2. Klasifikasi
Appendicitis dibagi atas 2 yaitu:
a. Appendicitis akut
1) Appendicitis akut focalis atau segmentalis
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh anggota
appendiks 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang penting ialah
ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu. Kalau radangnya
menjalar maka dapat terjadi appendiks purulenta.
2) Appendicitis akut purulenta (suppurativa) diffusa
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih
mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut appendicitis
gangrenosa atau pheegmonosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat
terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat
peritonitis.
b. Appendicitis kronik
1) Appendicitis kronik focalis
Secara mikroskopi tampak fibrosis setempat yang melingkar sehingga
dapat menyebabkan stenosis.
2) Appendicitis kronik obliterativa
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendik pada jaringan
submukosa dan subserosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen),
terutama di bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir pada
bagian itu.
3. Anatomi Fisiologi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang buntu,
panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari
kelingking dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Tonjolan appendiks pada
neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari apeks sekum sepanjang
4.5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas appendiks dari sekum semakin
jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang
appendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteriomedial sekum kira-kira 3 cm
inferior dari valvula ileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal,
retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak
sama. Pada posisi normalnya appendiks terletak pada dinding abdomen,
di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan menarik garis dari spina iliaka
superior kanan ke umbilikalis, titik tengah garis itu merupakan pangkal
appendiks.
Fungsi appendiks tidak diketahui, kadang-kadang appendik
disebut “tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid sejak
intra uterin akhir kehamilan dan mencapai puncaknya pada kira-kira umur
15 tahun, yang kemudian mengalami atrofi serta praktis menghilang pada
usia 60 tahun. Dengan berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan
pada kebanyakan kasus timbul konstriksi lumen atau obliterasi.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir ini secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Diperkirakan appendiks mempunyai peranan dalam mekanisme
imunologik, yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks
ialah Ig A Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Appendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung
amilase, erepsin, dan musin.
4. Etiologi
Penyebab utamanya adalah obstruksi atau penyumbatan yang
disebabkan oleh:
- Fekalit (massa faeses yang padat) akibat konsumsi makanan rendah
serat.
- Cacing/parasit
- Infeksi virus: E. coli, streptococcus
- Sebab lain: misal: tumor, batu
- Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya
- Hiperplasia limfoid.
5. Patofisiologi
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
appendiks oleh fekalit, benda asing, tumor, infeksi virus, hiperplasia
limfoid dan striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
Appendik mengeluarkan cairan yang berupa sekret mukus, akibat
obstruksi/penyumbatan lumen tersebut menyebabkan mukus akan
terhambat. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan
pelebaran appendiks, resistensi selaput lendir berkurang sehingga
mengakibatkan mudah infeksi dan dari penyumbatan ini lama kelamaan
akan menyebabkan terjadinya peradangan pada appendik dengan tanda
dan gejala nyeri pada titik Mc. Burney, spasme otot, mual, muntah dan
menyebabkan nafsu makan menurun, hipertermi dan leukositosis. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, akan menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendicitis akut focalis yang ditandai
oleh nyeri epigastrik. Hal ini juga bila berlangsung terus akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding.
Peningkatan tekanan intraluminal akan mengakibatkan oklusi end
arteri appendikularis sehingga aliran darah tidak dapat mencapai appendik
menjadi hipoksia lama kelamaan menjadi iskemia akibat trombosis vena
intramural, lama kelamaan menjadi nekrosis yang akhirnya menjadi
gangren dimana mukosa edema dan terlepas sehingga berbentuk tukak.
Dinding appendik ini akan menipis, rapuh dan pecah akan terjadi
appendicitis perforasi. Bila semua proses di atas hingga timbul masa lokal
yang disebut infiltrat appendikularis.
Peradangan appendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang menurun memudahkan terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini
terjadi dalam 24-36 jam. Bila proses ini berjalan lambat organ-organ di
sekitar ileum terminalis, sekum dan omentum akan membentuk dinding
mengitari appendiks sehingga berbentuk abses yang terlokalisasi.
7. Test Diagnostik
a. Hematologi: leukositosis di atas 10.000 /ul, peningkatan neutrofil
sampai 75%.
b. CT scan abdomen: dapat menunjukkan terjadinya abses appendikal
atau appendicitis akut.
c. Foto abdomen: gambaran fekalit, jika perforasi terjadi, gambaran
udara, bebas dapat dilihat dari hasil foto.
d. USG: ditemukan gambaran appendicitis.
e. Urinalisis: normal, tetap leukosit dan eritrosit mungkin ada dalam
jumlah sedikit.
8. Komplikasi
a. Perforasi
Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama tetapi meningkat
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui pre operatif dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5 oC tampak toksik, nyeri tekan di seluruh perut dan
leukositosis akibat perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Merupakan peradangan peritoneum yang berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen misalnya
appendicitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup di dalam kolon yaitu pada kasus ruptura appendiks. Reaksi
awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
c. Obstruksi usus
Dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus
sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik, parsial
atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai
akibat dari karsinoma. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan
gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri abdomen berhubungan dengan proses peradangan pada
appendik.
2) Risiko defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan
hipermetabolik (demam, muntah).
3) Manajemen terapeutik inefektif berhubungan dengan kurang
informasi tentang proses penyakit, dan pengobatan.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
2) Risiko defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan
pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
3. Rencana Keperawatan
a. Pre Operasi
DP.1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks.
HYD: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.
Intervensi:
1) Kaji dan catat intensitas, lokasi dan lama nyeri.
R/ Mengetahui tingkat rasa nyeri, berguna dalam pengawasan
keefektifan obat.
2) Kaji tanda nyeri baik verbal maupun non verbal.
R/ Bermanfaat mengevaluasi nyeri.
3) Ajarkan teknik relaksasi seperti: imajinasi, musik yang lembut.
R/ Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan
membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman.
4) Ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif.
R/ Nyeri dapat meningkatkan ketegangan otot, nafas dalam dan
batuk efektif dapat membantu mengurangi ketegangan otot
abdomen.
5) Berikan posisi yang nyaman.
R/ Posisi dapat membantu mengurangi nyeri.
6) Kolaborasi dengan medik pemberian analgetik.
R/ Terapi analgetik dapat mengurangi nyeri.
b. Post Operasi
DP.1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
HYD: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
mengatakan nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah
tampak rileks.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, intensitas, lokasi dan lamanya.
R/ Berguna dalam pengawasan keefektifan pengobatan.
2) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
R/ Gravitasi melokalisasi eksudat ke dalam abdomen bawah untuk
mengurangi ketegangan abdomen yang bertambah jika posisi
terlentang.
3) Dorong ambulasi dini.
R/ Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus.
4) Kaji ketidaknyamanan yang disebabkan post prosedur operasi.
R/ Ketidaknyamanan mungkin oleh insisi akibat operasi.
5) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
R/ Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan
kontrol.
6) Kolaborasi dengan medik untuk mempertahankan puasa.
R/ Menurunkan ketidaknyamanan pasien pada peristaltik usus dini
dan irigasi gaster.
7) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
R/ Menghilangkan rasa nyeri.
4. Perencanaan Pulang
a. Mobilisasi bertahap sesuai kemampuan.
b. Jaga luka operasi tetap bersih dan kering.
c. Perhatikan pola makan sehari-hari, makan tinggi serat sangat baik
dikonsumsi, kurangi makanan pedas, diit ditingkatkan bertahap: bubur
saring, bubur biasa, nasi tim/lunak.
d. Minum obat sesuai instruksi, kontrol ke dokter.
e. Segera ke RS bila ada tanda-tanda infeksi: panas, merah, nyeri
C. PATOFLOWDIAGRAM
Benda asing
Fekalit
Tertahan di apendik
Hyperplasia folikel
Limphoid
tumor
Peradangan Obstruksi lumen
Pelebaran appendiks
Pembatasan
Mual, muntah
cairan
Mual, muntah Appendictomie Suhu
Peradangan dinding
Nyeri DP.1 Nyeri Nyeri tekan titik Mc.
DP.2 Resti < vol cairan appendiks Burney
DP.3 Kerusakan Leukositosis
integritas kulit
Pembentukan mukus >>>
DP.1 Resti infeksi
DP2. Nyeri
Peningkatan tekanan intra luminal DP3. Resti < vol cairan
Hipoksia jaringan
Nekrosis
Mual, muntah
Perforasi TD, N, S > 38,5 oC
Distensi abdomen
Nyeri tekan seluruh abdomen
DP1 Resiko tinggi infeksi
Peritonitis
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, 2005. Medical Surgical Nursing. St. Louis. CV. Mosby
Company.
Brunner and Suddarth. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2, Alih bahasa:
Monica Ester, Edisi 12, EGC, Jakarta.
Joyce M. Black, 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Continuity of Care. Fifth Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Lewis, Sharon Mantik, 2000, Medical Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. Missouri: Mosby Inc.