Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana alam merupakan kejadian bencana yang disebabkan oleh faktor
alam seperti geologis, morfologis, klimatologis, dan hidrologis. Bencana alam
memiliki dampak yang dapat merusak suatu kawasan baik dalam skala kecil
maupun besar dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dari total bencana hidro-meteorologi
yang paling sering terjadi di Indonesia adalah bencana banjir dan longsor.
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
kecenderungan bencana alam tanah longsor di Indonesia dari tahun 2005 hingga
tahun 2015 semakin meningkat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mencatat pada tahun 2005 terdapat 50 kejadian bencana longsor,
kemudian semakin meningkat hingga tahun 2013 tercatat 296 kejadian, 385
kejadian pada tahun 2014 dan 501 kejadian pada tahun 2015.
Wilayah Indonesia dilalui oleh 3 lempengan tektonik yaitu Indo-Australia,
Eurasia dan Pasifik dan dilalui oleh rangkaian pegunungan vulkanik yang aktif.
Material hasil erupsi gunung berapi melalui proses alam melapuk menjadi tanah
yang mudah longsor saat hujan dengan intensitas tinggi. Lempengan tektonik
yang melalui wilayah Indonesia juga dapat menyebabkan adanya garis-garis
patahan yang merupakan daerah labil dan mudah longsor. Selain itu, sebagian
besar wilayah Indonesia berupa daerah perbukitan dan pegunungan yang
memiliki kelerengan tinggi yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Faktor
lain yang dapat menyebabkan tanah longsor yaitu pemanfaatan sumberdaya alam
yang melampaui daya dukungnya dan penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuan lahannya.
Peningkatan kejadian longsor lahan di Indonesia disebabkan oleh
konsekuensi pembangunan yang kurang memperhatikan keseimbangan tata guna

1
lahan. Perubahan penggunaan lahan yang tidak dikelola dengan baik telah
meningkatkan tingkat kerentanan terhadap bahaya (Purnomo, 2008)

B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Tanah Longsor.
2. Untuk Mengetahui Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah
Longsor.
3. Untuk Mengetahui Dampak Tanah Longsor.

4. Untuk Mengetahui Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

5. Untuk Mengetahui Pengurangan Risiko Bencana Tanah Longsor


6. Untuk Mengetahui Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya
Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

7. Untuk Mengetahui Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya


Penanggulangan Bencana Tanah Longsor
8. Untuk Mengetahui Peran Perawat dalam Bencana

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tanah Longsor


Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, menyatakan bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Depkes RI, 2007).
Tanah longsor adalah salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah
longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah./batuan penyusun
lereng (Ramli, 2010).

B. Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor

Tanah longsor terjadinya disebabkan karena runtuhnya tanah secara tiba-


tiba atau pergerakan tanah atau bebatauan dalam jumlah besar secara tiba-tiba
atau berangsur yang umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil. Faktor
lain yang memengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul dan
bebatuan yang rapuh. Hujan deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor.
Tetapi tanah longsor dapat juga disebabkan oleh gempa atau aktifitas gunung
berapi, ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor, seperti
penambangan tanah, pasir, dan batu yang tidak terkendali.

3
Proses pemicu longsoran dapat antara lain karena Peningkatan kandungan
air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air yang merenggang ikatan antar
butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir tanah untuk longsor, Getaran
pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran
alat/kendaraan, Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat
geser tanah, Pemotongan kaki lereng secara secara sembarangan yang
mengakibatkan lereng kehilangan gaya penyangga.

Gejala umum terjadinya tanah longsor meliputi muncul retakan-retakan


dilereng yang sejajar dengan arah tebing, Muncul air secara tiba-tiba dari
permukaan tanah dilokasi baru, air sumur disekitar lereng menjadi keruh, tebing
rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. wilayah-wilayah yang rawan akan terjadinya
tanah longsor meliputi pernah terjadi tanah longsor di daerah tersebut, berada
pada daerah yang terjal dan gundul, merupakan daerah aliran air hujan, tanah
tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan tinggi (Ramli,
2010)

C. Dampak Tanah Longsor


Bencana tanah longsor mempunyai dampak terhadap kesehatan diantaranya
terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan :

a. Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban


meninggaldunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam
jumlah besar.

b. Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya


rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap
berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu
wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2007).

4
Tanah dan material yang berada dilereng dapat runtuh dan mengubur
manusia, binatang, rumah, kebun, jalan, dan semua yang berada di jalur
longsornya tanah. Kecepatan luncur tanah longsor, terutama pada posisi yang
terjal, bisa mencapai 75 kilometer per jam, sulit untuk menyelamatkan diri dari
tanah longsor,tanpa pertolongan dari luar.

D. Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

Undang-Undang No. 24 tahun 2004 menyebutkan ada tiga unsur pelaku


penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu terdiri unsur pemerintah,
masyarakat, dan lembaga asing. Unsur pemerintah mempunyai peran meliputi :
pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan
program pembangunan, perlindungan masyarakat dari dampak bencana,
penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
secara adil dan sesuai dengan standart pelayanan minimum, pemulihan kondisi
dari dampak bencana, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
anggaran pendapatan dan belanja Negara yang memadai, pengalokasian anggaran
penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai, pemeliharaan arsip/
dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Unsur masyarakat mempunyai peran dalam Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2007 meliputi : Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian keselarasan dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup, melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan
memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan
bencana. Unsur lembaga asing mempunyai peran meliputi ikut serta dalam
kegiatan penanggulangan bencana dan mendapatkan jaminan perlindungan dari
pemerintah terhadap para pekerjanya, melaksanakan kegiatan penanggulangan
bencana baik secara sendiri-sendiri, bersama-sama, atau bersama-sama dengan

5
mitra kerja dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya,
dan agama masyarakat setempat.

E. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor

Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya


pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini relevan, apabila
dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan perlindungan kepada
masyarakat, termasuk didalamnya melakukan upaya dampak terhadap resiko
bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya


memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana, utamanya pada saat
sebelum terjadinya bencana yaitu pengurangan resiko bencana yang bertumpu
pada 3 (tiga) faktor yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari
jenis bencana yang terjadi serta dampaknya, situasi dan kondisi kebencanaan di
negeri kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya
yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang konkrit dalam
melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena lokus dari
bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah Kabupaten/Kota,
Kecamatan atau Desa/Kelurahan tergantung dari skala dan kriteria bencana yang
terjadi.

Aparat bersama-sama masyarakat dalam rangka membangun kesiapsiagaan


menuju terwujudnya budaya siaga bencana melalui rencana aksi daerah dalam
pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan
gerak dan langkah dalam pengurangan resiko bencana atau peningkatan
pemahaman dan penyamaan persepsi melalui penguatan kapasitas pemerintah
daerah yang berpijak kepada penguatan kebijakan, prosedur, personil dan
kelembagaan, yang dijabarkan melalui:

6
a) Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan
kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan penanggulangan bencana di
daerah, agar kebijakan dari tingkat nasional dapat dijalankan secara
operasional di daerah.
b) Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan
kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat diimplementasikan
sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang tinggi dari setiap pemangku
kepentingan di daerah.
c) Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan
kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam mendukung
penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.
d) Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan untuk mendorong pembentukan BPBD di Kabupaten/Kota dan
peningkatan status hukum/aturan perundang-undangan di daerah, terkait
kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota, seperti status dari peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar pembentukan BPBD menjadi
peraturan daerah.

Pemerintah Daerah melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB) mampu


memprakarsai dan menumbuhkembangkan sumber daya guna memberikan
dukungan terhadap penyelenggaraan utusan di bidang penanggulangan bencana
dengan fokus terhadap upaya pengurangan resiko bencana. Pengurangan Resiko
Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan pemahaman untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat serta membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang
panjang, sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian
investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana investasi
tentu tidak dapat dinikmati hasilnya segera/ bersifat instan tetapi dirasakan pada
masa yang akan datang yaitu dapat melindungi atau mengamankan aset daerah
dan aset negara yang sulit dihitung nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka

7
pemahaman kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya
Pengurangan Resiko Bencana (PRB) hendaknya dari waktu ke waktu harus
selalu ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan
dan penghidupan masyarakat.

F. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah


Longsor

a) Kesiapsiagaan Pra Bencana


Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :
1. Tidak menebang atau merusak hutan.
2. Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimbi,
bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang
gundul.
3. Membuat saluran air hujan.
4. Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal.
5. Memeriksa keadaan tanah secara berkala.
6. Mengukur tingkat kederasan hujan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk


menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

1. Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan.


2. Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun.
3. Membuat peta ancaman.
4. Melakukan deteksi dini

b) Kesiapsiagaan Saat Bencana

8
Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat tanah
longsor terjadi, diantaranya :
a. Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing kebidang
yang lebih stabil.
b. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda seperti
bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan memberikan
perlindungan terbaik untuk badan anda.

c) Kesiapsiagaan Pasca Bencana

Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan masyarakat setelah tanah


longsor terjadi, diantaranya :
1. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi.
2. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung
memasuki daerah longsoran.
3. Bantu arahkan SAR ke lokasi longsor.
4. Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang tua,
dan orang cacat.
5. Dengarkan siaran radio lokal atau televisi untuk informasi keadaan
terkini.
6. Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor.
7. Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang
berwenang.
8. Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya longsor.
9. Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk
menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat
menyebabkan banjir bandang.
10. Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan teknik
untuk mengurangi resiko tanah longsor.

9
G. Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan Bencana
Tanah Longsor

Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyatakan bahwa


tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem,
prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk
memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga
dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan.
Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 2008, tentang penyelenggaraan
penanggulangan bencana menyatakan bahwa beberapa instansi yang terlibat
dalam penanggulangan bencana antara lain kementerian kesehatan, kementerian
sosial, kementerian pekerjaan umum, kepolisian RI, Badan SAR Nasional, Dan
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kesiapsiagaan pemerintahan setempat yang terkait dalam upaya
penanggulangan bencana tanah longsor antara lain sebagai berikut :
a. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pembentukannya
berdasarkan Permendagri Nomor 46 Tahun 2008 tentang pedoman
organisasi dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tugas Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) adalah:
1) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan badan nasional penanggulangan bencana
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil
dan setara.
2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3) Menyusun menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.

10
4) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
5) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya.
6) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala
daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam
kondisi darurat bencana.
7) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
8) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai fungsi:


1) Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif, dan
efisien.
2) Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan


Bencana (BNPB) No. 10 Tahun 2008 telah menetapkan struktur organisasi
komando tanggap darurat bencana tingkat Kabupaten/Kota sebagai
berikut:

1. TNI/polri
TNI/Polri melalui pendekatan Pembinaan Teritorialnya
membantu Pemerintah Daerah dalam rangka memulihkan kembali
keadaan seperti sebelumnya, berpartisipasi aktif menangani Bencana
alam bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya sehingga dapat
membantu meringankan beban kehidupan sosial masyarakat secara

11
lahir batin dari akibat yang ditimbulkan Bencana. Pembinaan teritorial
menciptakan ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh, bersentuhan
langsung dengan geografi, demografi dan kondisi sosial, maka
penanggulangan bencana alam ini merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan aparatur Negara beserta masyarakat yang ada
diwilayah saling membantu sehingga dapat menentukan keberhasilan
dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Agar dalam setiap
pelaksanaan penanggulangan bencana alam dapat berjalan dengan
lancar dan berhasil dan berdayaguna, maka setiap aparatur negara baik
dari pemerintah daerah, aparat TNI, Kepolisian, ormas dan masyarakat
perlu memahami tentang organisasi penanggulangan bencana dengan
tugas dan fungsinya.
Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004, TNI dan Polri bertugas
melaksanakan operasi militer perang (OMP) serta operasi militer
selain perang (OMSP), didalam tugas operasi militer selain perang
salah satunya adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam.
Melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana diwilayah baik
dalam tahap pra bencana, saat tangggap darurat, pasca bencana terjadi
secara terpadu serta mencakup kegiatan, pencegahan, penyelamatan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh BPBD Provinsi dan/atau petunjuk kepala BPBD
provinsi, dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada dasarnya langkah-langkah kegiatan untuk semua macam bencana
adalah sama dan dilaksanakan melalui tahap-tahap pra bencana, saat
tanggap darurat, pasca bencana. Perawatan kesehatan masyarakat
dapat menggunakan fasilitas kesehatan TNI yang ada satuan tugas
pada daerah bencana serta fasilitas kesehatan umum/Rumah Sakit yang
tersedia di daerah.

12
2. Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan)
Puskesmas mempunyai peran memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat khususnya bagi korban bencana alam
sehingga memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Penanganan
bencana bidang kesehatan pada prinsipnya tidak dibentuk sarana
prasarana secara khusus, tetapi menggunakan sarana prasarana yang
telah ada, hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan
memberdayakan semua sumber daya pemerintah Kabupaten/Kota serta
masyarakat dan unsur swasta sesuai dengan ketentuan dan peraturan
yang berlaku.
Pelayanan kesehatan pada saat terjadinya bencana dan
pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, obat dan
perbekalan kesehatan yang tidak dapat diatasi oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
terdekat harus memberikan bantuan, selanjutnya secara berjenjang
merupakan tanggungjawab Dinas Kesehatan dan Pusat.
Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan
yang mampu mengatasi masalah kesehatan pada penanganan bencana
di wilayahnya secara terpadu dan berkoordinasi dengan Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB.).
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
sehubungan dengan penanganan masalah bencana di tingkat
kecamatan diantaranya :
1) Pra-Bencana; Kepala Puskesmas Melakukan Kegiatan :
a. Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.
b. Membuat jalur evakuasi.
c. Mengadakan pelatihan.
d. Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.

13
e. Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini
(Early Warning System) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan.
f. Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam
Satgas.

2) Saat Bencana; Kepala Puskesmas di Lokasi Bencana Melakukan


Kegiatan :
a. Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa
peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan
memberikan pertolongan pertama.
b. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta
ambulans/alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan
tempat penampungan pengungsi.
c. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta
pelayanan kesehataan pengungsi.
d. Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang
terjadinya bencana.
e. Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat
Masalah Kesehatan Awal).
f. Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/Kota
apabila telah tiba di lokasi bencana.
g. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
kecamatan, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

3) Pasca Bencana; Kepala Puskesmas di Kecamatan Melakukan


Kegiatan :
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di penampungan
dengan mendirikan Pos Kesehatan lapangan.

14
b. Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan
sanitasi lingkungan.
c. Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk
yang mungkin timbul.
d. Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila
terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.
e. Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat
kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan kepada kelompok yang berpotensi mengalami
gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling pada
individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca
trauma.
f. Merujuk penderita yang tidak dapat ditangani dengan
konseling awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi
atau penanganan lebih spesifik.

3. Dinas Pekerjaan Umum


Dinas pekerjaan umum mempunyai peran menyelenggarakan
penanggulangan bencana terkait bidang pekerjaan umum
menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tahap pra-bencana
Tahap pra bencana kegiatan pencegahan/mitigasi
bencana dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan
dalam bentuk penegakan hukum/ peraturan pemerintah
pusat dan daerah dalam pembangunan fisik dilapangan
yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang
terjadi bila terjadi suatu bencana seperti dengan mematuhi
rencana tata ruang dan tata bangunan yang telah ditetapkan.

15
Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya-upaya
cepat dan tepat yang perlu ditempuh dalam menghadapi
situasi darurat pada saat kejadian bencana seperti antara
lain dengan pemasangan dan pengujian sistem peringatan
dini untuk pengamatan gejala bencana dan penyediaan serta
penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan
kebutuhan dalam rangka pemulihan prasarana dan sarana
bidang ke-PU-an.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tahap tanggap darurat dukungan yang diberikan dalam
kegiatan penyelamatan/evakuasi korban bencana adalah
dengan penyediaan dan pengoperasian peralatan yang
diperlukan untuk mendukung dan memberikan akses bagi
pelaksanaan kegiatan pencarian dan penyelamatan/evakuasi
korban bencana beserta harta bendanya dilokasi dan keluar
dari lokasi bencana. Pelaksanaan kegiatan tanggap darurat
utamanya dilakukan untuk memulihkan kondisi dan fungsi
prasarana dan sarana, khususnya bidang ke-PU-an yang
rusak akibat bencana yang bersifat darurat/sementara
namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal
yang dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang
diperlukan bagi perawatan dan penampungan sementara
para pengungsi/masyarakat korban bencana.

3. Tahap Pasca Bencana


Tahap pasca bencana kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang dilaksanakan harus diupayakan untuk
melibatkan peran serta warga masyarakat. bantuan dari
pemerintah diutamakan berupa stimulan yang diharapkan
akan dapat mendorong tumbuhnya kewasdayaan warga

16
masyarakat. Pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi
diutamakan bagi prasarana dan sarana bidang ke-PU-an dan
rumah tinggal bagi warga masyarakat miskin/ yang tidak
mampu dengan pendekatan tridaya dalam pelaksanaannya.

4. Dinas Sosial
Dinas sosial mempunyai peran menyelenggarakan
kesejahtraan sosial di daerah bencana, yang pada saat
kejadian bencana, pasca bencana dan tanggap darurat
menjadi faktor penting mengurangi resiko korban bencana
yang meninggal dunia dan luka-luka. Hal ini
memungkinkan karena pada saat kejadian bencana
infrastruktur dasar dan sarana pelayanan publik menjadi
rusak dan tidak berfungsi. hanya sentuhan relawan dan
masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana alam yang
dapat mengurangi meningkatkan jumlah korban bencana.
Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang
kesejahtraan sosial menjelaskan peran sumber daya
manusia dalam penanganan bencana alam pada saat
kejadian bencana dan tanggap darurat antara lain :
1. Mengkondisikan tempat penampungan sementara
Menentukan tempat penampungan bagi korban
bencana merupakan upaya penting dalam setiap
penanganan bencana. Peran ini dapat dilakukan apabila
SDM kesejahteraan sosial memiliki pemahaman dan
pengetahuan membaca peta rawan bencana dan jalur
evakuasi penanganan bencana.
2. Menyediakan data korban
Data korban merupakan informasi berharga bagi
outsider untuk melakukan berbagai langkah tindakan

17
penanganan bencana alam. keakuratan jumlah korban
hidup dan meninggal serta keberadaan korban, akan
mengurangi meningkatnya jumlah korban meninggal
dan luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan
pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan
dan kemampuan menggunakan berbagai media
komunikasi.
3. Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi
korban
Menyiapkan berbagai kebutuhan bagi korban bencana
alam, tidak hanya sebatas penyediaan dapur umum.
Kebutuhan specifik laki-laki dan perempuan serta balita
menjadi bagian penting dalam upaya dalam mengurangi
meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan lain yang
juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan
keperluan mandi cuci dan kakus (MCK).
berbagaikebutuhan tersebut memerlukan pemahaman
dan kemampuan melihat situasi serta
mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.
4. Memberikan pelayanan psikososial
Peran yang sangat penting bagi SDM kesejahtraan
sosial dan memerlukan keahlian khusus adalah
pelayanan psikososial. Peran ini sangat diperlukan
mengingat banyak korban bencana alam yang
umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-
kasus gangguan stress.
5. Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana
Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban
adalah dua hal yang berbeda tapi dapat dilakukan
bersama-sama. Inti dari tindakan ini adalah upaya

18
menyelematkan korban dengan menghindari
tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi
korban bencana. Namun demikian, tindakan yang
ceroboh dapat menimbulkan akibat kematian/kecacatan
tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi SDM
kesejahtraan sosial.

6. Search And Rescue (SAR)


Pencarian dan pertolongan (Search and Rescue) atau
disingkat SAR meliputi usaha dan kegiatan mencari,
menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang
hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi
bahaya dalam musibah pelayaran dan/atau
penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya.
Search and Rescue (SAR) melakukan siaga selama 24
jam secara terus menerus untuk melakukan pemantauan
musibah pelayaran dan/atau penerbangan, atau bencana
atau musibah lainnya. SAR melaksanakan siaga
didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi
dan sistem informasi beserta sarana penunjangnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006
SAR melakukan operasi meliputi:
 Segala upaya dan kegiatan SAR sampai dengan
evakuasi terhadap korban, sebelum diadakan
penanganan berikutnya;
 Rangkaian kegiatan SAR terdiri atas 5 (lima) tahap
yaitu tahap menyadari, tahap persiapan, tahap
perencanaan, tahap operasi, dan tahap akhir
penugasan.

19
7. Ormas (Organisasi Masyarakat)
Organisasi yaitu kelompok orang yang bekerjasama,
dan selanjutnya berkembang menjadi proses pembagian
kerja, dan akhirnya terbentuklah sebuah sistem yang
kompleks (Sulistyani & Rosidah, 2003). Badan
koordinasi antar kampung mempunyai fungsi sebagai
berikut:
 Mengkoordinasikan kejadian yang sedang dialami
serta bantuan yang diperlukan.
 Hubungi instansi yang terkait untuk meminta
bantuan sesuai kebutuhan.
 Bantuan instansi terkait dapat diminta kepada
pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Pusat,
termasuk lembaga/Instansi/Militer/Polisi.

H. Peran Perawat Dalam Bencana

Menurut Barbara santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu fase pre impact,impact,dan post impact.

Fase pre impact  merupakan warning phase, tahap awal dari  bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase
inilah segala persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga dan
masyarakat.

Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks bencana. inilah saat-saat


dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase impact ini
terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat
dilakukan.

 Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan


dari fase darurat. Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada

20
fungsi kualitas normal. Secara umum pada fase post impact para korban akan
mengalami tahap respon fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah (angry),
tawar –menawar (bargaing), depresi (depression), hingga penerimaan
(acceptance).

Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi


pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan
tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana.

Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar


praktek keperawatan saja,  Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga
sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi
perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan


pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi
perhatian penting. Berikut beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana:

1.     Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik.

2.     Pemberian bantuan

3.     Pemulihan kesehatan mental

4.     Pemberdayaan masyarakat

Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus
dimiliki oleh  seorang perawat, diantaranya:

1. Perawat harus memilki skill keperawatan yang baik.

Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan


bencana, haruslah mempunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut

21
perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan
maksimal.

2.   Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.

Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen


masyarakat termasuk Perawat , kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati
dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana.
Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu
meringankan beban penderitaan korban bencana.

3.    Perawatan harus memahami managemen siaga bencana

Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segala hal


yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana
datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang,
jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan
tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memiliki kesiapan
dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan
dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir
dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus
mengerti konsep siaga bencana.

a. Peran perawat dalam managemen bencana

1. Peran perawat dalam fase pre-impect

 Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam


penanggulangan ancaman bencana.

 Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi


lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana.

22
 Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam mengahadapi bencana.

2. Peran perawat dalam fase impact

 Bertindak cepat

 Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan


pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang
selamat.

 Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan

 Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan

 Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat


mendiskusikan dan merancang

 master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan


pertama.

3. Peran perawat dalam fase post impact

 Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi


korban.

 Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3
kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu
tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi,
ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan
menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat

23
mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan
memori.

 Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat
paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju
keadaan sehat dan aman.

24
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Tanah longsor adalah salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah
longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah./batuan penyusun
lereng.
Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah/batuan
penyusun lereng. yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan
berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. 

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan


pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi
perhatian penting. Berikut beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana:

1.     Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik.

2.     Pemberian bantuan

3.     Pemulihan kesehatan mental

4.     Pemberdayaan masyarakat

B. Saran

Bencana tanah longsor bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, namun kita harus
mengetahui jenis-jenis bencana, sebab-sebab yang menimbulkan bencana dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya. 

25
Saran kami agar sampaikan kepada semua pihak untuk mengantisipasi dan
penanggulangan bencana agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup,
korban meninggal dan kerugian harta benda yang besar.

1. Kepada Pemerintah agar meningkatkan managemen antisipasi dan


penanggulangan bencana. 
2. Pemerintah agar memiliki Lembaga atau Badan Khusus bahkan mungkin
yang lebih tinggi  yaitu setingkat menteri untuk mengantisipasi dan
penanggulangan bencana.
3. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyelamatan dan
pelestarian lingkungan, karena sebagian bencana yang terjadi diakibatkan
oleh kerusakan lingkungan.
4. Sedapat mungkin tidak tinggal di tempat atau daerah rawan bencana, agar
tidak terjadi korban dan kerugian yang besar.
5. Masyarakat pada umumnya harus mengetahui baik melalui Media
Elektronik (radio, TV dan internet) maupun Media Cetak (buku literature,
surat kabar, majalah) tentang bencana-bencana yang terjadi dan
bagaimana cara mengatasi atau menyelamatkan diri.

26
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Pedoman Teknis


Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, Panduan bagi Petugas
Kesehatan Yang Bekerja dalam Penanganan Krisis Kesehatan akibat
Bencana di Indonesia. Jakarta.

PAHO (Pan American Health Organization). (2005). Gender and Natural Disasters.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Pedoman


Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan


Bencana.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Pencarian dan Pertolongan

Purnomo, H. (2010). Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Ramli, S. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja


OHSAS 18001. Jakarta : Dian Rakyat.

Santamaria, Barbara. (1995). Community Health Nursing Theory & Practice. New
Jersey: Pearson Education.

Sulistiyani, T.A dan Rosidah. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia,


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

27

Anda mungkin juga menyukai