Anda di halaman 1dari 12

MASLAHAH MURSALAH

SEBAGAI DALIL HUKUM

Imron Rosyadi
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448,
e-mail: imronkham40@yahoo.co.id

ABSTRAK

Maslahah mursalah merupakan dalil hukum untuk menetapkan


hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak
disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Tulisan
singkat ini menjelaskan bahwa menurut penulis maslahah mursalah
adalah salah satu dalil hukum Islam untuk menetapkan hukum baru
yang belum ada konfirmasinya di dalam sumber hukum Islam, yaitu
al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah, baik diterima maupun ditolak.
Dalam studi usul fikih, maslahah mursalah sebagai dalil hukum ini
digagas oleh Imam Malik. Para ahli usul fikih masih berbeda pendapat
tentang kehujahan maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Secara
umum, pengguna maslahah mursalah ini adalah ahli usul fikih dari
kalangan mazhab Maliki dan ahli usul lainnya yang menganggap baik
untuk digunakan dalam memecahkan problem umat akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Kata Kunci: maslahah mursalah, usul fikih.

Pendahuluan dengan sumber hukum Islam. Menurut


Dalam studi usul fikih dikenal dua Amir Syarifuddin, kedua istilah ini memiliki
istilah, yaitu pertama, al-adillah asy- makna yang tidak sinonim. Sumber hukum
syar‘iyyah yang diterjemahkan ke dalam memiliki makna suatu wadah yang dari
bahasa Indonesia dengan dalil hukum, dan padanya ditemukan dan ditimba norma
kedua, macâdir al-ahkâm yang diterje- hukum. Sedangkan dalil hukum memiliki
mahkan ke dalam bahasa Indonesia makna sesuatu yang menunjuki dan

14 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


membawa kita dalam menemukan hukum. hukum baru yang belum ada konfirmasi-
Berdasarkan pengertian ini, Amir Syari- nya di dalam al-Quran dan as-Sunnah
fuddin menyimpulkan bahwa sumber al-Maqbûlah tersebut, para ulama usul
hukum itu hanya al-Quran dan as-Sunnah fikih menetapkannya dengan maslahah
al-Maqbûlah, sedangkan dalil hukum itu mursalah sebagai salah satu dalil hukum
bisa al-Quran, as-Sunnah al-Maqbûlah, untuk penetapan hukum meskipun
qiyâs, ijma‘, maslahah mursalah, sebagian ulama ada yang menolak
isti%sân, syar‘un man qablana, `urf keabsahannya. Dengan kata lain, para
dan seterusnya.1 ulama usul fikih belum bersepakat secara
Dalam studi ilmu usul fikih, bulat keabsahan maslahah mursalah
maslahah mursalah merupakan dalil sebagai teknik penetapan hukum (al-
hukum untuk menetapkan hukum atas adillah al-mukhtalaf fîhâ). Tulisan
persoalan-persoalan baru2 yang secara singkat ini mencoba menjelaskan masla-
eksplisit tidak disebutkan di dalam al- hah mursalah sebagai dalil hukum Islam.
Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah,3
baik diterima maupun ditolak. Secara Pengertian Maslahah Mursalah
embrional, gagasan maslahah mursalah Menelusuri makna maslahah
sebagai dalil hukum ini muncul setelah mursalah harus diawali dari pelacakan
wafatnya Nabi Muhammad saw. Dengan makna secara etimologis (lugatan) atas
wafatnya Nabi, secara serta merta wahyu kata tersebut. Maslahah ah mursalah
telah berhenti dan sekaligus sunnah Nabi terdiri dari dua kata, yaitu kata maslahah
sebagai rujukan setelah al-Quran telah dan mursalah. Secara etimologis, kata
berakhir pula. Pada saat yang sama maslahah merupakan bentuk masdar
permasalahan terus muncul seiring (adverb) yang berasal dari fi‘l (verb),
dengan perjalanan waktu yang terus yaitu saluha. Dilihat dari bentuk-nya, di
bergulir. Ketika Nabi masih hidup, segala samping kata maslahah merupa-kan
permasalahan yang muncul dapat bentuk adverb, ia juga merupakan
dikonfirmasikan kepada Nabi. bentuk ism (kata benda) tunggal
Untuk menetapkan permasalahan (mufrad, singular) dari kata masâlih

1
Lihat, Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya,
1990), hlm. 20-21.
2
Di samping melalui maslahah mursalah, menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru dapat
melalui qiyâs, isti%sân, sad a¿-¿arî‘ah. Husain Hamid Hassan, Na“ariyyat al-Maslahah fî al-Fiqh al-
Islâmî (al-Qâhirah: Dâr an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971), ma’-nûn (Ø-ä).
3
Pada awalnya, Muhammadiyah menggunakan istilah al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah untuk
menyebut sumber hukum Islam. Pada tahun 1989, istilah as-Sunnah ash-Shahihah diganti dengan as-
Sunnah al-Maqbûlah. Revisi atas istilah ini memiliki maksud bahwa as-Sunnah al-Maqbûlah mencakup
hadis mutawatir, sahih dan hasan. Istilah as-Sunnah al-Maqbûlah diputuskan pada Munas Majlis
Tarjih ke-XXIV di Malang, tahun 1989.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 15


(jama‘, plural).4 Kata maslahah ini (saluha) yang memiliki arti manfaat.
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia Contoh dari makna majâzî ini, misalnya
menjadi maslahat, begitu juga kata mencari ilmu. Dengan ilmu akan
manfaat dan faedah. mengakibatkan kemanfaatan. Contoh
Dalam Kamus Besar Bahasa lainnya, misalnya, bercocok tanam dan
Indonesia, dibedakan antara kata perdagangan, dengan melakukan ini
maslahat dengan kemaslahatan. Kata semua, akan diperoleh manfaat, yaitu
maslahat diartikan dengan sesuatu yang diperoleh kepemilikan harta. Makna
mendatangkan kebaikan, faedah dan maslahah seperti ini merupakan lawan
guna. Sedangkan kata kemaslahatan dari mafsadah karena itu, keduanya
mempunyai makna kegunaan, kebaikan, tidak mungkin dapat bertemu dalam suatu
manfaat, kepentingan. Dari sini dengan perbuatan. Makna maslahah secara
jelas bahwa Kamus Besar Bahasa majâzî ini secara jelas dapat ditemukan
Indonesia melihat bahwa kata maslahat dalam kitab-kitab ma‘âjim al-lugah,
dimasukkan sebagai kata dasar, sedang- sepeti kamus al-Muhît dan al-Misbâh
kan kata kemaslahatan dimasukkan al-Munîr.7
sebagai kata benda jadian yang berasal Sedangkan yang dimaksud dengan
dari kata maslahat yang mendapatkan makna maslahah secara haqîqî adalah
awalan ke dan akhiran an.5 maslahah yang secara lafaz memiliki
Secara etimologis, kata maslahah makna al-manfa‘ah. Makna seperti ini
memiliki arti: manfa‘ah, faedah, bagus, berbeda dengan makna majâzî. Makna
baik (kebaikan), guna (kegunaan).6 seperti ini dapat dilihat dalam mu‘jam
Menurut Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, dalam al-Wasît, bahwa al-maslahah as-salah
bukunya al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy- wa an-naf‘. Kalau saluha, kata al-‘Âlim
Syarî‘ah al-Islâmiyyah menyatakan pasti hilang kerusakan karena itu, kata
bahwa maslahah itu memiliki dua arti, saluha asy-syai’ itu artinya ia bermanfaat
yaitu arti majâzî dan haqîqî. Yang atau sesuai (munâsib). Berdasarkan
dimaksud dengan makna majâzî di sini, makna ini, al-‘Âlim memberikan contoh,
kata al-‘Âlim, adalah suatu perbuatan misalnya, pena itu memiliki kemaslahatan
(al-fi‘l) yang di dalamnya ada kebaikan untuk penulisan. Oleh karena itu, al-

4
Ibn al-Manzûr, Lisân al-‘Arab al-Muhît (Beirut: Dâr al-Fikr, 1972), Juz II, hlm. 348;
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), cet. Ke-2, hlm. 634.
6
Al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001),
hlm. 27.
7
Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Herndon Virgina:
The Internasional Institute of Islamic Thought, 1991), hlm. 132.

16 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


maslahah dalam pengertian majâzî Raisûnî dalam bukunya Nazariyah al-
adalah kepastian manusia mengambil Maqâsid ‘inda al-Imâm asy-Syâtibî
manfaat dari apa yang dilakukan. mencoba memperjelas manfaat ini dari
Sedangkan al-maslahah dalam pengerti- ungkapan kemanfaatan. Menurutnya,
an haqîqî adalah di dalam perbuatan itu makna maslahah itu adalah mendatang-
sendiri mengandung manfaat.8 Di sini al- kan manfaat atau menghindari ke-
‘Âlim tidak menjelaskan cara memper- mudaratan. Sedangkan yang dimaksud
oleh manfaat itu seperti apa dan bagai- dengan manfaat di sini adalah ungkapan
mana. kenikmatan atau apa saja jalan menuju
Taufîq Yûsuf al-Wâ‘î, dalam salah kepada kenikmatan. Adapun yang
satu bukunya menyebutkan bahwa setiap dimaksudkan dengan kemudaratan
sesuatu yang di dalamnya ada manfaat, adalah ungkapan rasa sakit atau apa saja
baik diperoleh dengan cara mencari jalan menuju kepada kesakitan.11 Ibn
faedah-faedah atau kenikmatan-ke- `Abd as-Salâm, kata Ahmad ar-Raisûnî,
nikmatan maupun dengan cara meng- membagi maslahah ada empat, yaitu
hindari atau menarik diri dari kerusakan, kenikmatan, sebab-sebab kenikmatan,
semua itu dapat dikategorikan sebagai kebahagiaan dan sebab-sebab yang
maslahah. Berdasarkan penelusuran ini, membuat kebahagiaan.12
maka dapat disimpulkan bahwa secara Menurut ar-Râzî, dalam bukunya
bahasa, makna maslahah adalah setiap Muhtâr as-Sihhah, menjelaskan bahwa
kebaikan (al-khair) dan manfaat (al- makna al-salâh adalah lawan dari al-
manfa‘ah).9 fasâd. Berangkat dari makna ini, ar-Râzi
Husain Hamîd Hassan, dalam berkesimpulan bahwa mencari mas-
bukunya Nazariyyah al-Maslahah, lahah adalah suatu tindakan yang
berpendapat bahwa maslahah, dilihat kebalikan dari mendapatkan kerusakan
dari sisi lafaz maupun makna itu identik atau keburukan.13 Begitu juga al-Jauharî,
dengan kata manfaat atau suatu pekerja- dalam bakunya Taj al-Lugah, ia meng-
an yang di dalamnya mengandung atau artikan kata as-salâh sebagai lawan dari
mendatangkan manfaat.10 Ahmad ar- kata al-fasâd.14 Sedangkan al-Fayûmî,

8
Ibid., hlm. 134.
9
Taufîq Yûsuf al-Wâ‘î, al-Bid`ah wa al-Maslahah al-Mursalah: Bayanuhâ, Ta’siluhâ wa Aqwâl al-
Ulamâ fîhâ (Kuwait: Maktabah Dâr at-Turâœ, t.t), hlm. 241.
10
Husain Hamîd Hassan, Nazariyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1971), hlm. 3-4.
11
Ahmad ar-Raisûnî, Nazariyah al-Maqâsid ‘inda al-Imâm asy-Syâtibî (Herndon: ad-Dâr al-‘Âlamî
li al-Fikr al-Islâmîy, 1995), hlm. 256.
12
Ibid.
13
ar-Râzî, Mukhtâr as-Sihhah (Beirut: t.t., 1952), hlm. 75.
14
al-Jauharî, Taj al-Lugah (Beirut: t.t., 1964), hlm. 184.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 17


dalam bukunya al-Misbâh al-Munîr, masâlih (jama`, plural dari kata
memberikan arti al-salâh adalah al- maslahah) mengkaitkan dengan lawan
khair (kebaikan) dan as-sawâb kata (opposite) dari al-masâlih, yaitu al-
(kebenaran). Berdasarkan makna ini, mafâsid (jama`, plural dari kata
kata al-Fayûmî, kalau ada ungkapan fî mafsadah). Menurutnya, yang dimaksud
al-amri maslahah, maka ungkapan ini dengan al-masâlih itu adalah al-khair
artinya sesuatu itu memiliki al-khair (baik), al-naf` (manfaat), al-hasanât
(kebaikan).15 Melalui penelusuran makna (bagus), sedangkan yang dimaksudkan
yang diungkapkan oleh beberapa tokoh dengan mafâsid itu semuanya adalah
ini, dapat disimpulkan bahwa makna al- syurûr (buruk), madarah (bahaya), dan
salâh itu identik dengan manfaat, sayyiât (jelek). Dalam al-Quran, kata
kebaikan dan kebenaran. Kalau dikait- ‘Izzu ad-Dîn lebih lanjut, sering peng-
kan dengan tujuan hukum Islam, maka gunaan kata al-hasanât dimaksudkan
manfaat, kebaikan dan kebenaran di sini dengan al-masâlih, sedangkan peng-
adalah untuk manusia, baik secara gunaan kata sayyiât dimaksudkan
langsung maupun tidak langsung, baik di dengan kata al-mafâsid.18.
dunia maupun di akherat.16
Al-Bûtî, dalam bukunya, Dawâbit Kehujahan Maslahah Mursalah
al-Maslahah fî asy-Syarî‘ah al- sebagai Dalil Hukum
Islâmiyyah, mengartikan maslahah Selanjutnya, ada empat macam
sama dengan manfaat yang dapat kandungan makna kata al-masâlih, yaitu
membuat kesenangan, atau suatu tindak- kelezatan, hal-hal yang membuat ke-
an yang bisa mencegah dengan akibat lezatan, kesenangan dan hal-hal yang
(hasil) dapat memberikan manfaat membuat kesenangan, begitu juga
kesenangan. Kesenangan ini, kata al- dengan kata al-mafâsid di dalamnya
Bûtî, dapat dirasakan langsung. Sebab, mengandung empat makna, yaitu rasa
kesenangan itu merupakan fitrah yang sakit, hal-hal yang menyebabkannya,
selalu dicari setiap manusia, karena itu, rasa sedih dan hal-hal yang menyebab-
manusia akan selalu berupaya untuk kannya. Yang dimaksud dengan sebab-
mencari kesenangan ini.17 sebab kelezatan dan kesenangan di sini
‘Izzu ad-Dîn b ‘Abd as-Salâm (w. adalah suatu perbuatan yang implikasi-
660), ketika menjelaskan makna al- nya memberikan manfaat dan kebaikan

15
al-Fayûmî, al-Misbâh al-Munîr (Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî, 1950), Juz I, hlm. 157.
16
Ahmad ar-Raisûnî, Nazariyah al-Maqâsid, hlm. 256.
17
Al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, hlm. 28-29.
18
‘Izzu ad-Dîn b `Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât
al-Azhariyyah, 1994), Juz I, hlm. 5. Bandingkan dengan Yûsuf Hâmid al-‘Âlîm, al-Maqâsid al-`Ammah
li asy-Syarî`ah al-Islâmiyyah (Herndon: The Internasional Institute of Islamic Thought, 1991), hlm. 136.

18 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


kepada pelakunya atau orang lain, begitu dan harta. Kelima hal ini sering disebut
juga yang dimaksud dengan sebab-sebab dengan al-maslahah al-kham-sah.
rasa sakit dan sedih dalam kandungan Dengan kata lain, kelima hal (al-
kata al-mafâsid adalah suatu perbuatan maslahah al-khamsah) ini peringkatnya
yang implikasinya membuat pelakunya ada yang darûriyyah, hâjiyah dan
atau orang lain merasakan rasa sakit dan tahsîniyyah untuk memenuhi kebutuhan
sedih.19 manusia dalam menjalani kehidupan di
Dalam kajian usul fikih, makna dunia ini, baik sebagai ‘abd maupun
maslahah secara istilah bisa dilihat dari sebagai khalîfah Allâh fî al-ard.
berbagai segi.20 Pertama, dilihat dari segi Kedua, dilihat dari segi kandungan
kepentingan atau kebutuhan, maslahah maslahah. Dilihat dari segi ini, maslahah
dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu dibagi menjadi maslahah ‘ammah,
maslahah darûriyyah, maslahah maslahah khassah. Yang dimaksud
hâjiyah dan maslahah tahsîniyyah. dengan maslahah ‘ammah adalah
Yang dimaksud dengan maslahah kemaslahatan umum yang menyangkut
darûriyyah adalah kemaslahatan yang kepentingan orang banyak atau ke-
berhubungan dengan kebutuhan pokok banyakan (mayoritas) orang. Sedangkan
manusia di dunia dan di akhirat yang maslahah khassah adalah kemaslahatan
harus menjadi perioritas utama. Adapun pribadi dan ini sangat jarang sekali. Bila
yang dimaksudkan dengan maslahah terjadi pertentangan antara kemaslahatan
hâjiyah adalah kemaslahatan yang umum dengan kemaslahatan pribadi,
dibutuhkan untuk menyempurnakan maka yang didahulukan adalah ke-
kebutuhan pokok. Sedangkan mas- maslahatan umum.
lahah tahsîniyyah adalah kemaslahatan Ketiga, dilihat dari segi berubah
yang sifatnya pelengkap. Dalam imple- dan tidaknya, maslahah dibagi menjadi
mentasinya ketiga macam kebutuhan ini dua bentuk, yaitu maslahah ωbitah
merupakan tingkatan secara hirarkhis. dan maslahah mutagayyarah. Yang
Artinya, kebutuhan atau kepentingan dimaksud dengan maslahah ωbitah
darûriyyah diperioritaskan lebih dahulu adalah kemaslahatan yang bersifat tetap,
dari hâjiyah dan tahsîniyyah, begitu tidak berubah sampai akhir zaman. Untuk
juga hâjiyah lebih diperioritaskan dari kemaslahatan ini dapat diberikan contoh,
tahsîniyyah. Dalam studi usul fikih, misalnya, kewajiban salat, puasa, zakat
ketiga kemaslahatan tersebut selalui dan haji. Adapun yang dimaksud dengan
dikaitkan dengan lima hal, yaitu maslahah mutagayyarah adalah ke-
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan maslahatan yang berubah-ubah sesuai
19
‘Izzu ad-Dîn b `Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm, hlm. 11-12. Bandingkan dengan Yûsuf Hâmid
al-‘Âlîm, al-Maqâsid al-‘Âmmah, hlm. 136.
20
Ibid., 149. Bandingkan dengan Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1996), hlm.115-118.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 19


dengan perubahan tempat, waktu dan pelaku daripada hukuman memerdeka-
subjek hukum. Kemaslahatan ini ber- kan budak karena ia memang orang
kaitan dengan bidang muamalah dan adat kaya. Dengan hukuman ini ia akan jera
istiadat. Dalam studi usul fikih, pembagian dan dikemudian hari tidak akan melaku-
seperti ini dimaksudkan untuk mem- kan lagi karena beratnya hukuman. Tetapi
perjelas batasan kemaslahatan mana kalalu diterapkan sesuai hadis Nabi, yaitu
yang bisa berubah dan yang tidak. memerdekakan budak maka ia akan
Keempat, dilihat dari segi ke- mudah melaksanakan hukuman itu
beradaannya dihubungkan dengan karena ia kaya sehingga dengan hukuman
didukung dan tidaknya, maslahah dibagi ini ia ada kemungkinan melakukan ulang
menjadi tiga, yaitu maslahah mu‘ta- karena ringannya hukuman bagi dirinya.
barah, maslahah mulgah dan mas- Adapun yang dimaksud dengan mas-
lahah mursalah. Yang dimaksud dengan lahah mursalah adalah kemaslahatan
maslahah mu‘tabarah adalah ke- yang keberdaannya tidak disebutkan atau
maslahatan yang didukung oleh dalil didukung oleh dalil tetapi juga keberada-
secara eksplisit, baik al-Quran, al- annya tidak ditolak oleh dalil. Penjelasan
Sunnah al-Maqbûlah maupun ijma‘. yang rinci tentang hal ini akan diuraikan
Artinya, sumber kemaslahatan seperti ini, pada bahasan-bahasan berikutnya.
baik bentuk maupun jenisnya disebutkan Adapun kata mursalah, secara
secara jelas di dalam sumber utama etimologis adalah bentuk ism maf‘ûl
ajaran Islam tersebut. Contoh untuk yang berasal dari kata kerja (fi‘l, verb)
maslahah mu‘tabarah ini adalah larang- arsala dengan mengikuti wazan af‘ala.
an minuman keras merupakan bentuk Kata arsala-yursilu irsâl, secara bahasa
kemaslahatan untuk memelihara akal. memiliki makna asy-syâ‘iah, al-
Sedangkan yang dimaksud dengan mutlaqah, sesuatu yang terlepas.21 Yang
maslahah mulgah adalah kemaslahatan dimaksud dengan mursalah dalam
yang keberadaannya ditolak oleh syara‘ konteks ini adalah terlepas dari dalil.
disebabkan bertentangan dengan ajaran Yang dimaksud dengan dalil di sini adalah
Islam. Contoh untuk kemaslahatan ini dalil khusus.22 Bila digabungkan dengan
adalah hukuman berpuasa dua bulan kata maslahah, maka disimpulkan
berturut-turut bagi orang yang melakukan bahwa maslahah mursalah itu maksud-
hubungan seksual antara suami istri pada nya adalah adanya maslahah dalam
bulan Ramadan di siang hari. Hukuman suatu perbuatan atau benda yang adanya
ini diterapkan karena lebih maslahat bagi tidak didasarkan pada dalil atau nas
21
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: tp, tt), hlm. 532.
22
At-Tayyib as-Sanûsî Ahmad, al-Istiqrâ’ wa Aœaruh fî al-Qawâ‘id al-Usûliyyah wa al-Fiqhiyyah:
Dirâsah Nazariyyah Tatbîqiyyah (al-Mamlakah al-`Arabiyyah as-Sa‘ûdiyyah: Dâr at-Tadmûriyyah,
2008), hlm. 532-533.

20 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


tertentu dalam penentuan maslahahnya mursal 24 dan istidlâl sahih.25 Dari
bagi manusia, baik yang membenarkan istilah-istilah ini, yang paling sering
atau yang membatalkannya. digunakan atau populer adalah mas-
Menurut At-Tayyib as-Sanûsî lahah mursalah. Menurut penelusuran
Ahmad, sejak zaman sahabat, maslahah Ahmad Munif, di kalnagan mazhab
mursalah telah dijadikan sebagai dalil Syâfi‘î, istilah maslahah mursalah ini
untuk menetapkan suatu masalah yang dipopulerkan oleh ulama usul fikih dari
terjadi pada waktu itu, sementara kalangan mazhab syafi`i, terutama al-
Rasulullah telah wafat. Contoh masalah Ghazali. Sebab, di antara ulama usul fikih
yang ditetapkan berdasarkan metode Syâfi‘iyah, al-Ghazali merupakan salah
maslahah mursalah, misalnya, pengum- satu ulama yang sering memper-
pulan al-Quran ke dalam satu mushaf bincangkannya.26
pada zaman Abû Bakar dan ‘Uœmân. Istilah maslahah mursalah yang
‘Umar b Khattab diketika menjadi awalnya digagas oleh Mâlik ini, di
khalifah, juga menjadikan penjara kalangan mazhab Syâfi‘î atau mazhab
sebagai alat untuk menghukum para lainnya, pembahasannya biasanya
kriminal, di mana cara seperti ini belum bergandengan dengan sistematisasi
pernah diterapkan oleh Rasulullah saw. pembagian maslahah menjadi tiga,
Bahkan ‘Uœmân yang menjadikan dua pertama, maslahah mu`tabarah, yaitu
azan pada hari jum`at merupakan contoh maslahah yang keberadaanya didasar-
penggunaan maslahah mursalah kan kepada dalil nas, baik al-Quran
sebagai dalil hukum menetapkan suatu maupun as-Sunnah al-Maqbûlah.
masalah yang dihadapi oleh mereka. Artinya, semua hukum yang disebutkan
Begitu juga ketentuan hukuman cambuk oleh nas disebut dengan maslahah
80 kali bagi peminum, penetapan mu`tabarah. Contoh maslahah mu‘ta-
penanggalan tahun Islam dimulai dari barah ini, misalnya, larangan membunuh,
hijrah Nabi ke Madinah merupakan mencuri, berzina, berjudi dan sebagainya.
contoh penetapan dengan memakai Kalau ada hukum baru, maka hukum
metode maslahah mursalah.23 baru ini dapat diputuskan dengan jalan
Dalam kajian usul fikih, sebagai menganalogikan dengan maslahah yang
sebuah istilah, maslahah mursalah ada ketentuannya di dalam al-Quran dan
memiliki padanan penyebutan dengan as-Sunnah al-Maqbûlah. Metode
munâsib mursal, istislâh, istidlâl memutuskan masalah baru seperti ini,

23
Ibid., hlm. 535-536.
24
Al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, hlm. 287.
25
Istilah ini dipakai oleh al-Ghazali.
26
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),
hlm. 63.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 21


dalam kajian usul fikih disebut dengan menghindari “kemudaratan bagi petani”
qiyâs. Kedua, maslahah mulgah, yaitu dengan terjadinya penipuan harga oleh
menentukan maslahah yang berten- para pedagang yang membeli barang
tangan dengan nas. Maslahah seperti ini petani tersebut di batas kota. Meng-
ditolak oleh ulama usul fikih untuk hindari kemudaratan seperti ini merupa-
dipegangi atau dijadikan sebagai dasar kan tujuan hukum Islam. Larangan seperti
dalam memutuskan hukum baru. Ketiga, ini dapat dianalogikan dengan keharusan
maslahah mursalah, yaitu maslahah membongkar dinding di pinggir jalan yang
yang tidak disebutkan di dalam nas tetapi sudah miring sebab kalau dinding itu
nas tidak membenarkan atau meno- roboh akan menimpa banyak orang. Jadi,
laknya.27 maslahah mursalah dapat dilakukan
Para ulama belum secara bulat dengan cara analogi. Dengan kata lain,
tentang kehujjahan maslahah mursalah ulama Hânafiyah menerima maslahah
sebagai metode untuk menetapkan suatu mursalah sebagai dalil dalam menetap-
hukum untuk kasus-kasus yang secara kan hukum dengan syarat sifat ke-
eksplisit tidak disebutkan di dalam nas. maslahatan itu terdapat dalam nas atau
Menurut ulama Hânafiyah,28 maslahah ijma‘ dan jenis sifat kemaslahatan itu
mursalah dapat dijadikan sebagai sama dengan jenis sifat yang didukung
metode untuk menetapkan hukum baru oleh nas atau ijma‘. Penerapan
dengan syarat didukung oleh ayat, hadis maslahah mursalah di kalangan ulama
atau ijma‘ yang menunjukkan bahwa sifat Hânafiyah ini disebut juga dengan
yang dianggap sebagai kemaslahatan itu istihsân.
merupakan ‘illat (motivasi hukum) Ulama Mâlikiyah29 dan Hanâ-
dalam penetapan suatu hukum, atau jenis bilah30 termasuk golongan yang menerima
sifat yang menjadi motivasi hukum maslahah mursalah sebagai dalil untuk
tersebut dipergunakan oleh nas sebagai menetapkan suatu hukum baru yang
motivasi suatu hukum. secara eksplisit tidak disebutkan pen-
Ulama Hânafiyah memberikan jelasan hukumnya di dalam al-Quran dan
contoh tentang larangan Rasulullah bagi al-Maqbûlah. Alasan penerimaan ini
pedagang yang menghambat para petani karena dalam pandangan mereka,
di perbatasan kota dengan maksud untuk maslahah mursalah dianggap merupa-
membeli barang mereka sebelum para kan induksi dari logika sekumpulan nas,
petani itu memasuki pasar. Larangan ini bahkan Asy-Syâtibî, mengatakan bahwa
berisi motivasi hukum, yaitu untuk maslahah mursalah sebagai metode itu
27
Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), hlm. 251.
28
Ibn Amîr al-Haj, at-Taqrîr wa at-Tahrîr (Mesir: al-Matba‘ah al-Amîriyah, 1316 H), hlm. 150.
29
Ibn Hâjib, Mukhtasar al-Muntahâ (Mesir: al-Matba‘ah al-Amîriyah, 1328 H), hlm. 240.
30
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘I‘lâm al-Muwâqi‘in, Jilid III, hlm. 14.

22 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


bersifat qat‘i sekalipun dalam penerapan- Haramain juga berpendapat bahwa
nya bisa bersifat zannî.31 maslahah mursalah dapat diterima
Dalam menyikapi maslahah sebagai dalil hukum, hanya saja al-
mursalah ini, mengutip Taufîq Yûsuf al- Haramain memberikan catatan masalah
Wâ‘î, bahwa terdapat empat kelompok, yang diputuskan dengan maslahah
yaitu kelompok pertama yang menolak mursalah itu sesuai dengan maslahah
eksistensi maslahah mursalah. mu‘tabarah. Pendapat ketiga disuara-
Kelompok pertama ini diwakili oleh al- kan oleh al-Ghazali dan al-Baidâwî,
Qâdî dan sebagian ulama usul fikih. bahwa maslahah mursalah itu hanya
Kelompok kedua, menerima secara digunakan dalam masalah yang darurî,
mutlak eksistensi maslahah mursalah. selain itu tidak dapat digunakan dengan
Kelompok kedua ini dimotori oleh Mâlik. maslahah mursalah.33
Kelompok ketiga, dapat menerima Menurut asy-Syaukânî (1250 H),
eksistensi maslahah mursalah dengan seperti dikutip oleh Taufîq, ada empat
syarat. Kelompok ketiga ini dipegangi kelompok dalam menanggapi eksistensi
oleh al-Juwaini. Kelompok keempat maslahah mursalah sebagai dalil.
adalah dimotori oleh al-Ghazali, yang Kelompok pertama, kata asy-Syaukânî,
menerima eksistensi maslahah mursalah adalah kelompok yang berpendapat
hanya pada persoalan yang sifatnya bahwa maslahah mursalah sama sekali
darûrî.32 tidak bisa dipakai sebagai dalil.
Berbeda dengan Taufîq Yûsuf al- Kelompok ini merupakan pendapat
Wâ‘î, menurut al-Isnawî asy-Syâfi‘î (w. jumhur. Kelompok kedua, menurut asy-
772 H), bahwa ada tiga pendapat Syaukânî, adalah kelompok yang ber-
tentang maslahah mursalah ini. pandangan bahwa maslahah mursalah
Pendapat pertama mengatakan bahwa dapat dijadikan sebagai dalil secara
maslahah mursalah tidak dapat mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh
diterima sebagai dalil untuk menyimpul- Mâlik. Menurut al-Juwaini dalam buku-
kan hukum atas suatu masalah. Pendapat nya al-Burhân, ia mengatakan bahwa
ini dikemukakan oleh Ibn al-Hâjib dan maslahah mursalah itu memang pen-
al-Âmidî. Pendapat kedua dikemukakan dapatnya Mâlik. asy-Syâfi‘î dalam qaul
oleh Mâlik, bahwa maslahah mursalah qadimnya juga berpendapat demikian,
dapat dijadikan sebagai dalil. Menurut seperti Mâlik.
informasi Ibn Hâjib, asy-Syâfi‘î juga Penisbatan kepada Mâlik ini
berpebdapat sama dengan Mâlik. al- dibantah oleh beberapa orang pengikut
31
Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Jilid II, hlm. 38.
32
Taufîq Yûsuf al-Wâ‘î, al-Bid`ah wa al-Masâlih al-Mursalah, hlm. 251.
33
Ibid., hlm. 252. al-Isnawî sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa maslahah mursalah
tidak digunakan untuk menetapkan suatu hukum.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 23


mazhab Mâlikî. Menurut mereka, Mâlik Penutup
tidak pernah berpendapat demikian. Hal Dari uraian-urain yang dijelaskan
itu terbukti bahwa di dalam kitab Mâlik di atas, untuk mengakhiri tulisan singkat
tidak ditemukan pendapat yang demi- ini, perlu diringkaskan secara singkat,
kian. Adapun kelompok ketiga, masih bahwa maslahah mursalah itu adalah
menurut asy-Syaukânî, ber-pendapat salah satu dalil hukum Islam untuk
bahwa maslahah mursalah dapat menetapkan hukum baru yang belum ada
digunakan sejauh sesuai dengan syariah. konfirmasinya di dalam sumber hukum
Pandangan ketiga ini didukung oleh Ibn Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah al-
Burhân dalam bukunya al-Wajîz. Di Maqbulah, baik diterima maupun ditolak.
samping Ibn Burhân, asy-Syâfi‘î dan Dalam studi usul fikih, maslahah
sebagian besar sahabat atau pengikut mursalah sebagai dalil hukum ini digagas
Abû Hanîfah, mereka sering meng- oleh Imam Malik. Para ahli usul fikih
gunakan maslahah mursalah sebagai masih berbeda pendapat tentang
dalil hukum dengan syarat sesuai dengan kehujahan maslahah mursalah sebagai
maslahah mu‘tabarah. Sedangkan dalil hukum. Secara umum, pengguna
kelompok keempat berpendapat bahwa maslahah mursalah ini adalah ahli usul fikih
maslahah mursalah dapat digunakan dari kalangan mazhab Maliki dan ahli usul
sejauh untuk kebutuhan darûrî. Kelom- lainnya yang menganggap baik untuk
pok keempat ini dipegangi oleh Ibn digunakan dalam memecahkan problem
Daqîq al-‘Id. Dari sini, Ibn Daqîq umat akibat dari perkembangan ilmu
berpendapat demikian sebagai bentuk pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
kehati-hatian agar jangan sampai keluar Wallahu A’lam.
dari ketentuan syariah.34

DAFTAR PUSTAKA

‘Izzu ad-Dîn b `Abd al-Salâm, 1994, Qawâid al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm,


Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, Juz I.
Ahmad ar-Raisûnî, 1995, Nazariyah al-Maqâsid ‘inda al-Imâm asy-Syâtibî,
Herndon: ad-Dâr al-‘Âlamî li al-Fikr al-Islâmîy.
Ahmad Munif Suratmaputra, 2002, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Ahmad Warson Munawwir, tt. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
Yogyakarta: tp.
34
Ibid., hlm. 253.

24 SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 14 - 25


Al-Bûtî, 2001 Dawâbit al-Maslahah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Beirut:
Muassasah al-Risâlah.
al-Fayûmî, 1950, al-Misbâh al-Munîr, Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî, Juz I.
Al-Ghazali, t.t., al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Beirut: Dâr al-Fikr.
Amir Syarifuddin, 1990, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya.
Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Jilid II.
At-Tayyib as-Sanûsî Ahmad, 2008, al-Istiqrâ’ wa Aœaruh fî al-Qawâ‘id al-
Usûliyyah wa al-Fiqhiyyah: Dirâsah Nazariyyah Tatbîqiyyah, al-
Mamlakah al-`Arabiyyah as-Sa‘ûdiyyah: Dâr at-Tadmûriyyah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1992, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, cet. Ke-2.
Husain Hamîd Hassan, 1971, Nazariyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, Kairo:
Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah.
Husain Hamid Hassan, 1971. Na“ariyyat al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, al-
Qâhirah: Dâr an-Nahdah al-‘Arabiyyah.
Ibn al-Manzûr, 1972, Lisân al-‘Arab al-Muhît, Beirut: Dâr al-Fikr, Juz II.
Ibn Amîr al-Haj, 1316 H., at-Taqrîr wa at-Tahrîr, Mesir: al-Matba‘ah al-Amîriyah
Ibn Hâjib, 1328 H., Mukhtasar al-Muntahâ, Mesir: al-Matba‘ah al-Amîriyah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘I‘lâm al-Muwâqi‘in, Jilid III.
Nasrun Haroen, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos.
Taufîq Yûsuf al-Wâ‘î, t.t, al-Bid`ah wa al-Maslahah al-Mursalah: Bayanuhâ,
Ta’siluhâ wa Aqwâl al-Ulamâ fîhâ, Kuwait: Maktabah Dâr at-Turâœ.
Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, 1991, al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah
Herndon Virgina: The Internasional Institute of Islamic Thought.
Yûsuf Hâmid al-‘Âlîm, 1991, al-Maqâsid al-`Ammah li asy-Syarî`ah al-
Islâmiyyah Herndon: The Internasional Institute of Islamic Thought.

Masalahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum (Imron Rosyadi) 25

Anda mungkin juga menyukai