Bahasa Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Sbg bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sbg bahasa Malaysia); bahasa nasional Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa Indonesia). Bahasa Melayu adalah lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di Nusantara semenjak sekitar A.D 1500-an [1]. Migrasi kemudian juga turut memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, sampai Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh warga Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi ronde Australia.
B. Perkembangan bahasa melayu
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia. Prasasti Telaga Batu, salah satu catatan bahasa Melayu terawal. Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuno berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatra dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18. Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui pengkreolan. Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka. Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor- Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini. Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" [9] atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan. Pengenalan varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi pada dasawarsa-dasawarsa akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah. Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi semakin populer.
C. Varian-Varian Bahasa Melayu
Bahasa Melayu sangat bervariasi. Penyebab yang utama adalah tidak adanya institusi yang memiliki kekuatan untuk mengatur pembakuannya. Kerajaan-kerajaan Melayu hanya memiliki kekuatan regulasi sebatas wilayah kekuasaannya, padahal bahasa Melayu dipakai oleh orang-orang jauh di luar batas kekuasaan mereka. Akibatnya muncul berbagai dialek (geografis) maupun sosiolek (dialek sosial). Pemakaian bahasa ini oleh masyarakat berlatar belakang etnik lain juga memunculkan berbagai varian kreol di mana-mana, yang masih dipakai hingga sekarang. Bahasa Betawi, suatu bentuk kreol, bahkan sekarang mulai memengaruhi secara kuat bahasa Indonesia akibat penggunaannya oleh kalangan muda Jakarta dan dipakai secara meluas di program-program hiburan televisi nasional. Ada kesulitan dalam mengelompokkan bahasa-bahasa Melayu. Sebagaimana beberapa bahasa di Nusantara, tidak ada batas tegas antara satu varian dengan varian lain yang penuturnya bersebelahan secara geografis. Perubahan dialek sering kali bersifat bertahap. Untuk kemudahan, biasanya dilakukan pengelompokan varian sebagai berikut: a. Bahasa-bahasa Melayu Tempatan (Lokal) b. Bahasa-bahasa Melayu Kerabat (Paramelayu, Paramalay = Melayu "tidak penuh") c. Bahasa-bahasa kreol (bukan suku/penduduk melayu) berdasarkan bahasa Melayu Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah melampaui jumlah penutur bahasa Melayu di Malaysia maupun di Brunei Darussalam. Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung hingga pesisir Pulau Kalimantan dan kota Negara, Bali.
Dialek Melayu Indonesia
Dialek Melayu Indonesia di Regional Sumatra Dialek Tamiang: dituturkan di kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Dialek Langkat: dituturkan di kawasan Langkat, Sumatra Utara Dialek Deli: dituturkan di Medan, Deli Serdang dan Serdang Bedagai Dialek Asahan: dituturkan di sepanjang wilayah pesisir kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara Dialek Kualuh: dituturkan di sepanjang wilayah aliran hulu sampai hilir sungai Kualuh kabupaten Labuhanbatu Utara Dialek Bilah: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Bilah kabupaten Labuhanbatu Dialek Panai: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Barumun kabupaten Labuhanbatu Dialek Kotapinang: dituturkan di sepanjang wilayah aliran sungai Barumun kabupaten Labuhanbatu Selatan Dialek Melayu Riau: dituturkan di kawasan Kepulauan Riau Dialek Riau Kepulauan dan beberapa kawasan di Riau Daratan dituturkan sama seperti Dialek Johor. Dialek Melayu Riau Daratan: terbagi atas beberapa dialek lainnya tergantung wilayah (Siak, Rokan, Inderagiri, Kuantan dan Kampar) Dialek Anak Dalam: kemungkinan termasuk kelompok Kubu, Talang Mamak di kawasan Riau dan Jambi Dialek Melayu Jambi: dituturkan di provinsi Jambi Dialek Melayu Bengkulu: dituturkan di kota Bengkulu Dialek Melayu Palembang: dituturkan di kota Palembang dan Kota Muara Enim dan sekitarnya Dialek Bangka-Belitung: dituturkan di provinsi Bangka-Belitung sedikit perbedaan antara pengucapan kata sebagai contoh kata "APA-Ind" bangka menggunakan "APE" seperti mengucapkan kata "PEPES" dan Belitung "APE" seperti mengucapkan kata "Remang". Dialek Melayu Indonesia di Regional Kalimantan Dialek Melayu Pontianak: dituturkan di kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan kota Pontianak, Kalimantan Barat Dialek Melawi (MLW): kabupaten Melawi dan sekitarnya, Kalimantan Barat[11] Dialek Landak: kabupaten Landak dan sekitarnya, Kalimantan Barat[12] Dialek Melayu Sambas: dituturkan di kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya, Kalimantan Barat Dialek Melayu Sanggau: dituturkan di kabupaten Sanggau[13] Dialek Melayu Sintang: dituturkan di kabupaten Sintang[14] Dialek Ketapang: dituturkan di kabupaten Ketapang dan sekitarnya, Kalimantan Barat terdiri 2 dialek kota Ketapang dan Balai Berkuak. [15][16][17] Dialek Berau: dituturkan di kabupaten Berau dan sekitarnya, Kalimantan Timur Dialek Kutai: dipakai di kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur Dialek Melayu Indonesia Indonesia Timur Dialek Loloan: dituturkan di kota Negara, Jembrana, Bali.
Bahasa Melayu Kreol
Bahasa Melayu sudah lama dikenal sebagai bahasa antarsuku bangsa khususnya di Indonesia. Dalam perkembangannya terutama kawasan-kawasan berpenduduk bukan Melayu dan mempunyai bahasa masing-masing, bahasa Melayu mengalami proses pemijinan dengan berbaurnya berbagai unsur bahasa setempat ke dalam bahasa Melayu dan karena dituturkan oleh anak-anaknya, bahasa Melayu mengalami proses pengkreolan.[10] Bahasa Melayu, khususnya di Indonesia Timur diperkenalkan pula oleh para misionaris asal Belanda untuk kepentingan penyebaran agama Kristen. Di pulau Jawa, terutama di Jakarta, bahasa Melayu mengalami proses pengkreolan yang unsur dasar bahasa Melayu Pasar tercampur dengan berbagai bahasa di sekelilingnya, khususnya bahasa Tionghoa, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Bugis, bahkan unsur bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Melayu dalam bentuk kreol ini banyak dijumpai di Kawasan Indonesia Timur yang terbentang dari Manado hingga Papua. Bentuk Melayu Kreol tersebut antara lain: Dialek Melayu Jakarta bahasa Betawi: dituturkan di Jakarta dan sekitarnya Dialek Melayu Indonesia Peranakan: banyak dituturkan oleh kalangan orang Tionghoa di pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dialek Melayu Gorontalo: dipakai sebagai lingua franca di Gorontalo dan beberapa daerah di sekitar Teluk Tomini. Dialek Melayu Manado (bahasa Manado): dipakai sebagai lingua franca di Sulawesi Utara Dialek Melayu Maluku Utara (max): dipakai di hampir seluruh Maluku Utara Dialek Melayu Bacan (btj): dipakai di kawasan pulau Bacan, Maluku Utara Dialek Melayu Ambon: dipakai sebagai bahasa ibu bagi warga kota Ambon, dan bahasa kedua bagi warga sekitarnya Dialek Melayu Banda: berbeda dengan Melayu Ambon, dan digunakan di kawasan Kepulauan Banda, Maluku Dialek Melayu Larantuka: dipakai di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur Dialek Melayu Kupang: menjadi lingua franca di wilayah Kupang dan sebagian Pulau Timor Dialek Melayu Papua: dipakai di Kota Jayapura, Papua. Dialek Melayu Makassar (mfp): Sulawesi Selatan
D. Adat Dan Kesantunan Melayu
Terdapat pelbagai takrifan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh negara mengenai konsep kesantunan berbahasa. Budi bahasa merupakan gabungan daripada perkataan budi dan bahasa. Budi merupakan perlakuan yang baik manakala bahasa ialah pertuturan. Gabungan perkataan ini membambawa maksud percakapan yang baik yang membawa maksud yang sempurna dan menyenangkan, penuh dengan sifat-sifat menghormati pihak lain, bersopan santun diiringi dengan akhlak yang mulia. Peribadi seseorang dapat dinilai menerusi bahasanya, kalau bahasanya santun dan halus, maka dia dikatakan berbudi bahasa, sebaliknya kalau bahasa yang digunakan itu kasar dan tidak menyenangkan, maka dia dikatakan kurang ajar Menurut Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka (2005), santun ialah halus budi bahasa dan atau budi pekerti, beradab atau sopan. Istlah kesantunan pula membawa maksud perihal (sifat dsb) santun, kesopanan, kehalusan (budi bahasa atau budi pekerti). Awang Sariyan (2007) mendefinisikan kesantunan sebagai penggunaan bahasa yang baik, sopan, beradap, mamncarkan peribadi mulia dan menunjukkan penghormatan kepada pihak yang menjadi teman berbicara. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh susuatu masyarakt sehingga menjadi prasyarat dalam kehidupan bermasyarakat. Leech (1983:104) menyatakan bahawa kesantunan berupa perlakuan yang mewujudkan dan mengekalkan pengiktirafan diri dalam sesuatu interaksi sosial. Beliau seterusnya berpendapat bahawa kesantunan bukan sekadar bermaksud berbaik-baik sahaja tetapi yang penting adalah menjalinkan prinsip kerjasama dengan menghubungkannya dengan maksud dan kuasa. Hal ini melibatkan pemilihan strategi untuk mengelakkan konflik. Menurut dua orang tokoh bahasa yang terkenal, iaitu Brown dan Levinson (1987:62) mengaitkan kesantunan sebagai usaha untuk mengurangkan Tindakan Ancaman Muka (TAM) kepada pendengar. Pada merekan, setiap orang mempunyai kehendak muka yang terbahagi kepada dua, iaitu muka positif dan muka negatif yang merupakan kehendak masyarakat sejagat. Sehubungan itu, penutur perlu mengurangkan ancaman muka pendengar dengan memilih strategi kesantunan. Held (1992:133) mendefinisikan kesantunan sebagai suatu fenomena bahasa yang boleh dikaji secara emprikal menerusi pemerhatian terhadap komunikasi lisan yang melibatkan interaksi bersemuka antara penutur dengan pendengar. Lakoff (1975:64) pula menginterpretasikan kesantunan sebagai perlakuan yang mengurangkan pergeseran dalam suatu interaksi. Menurut Asmah Haji Omar (2000:88), kesantunan berbahasa ialah penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada pihak pendengar. Beliau menjelaskan bahawa penjagaan air muka dalam kalangan orang Melayu bukan setakat menjaga air muka sendiri malahan turut meliputi air muka keluarga dan masyarakat. Beliau juga telah membahagikan kesantunan kepada dua aspek, iaitu kesantunan asas dan kesantunan berkala. Kesantunan asas merujuk kepada kesantunan sedia ada yang merupakan pedoman bagi masyarakatberhubung antara satau sama lain. Manakala kesantunan berkala pula merujuk kepada kesantunan yang menggambarkan ucapan yang dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan antara satu sama lain. Kesantunan berbahasa merupakan kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa ketika berkomunikasi sama ada melalui lisan atau tulisan(Amat Juhar Moain, 1992). Konsep kesantunan berbahasa merupakan satu konsep yang berkait rapat dengan aspek bersopan santun dalam berbahasa terutamanya ketika berkomunikasi dengan orang lain, menyampaikan mesej kepada audiens dan berinteraksi dengan seseorang. Kesantunan berbahasa merangkumi aspek pemilihan kata, nada, gerak laku dan gaya. a. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Verbal Kesantunan berbahasa dari aspek verbal merujuk kepada semua aspek komunikasi secara lisan, pertuturan atau percakapan. Contohnya dapat dilihat melalui media massa seperti radio, televisyen, internet, pengucapan awam dan ceramah seminar serta ucapan. Kesemua komunikasi ini memerlukan penggunaan bahasa yang sopan. Kesantunan berbahasa juga dikaitkan dengan penggunaan bahasa halus termasuklah bahasa istana. Semasa berkomunikasi, komponen-komponen bahasa seperti fonetik dan fonologi, semantik, morfologi dan sintaksis digunakan. Fenotik dan fonologi adalah berkaitan dengan penebutan dan bunyi-bunyi bahasa. Sintaksis merujuk kepada ayat-ayat yang digunakan secara betul. Morfologi pula berkaitan dengan struktur, bentuk dan golongan kata. Semantik adalah berkaitan dengan makna kata atau ayat. Dalam masyarakat Melayu, kesantunan ini penting bagi melambangkan kehalusan budi, kesopanan dan tingkah laku penutur dan masyarakat Melayu. Misalnya, amalan bertanya khabar apabila bertemu dengan sahabat handai atau memberi salam ketika bertemu dengan orang yang lebih tua merupakan tanda hormat masyarakat melayu terhadap orang lain. Aspek kesantunan berbahasa verbal yang perlu dititikberatkan adalah penggunaan bahasa yang halus. Mengikut Asmah Haji Omar (2000), bahasa halus disamakan dengan pendidikan yang penuh dengan adab tatatertib. Orang Melayu amat memandang berat terhadap nilai berbahasa. Nilai terhadap bahasa menentukan jenisjenis bahasa seperti bahasa halus, bahasa kesat, bahasa kasar, dan bahasa biadab. Setiap kata ada nilainya. Sehubungan itu, penggunaan bahasa perlu disesuaikan dengan keadaan, suasana serta golongan, dan peringkat yang berbeza (Amat Juhari, 2001 :286). Seseorang perlu memahami sebab ia berkata-kata, apa yang dikatakan, bagaimana mengatakannya, kepada siapa ia berkata dan semua ini bergantung kepada konteks pertuturan tersebut (Kramsch, 1998:26). Dalam kesantunan berbahasa, masyarakat Melayu mempunyai sistem sapaan dan panggilan yang tersendiri. Bahasa lisan atau bertulis haruslah digunakan dengan sopan santun suoaya tidak dianggap sebagai kurang ajar atau biadap. Sistem sapaan dan panggilan melibatkan penggabungan gelaran, rujukan hormat dang anti nama. Kesantunan ini bukan sahaja melibatkan penggunaan bahasa dalam pertuturan malahan juga dalam bentuk bertulis. Kesantunan berbahasa memiliki ciri-ciri tertentu. Penggunaan kosa kata dan ganti nama diberi perhatian khusus agar sesuai dengan kedudukan, pangkat, umur dan keakraban hubungan. Aspek kesantunan berbahasa dalam masyarakat Melayu dapat dilihat seperti gambar dia atas. penggunaan kata sapaan dan gelaran. sistem panggilan dalam keluarga GELARAN HURAIAN Pak cik Digunakan untuk orang lelaki yang sebaya dengan ayah sendiri Mak cik Digunakan untuk orang perempuan yang sebaya dengan ibu sendiri Tok Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang kira-kira sebaya dengan datuk atau nenek sendiri Abang Digunakan untuk orang lelaki yang tidak setua ayah sendiri dan juga tidak sebaya Kakak Digunakan untuk orang perempuan yang tidak setua ibu sendiri dan juga tidak sebaya Adik Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang lebih muda daripada sendiri gelaran pergaulan secara formal GELARAN HURAIAN Tuan Digunakan untuk lelaki yang lebih tinggi pangkatnya dan orang lelaki yang bergelar Haji, Doktor, Profesor atau Syed Encik Digunakan untuk orang lelaki yang lebih tinggi pangkatnya Puan Digunakan untuk perempuan yang lebih tinggi pangkatnya Saudara Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang sebaya atau lebih muda dan hubungannya belum rapat atau digunakan dalam rujukan kepada ahli-ahli dalam mesyuarat, perbahasan dan sebagainya. Saudari Digunakan untuk perempuan sahaja dalam konteks yang sama dengan penggunaan gelaran saudara Tetuan Hanya digunakan dalam surat rasmi yang ditujukan kepada para pemilik atau pentadbir syarikat perniagaan (termasuk syarikat guaman) gelaran warisan GELARAN HURAIAN Raja (Perak,Selangor), Pangeran,Pangeran Digunakan untuk pemerintah Anak, Pangeran Muda ( Brunei Darussalam), tertinggi Tengku (Kelantan) Megat dan puteri (Perak), Abang (Sarawak), Datu Digunakan untuk keturunan (Sabah), Wan (Kelantan, Terengganu),Pangeran orang-orang besar dan Dayangku (Brunei Darussalam), Tan (Kedah), Tun (Terengganu) Syed dan Syarifah Digunakan untuk waris keturunan Nabi Muhammad saw gelaran kurniaan Gelaran kurniaan adalah seperti Tun, Toh Puan, Puan Sri, Datuk dan Datin Paduka. Selain itu, pendeta Za’ba merupakan gelaran kurniaan yang diberikan oleh pertubuhan seperti Kongres Bahasa Melayu Ketiga (1956). Seterusnya, gelaran Bapa Kemerdekaan pula diberikan kepada Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj. kata panggilan dalam majlis rasmi ORANG YANG DISAPA RUJUKAN HORMAT Yang di-Pertuan Agong dan Raja Kebawah Duli Yang Maha Mulia Seri Permaisuri Agong Paduka Baginda Sultan, Raja, Sultanah, Tengku Ampuan, Duli Yang Maha Mulia Raja Permaisuri Perdana Menteri,Timbalan Perdana Yang Amat Berhormat Menteri, Menteri Besar Hakim, Kadi Yang Arif Mufti dan pemimpin Islam Sahibul Sumahah Ketua Polis Negara Yang Amat Setia Ketua jabatan tanpa gelaran Yang Berusaha Penggunaan kata sesuai daripada Bahasa Arab Penggunaan kata-kata bahasa Arab yang merupakan kata-kata dalam Al-Quran. BAHASA BIASA BAHASA BERSANTUN Saya berpuas hati dengan usaha itu Saya bersyukur dengan usaha itu Saya berjanji akan membantu saudara Saya berjanji akan membantu saudara. Insya-Allah Mendiang Razif pasti gembira atas Allahyarham Razif pasti atas gembira kejayaan anaknya kejayaan anaknya Penggunaan kata ganti nama Ganti nama diri ialah perkataan yang digunakan untuk merujuk kepada diri seseorang. Kata ganti nama diri terbahagi kepada tiga iaitu, kata ganti nama diri pertama(merujuk kepada diri sendiri seperti saya, aku, kita hamba, patik dan beta), kata ganti nama diri kedua (merujuk kepada pendengar seperti anda, kamu, awak, tuan hamba) dan kata ganti nama diri yang ketiga(merujuk kepada orang yang dicakapkan seperti dia, mereka, beliau, nya) penggunaan kata dan ungkapan yang beratatasusila. Selamat pagi dan terima kasih merupakan ungkapan yang bertatasusila.
b. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Non Verbal
Kesantunan berbahasa dari aspek non verbal merujuk kepada semua perlakuan yang tidak menggunakan bahasa lisan untuk menyampaikan mesej yang dapat difahami. Kesantunan non verbal memerlukan peranan bahasa tubuh untuk menyampaikan sesuatu mesej tanpa menggunakan kata-kata. Bahasa tubuh merupakan proses pertukaran fikiran dan idea di mana mesej yang disampaikan adalah melalui isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan dan gerakan tubuh. Aplikasi melalui bahasa tubuh ini dapat menggambarkan emosi, personaliti, tujuan dan status sosial seseorang. Dalam konteks masyarakat Melayu, kesantunan berbahasa dari aspek non verbal dapat dilihat melalui amalan kebudayaan masyarakat Melayu. Misalnya, masyarakat Melayu digalakkan mengutamakan penggunaan tangan kanan untuk melakukan sesuatu perkara yang dianggap mulia. Budaya ini perlu diamalkan dalam kehidupan seharian kerana amalan tersebut merupakan sunnah Rasulullah saw. Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Jika kalian mentaati Rasulullah saw niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan mahupun perbuatan. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan mentaatinya, dan tanpa (mentaatinya) tidak mungkin (akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As Sa’di, hal. 521) Tafsiran tersebut jelas menggambarkan bahawa orang yang mengikuti peribadi Rasulullah, maka dia akan sentiasa berada di landasan yang betul dan mendapat petunjuk daripada Allah. Dalam hal ini, masyarakat Melayu yang mengikuti sunnah Rasulullah secara tidak langsung akan sentiasa mengamalkan akhlak mulia dan berbudi bahasa dalam menjalin hubungan sesama manusia. Contoh amalan penggunaan tangan kanan dalam kalangan masyarakat Melayu dapat dilihat daripada aspek cara pemakanan, iaitu makan menggunakan tangan kanan. Selain itu, masyarakat Melayu juga dididik dan diajar supaya menggunakan anggota badan dengan cara yang sopan. Gerakan anggota badan perlu dijaga supaya tidak menimbulkan sebarang spekulasi terhadap respon yang diberikan. Hal ini demikian kerana gerakan badan juga mencerminkan peribadi seseorang. Bangsa Melayu menggesa masyarakatnya agar tidak menunjukkan sesuatu dengan menggunakan jari telunjuk sebaliknya menggunakan ibu jari. Penggunaan ibu jari dianggap lebih sopan kerana isyarat ini tidak akan mewujudkan salah faham dalam komunikasi non verbal. Contohnya, sekiranya terdapat pelancong yang bertanyakan arah sesuatu jalan, masyarakat Melayu perlulah memberikan bantuan menunjukkan arah yang diminta dengan menggunakan ibu jari. Dengan ini, para pelancong sama ada dari dalam negara mahupun luar negara akan merasa lebih selesa dengan layanan mesra yang diberikan oleh orang Melayu di Malaysia. Kesopanan ini seterusnya akan menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara pusat pelancongan yang terkenal dengan keindahan alam semula jadi serta kekayaan budi pekerti masyarakatnya. Di samping itu, masyarakat melayu juga mengamalkan kebudayaan membongkokkan badan apabila lalu di hadapan orang yang lebih tua daripadanya. Budaya ini melambangkan penghormatan orang muda terhadap orang yang lebih tua. Kebudayaan ini merupakan amalan yang diwarisi secara turun-temurun daripada zaman nenek moyang yang terdahulu. Namun, terdapat segelintir masyarakat Melayu pada masa kini yang kian melupakan amalan tersebut, bahkan ada juga segelintir masyarakat Melayu yang hanya lalu di hadapan orang tua tanpa menunjukkan rasa hormat dan senyuman. Kelunturan amalan kebudayaan masyarakat melayu dipercayai berpunca daripada pengaruh budaya Barat yang mencemarkan pemikiran generasi muda. Cara pemakaian masyarakat Melayu juga merupakan lambang kesopanan masyarakat Melayu. Kesantunan ini dapat dilihat daripada cara pemakaian orang Melayu yang mementingkan penjagaan aurat. Pakaian tradisional orang Melayu adalah baju melayu dan baju kurung. Baju Melayu ialah sejenis kemeja longgar yang dipakai dengan seluar panjang dan digandingkan dengan kain samping yang diikat di bahagian pinggang. pakaian Melayu terdiri daripada dua jenis, iaitu Baju Teluk Belanga dan Baju Cekak Musang. Manakala baju kurung pula ialah sejenis baju longgar yang labuh, kadang kala hingga ke lutut yang dipadankan kain panjang yang berlipat tepi. Baju kurung boleh digandingkan dengan songket atau batik.