Pengaruh Militer sebagai Kekuatan Politik Pada Proses Input Sistem Politik
Indonesia
a.Masa Awal Kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan serta komando
militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah satunya dikarenakan
berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X,
maka jabatan Presiden sebagai panglima Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi
prakteknya panglima tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima
Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam segala hal atas
pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan administratif belaka; sedangkan
de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang
Republik Indonesia) yang merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf
Umumnya dan gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan
Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat disamakan sebagai
pemegang kekuasaan militer. Disamping itu adanya Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh
Presiden sendiri menambah terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk
panglima tiap angkatan.Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang
militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki oleh militer,
karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam perpolitikan bangsa ini. Tetapi,
pola hubungan sipil-militer pada masa-masa ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran
militer dalam perpolitikan harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak
militer yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.
Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negara-negara berkembang,
berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan unsur-unsur kehidupan
masyarakat. Politisi sipil yang dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti
penyusunan suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing,
mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan
modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin dipergunakan untuk melayani
tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6 Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia,
sebenarnya mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja,
bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat partai-partai politik
bermunculan, ternyata partai-partai politik mengundang militer .masuk di dalamnya.
Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada militernya, apalagi yang sudah
berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada
militernya.
Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski kepala negara
orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik “bermain mata”, maka militer
tetap akan mengendalikan kehidupan politik di suatu negara. Munculnya satgas-satgas
(satuan tugas) di partai-partai politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar
dan mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa menjadi dan
bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan lahiriahnya saja menunjukkan
sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.
Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita
adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno
karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan
jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga
dengan kejatuhan presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan
Megawati terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya
melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan memantapkan
kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan Megawati akan jatuh, apalagi di
saat-saat seperti sekarang, banyak kelompok masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai
akibat kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik
(TDL).Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya militer dalam jagat
perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan menguatnya penyelesaian masalah dengan
mengandalkan otot ketimbang nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik
pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik, dengan
mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika.
Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa peranan militer
yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat akan memberikan kontribusi
positif terhadap pembangunan politik di negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya.
Banyak negara-negara dunia mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan
berlandaskan pada model yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim
otorian dimana pihak militer turut serta bermain didalamnya. Dalam kasus Indonesia, hal ini
bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani
militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan
ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer
juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka
konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa disebut
sebagai bagian dari ideologi militer. Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan
militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam
proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin
militer di Indonesia mengajarkan konsep “perang rakyat semesta” dimana atas perintah
pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini
adalah:
1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh
kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil.
2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi
pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan
pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang
ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan konsepsi militer mengenai “musuh”.
Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan “ancaman, gangguan, hambatan, dan
tantangan” (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari rumusan fungsi hankam ABRI
yang menyatakan bahwa tugas militer adalah “ memelihara dan memperkuat ketahanan,
kewaspadaan, dan kesiapsiagaan nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan
mengamankan kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.Peran
politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai
peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa militer sebagai salah
satu unsur yang mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah
mata. Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan
kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno
karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan
jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan kepadanya. Dari
perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak terbentuknya BKR hingga
terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok
atau unsur pokok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan
dengan sifat yang heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.