Oleh:
Adeana Sartika, S.Ked
1908436827
Pembimbing:
dr. Yulia Wardany, Sp.M
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retina
2.1.1 Anatomi Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbentuk lembaran
transparan tipis jaringan saraf yang melapisi 2/3 - 3/4 bagian posterior bola mata,
kecuali pada area diskus optik. Lapisan retina meluas ke anterior bola mata dan
berakhir secara sirkumferensial 360o di ora serrata.5,6
Retina dan pembuluh darah retina (dan diskus optik) membentuk bagian
dalam bola mata yang terlihat melalui pemeriksaan oftalmoskopi (fundus okuli).
Pada pemeriksaan fundus atau oftalmoskopi, retina akan terlihat cerah dan
berwarna jingga, karena di balik retina yang transparan terdapat latar belakang
pigmen melanin dari lapisan epitel pigmen retina dan koroid. Bagian sentral retina
posterior dikenal sebagai makula lutea, yang berwarna kekuningan akibat adanya
pigmen luteal (xantofil) dan berdiameter sekitar 5,5 mm. Makula memiliki
ketajaman penglihatan terbaik atau resolusi spasial tertinggi, yang bertanggung
jawab terhadap penglihatan sentral.6
2
Retina terdiri atas 10 lapisan. Berikut adalah lapisan retina pada potongan
lintang dari luar ke dalam: 6
1. Epitel pigmen retina (RPE, retinal pigment epithelium) dan lamina basal.
2. Segmen dalam (IS, inner segment) dan segmen luar (OS, outer segment)
sel-sel fotoreseptor.
3. Membran limitans eksterna (ELM, external limiting membrane) yang
memisahkan segmen dalam dari fotoreseptor dengan nukleusnya.
4. Lapisan inti luar fotoreseptor (ONL, outer nuclear/ layer) terdiri atas
badan sel dari sel-sel batang dan kerucut retina. Pada retina perifer, jumlah
badan sel batang melebihi jumlah sel kerucut yang berbanding terbalik
pada retina sentral.
5. Lapisan pleksiform luar (OPL, outer plexiform layer) terdiri dari akson sel
kerucut dan batang, dendrit sel horizontal, dan dendrit sel bipolar.
6. Lapisan inti dalam (INL, inner nuclear layer) terdiri dari nuklei sel
horizontal, sel bipolar, dan sel amakrin. Lapisan ini lebih tebal pada area
sentral dari retina dibandingkan area perifer. Pada lapisan ini ditemukan
juga sel penunjang Müller.
7. Lapisan pleksiform dalam (IPL, inner plexiform layer) terdiri dari sinap-
sinap antara dendrit dari sel ganglion dan sel amakrin dan sel bipolar dari
akson.
8. Lapisan sel ganglion (GCL, ganglion cell layer) terdiri dari nuklei sel
ganglion, dan juga mengandung fotoreseptor non-batang dan non-kerucut,
yaitu sel ganglion fotosensitif yang berperan penting dalam respon refleks
pada cahaya terang siang hari.
9. Lapisan serabut saraf (NFL, nerve fiber layer) terdiri dari akson dari sel
ganglion yang bersatu menuju ke nervus optikus.
10. Membran limitan interna (ILM, inner limiting membrane) merupakan
perbatasan antara retina dan badan vitreus. Membran limitan interna
dibentuk oleh astrosit dan footplates sel Müller dan lamina basal.
3
Gambar 2. Lapisan retina8
4
menghubungkan sel-sel bipolar, dan menginterkoneksikan secara lateral neuron-
neuron di lapisan pleksiformis luar.6
Retina memiliki dua suplai perdarahan dan dua sawar darah-retina (blood-
retinal barrier). Kedua suplai ini bersumber dari arteri optalmika yang merupakan
cabang pertama arteri karotid interna. Fovea sepenuhnya disuplai dari
koriokapilaris. Bagian luar retina termasuk di dalamnya lapisan pleksiformis luar
dan lapisan nuklear luar, fotoreseptor, epitelium pigmen retina, serta koroid
disuplai oleh koriokapilaris.6
Retina bagian dalam yaitu lapisan nuklear interna dan lapisan sel ganglion
yang disuplai oleh arteri retinal sentralis, cabang arteri optalmika yang memasuki
saraf optik 4 mm di posterior mata dan berjalan bersama nervus optikus. Arteri
retinal sentralis membagi ke dalam 4 cabang utama arteri serta vena berjalan di
dalam lapisan serabut saraf, dan mencabangkan arteriola serta venula. Cabang-
cabang dari arteriola intraretina ini akan menjadi akpiler yang bersambungan
dengan kapiler vena di semua lapisan bagian dalam retina ke venula hingga ke
vana terminal sentralis. Drainase sirkulasi arterial yang berasal dari arteri siliaris
posterior akan menuju 1-2 vena vorteks yang berada pada keempat kuadran bola
mata. Vena vorteks ini akan bergabung membentuk vena oftalmika.6
5
Gambar 4. Anatomi retina9
6
Gambar 5. Organel-organel EPR10
2.2.2. Epidemiologi
CSCR terjadi pada pasien dengan rentang usia 20 hingga 50 tahun. Insiden
penyakit ini 9,9 pada pria dan 1,7 pada wanita masing-masing per 100.000 orang.
Sayed menyebutkan dalam studinya menemukan bahwa prevalensi yang lebih
tinggi pada chorioretinopathy serosa sentral telah diamati pada kelompok usia 35-
44 tahun dan pada pria. Prevalensi CSCR tidak memiliki perbedaan yang
signifikan antara mata kanan dan kiri.13
Angka kekambuhan yang lebih tinggi juga terjadi pada jenis kelamin laki-
laki. Insiden CSR multifokal dan CSR bilateral lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia, Asia dibandingkan dengan Afrika-Amerika.14
2.2.3. Etiologi
7
CSCR merupakan kelainan yang bersifat idiopatik atau belum diketahui
pasti penyebabnya. Terdapat teori yang mengemukakan penyebab terjadinya
kelainan ini yaitu berhubungan dengan adanya peningkatan hormon kortisol
endogen pada tubuh yang disebut hiperkortisolisme.15
Pemakaian glukokortikoid, pasien dengan sindrom cushing berhubungan
dengan kejadian CSCR karena menyebabkan terjadinya peningkatan sirkulasi
kortisol yang mempengaruhi autoregulasi sirkulasi koroid.15
Abnormalitas sirkulasi koroid juga dapat disebabkan oleh kehamilan, stres
dan penggunaan steroid yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kortisol
pada plasma. Faktor risiko lainnya seperti kepribadian tipe A, hipertensi sistemik,
penggunaan antibiotik, konsumsi alkohol, penyakit pada saluran napas dan alergi
juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kortisol dalam tubuh.
Kebiasaan orang yang agresif, kompetitif dan memiliki perasaan urgensi dapat
menyebabkan pelepasan katekolamin yang dapat menyebabkan meningkatnya
permeabilitas koroid.15
2.2.4. Patofisiologi
1. Teori disfungsi koroid
Teori ini menyatakan bahwa peningkatan fokus pada permeabilitas
choriocapillaris adalah penyebab utama kerusakan RPE pada pasien dengan
CSCR. Teori ini menyatakan bahwa disfungsi koroid dapat membuat pelepasan
RPE, ablasi retina serosa dan pada 10–15% pasien eksudasi subretinal sero
fibrinous. Guyer dkk menyimpulkan bahwa hiperpermeabilitas koroid
menyebabkan pelepasan serous RPE yang dapat menyebabkan robekan atau
dekompensasi RPE kemudian menyebabkan kebocoran RPE yaitu difusi air,
elektrolit dan protein yang mengarah ke pelepasan retina neurosensori.16
2. Teori disfungsi RPE
Sebuah teori alternatif menunjukkan bahwa CSCR disebabkan dari
disfungsi RPE. Beberapa sel RPE yang rusak atau bahkan satu sel RPE yang rusak
dapat menyebabkan pergerakan cairan terbalik ke arah chorioretinal. Hal ini akan
menyebabkan kebocoran cairan di ruang subretinal dan akhirnya berkembang
menjadi pelepasan retina neurosensori. Spitznas mengatakan bahwa kerusakan
fokus pada RPE dapat membalikkan arah sekresi ion dan dengan demikian
8
menyebabkan pergerakan cairan yang lebih besar menuju retina dari pada
koroid.16
3. Teori gabungan disfungsi koroid dan RPE
Mungkin ada kombinasi peningkatan kebocoran cairan dari
choriocapillaris dan gangguan fungsi RPE. Kelainan choriocapillaris yang
persisten dapat menyebabkan stres berkepanjangan pada sel RPE yang tidak akan
dapat memompa ke arah retinochoroidal dan oleh karena itu cairan akan
menumpuk dan menyebabkan pelepasan neurosensori. 16
4. Ablasi retina serosa dan pelepasan pigmen epitel berhubungan
dengan CSCR
Dekompensasi RPE pada penyakit CSCR menghasilkan ablasi retina
neurosensori, serous pigment epithelial detachment (PED) dan atrofi RPE. PED
dapat terjadi akibat sejumlah gangguan koroid yang mengganggu sambungan
normal antara membran basal RPE dan lapisan kolagen dalam membran Bruch.
Sehingga cairan serous dari choriocapillaris yang mendasari mendapatkan akses
ke ruang sub-RPE. Kebocoran ke dalam retina sensorik hanya terjadi dalam kasus
ablasi retina serosa secara bersamaan. Kombinasi PED dan ablasi retina serosa
meningkatkan kemungkinan diagnosis CSCR, sehingga definisi istilah 'serous
retinal detachment' dan 'pigment epithelial detachment' sangat membantu dalam
memahami patogenesis CSCR serta sangat penting.16
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis CSCR adalah dengan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala klinis pada pasien bisa berupa metamorphopsia (garis lurus tampak
melengkung), micropsia (benda tampak lebih kecil dari ukuran asli) dan skotoma
parasentral atau sentral yang terkadang disertai dengan keluhan migraine like
headache.16 Pada gejala akut pasien akan mengeluhkan kehilangan penglihatan
mendadak, kehilangan saturasi warna dan hilangnya sensitivitas pada kontras.5
2. Pemeriksaan Oftalmologi :
a. Pemeriksaan tajam penglihatan (visus)
9
Pasien CSCR memiliki ketajaman pengelihatan (visus) antara 20/20-
20/80 dengan koreksi lensa positif akan menjadi lebih terang.17
b. Pemeriksaan eksterna, pemeriksaan konjungtiva, kornea, iris, dan lensa
tampak dalam batas normal. 17
c. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata, pemeriksaan ini menunjukan bahwa
tekanan bola mata pasien CSCR normal. 17
d. Tes Amsler grid
Tes ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula yaitu dengan cara
pasien melihat dengan satu mata ke titik sentral suatu gambaran dengan kisi-
kisi yang tersusun atas garis horizontal dan vertikal umumnya dengan warna
putih dan latar belakang hitam. Saat pemeriksaan ditanyakan pada pasien
apakah dengan satu mata keempat sudut terlihat, apakah garis yang
terbentuk ireguler, atau tidak terlihat dengan acuan satu titik tengah. Bentuk
ireguler ini dapat dilaporkan sebagai adanya gambaran bergelombang
(metamorfopsia), terlihat kelabu, kabur, maupun tidak terlihat (skotoma).
Kisi-kisi atau objek akan terlihat terasa lebih kecil (micropsia). Pada CSCR
biasanya ditemukan metamorfopsia yang bersesuaian dengan daerah yang
terkena defek.3
A B C
10
Gambar 7. Pemetaan posisi grid terhadap makula18
e. Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi umumnya pada neurosensory macula
bulat, berbatas tegas, dangkal, serosa yang sering dikelilingi oleh reflex
cahaya halo. Jika fovea terlibat maka refleks cahaya foveal normal tidak ada
atau titik berwarna kuning yang menonjol mungkin karena xantofil retinal
dapat divisualisasikan di daerah foveal. Endapan fibrin subretinal dapat
terlihat sebagai kondensasi multiple, abu-abu-putih seperti titik pada
permukaan posterior retina yang terlepas. Detachment RPE (PED) serosa
kecial akan terlihat bulat, kuning atau abu-abu.19
Traktus RPE inferior, perifer dan atrofi (garis pigmen linier) mencirikan
tipe CSCR yang kurang umum terkait dengan prognosis yang lebih buruk.
Kebocoran subretinal yang berlebihan atau berkepanjangan. Gravitasi
menyebabkan cairan subretinal terkumpul di bagian inferior membentuk
“teardrop” atau “hourglass”. Jika pasien diletakan dalam posisi terlentang
maka cairan subretinal akan bergeser.19
11
A B
3. Pemeriksaan penunjang
a. Optical Coherence Tomography (OCT)
OCT juga dapat menunjukan adanya elevasi bagian neurosensoris dari
retina serta ablasi maupun defisit dari RPE. OCT merupakan pemeriksaan
yang sangat akurat untuk mendiagnosis CSCR terutama bila pemisahan
lapisan retina yang dangkal.3
12
Gambar 10. OCT pada CSCR3
13
c. Indocyanine Green Angiography (ICG)
ICG dapat menunjukan kelainan vaskularisasi koroid. Angiografi ICG
berguna untuk membantu dalam membedakan CSCR difus atipikal pada
pasien tua dengan neovaskularisasi koroid tersembunyi pada degenerasi
makula terkait usia dan idiopathic polypoidal choroidal vasculopathy.21
2.2.6. Tatalaksana
1. Observasi
Observasi dilakukan pada pasien CSCR karena terjadinya proses resorpsi
cairan subretinal secara spontan dalam waktu 3-4 bulan, pemulihan tajam
penglihatan biasanya sejalan dengan resorpsi cairan subretinal namun juga
dapat baru pulih hingga 1 tahun. Metamorfopsia ringan, skotomata yang
kurang jelas, kelainan pada sensitivitas kontras dan gangguan penglihatan
warna ringan sering menetap pada pasien CSCR. Penurunan tajam
penglihatan dapat terjadi pada beberapa mata secara permanendan banyak
mengalami kekambuhan bahkan hingga beberapa kali (40% - 50%).22
2. Medikamentosa
a. Asetazolamid sebagai terapi pertama kali dikemukakan oleh Pikkel pada
tahun 2002. percobaan ini didasarkan pada fakta bahwa asetazolamid
terbukti efektif untuk mengurangi edema macula yang disebabkan oleh
tindakan operasi dan berbagai kelainan intraocular lainnya. Penelitian pikkel
ini membuktikan asetazolamid dapat memperpendek waktu resolusi klinis
tetapi tidak berdampak terhadap tajam penglihatan akhir dan rekurensi
CSCR.22
b. Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs(NSAID) topikal
Potensi penggunaan NSAID dalam pengobatan CSCR sebagian besar
telah diabaikan. Tetes mata NSAID adalah terapi andalan untuk edema
makula sistoid pasca operasi (CME) tetapi hanya ada beberapa penelitian
yang menunjukkan keefektifan obat ini dalam pengobatan CSCR. Terdapat
14
laporan kasus yang terkait dengan perkembangan CSCR setelah penggunaan
tetes mata latanoprost yang menunjukkan bahwa prostaglandin juga dapat
berperan dalam perkembangan CSCR. Dalam satu penelitian, pasien CSCR
yang diobati dengan nepafenac topikal menunjukkan peningkatan yang
cepat pada ketajaman visual terkoreksi terbaik (BCVA) dan CMT
dibandingkan dengan kelompok observasi.23
Studi lain juga menunjukkan bahwa 107 pasien yang diobati dengan
aspirin oral (100 mg setiap hari untuk bulan pertama, kemudian 100 mg
setiap hari selama 5 bulan berikutnya) menunjukkan pemulihan visual yang
lebih cepat dengan tingkat kekambuhan CSCR yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Oleh karena itu, dengan
mempertimbangkan efek perlindungan NSAID terhadap CSCR, mungkin
melalui penurunan produksi prostaglandin, penurunan sekresi aldosteron
dan/atau efek antikoagulasinya, NSAID topikal muncul sebagai pilihan
pengobatan yang efektif dan aman untuk bentuk retinopati ini.23
Pasien yang diobati dengan NSAID topikal memiliki resolusi cairan
subretinal yang lebih cepat secara signifikan. Pasien dengan CSCR
seringkali merupakan tipe kepribadian A, ada kemungkinan bahwa efek
plasebo dari penggunaan obat tetes mata topikal juga berkontribusi pada
resolusi yang lebih cepat dari cairan subretinal.23
3. Fotokoagulasi laser ruby
Sebuah studi klinis acak dan terkontrol menyatakan bahwa dengan
fotokoagulasi laser ruby pada mata dengan CSCR aktif oleh Watzke dan
rekan pada tahun 1974 menunjukkan resorpsi cairan subretinal yang jauh
lebih cepat pada mata yang dirawat (durasi rata-rata 5 minggu dari perawatan
laser hingga remisi) dibandingkan pada mata yang tidak dirawat (durasi 23
minggu dari pemeriksaan sampai remisi spontan). Namun, penelitian ini tidak
menemukan tajam penglihatan menjadi lebih baik pada mata yang diobati
pada hasil akhir pemeriksaan Snellen dibandingkan mata yang tidak diobati
meskipun durasi penyakit lebih pendek, juga tidak ada bukti bahwa
pengobatan ini dapat mengurangi tingkat kekambuhan.22
4. Verteporfin Photodinamic Therapy (PDT)
15
Pilihan lain untuk pengobatan CSCR terutama bila lokasi kebocoran yang
terlalu dekat ke pusat fovea adalah penggunaan PDT. Penelitian retrospektif
kecil telah menunjukkan penggunaan PDT dapat menyebabkan perbaikan
kebocoran cairan dan meningkatkan penglihatan dengan menggunakan
tingkat paparan radiasi mulai dari standar (600 mW / cm2) hingga paparan
rendah (300 mW / cm2). Beberapa bukti menunjukkan bahwa terapi
fotodinamika paparan rendah bermanfaat dalam mengatasi kebocoran akut
cairan subretinal dan mungkin memiliki efek tambahan untuk menipiskan
koroid. Sebuah studi baru-baru ini terhadap 67 pasien dengan CSR yang
diobati menggunakan PDT paparan yang rendah atau standar, menemukan
bahwa 97% respons tanpa kekambuhan. Namun, diperlukan lebih banyak
penelitian.22
Pedoman pengobatan saat ini merekomendasikan observasi dalam banyak
kasus. Namun, jika cairan tetap ada, pengobatan menggunakan fotokoagulasi laser
atau terapi fotodinamik dapat diindikasikan untuk skenario berikut:22
Pelepasan lapisan serosa berlangsung lebih dari 3-6 bulan.
Penyakit ini berulang pada mata dengan defisit penglihatan sebelumnya.
Terjadi defisit penglihatan permanen sebelumnya di sebelah mata.
Terjadi tanda-tanda kronis, seperti perubahan kistik pada retina neurosensori
atau kelainan RPE yang menyebar luas.
Pekerjaan atau kebutuhan pasien lainnya membutuhkan pemulihan segera
pada penglihatan, stereopis, atau keduanya.
Jika pengobatan fototerapi dilakukan perlu pemantauan dan pemeriksaan
ulang pasien 3-4 minggu setelah terapi agar dapat mendeteksi kelainan dan
komplikasi post laser.22
2.2.7. Prognosis
CSR dapat sembuh sendiri, pada 90-95% kasus tajam penglihatan akan
sembali normal dalam beberapa bulan setelah cairan diresorpsi seluruhnya.
Beberapa pasien dengan kelainan visual mungkin akan tetap mengalami distorsi
visual meskipun setelah cairan menghilang. Rekurensi dapat mencapai 50% pada
kasus yang tidak ditangani. Sebanyak 20-30% kasus akan mengalami
16
kekambuhan lebih dari 1 kali dan telah dilaporkan adanya penyulit termasuk
neovaskularisasi subretina dan edema macula sistoid kronik pada pasien yang
sering mengalami kekambuhan.18
BAB III
LAPORAN KASUS
RAHASIA
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JM Pendidikan : SLTA
Umur : 35 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta
J. Kelamin : Laki-laki Agama : Islam
Alamat : Jl. Durian No. 18, Status : Menikah
Simpang Kampung MRS : 26 Maret 2021
Melayu, Pekanbaru MR : 00660397
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Mata kiri kabur dan sulit membaca sejak ± 2 minggu SMRS.
17
di bagian pinggir arah telinga masih dapat dilihat pasien. Objek yang dilihat pada
mata kiri terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan mata kanan. Penglihatan
untuk warna juga kurang jelas pada mata kiri. Pekerjaan adalah pekerja pabrik
dengan banyak sekali hal dalam pekerjaan yang sedang dipikirkan sejak awal
tahun 2020. Riwayat konsumsi narkoba dan alkohol tidak ada, riwayat konsumsi
minuman kafein secara berlebihan tidak ada.
Riwayat Pengobatan
- Tidak ada konsumsi obat-obatan (steroid)
- Riwayat menggunakan asetozolamid namun pasien mengeluhkan kelemahan
pada kedua tangannya.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentif kooperatif
Tanda vital : TD : 126/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,5oC
BB : 83 kg
TB : 176 cm
IMT : 27,66 (obesitas tingkat 1)
18
STATUS OPTHALMOLOGI
OD OS
20/25 Visus Tanpa Koreksi 20/50 Pin Hole (-)
Tidak dilakukan koreksi Visus Dengan Koreksi Tidak terkoreksi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Uji Amsler kisi-kisi/ Amsler grid test
Pada Oculi Sinistra
Skotoma sentral
Gambaran-gambaran bergelombang (Metamorfopsia)
Garis tampak lebih kecil dari ukuran asli (Micropsia)
19
- Optical Coherence Tomography (OCT) – OD dan OS
PEMERIKSAAN ANJURAN
- Fundus Fluoroscein Angiography (FFA)
RESUME
Pasien laki-laki, usia 35 tahun, mata kiri kabur dan sulit membaca sejak ±
2 minggu SMRS. Pandangan seperti bayangan gelap di bagian tengah (skotoma
sentral). Penglihatan kabur dan terkadang garis lurus terlihat bengkok
(metamorphosia). Objek yang dilihat pada mata kiri terlihat lebih kecil
(micropsia). Keluhan sudah berulang. VOS 20/50. Funduskopi pada OD/OS
menunjukkan adanya refleks fundus. Dari uji Amsler grid didapatkan
metamorphosia, micropsia dan skotoma sentral. Hasil OCT OS menunjukkan
edema makula dan Peak like elevation pada RPE dengan peninggian PED
didasarnya.
DIAGNOSIS
20
Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) rekurens OS + Pigment Epithelial
Detachment (PED) OS
TERAPI
a. Non farmakologi:
- Observasi selama 12 minggu
- Edukasi untuk menghindari stres
b. Farmakologi:
- Cendo lyteers ED 4 gtt 1 OS
- Cendo noncort ED 4 gtt 1 OS
- Citicolin 1x1
PROGNOSIS
OS
Quo ad Vitam: Bonam
Quo ad Fungsionam: Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam: Dubia ad bonam
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Mathew R, Sivaprasad S, Augsburger JJ, Corrêa ZM. Retina. In: Eva PR,
Augsburger JJ, editors. Vaughan Asbury’s General Ophtalmology. 19th
ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018. p. 194–235.
2. Semeraro F, Morescalchi F, Russo A, Gambicorti E, Pilotto A,
Parmeggiani F, et al. Central serous chorioretinopathy: pathogenesis and
management. Clin Ophthalmol (Auckland, NZ). 2019;13:2341.
3. Kanski JJ. Miscellaneus Acquired Maculopathies. In: Clinical
Ophtalmology A Systemic Approach. 7th ed. Saunders Elsevier:
Philadelphia; 2011. p. 398–9.
4. Khochtali S, Ksiaa I, Megzari K, Khairallah M. Retinal pigment
epithelium detachment in acute vogt-koyanagi-harada disease : An unusual
finding at presentation. Radang Ocul Immunol. 2019; 27(4): 591–4.
5. Ilyas S, Yulianti SR. Mata Tenang Penglihatan Turun Mendadak. Dalam:
Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2017. hlm. 188–209.
6. Andayani G. Retina. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani
AP, editors. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. hlm. 40–7.
7. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 25th Edition. Jakarta: EGC; 2014. P.
100.
8. Tortora GJ and Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th
Ed. USA: John Wiley & Sons, Inc. 2009. p. 609–12.
9. Lang GK. Ophthalmology; A pocket textbook Atlas. 2th nd. New York:
Thieme. 2006. p. 299–302.
22
10. American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and principles of
ophtalmology. In: Basic and clinical science course. American Academy
of Ophtalmology; 2016. 2. 291–308.
11. Handa JT. Cell biology of the retinal pigment ephitelium. In: Scachat AP,
Sadda SR, Wilkinson CP, Wiedman P, editor. Ryan’s Retina. Elsevier
Health Sciences; 2018. 6. 451–9.
12. Semeraro F, et al. Central Serous Chorioretinopathy: Pathogenesis and
Management. Clinical Ophthalmology. 2019;13:2341–52.
13. Rasoulinejad SA. Central Serous Chorioretinopathy: Epidemiology in
Northern Part of Iran. Sciences Journal. 2015: 33(5); 843–5.
14. Kitzmann AS, Pulido JS, William WJ. Central Serous Chorioretinopathy.
[book auth.] Jay S. Duker Myron Yanoff. Ophthalmology.2015.
15. Nicholson B, Noble J, Forooghian F, Meyerle C. Central Serous
Chorioretinopathy: Update on Pathophysiologi and Treatment. Survey of
Ophthalmology. 2013;58(2):103–26.
16. Gemenetzi 1, Salvo GD, Lotery AJ. Central serous chorioretinopathy: An
update on pathogenesis and treatment. PubMed.2010;4(12):1743–56.
17. Fletcher EC, Chong NHV, Shetlar DJ. Retina in: Voughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed 19th. The McGraw-Hill Companies Inc. 2018. p.
471–3.
18. The Amsler grid. Diakses pada tanggal 07 April 2021 di
www.amslergrid.org (internet)
19. Shuler RK, Mruthyunjaya P, Scott E, Fekrat S. Diagnosing and Managing
Central Serous Chorioretinopathy. Ophalmic Pearls. 2006. Diakses:
https://www.aao.org/eyenet/article/diagnosing-managing-central-serous-
chorioretinopathy pada tanggal 07 April 2021.
20. Duran PG. What conditions can OCT help to diagnose. American
Academy of Ophtalmology. 2020. Diakses: https://www.aao.org/eye-
health/treatments/what-does-optical-coherence-tomography-diagnose pada
tanggal 10 April 2021.
23
21. Prakash G, Chauhan N, Shepali J, Satsangi SK. Central serous
Chorioretinopathy : A review of the literature. Asia Pac J Opthalmol.
2013;3(2):104–10.
22. American Academy of Opthalmology. Basic and clinical science course.
Retina and Vitreous section 12. 2015. p.171–5.
23. Bahadorani S, Maclean K, Wannamaker K, et al. Treatment of central
serous chorioretinopathy with topical NSAIDs. Clin Ophthalmol.
2019;13:1543–8. Published 2019 Aug 15. doi:10.2147/OPTH.S202047
24