutnya. Edisi ini kemudian dicetak lagi pada
tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893.

Namun edisi ini dinilai masih memiliki banyak kecacatan, terutama pada
sistem penomeran surah yang tidak sesuai dengan yang digunakan umat Islam
umumnya.

Pada tahun 1798, percetakan dimulai di Mesir. Pada saat itu Napoleon (1769-
1821) berkampanye dengan mencetak leaflet dan pamflet-pamflet dekrit-dekrit
dan peraturan Napoleon. Namun ketika Muhammad Ali Basha menjadi penguasa
Mesir pada 1805, dia memulai laki kerja percetakan pada 1819 dan percatakan itu
dinamai "al-Matba'ah al-Ahliyah" (The National Press).

Namun pencetakan al-Qur'an di Mesir baru dimulai tahun antara 1923-1925.


Edisi ini dicetak dengan percetakan modern. Edisi Mesir ini menjadi mushaf
standar dimana bacaan al-Qur'an sudah diseragamkan. Edisi Mesir adalah salah

24
satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah
perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi
bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh
dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak
beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.
Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini
juga dikenal dengan edisi Raja Fadh karena dialah yang memprakarsainya.

Di Asia Tenggara, al-Qur'an dicetak sendiri oleh orang daerah. Pada tahun
1848, menurut penelitian Abdurrazak dan Proudfoot, Muhammad Azhari, orang
asli Sumatera membuat sebuah litografi al-Qur'an yang kemudian dia cetak pada
tahun 1854. Kisahnya, setelah kembali dari pengembaraannya di Makkah, dia
mampir di Singapura memberi peralatan dan perlengkapan percetakan.

Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kali Al-Qur'an dicetak dengan
teknik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah.
Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang
terkemuka, Badiuzzaman Sa'id Nursi (1876-1960).

Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur'an dicetak dalam berbagai ukuran dan
jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa'id Nursi di Berlin
(Jerman).

Mulai abad ke-20 pencetakan al-Qur'an sudah ditangani oleh umat Islam
sendiri dan menjamur di negara-negara Islam. Pada tahun 1984 berdirilah
percetakan khusus Al-Quran "Majma' Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif",
percetakan terbesar di dunia, yang memang hanya mencetak Al-Quran saja.
Letaknya di kota Madinah. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama
Kerajaan Arab Saudi.

Semenjak edisi Raja Fadh INI, al-Qur'an mulai dicetak dengan berbagai
ukuran, bentuk, jenis kaligrafi, hiasan (ornamen) dan penambahan keterangan-
keterangan lainnya, sebagaimana yang kita temukan sekarang ini.31

31
https://solusinews.blogspot.com/2012/12/pencetakan-al-quran.html

25
26
6. PENTERJEMAHAN ALQURAN DAN PERKEMBANGANNYA

Kata terjemah berasal dari bahasa Arab ‫ ترجمة‬yang diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi terjemah atau tarjamah.

Menurut asal katanya kata tersebut mengandung arti : menjelaskan dengan


bahasa lain atau memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa lain32. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan terjemah = terjemahan salinan
sesuatu bahasa kepada bahasa lain. Menterjemahkan berarti menyalin atau
memindahkan dari satu bahasa pada bahasa lain.33

Secara definitif terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan yang terdapat
di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan
padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language).34 Dalam
The New Oxford Dictionary of English disebutkan : the process of translating
32
[ Al-‘Ak. op. cit. h, 461]
33
[ Poerwadarminta. op. cit. h, 1062]
34
[ Yusuf, op. cit. h, 8]

27
words or text from one language into another. 35 Dari dua pengertian tadi terlihat
ada dua kata kunci dalam

kegiatan terjemah; teks dan padanan. Yang dimaksud teks di sini adalah teks
dalam pengertian yang luas bisa berarti wacana atau juga satuan bahasa yang
paling lengkap bisa berupa tulisan ataupun lisan. Kemudian yang dimaksud
dengan padanan juga dalam pengertian yang luas, bukan saja padanan kata per
kata. Jadi terjemah dalam pandangan ini berarti proses pemindahan kata atau teks
dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan jalan mencarikan padanan maknanya.
Dari sini jelas bahwa kegiatan terjemahan adalah kegiatan yang menuntut
kemahiran dua bahasa, atau

dalam istilah linguistiknya disebut Bilingual.[ speaking two languages


fluently (mahir dalam dua bahasa)] Merupakan bentuk nyata dari kontak dua
bahasa dilakukan oleh seseorang.36 Walaupun sebagaimana yang disesalkan oleh
Georges Mounin, sebuah aktivitas yang ada dan berjalan namun para linguis tidak
pernah memasukkannya dalam bahasan mereka, mereka lebih disibukkan oleh
struktur kata, bentuk dan gramatika bahasa, sedangkan masalah terjemah masih
tetap terabaikan. Namun pengertian di atas jika dihubungkan dengan perdebatan
para linguis tentang ada dan tidaknya kegiatan terjemah, maka untuk memberikan
batasan dari kegiatan salinmenyalin dari suatu naskah atau ujaran dalam bahasa
tertententu kepada bahasa lain, nampaknya definisi terjemah yang menyatakan
bahwa terjemah adalah menjelaskan sesuatu yang dikandung bahasa tertentu
dengan bahasa yang lain akan lebih tepat. Hingga pembahasan tentang terjemah
berada di luar perdebatan tadi, karena sifatnya menjelaskan. Kurangnya perhatian
para linguis terhadap terjemah bukan berarti bahwa terjemah tidak memiliki teori,

35
[ The New Oxford Dictionary of English on CD-ROM.

atau frase-per frase malainkan mencakup juga makna. Makna

tersebut mencakup semua pengertian; makna sentral atau makna

denotatif dan makna konotatif serta makna kiasan (transferred

meaning) serta makna gramatikal.]


36
[ Georges , op. cit..h, 51]

28
dalam prakteknya banyak profesional terjemah menuangkan pengalamannya
dalam menterjemah sebagai langkah-langkah dari kegiatan tersebut.

E.A. Nida dan Taber seperti yang dikutip Harimurti Kridalaksana maupun
Suhendra Yusuf memberikan bahasa terjemah sebagai memindahkan suatu
amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.
Translating consists in repfoducting in the receptor language the closest natural
equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly
in terms of style. Pengertian dari Nida di atas menunjuk pada dua kata makna dan
gaya yang memberikan batas amanat terjemahan, jadi bukan hanya sekedar makna
yang harus diterjemahkan tapi gaya bahasa juga menjadi amanat yang harus
diterjemahkan. Namun barangkali harus diberikan catatan di sini bahwa
penterjemahan gaya tersebut tidak berarti penterjemahan harus bersifat harfiyah,
karena jika itu dilakukan , yang terjadi justru hilangnyagaya asli. Dalam hal ini
yang dituntut bagi penterjemah adalah selain menangkap makna juga harus
menangkap gaya untuk kemudian gaya tersebut diekpresikan dalam padanan gaya
yang ada pada bahasa sasaran. Berdasarkan pada pengertian terjamah di atas
dapatlah dikatakan bahwa terjemah adalah suatu proses pengalihan makna dengan
segala yang bertautan dengannya dan gaya dari bahasa sumber kepada bahasa
sasaran sehingga aspek emosi dan kekuatan magis dari pesan naskah asli tidak
hilang.

B. Macam-macam Terjemah

Ada dua macam terjemahan:

1.Tarjamah harfiyah: terjemah ini mustahil dilakukan dalam Al-Qur’an,


apabila dilakukan maka penggantian huruf atau kalimat dari bahasanya akan
menghilangkan kemukjizatannya, sehingga tidak lagi bisa disebut Qur’an. Perlu
digaris bawahi bahwa bahasa mempunyai dua makna; makna pertama ialah makna
asli yang tidak ada satu bahasa pun yang berbeda, makna kedua atau makna yang
berbeda dengan perbedaan bahasa dan banyak manusia salah memahami dan
berbeda derajat kehalusannya.

29
Seperti misalnya menterjemah ayat:

“Dan janganlah engkau tanganmu mencekik lehermu dan janganlah


menghamparkannya selebar mungkin maka engkau akan terduduk merugi” (QS.
Al-Isra : 29)

Kalau anda menerjemahkan ayat di atas secara harfiyah seperti contoh


terjemah di atas maka anda tidak akan memahami maksudnya. Sesungguhnya
yang dimaksud ayat ini ialah larangan bakhil dan berlebih-lebihan dan bukan
seperti yang disebut secara harfiah dalam terjemah di atas.

2.Tarjamah tafsiriyah adalah tarjamah dengan bahasa selain bahasa Al-


Qur’an dengan bahasa Arab maupun bahasa lainnya. Contoh: Tafsir Jalalain,
Hasyiyatut tafsir:

Terjemah semacam ini tetap mencantumkan bahasa aslinya dan


menggunakan pemisah antara Al-Qur’an dengan terjemahnya. Dalam bahasa
selain Arab kita temukan dalam dua kolom berbeda sebagaimana kita lihat pada
umumnya.

C. Syarat-syarat Terjemah

Untuk menterjemahkan Al-Qur’an dengan baik, syarat-syarat

berikut harus di perhatikan, yaitu:

1.Setiap kandungan ayat secara lahiriah, baik naskah asli atau naskah
terjemahan, harus diperhatikan dengan jeli. Makna ayat yang menyertakan
rasionalitas dan membutuhkan istidlal, maka hal ini harus dimasukkan dalam
kategori penafsiran.

2.Memilih padanan makna seakurat mungkin dan idiom yang tepat untuk
mengalihbahasakannya. Makna dan pemahaman sempurna tentang ayat harus
tercermin dalam naskah terjemahan. Seandainya di perlukan penambahan

30
indiom ayat atau kata, maka harus diletakkan dalam kurung.

3.Terjemahan Al-Quran harus di bawah pengawasan para ahli yang


memiliki penguasaan cukup terhadap ilmu-ilmu agama agar teks terjemah itu
terjaga dari kesalahan dan penyimpangan.

4.Tidak menggunakan istilah-istilah ilmiah dan sulit dalam naskah


terjemahan. Karena, naskah terjemahan itu untuk konsumsi umum, tidak boleh
mencantumkan pendapat dalam naskah terjemahan.

Jadi Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah,


baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:

Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik

bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya, Penerjemah memahami


gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa
tersebut, Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud
yang dikehendaki oleh bahasa pertama, Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan
lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama
melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

D.Terjemah Al-Quran kedalam Bahasa Asing

Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Barat dimulai dengan


penerjemahan ke dalam bahasa Latin. Pada saat Eropa belum mengalami
fragmentasi politik dan berdirinya negara bangsa di Eropa, bahasa yang
berkembang di Eropa adalah bahasa Latin. Bahasa-bahasa Eropa modern, masih
bersifat lokal dan regional. Maka terjemahan Al-Qur’an yang ditemukan sebelum
terpecahnya negara Eropa adalah terjemahan dalam bahasa Latin. Dari terjemahan
bahasa latin inilah kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali,
Jerman dan Belanda. Terjemahan Schwiegger ke dalam bahasa Jerman
diterjemahkan di Nurenbergh (Bavaria) pada tahun 1616. Terjemahan ke dalam
bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer diterbitkan di Paris pada tahun

31
1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada
tahun 1776. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Savari terbit pada tahun
1783, dan oleh Kasimirski yang juga dalam bahasa Perancis pada tahun 1840.
Terjemahan ini terbit untuk beberapa kali. Perhatian Perancis kepada Islam ini
karena mereka menduduki al-Jazair dan Afrika Utara. Kemudian menyusul lah
terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Jerman oleh Boysen pada tahun 1773.
Pada tahun 1828 dan Ullmann pada tahun 1840.

Terjemahan yang penting dikemukakan adalah terjemahan yang bersifat


memberi kesan negatif terhadap Islam. Dan perintis jalan penerjemahan Al-
Qur’an model ini adalah Maracchi. Maracchi pada tahun 1889 mengeluarkan
terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin dengan teks Arab dan beberapa
nukilan dari berbagai tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan dipilih sedemikian
rupa untuk memberikan kesan yang buruk tentang Islam di Eropa. Maracchi
sendiri adalah orang pandai dan dalam menterjemahkan Al-Qur’an itu jelas
tujuannya ialah untuk menjelek-jelekkan Islam di kalangan-kalangan orang Eropa
dengan mengambil pendapat-pendapat ulama Islam yang menurut pendapatnya
menunjukkan kerendahan Islam. Maracchi sendiri adalah seorang Roma Katolik
dan terjemahan itu dipersembahkan kepada Emperor Romawi. Pada terjemahan
itu diberi kata pengantar yang isinya adalah sebagaimana yang ia katakan:
“Bantahan terhadap Qur’an”.

Adapun terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang pertama dilakukan oleh


Alexander Ross, tetapi masih terjemahan saja dari Bahasa Perancis yang
dilakukan oleh Du Ryer pada tahun 1647, dan diterbitkan beberapa tahun
kemudian setelah buku Du Ryer tersebut. Terjemahan George Sale yang terbit
pada tahun 1734 adalah didasarkan kepada terjemahan Maracchi yang berbahasa
Latin. Malahan catatan-catatan dan pendahuluannya sebagian besar juga
didasarkan karangan Maracci itu. Mengingat bahwa tujuan Maracci itu adalah
untuk menjelek-jelekkan Islam di kalangan orang-orang Eropa, maka adalah
sangat menarik perhatian. Bahwa terjemahan itu dianggap sebagai terjemahan
yang baik dalam dunia yang berbahasa Inggris, dan harus dicetak berulangkali dan
malahan dimasukkan dalam seri apa yang dikatakan “Chandos Classics” dan

32
mendapatkan pujian dan restu dari Sir E. Denison Ros.

Rodwell berusaha untuk mengurutkan surat-surat Al-Qur’an dalam urutan


turunnya, terjemahan itu diterbitkan pada tahun 1861. Sekalipun ia berusaha untuk
memberikan ungkapan-ungkapan secara jujur, tetapi catatan-catatannya
merupakan catatan seorang “pendeta” kristen yang lebih mementingkan untuk
memperlihatkan apa yang menurut pendapatnya “kekurangan-kekurangan” dalam
Al-Qur’an daripada menunjukkan penghargaan terhadap kitab suci tersebut.
Kesulitan memahami bahasa Al-Qur’an dengan sempurna dibarengi dengan niat
tidak baik sangat mempengaruhi nilai terjemahan orientalis. Marmaduke Pikthall
misalnya secara jujur datang ke Mesir untuk memperlihatkan hasil terjemahannya
dan menunjukkan ayat-ayat yang tidak sanggup diterjemahkannya dengan tepat.

Karena luasnya tujuan-tujuan yang tidak baik yang dilakukan oleh orientalis-
orientalis Barat yang bukan Islam dan anti Islam dalam penterjemahan Al-Qur’an,
maka hal ini menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha untuk
menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris ialah DR. Muhammad Abdul
Hakim Chan dari Patiala pada tahun 1905. Mirza Hairat dari Delhi juga
menetrbitkan terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pada tahun 1919. Dan
masih banyak lagi kaum muslimin yang menulis terjemah Al-Qur’an. Namun
yang paling penting dari terjemahan itu adalah “The Holy Qur’an” karya Yusuf
Ali, selain menterjemahkan ayat ia juga mengomentarinya dengan aqidah yang
diyakininya.

33
7. PENULISAN DAN PERCETAKAN ALQURAN DI INDONESIA

Selama lebih dari 160 tahun perkembanganrrya hingga dewasa ini, banyak
hal-hal menarik untuk dikaji, baik aspek kesejarahan, teks, maupun visualnya.
Pemahaman akan perkembangan pencetakan mushaf sejak masa awal akan
memperjelas pemahaman kita tentang keberadaan mushaf di Indonesia dewasa ini.
Di sini, kesinarnbungan mata rantai sejarah mushaf menjadi penting. Di
Nusantara, mushaf Al-Qur'an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak
batu (litografi) Haji Muhammad Azharibin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak
pada 2l Ramadan 1264 (21 Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga kini,
inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara.l Tinggalan yang diketahui sampai
saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin, Palembang .

Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebih muda, selesai
dicetak pada Senin, 14 Z:ulqa'dah 1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung
Pedatu'an, Palembang. Von de Wall, seorang kolektor naskah abad ke-19, pernah
membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini atas permintaan Presiden Belanda
di Palembang yang dimuat dalam TBG 1857 . Berdasarkan catatan itu, mushaf

34
cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional
RI Jakarta. Dengan adanya cetakan mushaf tahun 1854 itu, dapat diketahui bahwa
percetakan milik Azhari, paling kurang, produktif dalam masa tujuh tahun (1848-
1854). Meskipun demikian, luasnya peredaran mushaf hasil cetakan Azhari tidak
diketahui dengan pasti, karena langkanya bukti.

Generasi pertama pencetak mushaf Al-Qur'an di Indonesia adalah Abdullah


bin Afif Cirebon (yang telah memulai usahanya sejak tahun 1930-an bersamaan
dengan Sulaiman Mar'i yang berpusat di Singapura dan Penang), Salim bin Sa'ad
Nabhan Surabaya (Gambar 7), dan Percetakan Al-Islamiyah Bukittinggi. Usaha
bidang ini kemudian disusul oleh Penerbit Al-Ma'arif Bandung yang didirikan
oleh Muhammad bin Umar Bahartha pada tahun 1948. Mereka tidak harrya
mencetak Al-Qur' an, namun juga buku-buku keagamaan lain yang banyak
dipakai umat Islam. Pada tahun 1950-an penerbit mushaf di antaranya
adalah.Sinar Kebudayaan Islam dan Bir & Company. Penerbit Sinar Kebudayaan
Islam menerbitkan mushaf pada tahun 1951. Bir & Co mencetak sebuah mushaf
dengan tanda tashih dari Jam'iyyah al-Qurra' wal-HuffiV (perkumpulan paru
pembaca dan penghafal Al-Qur'an) tertanggal 18 April 1956. Pada tahun 1960-an
Penerbit Toha Putra Semarang memulai kegiatan yang sama, lalu disusul Penerbit
Menara Kudus. Penerbit lainnya pada sekitar periode ini adalah Tintamas, dan
beberapa penerbit kecil lainnya.

Terkait dengan upaya memelihara kemurnian, kesucian, dan kemuliaan Al-


Qur'an, lembaga yang secara resmi mempunyai tugas memeriksa kesahihan suatu
mushaf, yaitu Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an (sejak 2007 bernama Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur'an). Lajnah secara kelembagaan dibentuk pada 1
Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agama No. 11 Tahun 1959.
Keberadaan Lajnah untuk melaksanakan tugas pentashihan mushaf diperkuat lagi
dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa
tugas-tugas Lajnah, yaitu (1) meneliti dan menjaga kemumian mushaf Al-Qur'an,
rekaman, bacaan, terjemahan, dan tafsir Al-Qur'an secara preventif dan represif;
(2) mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf Al-Qur'an bagi orang biasa
(awas) dan bagi tunanetra (Al-Qur'an Braille), rekaman bacaan Al-Qur'an dalam

35
kaset, piringan hitam, dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di
Indonesia; dan (3) menyetop pengedaran mushaf yang belum ditashih oleh
Lajnah. Untuk memperlancar tugas pentashihan yang dilakukan oleh Lajnah,
terbit Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 1984 tentang Penetapan
Mushaf Standar.

Mushaf Standar merupakan acuan bagi para anggota Lajnah untuk


menjalankan tugasnya. Ada tiga jenis Mushaf Standar yang secara resmi menjadi
pedoman kerja bagi Lajnah - dan dengan demikian secara resmi dapat diterbitkan
dan diedarkan di Indonesia. Pertama, Mushaf Al-Qur'an Rasm Usmani. Penetapan
mushaf ini berdasarkan mushaf cetakan Bombay, karena model tanda baca dan
hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun
sebelumnya - bahkan jika dihitung sejak awal peredarannya di Nusantara telah
mencapai satu abad lebih. Kedua, Mushaf Al-Qur'an "Bahriyah" yang cenderung
memiliki rasm ilma'i. Mushaf ini modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki
yang kaligrafinya sangat indah. Jenis mushaf ini juga telah digunakan secara luas
oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan para penghafal Al-Qur'an,
dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan aldtir ayat- Ketiga, Mushaf Al-Qur'an
Braille, yaitu mushaf bagi para tunanetra. Mushaf ini menggunakan huruf Braille
Arab sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Internasional Unesco Tahun 1951,
yain al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah.

Dalam penulisannya, jenis mushaf ini menggunakan prinsip-prinsip rasm


usmani dalam batas-batas tertentu yang bisa dilakukan. Untuk kepentingan umat
Islam di Indonesia, Mushaf Al- Qur'an Rasm Usmani dan Mushaf Al Qur'an
"Bahriyah" kemudian ditulis oleh putra Indonesia. Mushaf dengan rasm usmani
ditulis oleh khattat Ustaz Muhammad Syadali Sa'ad, dan mushaf "Bahriyah"
ditulis oleh Ustaz Abdur-Razaq Muhili, tahun 1984-1989. Mushaf dengan rasm
usmani telah mengalami penulisan ulang oleh Ustaz Baiquni Yasin dan timnya ,
pada tahun 1999-2001. Sedangkan mushaf Bralille diterbitkan dan diproduksi, di
antaranya oleh Koperasi Karyawan Abiyoso, Bandung37

37
https://arifhidayatullah50.blogspot.com/2013/12/sejarah-percetakan-mushaf-al-quran-di.html

36
8. PENGERTIAN AL-QUR’AN,DEFINISI AL-QUR’AN, PENGERTIAN
AYAT DAN SURAT.

Pengertian Al-Qur’an

Dalam pembahasan tentang arti al-Qur’an akan ditinjau dari dua segi, yaitu
arti al-Qur’an menurut bahasa (etimologi) dan arti al-Qur’an menurut istilah
(terminologi).

Qur’an adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a, berarti “bacaan” kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.[38]

Kata Al-Qur’an adalah isim mashdar (kata benda) dari kata ( ‫ )ق––رأ‬dengan
makna isim Maf’ul, sehingga berarti “bacaan”.[ 39] Al-Qur’an Merupakan mashdar
(kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )ق––رأ‬yang bermakna Talaa ( ‫ )تال‬keduanya
38
Said Agil Husin Al Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Cet. III, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). hlm. 4
39
Muhaimin Zen, Al-Qur’an Seratus Persen Asli Sunni-Syi’ah Satu Kita Suci, Cet. I,
(pejaten Jakarta: Nur Al-Huda, 2012), hlm. 49

37
bererti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda
dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (‫ )قرأ قرءا وقرآنا‬sama seperti anda
menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan ( ‫)غف––ر غف––را وغفرانا‬. Berdasarkan
makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang
semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan
berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism
Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia
mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.

Secara Bahasa Al-Qur’an adalah mashdar dari qara-a---yaqra-u—qirâ-atan—


qur’â-nan yang berarti bacaan.[40] Al-Qur’an dalam pengertian bacaan ini
misalnya terdapat dalam firman Allah SWT:

)18( ُ‫) فَإ َذا قَ َر ْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه‬17( ُ‫إن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُرْ آنَه‬
َّ [41]

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu)


dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Q.S. Al-Qiyâmah 75:17-18).

Di samping dalam pengertian mashdar dengan pengertian bacaan atau cara


membacanya, Qur’an juga dapat dipahami dalam pengertian maf’ûl, dengan
pengertian yang dibaca (maqrû’). Dalam hal ini apa yang dibaca (maqrû’) diberi
nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ûl dengan mashdar.[42]

Menurut sebagian ulama seperti Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip as-


uyûthi,

DEFINISI QUR’AN

Al-qur’an secara definisi adalah

‫كالم هّللا ِ المن ّزل على مح ّمد صل ّى هّللا عليه وسلم المتلو بالتّاتر والمتّعبد بتالوت ِه‬

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT


40

Bulan Bintang, 1988), Cet. Ke.4


41
Al-Qur’an, 75:17-18

42
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:  ITQAN Publishing, 2014), Cetakan
ketiga, hlm 15

38
“Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang dibaca
dengan mutawatir dan beribadah dengan membacanya”.

Pengertian terminologis di atas dinilai cukup untuk mendefinisikan apa itu


Al-Qur’an. Penyebutan lafzh al-jalâlah Allah setelah kalâm (firman-perkataan)
membedakan Al-Qur’an dari kalâm atau perkataan malaikat, jin dan manusia.
Sifat al-munazzal (yang diturunkan) setelah kalâmullah (firman Allah) diperlukan
untuk membedakan Al-Qur’an dari kalam Allah yang lainnya, karena langit dan
bumi dan seluruh isinya juga termasuk kalam Allah. Keterangan ‘Ala
Muhammadin Shallahu ‘alaihi wa sallam diperlukan untuk membedakan Al-
Qur’an dengan kalam Allah lainnya yang diturunkan kepada nabi dan rasul
sebelumnya seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Mûsa AS, Zabûr kepada
Nabi Daud AS, Injil kepada Nabi ‘Isa AS dan Shuhuf Ibrâhim dan Mûsa AS. Sifat
bi at-tâwatur diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dengan firman Allah
lainnya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tapi tidak masuk kategori
mutawatir seperti hadits âhâd. Karena hadits nabawi pun ada yang bersifat
mutawatir maka untuk membedakannya dengan Al-Qur’an ditambahkan
keterangan di bagian akhir definisi al-muta’abbad bi tilâwatihi, karena hanya Al-
Qur’an lah firman Allah SWT yang dibaca waktu melaksanakan ibadah seperti
shalat (maksudnya setelah membaca Surat Al-Fâtihah), sedangkan firman Allah
berupa hadits tidak dibaca dalam shalat.[43]

Al-Qur’an yang mulia adalah firman Allah Swt. Al-Qur’an diturunkan


kepada Rasulullah, Muhammad Saw., melalui wahyu yang dibawa oleh jibril, baik
lafazh maupun maknanya; membacanya merupakan ibadah, sekaligus merupakan
mukjizat yang sampai kepada kita secara mutawatir.[8] Adalah Kalam Allah
Ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Naas.

As-Syâfi'i berpendapat, dan pendapat ini kemudian dikuatkan oleh as-


Suyûthi, bahwa al-Qur'ân adalah nama yang tidak diambil dari pecahan kata
manapun (ghayr musytaqq). Ini adalah nama untuk kitab Allah, sebagaimana

43
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an……, hlm. 16

39
kitab-kitab samawi yang lain.[44]

Khusus Al-qur’an, yaitu kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad


SAW menjadi kepunyaannya, seperti ilmu bagi seseorang, dibangsakan dengan
persekutuan lafadz itu dihubungkan kepada himpunan Al-Qur’an dan kepada ayat-
ayatnya itu.[45]

Qur’an adalah risalah Allah kepada manusia semuanya, banyak nas yang
menunjukkan hal itu, baik di dalam Qur’an maupun di dalam sunah.[46]

Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada


Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah
ketika membacanya.[47]

Sebagian ulama berpendapat, kitab ini dinamakan Al-Qur’an, karena di


dalam kitab ini berkumpul semua isi kitab-kitab yang turun sebelumnya. Bahkan
semua ilmu pengetahuan. Allah sendiri yang menunjukan demikian. Firman Allah
dalam Al-Qur’an

َ ‫ك ْال ِكت‬
ْ ‫َاب تِ ْبيَانًا لِ ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء‬ َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي‬

Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-qur’an) untuk menjelaskan


segala sesuatu (An-Nahl 16:89)

yang disebut Al-Qur’an tidak hanya yang ditulis di dalam mushaf, tetapi juga
yang dibaca secara lisan berdasarkan hafalan. Apalagi pada era teknologi
informasi sekarang ini, Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf yang tertulis
tetapi juga dalam bentuk digital, compact disc dan rekaman suara.

Perlu juga ditambahkan di sini bahwa istilah Al-Qur’an di samping


digunakan untuk keseluruhan juga untuk sebagian. Jika anda membaca satu Surat
44
Hafidz Abdurrahman,Ulumul Quran Praktis (Pengantar untuk Memahami alQuran),
Bogor: CV IDeA Pustaka Utama, 2003), hlm. 16-17
45
Hizbut Tahrir, Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, T.t.c, (Baerut-Libanon:
Daarul Ummah, 2004), hlm. 31
46
Hafidz Abdurrahman,Ulumul Qur’an Praktis…….. hlm. 8
47
Mana’ul Quthon, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
1998), Cet. Kedua, hlm. 11

40
bahkan satu ayat saja dari Kitab Suci Al-Qur’an anda sudah disebut membaca Al-
Qur’an.[48]

Menurut Subhi Al Salih yang dikutif dalam buku metode penulisan karia
ilmiah MPI pada program pascasarjana UMI Makassar mendefinisikan Al-Qur’an
sebagai berikut: Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan
mutawatir, membacanya termasuk ibadah.[49]

Secara Epistemologis, surat memiliki beberapa makna, antara tempat


pemberhentian, kemuliaan, bangunan yang tinggi, dan indah, tanda serta tulang
bangunan tembok. Sedangkan secara terminologi, surat adalah sekumpulan ayat-
ayat Al-Qur’an yang berdiri sendiri dan memiliki pembuka dan penutup.

Bilangan surat dan ayat yaitu seratus empat belas (144) surat dan enam
ribu enam ratus enam puluh enam (6666) ayat.

Surat dikelompokan menjadi empat, yaitu As-Sa’but Thiwal (Surat


yang panjang dan memang panjang dari yang lain), Al miun (Surat yang terdiri
dari seratus ayat atau lebih dan yang mendekati seratus ayat), Al Masani (Surat
yang kurang dari seratus ayat), Al Muufashsal, (Surat yang pendek).

Surat dibedakan menjadi dua, yaitu Surat Makkiyah dan Madaniyah.


Menurut para ulama terdapat empat teori mengenai pembedaan surat Makkiyah
dan Madaniyah, yaitu teori Geografis (Tempat), Subyektif (Orang), Historis
(Waktu), dan Konten Analisis (Isi).

Untuk mengetahui apakah sebuah surat termasuk Surat Makkiyah


atau Madaniyah harus mencari penjelasan tentang itu melalui penjelasan para
Sahabat atau Thabi’in yang meriwayatkannya. Selepas dari hal itu dapat juga
dilihat dari sifat umumnya yaitu panjang pendeknya surat dan kata pembuka
dalam surat.

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Manna/, (Bogor: Pustaka Litera
48

AntarNusa, 2012), hlm. 11


49
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an…......, hlm. 11

41
Mengenai keuntungan mengetahui Makkiyah dan Madaniyah antara
lain bisa mengetahui mana surat yang turun terlebih dahulu dan bisa mengetahui
ditetapkannya suatu hukum.

Permulann surat ada yang dimulai dari satu huruf saja hingga lima huruf,
27 dari 29 itu turun di Makkah dan 2 dari itu turun di Madinah. Jumlah huruf hija-
iyah yang dijadikan pembuka surat itu ada 14 semuanya.50

50
https://muhammad-mansur.blogspot.com/2013/04/makalah-al-quran-surat-ayat.html

42
9. SEGI-SEGI POKOK-POKOK SIKAP KAUM ORIENTALIS
TERHADAP AL-QUR’AN

A. Awal Muncul Kajian Orentalis Terhadap al-Qur’an

Perhatian para sarjana Eropa terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak


kunjungan Peter the Venerable, yang juga seorang paderi dari Cluny, ke Toledo
pada pertengahan abad ke-12. Ia menaruh perhatian terhadap seluruh
permasalahan tentang Islam, sehingga merasa perlu untuk mengumpulkan
sekumpulan sarjana dan memberi mereka tugas untuk memproduksi serangkaian
karya yang menjadi basis keilmuan bagi pertemuan intelektual dengan Islam.
Proyek yang hasilnya disebut Clonic Corpus ini menerjemahkan teks Arab yang
ditujukan menjadi basis kesarjanaan misionaris dan orientalis.

Beberapa karya yang dihasilkan dari upaya awal ini adalah sebuah
terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Latin oleh seorang sarjana berkebangsaan
Inggris Robert Ketton (yang namanya sering ditulis Robertus Retenensis) yang
diselesaikan pada tahun 1143. Upaya ini dianggap sebagai gerbang pertama
mengkaji al-qur’an. Hanya saja, menurut Watt, karya ini tidak pernah bisa
mengangkat nilai penting kajian Islam, karena meski beberapa abad selanjutnya
terbit beberapa buku lain, namun tetap saja Islam masih menjadi musuh besar
Barat. Di satu sisi Islam ditakuti, tetapi di sisi lain ia disanjung, namun apa yang
ditulis para sarjana Barat ketika itu masih bersifat apologetik dan polemikal,
bahkan terkadang cenderung bernada menyerang dan memanas-manasi.51

Upaya selanjutnya yang mengesankan dan menunjukkan perkembangan di


bidang ini adalah karya seorang sarjana Italia Ludovici Maracci pada abad 17,
yang mereproduksi al-qur’an berdasarkan beberapa manuskrip, dan dilengkapi
terjemahan latin. Hal ini belum pernah dilakukan oleh Orientalis sebelumnya,

51
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), (Ciputat: Pusat Studi al-
Qur’an, 2006), vol. I, hlm. 147

43
mengingat hanya sebatas terjemahan yang mereka hasilkan.52 Dan karya Rodewell
pada abad 18 yang menerjemahkan al-qur’an danmenyusunya kembali menurut
kronologinya dari al-alaq sampai al-Maidah.

Pada abad selanjutnya, studi al-qur’an semakin luar biasa di tangan Flugel.
Pada paruh abad 19, tepatnya 1834 Flugel memulai sebuah riset dengan menulis
edisi kritis teks al-qur’an. Karena penting dan signifikan, karya ini direvisi dan
diedit oleh orientalis-orientalis belakangan.[3]53 Minat untuk mengkaji al-Qur’an
meningkat dengan diadakannya sayembara penulisan monograf tentang “kritik
sejarah terhadap teks al-Qur’an” yang diprakarsai oleh Akademi Inskripsi dan
Sastra Paris pada tahun 1857. Sayembara ini dimenangkan oleh Theodor Noldeke.

Tema lainnya yang menarik perhatian orientalis adalah tafsir al-qur’an. Akan
tetapi belum ada karya khusus dari mereka tentang tafsir al-qur’an. Kalaupun ada
hanyalah sebatas analisa terhadap sejarah tafsir al-qur’an di kalangan umat, inilah
yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher pada akhir abad 19. Ia mengkaji secara kritis
tafsir-tafsir pada masa klasik.[4]54

Dewasa ini, perkembangan menarik di bidang ini menunjukkan


kemajuan berarti. Berbagai pendekatan dan metode baru memahami al-qur’an
secara lebih baik telah ditawarkan. Pendekatan linguistik dan berbagai metode
pendukungnya menjadi metode paling laku. Misalnya Joseph Horovitz dengan
karyanya Koranische Untersuchungen yang berkenaan dengan bahagian naratif
dan nama-nama dalam al-Qur’an; Arthur Jeffery dengan beberapa karyanya
seperti Foreign Vocabulary of the Qur’an. Selain itu, Jeffrey bersama para
orientalis abad 20 juga berambisi membuat proyek al-qur’an edisi kritis. Mereka
mengumpulkan berbagai varian tekstual yang didapat dari berbagai sumber.
Konon mereka ingin merestorasi teks al-qur’an berdasarkan Kitab al-Mashahif
karya Abu Daud al-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam
beberapa mushaf tandingan.55
52
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 150
53
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 154
54
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 167
55
Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
hlm. 64

44
Menurut Nasarudin Umar, hal yang melatarbelakangi kajian, kritik, dan
penyerangan mereka terhadap al-qur’an adalah karena ia merupakan kitab suci
agama islam yang menjadi rujukan standar nilai utama. Al-qur’an merupakan
simbol pemersatu, sebagai landasan dan pedoman hidup di sepanjang sejarah. Jika
al-qur’an diusik, baik mengenai orisinalitas dan otentisitasnya, maka kebesaran
dan keutuhan islam akan terancam menurut mereka.56

Selain itu, asumsi dasar para orientalis mengkaji al-Qur’an dilatarbelakangi


dua hal, pertama, kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci
mereka. Kedua, disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan
kitab suci Al-Qur’an. Mayoritas cendekiawan Kristen sudah lama meragukan
otentisitas Bibel. Karena pada kenyataannya Bibel yang ada di tangan mereka
sekarang ini terbukti tidak asli. Terlalu banyak campur-tangan manusia di
dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu dan
mana yang bukan.57

B. Fokus Utama Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an

Orientalis telah mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk mengkaji,


mengkritik dan menyerang al-qur’an. Mereka menyerang al-qur’an dari berbagai
dimensi untuk menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan mereka dalam
mencemarkan kemurnian teks al-qur’an menggunakan sumber-sumber tidak etis
bahkan penipuan.58 Secara garis besar, diskursus kajian Barat terhadap al-qur’an
menyoroti hal-hal berikut ini:

1. Otentisitas al-Qur’an

Dalam membahas otentisitas al-qur’an, orientalis memiliki tiga asumsi,


yakni:

ü Mereka menganggap bahwa al-qur’an adalah dokuemn tertulis atau teks,


bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka lantas mau

56
Nasarudin Umar, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 92
57
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 3
58
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema Insani,
2005), hlm. 337.

45
menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian bibble.
Akibatnya mereka menaggap al-qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman
situasi dan refleksi budaya arab. Mereka juga mengatakn bahwa mushaf sekarang
berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.

Al-qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan. Proses


pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui
lisan, bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua
berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses
transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi
ke generasi.59

ü Para orientalis ingin mengubah-ubah al-qur’an dengan mempertanyakan


fakta sejarah, menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah fiktif. Meskipun
pada prinsipnya diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui hafalan, telah kita
ketahui bahwa al-qur’an juga dicatat dengan menggunakan medium tulisan.
Hampir seluruh catatan tersebut adalah milik pribadi sahabat Nabi. Baru
kemudian hari, ketika jumlah penghafal menyusutkarena gugur di peperangan,
dilakukan kodifikasi hingga pada masa Utsan bin Affan. Jadi, jelas fakta sejarah
dan kodofikasinya.60

2. Sumber Yang Dipakai Nabi Muhammad

Kajian orientalis terhadap al-qur’an tidak sebatas mempertanyakan


otensititasnya. Isu klasik yang selalu iangkat adalah soal pengaruh Yahudi,
Kristen, Zoroaster terhadap islam maupun isi kandungan al-qur’an. Sebagian
mereka berusaha mengungkapkan apa sajayang bisa dijadikan bukti bagi teori
pinjaman dan pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen. 61 Misalnya
saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang terdapat pada
awal surah al-qur’an akibat pengaruh asing, kemungkinan besar Yahudi yang
diserap oleh nabi Muhammad. Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab dari dua
puluh tujuh surat yang terdapat dalam al-qur’an yang dimulai dengan huruf
59
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 10
60
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11-12
61
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 6

46
demikian, hanya dua yang turun di Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum
Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan Yahudi.62

Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam al-
qur’an adalah jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah
hasil dari kebohongan dan tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya
sekian kesamaan antara al-qur’an dan kitab mereka. Bahkan sekian ulama tafsir
menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi. Tetapi kesamaan tersebut
bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya mengunjungi
objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.63

3. Upaya Mengubah al-Qur’an

Terdapat beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak


keyakinan umat islam terhadap keaslian al-qur’an. Diantaranya adalah:

a) Upaya Flugel Mengubah al-Qur’an

Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks al-Qur’an, ia juga sengaja
menguras tenaga ingin mengubah teks-teks al-qur’an yang berbahasa arab
sehingga dapat diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan
bagi kaum muslim untuk membaca al-qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari
tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah
dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh
qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu
qiraat dengan tidak menentu.

b) Upaya Bachelere Merusak al-Qur’an

Ketika terjadi penerjemahan al-qur’an ke dalamBahasa Perancis, Bachelere


bukan saja mengubah urutan surat dalam al-qur’an, malah juga menambahkan dua
ayat ke dalamnya. Dia berpijak pada cerita palsu yang menerangkan bahwa setan
yang memberi wahyu kepada Nabi Muhammad tampaknya tidak dapat
membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantra-mantra kafir. Tak satupun

62
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 42
63
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 36

47
manuskrip al-qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara
keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.64

c) Upaya Mingana Merusak al-Qur’an

Mingana melakukan penelitian pada manuskrip yang bernama Palimpset.


Palimpset adalah manuskrip di mana tulisan aslinya telah dihapus guna memberi
peluang bagi tulisan baru. Ia menganalisis lembaran tersebut, dan membuat daftar
perbedaan al-qur’an pada manuskrip tersebut.hasil dari daftar perbedaan tersebut
ia cetak menjadi sebuah al-qur’an.65

C. Pendekatan Orientalis dalam Kajian terhadap al-Qur’an

Metodologi yang dipakai sarjana barat dalam mendekati Al Qur’an ada tiga
yaitu: Pendekatan historis, Pendekatan Fenomenologis, Pendekatan Historis-
Fenomenologis.

1. Pendekatan Historis

Metode semacam ini muncul pada abad 19, yang dipelopori oleh Leopold
Von Ranke (1795-1886). Historis berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu
intuisi, nilai-nila maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan
sosio religius tempat entitas itu muncul. Prinsip historisme menurut Meinecke
adalah mencari kausalitas peristiwa historis, dan kausalitas itu tidak berasal dari
dunia metafisik atau trans-historis tetapi empiric sensual. Bias dari munculnya
teori ini menurut Fuck-Franfurt mendorong kecendrungan dalam studi Al Qur’an
di Barat yang yang mengasalkan Al Qur’an dari kitab suci tradisi Yahudi dan
Kristen.

Sedangkan Sarjana barat yang menggunakan metode historisme dalam studi


al-Qur’an ini antara lain adalah: Maxime Rodinson, Tor Andre, A. Jeffery dan
lain-lain. Namun dalam penjelasan ini kami hanya akan menjelaskan pendapatnya
J. Wasbrough yang mengasalkan al Qur’an dari Tradisi Yahudi dan Perjanjian
Lama dan Richard Bell yang mengasalkan al Qur’an dari tradisi dan kitab suci

64
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344
65
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 347

48
Kristen.

Menurut Wansbrough (1977), Ajaran tentang kemukjizatan Al Qur’an


dipandang sebagai imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga
kumpulan ucapan dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang
mutlak kebenaranya.

Richard Bell mengatakan, al Qur’an berasal dari ajaran Kristen. Pengaruh


Kristen menurut Bell belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah.
Indikasinya ialah surah Al-Ikhlas. Menurut Bell surat tersebut bukan polemik
antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi kepada orang musrik yang percaya
bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5
yang menjelaskan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep dari Bibel.
Karena dari konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Pada fase berikutnya
terdapat kesamaan antara al Qur’an dan Bibel, misalnya penolakan penyaliban
Yesus, yang diambil dari satu sekte Kristen di Syiria.

Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan


peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Pengetahuan tentang agama
Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar)
dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu
dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, baginya sugesti terjadi
secara natural.

2. Pendekatan Fenomenologis

Fenomologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan


dan menampakkan dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah fenomonologis
untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan
termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau
menurut Husserl: “Zuruck zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas
itu sendiri). Fenomenologi Husserl bertujuan mencari suatu fenomena dalam
mencari esensi bermula dari membiarkan fenomena itu termanisfestasi apa adanya
tanpa dibarengai prasangkan.

49
Pendekatan semacam ini tidak melacak asal-usul suatu intuisi, tetapi dengan
mengidentifikasi struktur internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan ini
dalam studi al Qur’an antara lain: Roest Crolius, Maurice BUcaille, Marcel A dan
lain-lain. Namun kami akan memunculkan pemikiranya Marcell A. Bouisard yang
tidak melihat sisi formal al Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi subtansinya.
Boisard memandang bahwa nabi Muhammad adalah nabi yang sebenarnya.
Muhammad hanya sebagai penyambung lidah wahyu yang abadi. Boisard juga
memandang al Qur’an berisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia tetapi
adalah wahyu Allah.

3. Pendekatan Historis-Fenomenologis

Pendekatan ini mendekatkan dua metode di atas, pendekatan ini dipelopori


oleh W. Montgomery Watt di lihat sebagai kegandaan sumber wahyu al Qur’an ,
yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Wahyu al Qur’an bersumber dari Allah tetapi
diproduksi oleh Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi
dan Kristen).

Watt dalam satu sisi tidak menolak Islam yang fundamelntal, tetapi disisi lain
dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan
Islam. Watt juga menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya
dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi
Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari ini menurutnya dimungkinkan
terhadinya keliru dalam al Qur’an seperti tentang penolakan penyaliban Yesus
dalam al Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad
dari sekte Kristen Syiria yang keliru.

Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam


subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam al Qur’an bila kekeliruan
seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Maka
dari pendekatan metodologi yang mereka gunakan dalam studi al-Qur’an
menghasilkan berbagai golongan aliran orientalis dalam mengkaji al-Qur’an
khususnya. Dimana golongan itu secara garis besar dibagi antar Orientalis yang

50
mengkaji al Qur’an atau Islam secara objektif dan subjektif.66

D. Tokoh dan Pandangan Orientalis Terhadap al-Qur’an

Kaum Orientalis mengingkari kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dan


mengingkari kemukjizatan al-Qur’an. menurut anggapan mereka al-Qur’an itu
tidak lain adalah buatan manusia dengan bantuan orang lain. Hal ini digambarkan
Allah SWT dalam al-Qur’an:

“dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah
kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh kaum yang
lain, Maka Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang
besar. (Q.S al-Furqan: 4)[17]

Berikut pandangan para tokoh-tokoh Orientalis terhadap al-Qur’an:

a. Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat yang


pernah mewakili Amerika Serikat di Spanyol dengan jabatan Minister Resident,
banyak meninggalkan karya. Di dalam karyanya diungkapkan pendapatnya
mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “sebenarnya al-Qur’an yang ada
sekarang ini tidaklah sama dengan al-Qur’an yang disampaikan muhammad
kepada muridnya pada masanya itu, tapi telah mengalami sekian banyak
penyelewengan dan sisipan-sisipan. Sesekali dicatat oleh juru surat atau para
murid, pelapah tamar atau lainnya, dan dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah
peti, yang diawasi oleh salah seorang istrinya. Seringkali pula hanya tersimpan
dalam ingatan dan hafalan seseorang yang kebetulan mendengarnya. Tampaknya
tidak ada perhatian untuk menyusunnya secara sistematis pada masa hidupnya.
Sepeninggalnya, yakni pada masa abu bakar, barulah ada ikhtiar mengumpulkan
dan menuliskannya. Zaid bin tsabit, yang merupakan salah seorang juru tulis
muhammad, ditugaskan untuk maksud tersebut. Dia dianggap mengenal sekian
banyak ayat al-Qur’an di dalam hafalan, yang menuliskannya berdasarkan dikte
dari Nabi. Sedangkan bagian-bagian lainnya dikumpulkannya sekelumit demi
sekelumit dari berbagai pihak, yang pernah mencatat dan menuliskannya dan
66

51
sekian banyak bagian lainnya dicatatnya kembali dari pernyataan berbagai murid
yang mengatakan pernah mendengarkannya secara lisan dari pihak Nabi sendiri.
Sekian banyak kekeliruan, sisipan-sisipan dan kontradiksi-kontradiksi
menyelusup ke dalam naskah-naskah tersebut, sehingga utsman khalifah yang
ketiga. Mengumpulkan kembali semua naskah yang beredar tersebut, dan
membentuk naskah baru yang dikatakannya al-Qur’an yang murni, dan lantas
naskah-naskah lainnya itu dimusnahkan.”

Sikap dan pandangan Washington Irving itu niscaya dirasakan menyakitkan


hati setiap muslim, karena banyak hal-hal yang tidak benar di dalam ungkapan
tersebut. Dari ungkapan Washington Irving itu tergambarlah, bahwa seakan-akan
dia memiliki naskah dari masa Nabi besar Muhammad SAW, dan juga memiliki
naskah pada masa Khalifah Abu Bakar, dan lalu membandingkannya dengan
naskah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang merupakan pegangan umat
Islam sampai saat ini. Tetapi benarkah Washington Irving memiliki dua jenis
naskah itu untuk dijadikan alat banding? Tentu saja tidak. Justru penalarannya
berpijak pada dasar yang tidak benar dan karena itu pula kesimpulan-kesimpulan
di dalam sikap dan pandangannya juga tidak benar. Apalagi tidak dikemukakan
pembuktian mengenai ayat-ayat yang dikatakannya sisipan, samar-samar,
ketiadaan ujung pangkal, kontradiksi dan sebagainya.

b. Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang Orientalis


terkemuka di jerman yang khusus mendalami bahsa siryani, Arab dan parsi,
mengemukakan pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “kita
tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan keseeluruhan mengenai watak
Muhammad itu, bahkan mempunyai karya yang otentik yaitu al-Qur’an yang
disampaikannya atas nama Allah. Sekalipun demikian, tokoh yang luar biasa
menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka teki. Ia
banyak sekali mendalami agama yahudi dan agama kristen, tapi hanya melalui
laporan lisan belaka. Sekalipun mengenai soal apakah betul muhammad itu tak
pandai membaca dan menulis, pasti bahwa dia tidak pernah membaca Bible
ataupun kitab-kitab lainnya. Tokoh-tokoh tempat dia mengumpulkan informasi
mengenai agama-agama tua yang monoteisis itu pastilah pihak yang kurang

52
terpelajar. Terlebih khusus guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”

Dari ungkapan Theodore Noldeke sarjana orientalis jerman itu, terbayanglah


di depan mata siapapun bahwa di Makkah, pada masa-masa sebelum Nabi besar
Muahammad SAW menjalankan dakwah pada tahun 610 M, ada fakultas teologi
dari sebuah Universitas dan Muhammad adalah mahasiswa yang tekun
mempelajari berbagai agama sekian tahun lamanya ke berbagai guru yahudi dan
keristen, seperti yang dilakukan mahasiswa Theodore Noldeke sendiri sewaktu
mempelajari agama Islam. Jadi Theodore Noldeke terlalu berkhayal dengan
semua ungkapannya tersebut.

c. Reinhart Dozy (1820-1884) adalah seorang orientalis terkemuka di


Negeri Belanda dan mahaguru bahasa Arab di Universitas Leiden, yang luas
sekali studinya tentang berbagai daulat Islam di Andalusia. Pendapatnya tentang
kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “kitab yang berisikan wahyu kepada
Muhammad, yang sekalipun tidak terlampau lengkap tetapi setidaknya merupakan
sumber yang dapat dipercayai mengenai riwayat hidup Muhammad itu,
mengungkapkan berbagai keistimewaan dan keluarbiasaan daripada sumber
lainnya. Al-Qur’an itu berisikan kumpulan kisah-kisah, bimbingan , hukum dan
sebagainya, ditempatkan damping-berdampingan tanpa memperhatikan urutan
kronologis ataupun urutan lainnya. Wahyu-wahyu itu jarang sekali yang panjang,
kebanyakan berisikan ayat-ayat singkat, yang langsung dituliskan pada masa
Muhammad, atupun dipercayakan kepada hafalan ingatan, karena sebagimana
dibuktikan dari silsilah keturunan beserta sajak-sajak dari masa jahiliah yang
diwariskan turun temurun secara lisan, menunjukkan orang-orang semasa
Muhammad itu memiliki ingatan yang kuat sekali, seperti halnya setiap kelompok
yang sedikit sekali mempergunakan tulisan. Pada masa Muhammad itu dikenali
bahwa pihak yahudi mengubah ayat-ayat perjanjian lama pada beberapa tempat,
bahkan mereka dikutuk atas perbuatnnya itu dan fakta itu dapat dibuktikan secara
positif. Sepanjang sejarah yahudi Terdapat alasan-alasan untuk melakukan
perubahan-perubahan tersebut, yang dari titik pandang tertentu dipandang suatu
keharusan, tapi pihak Muhammad tidak punya alasan yang sama seperti piihak
yahudi itu untuk melakukan suatu perubahan ataupun tambahan.”

53
Dari pandangan Reinhart Dozy, tokoh Orientalist dari holand (belanda) itu,
tampak bahwa ia mengakui dengan mengemukakan bukti-bukti yang rasional
sekali bahwa orang-orang pada masa nabi Muhammad SAW itu memiliki
kemampuan ingatan yang kuat sekali. Jika pada masa itu orang punya ingatan
yang kuat sekali dan andai ada sesuatu pihak pada masa itu dengan sesuatu alasan
yang lain melakukan perubahan maupun tambahan, niscaya akan cepat terlihat
dan cepat memperoleh reaksi dari sana sini. Karena itulah argumentasi terakhir
dari R. Dozy itu tidak logis sama sekali.

d. Philip K. Hitti adalah seorang Orientalis terkemuka, pandangannya


mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “dibanding dengan Bible,
ketidakpastian pada ayat al-Qur’an sedikit sekali. Versi resmi yang pertama dan
terakhir dari al-Qur’an itu dibanding 19 tahun sesudah Muhammad wafat. Hal itu
disebabkan karena tokoh-tokoh yang hafal al-Qur’an makin berkurang karena
pertempuran yang terus menerus, dari ayat-ayat yang ditulis pada himpunan
pelapah tamar dan kepingan-kepingan batu putih dan dari hafalan-hafalan ingatan,
maka naskah yang ula-mula dan tidak resmi itu disusun kembali. Kemudian
seluruh naskah lainnya dimusnahkan. Al-Qur’an yang memiliki 6.239 ayat, atau
77.934 kata, atau 323.621 huruf itu diawasi senantiasa dengan sangat hati-hati.
Al-Qur’an itu bukan hanya merupakan jantung agama, penuntun kepada kerajaan
samawi, tetapi juga Ikhtisar ilmu dan dokumen politik, berisikan himpunan
hukum untuk kerajaan di bumi.”

Dari sekelumit pendapat Philip K. Hitti mengenai kitab suci al-Qur’an itu
terlihat suatu kenyataan bahwa, dari banyaknya kekaburan, sisipan dan tambahan
pada ayat al-Qur’an itu menurut pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya,
kini bergeser kepada sedikit sekali ketidakpastian pada ayat al-Qur’an itu.
Pergeseran pendapat serupa itu dari abad ke abad tidaklah menakjubkan, karena
apa yang disebut dengan pendapat ilmiah itu senantiasa dapat saja berubah dari
waktu ke waktu berkat perkembangan hasil penelitian. Pergeseran serupa itu tetap
berkelanjutan disebabkan perkembangan aktivitas penelitian seseorang tokoh
ilmuan dari waktu ke waktu.

e. Prof. Dr, Tor Andrae, Orientalis dari Jerman itu menulis mengenai

54
kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “Muhammad tampaknya termasuk tipe
mendengar suara. Wahyu yang diterimanya itu didiktekan kepadanya oleh suatu
suara yang dia atributkan kepada malaikat jibril. Pembuktian atas kemurnian
wahyu yang diterimanya itu dikemukakan Muhammad dalam surah al-
Qiyamah,ayat 16-19 yang disitu kita baca ( janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya). Justru sang Nabi itu tidaklah menggerakkan lidahnya dengan
sengaja membentuk lebih dulu kata-kata yang akan diucapkan malaikat. Tapi
dengan tenang dan dia, dia menantikan bacaan malaikat, dengan jaminan bahwa
kalimat-kalimat Illahi itu akan tetap membekam di dalam ingatannya.”

Tor Andrae membicarakan panjang lebar tentang al-Qur’an sebagai


himpunan wahyu dengan membahas pengertian wahyu dan hal-hal yang berkaitan
dengan wahyu, dan membandingkannya dengan nabi-nabi yang tercantum di
dalam Holy Bible. Selanjutnya membandingkannya kepada kenyataan-kenyataan
yang dialami seniman-seniman terbesar sewaktu menerima Ilham bagi setiap
karyanya. Dalam hal itu Tor Andrae mengemukakan data-data yang ditemukan di
dalam al-Qur’an sendiri beserta hadis-hadis al-Mutawatir tentang keadaan Nabi
besar Muhammad SAW, ketika menerima wahyu lalu menyorotinya sepanjang
teori-teori psikologi Mutakhir. Dari ungkapan tersebut tampak Tor Andrae itu
makin lebih maju dari pendapat Philip K. Hitti seperti diuraikan lebih dulu.

f. W. Montgomery Watt, mahaguru pada Universitas Edinburgh,


Skotlandia, menulis buku berjudul Muhammad, Prophet and Statesman
(Muhammad, Nabi dan Negarawan) yang cetakan pertamanya terbit pada tahun
1961. Kata pengantar dari penulisnya tertanda “Agustus 1960” menyatakan buku
tersebut merupakan Ikhtisar dari dua buah karya tebal pada masa sebelumnya,
yaitu Muhammad at Meecca dan Muhammad at Medina.

Sekalipun pendapat W. Montgomery Watt terhadap pribadi Nabi Muhammad


SAW itu dapat dinyatakan positif tetapi sebaliknya terhadap al-Qur’an berbalik

55
negatif, dalam bukunya tersebut ia menulis: “Muhammad itu seorang yang jujur
janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagi kepercayaan,
kepercayaan Muhammad bahwa wahyu-wahyu itu datang dari Allah tidaklah
mencegahnya untuk menyusun sendiri dan selanjutnya memperbaikinya dengan
jalan penghapusan ataupu penambahan.”

Dari sekelumit ungkapan W. Montgomery Watt Orientalis dari Skotlandia itu


menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan dan ada yang
ditambahkan. Tetapi anehnya, seperti juga dengan tokoh-tokoh Orientalis
sebelumnya, dia tidak pernah menunjukkan mana ayat-ayat yang dihilangkan dan
mana ayat-ayat yang ditambahkan di dalam al-Qur’an itu dan apa pembuktian
untuk mengukuhkan pernyataan tersebut.

Jika kalangan sarjana Bible dalam dunia kristen sendiri menyatakan bahwa
di dalam Bible itu banyak yang dihilangkan dan banyak yang merupakan
sisipan/tambahan, mereka memang mampu membuktikannya dengan
membandingkan Codex Sinaiticus, naskah Grik yang ditemukan tahun 1862,
dengan Vulgata naskah latin yang menjadi pegangan dunia kristen sejak abad ke-
5 sampai pertengahan abad ke-19. Tetapi sebaliknya, kalangan Orientalis yang
menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan adan ada yang
ditambahkan, tidak pernah mengemukakan bukti untuk mengukuhkan pernyataan
tersebut. Disinilah bedanya ungkapan tokoh-tokoh orientalis tertentu mengenai
al-Qur’an dengan ungkapan kalangan sarjana Bible dalam dunia Kristen sendiri
mengenai Bible.

g. Sir Hamilton A.R. Gibb membicarakan kitab suci al-Qur’an,


sebagai berikut: “apakah al-Qur’an itu dituliskan sepenuhnya pada masa hidup
Muhammad, hal itu masih merupakan satu soal karena keterangan-keterangan
trdisional saling berlawanan. Tapi tanggapan yang umum diterima adalah bahwa
pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an itu untuk pertama kalinya berlangsung beberapa
tahun sesudah wafat, dikumpulkan dari kepingan-kepingan perkamen, catatan
pada batu tipis dan pada pelapah-pelapah tamar dan lainnya, beserta dari hafalan-
hafalan seseorang. Karena itulah boleh jadi terdapat ketidaksamaan serta
hubungan-hubnungan yang ganjil pada surah-surah yang panjang. Adalah pasti

56
bahwa di samping catatan-catatan tertulis itu, kalangan sahabat Nabi
mengingatnya dalam ingatan dan menyalurkan versi hafalannya itu dengan sedikit
ragam variasi.”

Pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb yang didasarkan pada hasil penelitiannya
mengenai kitab suci al-Qur’an itu, tampak lebih maju lagi dibanding pendapat
tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya. Seperti dinyatakan sebelumnya, makin luas
dan mendalam suatu penelitian ilmiah, semakin terjadi perkembangan paendapat,
sebagai akibat yang wajar dan logis.

h. Dr. Maurice Bucaille sarjana dan ahli bedah Perancis


membandingkan ayat-ayat Bible dengan Sains Modern dan membandingkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan sains Modern, kemudian membuktikan batapa ayat-ayat
Bible itu berlawanan dengan penemuan-penemuan Ilmiah dan sebaliknya, ayat-
ayat Qur’an itu memperlihatkan keselarasan dengan penemuan-penemuan ilmiah,
sehingga hal itu sangat menakjubkan, mengingat ayat-ayat al-Qur’an disampaikan
oleh Nabi besar Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan
kenyataan yang menakjubkan itu, Dr. Maurice Bucaille mengungkapkan
pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut; “keaslian yang tidak
dapat disangsikan lagi telah memberi kepada al-Qur’an itu suatu kedudukan
istimewa diantara kitab-kitab suci lainnya, kedudukan itu khusus bagi al-Qur’an,
dan tidak tertandingi oleh perjanjian lama dan perjanjian baharu. Dalam dua
bagian pertama dalam buku ini kami telah menjelaskan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam perjanjian lama dan empat Injil, sebelum Bible itu dapat kita
baca dalam keadaanya sekarang. Al-Qur’an tidak begitu halnya, oleh karena al-
Qur’an itu telah ditetapkan pada zaman Muhammad.”

Demikian ungkapan Dr. Maurice Bucaille mengenai kitab suci al-Qur’an. Ia


sering menyebut sumber-sumber, dan memadu keterangan dari sumber-sumber
tersebut, yakni sumber-sumber sejarah tertua. Hal itu menunjukkan bahwa
penelitian sarjana perancis itu lebih luas dan mendalam, hingga pendapat yang
dikemukakannya tampak lebih maju lagi dibanding dengan pendapat Sir Hamilton
A.R. Gibb. Di samping meneliti data-data sejarah, Maurice Bucaille juga meneliti
isi pesan di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai bidang

57
ilmiah (Sains Modern), di dalam perbandingannya dengan ayat-ayat di dalam
Holy Bible. Ia mengutip ayat-ayat Holy Bible yang berkaitan dengan berbagai
cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya berlawanan dengan penemuan-
penemuan ilmiah pada zaman baru. Sebaliknya ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata kebenaran satu
persatunya dibuktikan oleh penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru.

Siapapun bebas mengemukakan jawabannya atas problema itu. Tapi, Dr.


Maurice Bucaille tegas dalam jawabannya bahwa satu persatu ayat tersebut adalah
wahyu Illahi.

i. Dr. Toshihiko Izutsu melalui karyanya Ethico Religious Concept


inthe Qur’an menyoroti kitab suci al-Qur’an dari jurusan nilai-nilai sepanjang etis
yang terkandung dalam setiap ayat al-Qur’an. Dr. Toshihiko Izutsu adalah
mahaguru pada institute of Cultural and Linguistic Studies, Universitas Keio di
Tokyo (Jepang), yang setiap tahun menjabat mahguru selama enam bulan pada
Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, untuk mata kuliah teologi
Islam dan filsafat islam. Banyak karyanya dalam masalah Islam, baik yang
diterbitkan oleh Universitas Keio di tokyo maupun Universitas McGill di Kanada.

Pendapat Izutsu mengenai etika al-Qur’an itu memperdengarkan pandangan


yang positif terhadap nilai-nilai sosial dan nilai-nilai agamawi yang terkandung di
dalam al-Qur’an, dan pandangannya yang positif itu tercermian sepenuhnya di
dalam karyanya yang demikian tebal.

Membandingkan sikap dan pandangan Dr. Toshihiko Izutsu dengan sikap


dan pandangan Washington Irving beserta tokoh-tokoh Orientalis berikutnya
mengenai kitab suci al-Qur’an dapat daisaksikan suatu kenyataan, bahwa terjadi
perkemabangan pendapat secara terus menerus dan pada akhirnya kagum dan
takjub. Layaknya bagaikan orang yang memandangi bangunan Alhambra dari
jauh, menampak berbagai cacad pada bangunan itu, tapi sewaktu datang
mendekatinya dan makin lama makin dekat, dan akhirnya memasukinya, lantas ia
pun kagum dan takjub menyaksikan tata rias ruangan demi ruangan yang
demikian banyaknya. Dengan penuh kejujuran, ia pun mengakui keindahan dan

58
keistimewaan bangunan Alhambra di Andalusia itu. Demikian pula sikap dan
pandangan pihak Orientalis terhadap kitab suci al-Qur’an.67

67
M. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Cet III, Hlm 123-
146

59

Anda mungkin juga menyukai