Anda di halaman 1dari 10

ADAT DAN KESANTUNAN MELAYU

A. Pengertian Bahasa Melayu


Bahasa Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang
dituturkan di wilayah Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Sbg bahasa yang luas
pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai
bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sbg bahasa Malaysia); bahasa
nasional Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa
Indonesia). Bahasa Melayu adalah lingua franca bagi perdagangan dan hubungan
politik di Nusantara semenjak sekitar A.D 1500-an [1]. Migrasi kemudian juga turut
memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa
Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina
selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, sampai Papua Nugini. Bahasa
ini juga dituturkan oleh warga Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi
ronde Australia.

B. Perkembangan bahasa melayu


Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah
rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur
bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan
bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di
dunia.
Prasasti Telaga Batu, salah satu catatan bahasa Melayu terawal.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuno berasal dari abad ke-7
Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di
bagian selatan Sumatra dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa
Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis
bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai
berasal dari abad ke-18.
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu
tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai
tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran
penduduk dan isolasi, maupun melalui pengkreolan.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu
baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis
dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu
untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di
Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya,
Sumatra, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas
dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan
pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan
penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang
"disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang
lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini
telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga
menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan
istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa
bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-
Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19.
Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda
dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap
penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh
kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet
Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di
sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku
pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan
membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya,
bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini
menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" [9] atau "bahasa Melayu van Ophuijsen".
Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu
dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia juga menjadi penyunting
berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya,
"bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang
pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya
adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan,
"menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu
diangkat menjadi bahasa kebangsaan.
Pengenalan varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu
lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa
Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai
karya fiksi pada dasawarsa-dasawarsa akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa
Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan
penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat
meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang
Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan
bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi semakin populer.

C. Varian-Varian Bahasa Melayu


Bahasa Melayu sangat bervariasi. Penyebab yang utama adalah tidak adanya
institusi yang memiliki kekuatan untuk mengatur pembakuannya. Kerajaan-kerajaan
Melayu hanya memiliki kekuatan regulasi sebatas wilayah kekuasaannya, padahal
bahasa Melayu dipakai oleh orang-orang jauh di luar batas kekuasaan mereka.
Akibatnya muncul berbagai dialek (geografis) maupun sosiolek (dialek sosial).
Pemakaian bahasa ini oleh masyarakat berlatar belakang etnik lain juga
memunculkan berbagai varian kreol di mana-mana, yang masih dipakai hingga
sekarang. Bahasa Betawi, suatu bentuk kreol, bahkan sekarang mulai memengaruhi
secara kuat bahasa Indonesia akibat penggunaannya oleh kalangan muda Jakarta
dan dipakai secara meluas di program-program hiburan televisi nasional.
Ada kesulitan dalam mengelompokkan bahasa-bahasa Melayu. Sebagaimana
beberapa bahasa di Nusantara, tidak ada batas tegas antara satu varian dengan
varian lain yang penuturnya bersebelahan secara geografis. Perubahan dialek
sering kali bersifat bertahap. Untuk kemudahan, biasanya dilakukan pengelompokan
varian sebagai berikut:
a. Bahasa-bahasa Melayu Tempatan (Lokal)
b. Bahasa-bahasa Melayu Kerabat (Paramelayu, Paramalay = Melayu "tidak
penuh")
c. Bahasa-bahasa kreol (bukan suku/penduduk melayu) berdasarkan bahasa
Melayu
Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi
jumlah melampaui jumlah penutur bahasa Melayu di Malaysia maupun di Brunei
Darussalam. Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatra,
Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu,
Lampung hingga pesisir Pulau Kalimantan dan kota Negara, Bali.

Dialek Melayu Indonesia


Dialek Melayu Indonesia di Regional Sumatra
 Dialek Tamiang: dituturkan di kabupaten Aceh Tamiang, Aceh
 Dialek Langkat: dituturkan di kawasan Langkat, Sumatra Utara
 Dialek Deli: dituturkan di Medan, Deli Serdang dan Serdang Bedagai
 Dialek Asahan: dituturkan di sepanjang wilayah pesisir kabupaten Asahan
dan Kabupaten Batubara
 Dialek Kualuh: dituturkan di sepanjang wilayah aliran hulu sampai hilir sungai
Kualuh kabupaten Labuhanbatu Utara
 Dialek Bilah: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Bilah
kabupaten Labuhanbatu
 Dialek Panai: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Barumun
kabupaten Labuhanbatu
 Dialek Kotapinang: dituturkan di sepanjang wilayah aliran sungai Barumun
kabupaten Labuhanbatu Selatan
 Dialek Melayu Riau: dituturkan di kawasan Kepulauan Riau
 Dialek Riau Kepulauan dan beberapa kawasan di Riau Daratan dituturkan
sama seperti Dialek Johor.
 Dialek Melayu Riau Daratan: terbagi atas beberapa dialek lainnya tergantung
wilayah (Siak, Rokan, Inderagiri, Kuantan dan Kampar)
 Dialek Anak Dalam: kemungkinan termasuk kelompok Kubu, Talang Mamak
di kawasan Riau dan Jambi
 Dialek Melayu Jambi: dituturkan di provinsi Jambi
 Dialek Melayu Bengkulu: dituturkan di kota Bengkulu
 Dialek Melayu Palembang: dituturkan di kota Palembang dan Kota Muara
Enim dan sekitarnya
 Dialek Bangka-Belitung: dituturkan di provinsi Bangka-Belitung sedikit
perbedaan antara pengucapan kata sebagai contoh kata "APA-Ind" bangka
menggunakan "APE" seperti mengucapkan kata "PEPES" dan Belitung "APE"
seperti mengucapkan kata "Remang".
Dialek Melayu Indonesia di Regional Kalimantan
 Dialek Melayu Pontianak: dituturkan di kabupaten Pontianak, Kabupaten
Kubu Raya dan kota Pontianak, Kalimantan Barat
 Dialek Melawi (MLW): kabupaten Melawi dan sekitarnya, Kalimantan Barat[11]
 Dialek Landak: kabupaten Landak dan sekitarnya, Kalimantan Barat[12]
 Dialek Melayu Sambas: dituturkan di kabupaten Sambas, Kota Singkawang,
Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya, Kalimantan Barat
 Dialek Melayu Sanggau: dituturkan di kabupaten Sanggau[13]
 Dialek Melayu Sintang: dituturkan di kabupaten Sintang[14]
 Dialek Ketapang: dituturkan di kabupaten Ketapang dan sekitarnya,
Kalimantan Barat terdiri 2 dialek kota Ketapang dan Balai Berkuak. [15][16][17]
 Dialek Berau: dituturkan di kabupaten Berau dan sekitarnya, Kalimantan
Timur
 Dialek Kutai: dipakai di kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur
Dialek Melayu Indonesia Indonesia Timur
 Dialek Loloan: dituturkan di kota Negara, Jembrana, Bali.

Bahasa Melayu Kreol


Bahasa Melayu sudah lama dikenal sebagai bahasa antarsuku bangsa khususnya di
Indonesia. Dalam perkembangannya terutama kawasan-kawasan berpenduduk
bukan Melayu dan mempunyai bahasa masing-masing, bahasa Melayu mengalami
proses pemijinan dengan berbaurnya berbagai unsur bahasa setempat ke dalam
bahasa Melayu dan karena dituturkan oleh anak-anaknya, bahasa Melayu
mengalami proses pengkreolan.[10] Bahasa Melayu, khususnya di Indonesia Timur
diperkenalkan pula oleh para misionaris asal Belanda untuk kepentingan
penyebaran agama Kristen.
Di pulau Jawa, terutama di Jakarta, bahasa Melayu mengalami proses pengkreolan
yang unsur dasar bahasa Melayu Pasar tercampur dengan berbagai bahasa di
sekelilingnya, khususnya bahasa Tionghoa, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa
Bali, bahasa Bugis, bahkan unsur bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Melayu
dalam bentuk kreol ini banyak dijumpai di Kawasan Indonesia Timur yang
terbentang dari Manado hingga Papua.
Bentuk Melayu Kreol tersebut antara lain:
 Dialek Melayu Jakarta bahasa Betawi: dituturkan di Jakarta dan sekitarnya
 Dialek Melayu Indonesia Peranakan: banyak dituturkan oleh kalangan orang
Tionghoa di pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah.
 Dialek Melayu Gorontalo: dipakai sebagai lingua franca di Gorontalo dan
beberapa daerah di sekitar Teluk Tomini.
 Dialek Melayu Manado (bahasa Manado): dipakai sebagai lingua franca di
Sulawesi Utara
 Dialek Melayu Maluku Utara (max): dipakai di hampir seluruh Maluku Utara
 Dialek Melayu Bacan (btj): dipakai di kawasan pulau Bacan, Maluku Utara
 Dialek Melayu Ambon: dipakai sebagai bahasa ibu bagi warga kota Ambon,
dan bahasa kedua bagi warga sekitarnya
 Dialek Melayu Banda: berbeda dengan Melayu Ambon, dan digunakan di
kawasan Kepulauan Banda, Maluku
 Dialek Melayu Larantuka: dipakai di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur
 Dialek Melayu Kupang: menjadi lingua franca di wilayah Kupang dan
sebagian Pulau Timor
 Dialek Melayu Papua: dipakai di Kota Jayapura, Papua.
 Dialek Melayu Makassar (mfp): Sulawesi Selatan

D. Adat Dan Kesantunan Melayu


Terdapat pelbagai takrifan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh negara
mengenai konsep kesantunan berbahasa. Budi bahasa merupakan gabungan
daripada perkataan budi dan bahasa. Budi merupakan perlakuan yang baik
manakala bahasa ialah pertuturan. Gabungan perkataan ini membambawa maksud
percakapan yang baik yang membawa maksud yang sempurna dan menyenangkan,
penuh dengan sifat-sifat menghormati pihak lain, bersopan santun diiringi dengan
akhlak yang mulia. Peribadi seseorang dapat dinilai menerusi bahasanya, kalau
bahasanya santun dan halus, maka dia dikatakan berbudi bahasa, sebaliknya kalau
bahasa yang digunakan itu kasar dan tidak menyenangkan, maka dia dikatakan
kurang ajar
Menurut Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka (2005), santun ialah halus budi
bahasa dan atau budi pekerti, beradab atau sopan. Istlah kesantunan pula
membawa maksud perihal (sifat dsb) santun, kesopanan, kehalusan (budi bahasa
atau budi pekerti).
Awang Sariyan (2007) mendefinisikan kesantunan sebagai penggunaan
bahasa yang baik, sopan, beradap, mamncarkan peribadi mulia dan menunjukkan
penghormatan kepada pihak yang menjadi teman berbicara. Kesantunan merupakan
aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh susuatu masyarakt
sehingga menjadi prasyarat dalam kehidupan bermasyarakat.
 Leech (1983:104) menyatakan bahawa kesantunan berupa perlakuan yang
mewujudkan dan mengekalkan pengiktirafan diri dalam sesuatu interaksi sosial.
Beliau seterusnya berpendapat bahawa kesantunan bukan sekadar bermaksud
berbaik-baik  sahaja tetapi yang penting adalah menjalinkan prinsip kerjasama
dengan menghubungkannya dengan maksud dan kuasa. Hal ini melibatkan
pemilihan strategi untuk mengelakkan konflik.
Menurut dua orang tokoh bahasa yang terkenal, iaitu Brown dan Levinson
(1987:62) mengaitkan kesantunan sebagai usaha untuk mengurangkan Tindakan
Ancaman Muka (TAM) kepada pendengar. Pada merekan, setiap orang mempunyai
kehendak muka yang terbahagi kepada dua, iaitu muka positif dan muka negatif
yang merupakan kehendak masyarakat sejagat. Sehubungan itu, penutur perlu
mengurangkan ancaman muka pendengar dengan memilih strategi kesantunan.
Held (1992:133) mendefinisikan kesantunan sebagai suatu fenomena bahasa
yang boleh dikaji secara emprikal menerusi pemerhatian terhadap komunikasi lisan
yang melibatkan interaksi bersemuka antara penutur dengan pendengar. Lakoff
(1975:64) pula menginterpretasikan kesantunan sebagai perlakuan yang
mengurangkan pergeseran dalam suatu interaksi.
Menurut Asmah Haji Omar (2000:88), kesantunan berbahasa ialah
penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan
dan rasa tersinggung daripada pihak pendengar. Beliau menjelaskan bahawa
penjagaan air muka dalam kalangan orang Melayu bukan setakat menjaga air muka
sendiri malahan turut meliputi air muka keluarga dan masyarakat. Beliau juga telah
membahagikan kesantunan kepada dua aspek, iaitu kesantunan asas dan
kesantunan berkala. Kesantunan asas merujuk kepada kesantunan sedia ada yang
merupakan pedoman bagi masyarakatberhubung antara satau sama lain. Manakala
kesantunan berkala pula merujuk kepada kesantunan yang menggambarkan ucapan
yang dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan antara satu sama lain.
Kesantunan berbahasa merupakan kesopanan dan kehalusan dalam
menggunakan bahasa ketika berkomunikasi sama ada melalui lisan atau
tulisan(Amat Juhar Moain, 1992). Konsep kesantunan  berbahasa merupakan satu
konsep yang berkait rapat dengan aspek bersopan santun dalam berbahasa
terutamanya ketika berkomunikasi dengan orang lain, menyampaikan mesej kepada
audiens dan berinteraksi dengan seseorang. Kesantunan berbahasa merangkumi
aspek pemilihan kata, nada, gerak laku dan gaya.
a. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Verbal
Kesantunan berbahasa dari aspek verbal merujuk kepada semua aspek
komunikasi secara lisan, pertuturan atau percakapan. Contohnya dapat dilihat
melalui media massa seperti radio, televisyen, internet, pengucapan awam dan
ceramah seminar serta ucapan. Kesemua komunikasi ini memerlukan penggunaan
bahasa yang sopan. Kesantunan berbahasa juga dikaitkan dengan penggunaan
bahasa halus termasuklah bahasa istana.
Semasa berkomunikasi, komponen-komponen bahasa seperti fonetik dan
fonologi, semantik, morfologi dan sintaksis digunakan. Fenotik dan fonologi adalah
berkaitan dengan penebutan dan bunyi-bunyi bahasa. Sintaksis merujuk kepada
ayat-ayat yang digunakan secara betul. Morfologi pula berkaitan dengan struktur,
bentuk dan golongan kata. Semantik adalah berkaitan dengan makna kata atau
ayat.
Dalam masyarakat Melayu, kesantunan ini penting bagi melambangkan
kehalusan budi, kesopanan dan tingkah laku penutur dan masyarakat Melayu.
Misalnya, amalan bertanya khabar apabila bertemu dengan sahabat handai atau
memberi salam ketika bertemu dengan orang yang lebih tua merupakan tanda
hormat masyarakat melayu terhadap orang lain.
Aspek kesantunan berbahasa verbal yang perlu dititikberatkan adalah
penggunaan bahasa yang halus. Mengikut Asmah Haji Omar (2000), bahasa halus
disamakan dengan pendidikan yang penuh dengan adab tatatertib.
Orang Melayu amat memandang berat terhadap nilai berbahasa. Nilai terhadap
bahasa menentukan jenisjenis bahasa seperti bahasa halus, bahasa kesat, bahasa
kasar, dan bahasa biadab. Setiap kata ada nilainya. Sehubungan itu, penggunaan
bahasa perlu disesuaikan dengan keadaan, suasana serta golongan, dan peringkat
yang berbeza (Amat Juhari, 2001 :286). Seseorang perlu memahami sebab ia
berkata-kata, apa yang dikatakan, bagaimana mengatakannya, kepada siapa ia
berkata dan semua ini bergantung kepada konteks pertuturan tersebut (Kramsch,
1998:26).
Dalam kesantunan berbahasa, masyarakat Melayu mempunyai sistem sapaan
dan panggilan yang tersendiri. Bahasa lisan atau bertulis haruslah digunakan
dengan sopan santun suoaya tidak dianggap sebagai kurang ajar atau biadap.
Sistem sapaan dan panggilan melibatkan penggabungan gelaran, rujukan hormat
dang anti nama. Kesantunan ini bukan sahaja melibatkan penggunaan bahasa
dalam pertuturan malahan juga dalam bentuk bertulis. Kesantunan berbahasa
memiliki ciri-ciri tertentu. Penggunaan kosa kata dan ganti nama diberi perhatian
khusus agar sesuai dengan kedudukan, pangkat, umur dan keakraban hubungan.
Aspek kesantunan berbahasa dalam masyarakat Melayu dapat dilihat seperti
gambar dia atas.
penggunaan kata sapaan dan gelaran.
 sistem panggilan dalam keluarga
GELARAN HURAIAN
Pak cik Digunakan untuk orang lelaki yang sebaya dengan ayah sendiri
Mak cik Digunakan untuk orang perempuan yang sebaya dengan ibu sendiri
Tok Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang kira-kira sebaya
dengan datuk atau nenek sendiri
Abang Digunakan untuk orang lelaki yang tidak setua ayah sendiri dan juga
tidak sebaya
Kakak Digunakan untuk orang perempuan yang tidak setua ibu sendiri dan juga
tidak sebaya
Adik Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang lebih muda daripada
sendiri
 gelaran pergaulan secara formal
GELARAN HURAIAN
Tuan Digunakan untuk lelaki yang lebih tinggi pangkatnya dan orang
lelaki yang bergelar Haji, Doktor, Profesor atau Syed
Encik Digunakan untuk orang lelaki yang lebih tinggi pangkatnya
Puan Digunakan untuk perempuan yang lebih tinggi pangkatnya
Saudara Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang sebaya atau
lebih muda dan hubungannya belum rapat atau digunakan dalam
rujukan kepada ahli-ahli dalam mesyuarat, perbahasan dan
sebagainya.
Saudari Digunakan untuk perempuan sahaja dalam konteks yang sama
dengan penggunaan gelaran saudara
Tetuan Hanya digunakan dalam surat rasmi yang ditujukan kepada para
pemilik atau pentadbir syarikat perniagaan (termasuk syarikat
guaman)
 gelaran warisan
GELARAN HURAIAN
 Raja (Perak,Selangor), Pangeran,Pangeran Digunakan untuk pemerintah
Anak, Pangeran Muda ( Brunei Darussalam), tertinggi
Tengku (Kelantan)
Megat dan puteri (Perak), Abang (Sarawak), Datu Digunakan untuk keturunan
(Sabah), Wan (Kelantan, Terengganu),Pangeran orang-orang besar
dan Dayangku (Brunei Darussalam), Tan
(Kedah), Tun (Terengganu)
Syed dan Syarifah Digunakan untuk waris
keturunan Nabi Muhammad
saw
 gelaran kurniaan
Gelaran kurniaan adalah seperti Tun, Toh Puan, Puan Sri, Datuk dan Datin Paduka.
Selain itu, pendeta Za’ba merupakan gelaran kurniaan yang diberikan oleh
pertubuhan seperti Kongres Bahasa Melayu Ketiga (1956). Seterusnya, gelaran
Bapa Kemerdekaan pula diberikan kepada Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj.
 kata panggilan dalam majlis rasmi
ORANG YANG DISAPA RUJUKAN HORMAT
Yang di-Pertuan Agong dan Raja Kebawah Duli Yang Maha Mulia Seri
Permaisuri Agong Paduka Baginda
Sultan, Raja, Sultanah, Tengku Ampuan, Duli Yang Maha Mulia
Raja Permaisuri
Perdana Menteri,Timbalan Perdana Yang Amat Berhormat
Menteri, Menteri Besar
Hakim, Kadi Yang Arif
Mufti dan pemimpin Islam Sahibul Sumahah
Ketua Polis Negara Yang Amat Setia
Ketua jabatan tanpa gelaran Yang Berusaha
 Penggunaan kata sesuai daripada Bahasa Arab
Penggunaan kata-kata bahasa Arab yang merupakan kata-kata dalam Al-Quran.
BAHASA BIASA BAHASA BERSANTUN
Saya berpuas hati dengan usaha itu Saya bersyukur dengan usaha itu
Saya berjanji akan membantu saudara Saya berjanji akan membantu saudara.
Insya-Allah
Mendiang Razif pasti gembira atas Allahyarham Razif pasti atas gembira
kejayaan anaknya kejayaan anaknya
 Penggunaan kata ganti nama
Ganti nama diri ialah perkataan yang digunakan untuk merujuk kepada diri
seseorang. Kata ganti nama diri terbahagi kepada tiga iaitu, kata ganti nama diri
pertama(merujuk kepada diri sendiri seperti saya, aku, kita hamba, patik dan beta),
kata ganti nama diri kedua (merujuk kepada pendengar seperti anda, kamu, awak,
tuan hamba) dan kata ganti nama diri yang ketiga(merujuk kepada orang yang
dicakapkan seperti dia, mereka, beliau, nya)  
penggunaan kata dan ungkapan yang beratatasusila.
Selamat pagi dan terima kasih merupakan ungkapan yang bertatasusila.

b. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Non Verbal


Kesantunan berbahasa dari aspek non verbal merujuk kepada semua
perlakuan yang tidak menggunakan bahasa lisan untuk menyampaikan mesej yang
dapat difahami. Kesantunan non verbal memerlukan peranan bahasa tubuh untuk
menyampaikan sesuatu mesej tanpa menggunakan kata-kata. Bahasa tubuh
merupakan proses pertukaran fikiran dan idea di mana mesej yang disampaikan
adalah melalui isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan dan gerakan
tubuh. Aplikasi melalui bahasa tubuh ini dapat menggambarkan emosi, personaliti,
tujuan dan status sosial seseorang.
Dalam konteks masyarakat Melayu, kesantunan berbahasa dari aspek non
verbal dapat dilihat melalui amalan kebudayaan masyarakat Melayu. Misalnya,
masyarakat Melayu digalakkan mengutamakan penggunaan tangan kanan untuk
melakukan sesuatu perkara yang dianggap mulia. Budaya ini perlu diamalkan dalam
kehidupan seharian kerana amalan tersebut merupakan sunnah Rasulullah saw.
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Jika kalian mentaati
Rasulullah saw niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus,
baik ucapan mahupun perbuatan. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan
hidayah melainkan dengan mentaatinya, dan tanpa (mentaatinya) tidak mungkin
(akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As Sa’di, hal. 521)
Tafsiran tersebut jelas menggambarkan bahawa orang yang mengikuti
peribadi Rasulullah, maka dia akan sentiasa berada di landasan yang betul dan
mendapat petunjuk daripada Allah. Dalam hal ini, masyarakat Melayu yang
mengikuti sunnah Rasulullah secara tidak langsung akan sentiasa mengamalkan
akhlak mulia dan berbudi bahasa dalam menjalin hubungan sesama manusia.
Contoh amalan penggunaan tangan kanan dalam kalangan masyarakat Melayu
dapat dilihat daripada aspek cara pemakanan, iaitu makan menggunakan tangan
kanan.
Selain itu, masyarakat Melayu juga dididik dan diajar supaya menggunakan
anggota badan dengan cara yang sopan. Gerakan anggota badan perlu dijaga
supaya tidak menimbulkan sebarang spekulasi terhadap respon yang diberikan. Hal
ini demikian kerana gerakan badan juga mencerminkan peribadi seseorang.
Bangsa Melayu menggesa masyarakatnya agar tidak menunjukkan sesuatu
dengan menggunakan jari telunjuk sebaliknya menggunakan ibu jari. Penggunaan
ibu jari dianggap lebih sopan kerana isyarat ini tidak akan mewujudkan salah faham
dalam komunikasi non verbal. Contohnya, sekiranya terdapat pelancong yang
bertanyakan arah sesuatu jalan, masyarakat Melayu perlulah memberikan bantuan
menunjukkan arah yang diminta dengan menggunakan ibu jari. Dengan ini, para
pelancong sama ada dari dalam negara mahupun luar negara akan merasa lebih
selesa dengan layanan mesra yang diberikan oleh orang Melayu di Malaysia.
Kesopanan ini seterusnya akan menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara pusat
pelancongan yang terkenal dengan keindahan alam semula jadi serta kekayaan budi
pekerti masyarakatnya.
Di samping itu, masyarakat melayu juga mengamalkan kebudayaan
membongkokkan badan apabila lalu di hadapan orang yang lebih tua daripadanya.
Budaya ini melambangkan penghormatan orang muda terhadap orang yang lebih
tua. Kebudayaan ini merupakan amalan yang diwarisi secara turun-temurun
daripada zaman nenek moyang yang terdahulu. Namun, terdapat segelintir
masyarakat Melayu pada masa kini yang kian melupakan amalan tersebut, bahkan
ada juga segelintir masyarakat Melayu yang hanya lalu di hadapan orang tua tanpa
menunjukkan rasa hormat dan senyuman. Kelunturan amalan kebudayaan
masyarakat melayu dipercayai berpunca daripada pengaruh budaya Barat yang
mencemarkan pemikiran generasi muda.
Cara pemakaian masyarakat Melayu juga merupakan lambang kesopanan
masyarakat Melayu. Kesantunan ini dapat dilihat daripada cara pemakaian orang
Melayu yang mementingkan penjagaan aurat. Pakaian tradisional orang Melayu
adalah baju melayu dan baju kurung.  Baju Melayu ialah sejenis kemeja longgar
yang dipakai dengan seluar panjang dan digandingkan dengan kain samping yang
diikat di bahagian pinggang. pakaian Melayu terdiri daripada dua jenis, iaitu Baju
Teluk Belanga dan Baju Cekak Musang. Manakala baju kurung pula ialah sejenis
baju longgar yang labuh, kadang kala hingga ke lutut yang dipadankan kain panjang
yang berlipat tepi. Baju kurung boleh digandingkan dengan songket atau batik.

Anda mungkin juga menyukai