Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai


karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas
sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam upaya
memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun menoton,
tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran
sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam
penafrsiranal-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan
(multiinterpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an
biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin
ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat
berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-
Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural.
Oleh karenanya, munculnya Madzahibal-Tafsir tidak dapat dihindari dalam
sejarah pemikiran umat Islam.

Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa keemasan selalu mengalami


perkembangan dan perubahan serta memiliki karakteristik dan corak yang unik
sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal demikian tidak lepas dari faktor sejarah,
politik dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.

B. Rumusan masalah

Dalam makalah ini dirumuskan beberapa permsalahan yang terkait dengan


permasakahandiatas yaitu:

1. Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?


2. apa saja corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat itu?
3. Siapasajatokohtafsirpadaabadpertengahandanapasajakahkitab-kitab yang
berkembangpada masa tersebut?

C. Tujuan

1
Tujuan dari ditulisnya makalah ini adalah ingin memberikan penjelasan
tentang perkembangan tafsir pada era pertengahan yang mana tentunya memiliki
ciri khas tersendiri dari era tafsir lainnya, sehingga diharapkan akan menambah
pengetahuan pembaca khususnya tentang perkembangan tafsir mulai dari era
klasik, era pertengahan, hingga era kontemporer.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan

Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada
sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai
dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan
generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam,
periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan.
Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat
signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.1

Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi
antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal
ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak,
khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi
suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir
pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran
tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.

Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah peradaban Islam


dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan masuknya cabang
ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa) seperti Filsafat
dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan dengan cabang ilmu
keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam hal dinamika.

Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan peradaban manusia


khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah.
Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan diwujudkan dengan
penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat

1
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,
….h.211-213.

3
ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun dibukakannya forum-forum
ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.2

Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan


pada perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli
kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir
dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama
sunnimayoritas dengan kaum rasionalis (Ahlal-Ra’y) minoritas memunculkan
perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi luapan
darah.3

Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir


mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi
Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa
(khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal
Dinasti Abbasiyyah).

Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami
perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits
selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat
tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. IbnJariralThabari (w. 310 H)
diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui
karyanya Jami’ al Bayan fiTa’wil Ay Al Qur’an.

Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan


pada perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli
kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir
dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni
mayoritas dengan kaum rasionalis (Ahlal-Ra’y) minoritas memunculkan
perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi luapan
darah.4

2
Dr. Abdul Mustaqim, MadzahibutTafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 68

3
I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres,
2006), hlm. 130.

4
B. Karakteristik Tafsir Era Pertengahan

Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan


pemikiran dan pemahaman Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah
satu hal yang mendominasi penafsiran adalah berdasarkan kepentingan.
Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk melegitimasi pendapat-pendapat
individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode
pertengahan adalah sebagai berikut :

a. Pemaksaan Gagasan Eksternal al-Qur’an5

Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa pada zaman ini
kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan pada kepentingan. Oleh sebab
itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan subjektif sang mufassir.
Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang
oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi
fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan dalam QS. Yusuf :26 yang
berbunyi :

َ‫ت َوهُ َو ِمنَ ْال َكا ِذبِين‬ ُ ‫قَا َل ِه َي َرا َو َد ْتنِي ع َْن نَ ْف ِسي َو َش ِه َد َشا ِه ٌد ِم ْن أَ ْهلِهَا إِ ْن َكانَ قَ ِمي‬
َ َ‫صهُ قُ َّد ِم ْن قُبُ ٍل ف‬
ْ َ‫ص َدق‬

“Yusuf berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan


seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju
gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang
yang dusta’.” (QS. Yusuf :26).6

Ayat diatas menceritakan pengalam pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada
sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan tetapi, oleh Jashshash dijadikan
sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh lainnya adalah penafsiran dari Ibnu
Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan teori wahdah al-wujud. Dia
membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan karena kesatuan wujudnya
ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :

4
I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres,
2006), hlm. 130.

5
Abdul Mustaqim, DinamikaSejarahTafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 100

6
Al-Qur’an digital (Q.S. Yusuf: 26)

5
‫َم ْن يُ ِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا َ َو َم ْن تَ َولَّى فَ َما أَرْ َس ْلنَاكَ َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).7

b. Bersifat ideologis8

Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara


berpikir yang berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun
keilmuwan tertentu ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya
adalah Tafsir Mafatihal-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi tentang hak
kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakr, justru
dalam surat al-Fatihah ayat 6-7 :

‫ا ْه ِدنَا الص َِّراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬

ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬


َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوال الضَّالِّين‬ ِ

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).9

c. Bersifat repetitif10

Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran


mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini
merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang popular
pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatihal-Ghaib, ketika
diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana terdapat beberapa
pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga
terkesan berlebihan.

7
Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Nisa’: 80)

8
Abdul Mustaqim, DinamikaSejarahTafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 101

9
Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)

10
Abdul Mustaqim, DinamikaSejarahTafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 106

6
d. Bersifat parsial11

Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak


komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif
ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-
Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam
ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh :

‫ْس ِمنَ هَّللا ِ فِي َش ْي ٍء إِال أَ ْن تَتَّقُوا ِم ْنهُ ْم‬ َ ِ‫ال يَتَّ ِخ ِذ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أَوْ لِيَا َء ِم ْن دُو ِن ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬
َ ‫ك فَلَي‬
ِ ‫تُقَاةً َويُ َح ِّذ ُر ُك ُم هَّللا ُ نَ ْف َسهُ َوإِلَى هَّللا ِ ْال َم‬
‫صي ُر‬

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali


(teman dekat, pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron :28).12

C. Corak tafsir era pertengahan

Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan


dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang
dimaksud di sini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna
tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah dimaklumi, tafsir sebagai bentuk
ekspresi intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-
Qur’an sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan menggambarkan
minat dan horison pengetahuan mufassirnya.

Dengan latar belakang seperti yang diuraikan di muka, mudah ditebak kala
tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk
memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami
perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang
tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di
antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada

11
Abdul Mustaqim, DinamikaSejarahTafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 109

12
Al-Qur’an digital (Q.S. Ali Imran: 28)

7
yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode
(misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah
israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan
ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)13

Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama,


komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah
al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2)
kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain).
Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan
yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.

M.QuraishShihab14 mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal


selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c]
corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f]
bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut
mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya
kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy,
dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para
mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat
penemuan ilmiah.

Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan,


interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman
[capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan
berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-
macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.

Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:

13
M.AlfatihSuryadilagadkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm. 12

14
M. QuraishShihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.

8
a. Corak Tafsir Fikhi

Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya


dalam bidang fikh sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang
berada dibawah pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat dasar
mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.

Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir
menyerupai kumpulan disksifikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan
sikap pro dan kontra daripada pelakunya.

Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang


berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an
sebagai kitab hukum.

Embrio dari tafsir fikhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi


meninggal dunia dan muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum
ada, sehingga belum mendapat pemecahan. Tentunya untk mendapatkan
pemecahan yang benar menurut syari’at, menyebabkan mereka tertarik untuk
mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Kemudian hal-hal seperti ini
berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum dan fanatisme
golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang-orang
yang menaruh minat atas studi hukum.

b. Corak linguistik

Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam


menjelaskan ayat-ayat alQur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan
dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam
tafsir linguistik ialah:

1. Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.


2. Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
3. Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan
memanfaatkan teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
4. Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika alqur’an).
5. Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.

9
6. Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan
dengan teori-teori linguistik.

c. Corak Tafsir Teologis

Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang
tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh
lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis
tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema
teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana
layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam. Tafsir ini sarat
dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham
teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat Al-
Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis
penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.15

d. Corak Tafsir Sufistik

Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-


praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam
semenjak munculnya konflik kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping
praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa
berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan
dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori
khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian
berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih
mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih
mementingkan teori-teori mistiknya.16

e. Corak Tafsir Falsafi

Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan


kedalam bahasa Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku
terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian

15
Abdul Mustaqim, Aliran-AliranTafsir, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2005), hlm. 71

16
Abdul Mustaqim, Aliran-AliranTafsir, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2005), hlm. 72

10
muncullah reaksi dan respon tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka
menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini
bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian yang lain
merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk
mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.

Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama,


dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para
filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga
sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan
menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi
adalah tafsairibnsina, alfarabi, alkindi, dan ikhwan al-shafa.17

f. Corak Tafsir ‘Ilmi

Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah


dalam ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai
ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini
dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam
ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.

Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di
kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu
bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia.
Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-
ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru,
maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah
kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu
tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi
teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.

Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang
lebih moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan,
namun tidak dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau
pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.18

17
Abdul Mustaqim, Aliran-AliranTafsir, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2005), hlm. 73

18
Abdul Mustaqim, Aliran-AliranTafsir, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2005), hlm. 74

11
D. Tokoh-tokoh tafsir era pertengahan

Tafsir pada periode inisangat di pengaruhi oleh kepentingan mufasir yang


mendukung disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan
memiliki karakter khusus. Seperti Al farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu
bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah pendukungmu’tazilah. Ibn Jarir Al
Tabari seorang sejarahwan yang secara teologis posisinya miripAsy’ari yang
cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasionalis mu’tazilah. Al
Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir didaerah yang berbasis
mu’tazilah. Selain itu, ada FakhruddinAr-Razi seorang mutakallim asy’ariah yang
juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang mencoba
merespon capaian al-Zamakh syaridan al-Razi.

Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasidari mazhab syafi’i, al


Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mullamuhsin al Rasyi, Abu
Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologisyi’ahzaidiyah. Dari para
ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn Kasir. Dalam ahli sastra ada
Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al Qadli Abdul Jabbardan lain-
lain.

E. Kitab-kitab era pertengahan

Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’
al-bayan anta’wilayal-qur’an karya IbnJariral-Thabari (923 M), al-kasysyaf
‘anhaqa’iqal-qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144
M) dengan corak ideologi mu’tazilah, mafatihal-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi
(1209 M) denga corak teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-
Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an sendiri memang


sangat terbuka untuk ditafsirkan (multiinterpretable), dan masing-masing mufassir
ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-
kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang
melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek
kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah
tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahibal-Tafsir tidak
dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.

Adapun kemudian dari hal diataskemudian muncullah berbagai corak penafsiran


yang berkembang pada era pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi,
corak linguistic atau kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran
yang lainnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Digital Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi
Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah

Dr. Abdul Mustaqim, MadzahibutTafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003

Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press


eLSAQ Pres

Abdul Mustaqim, DinamikaSejarahTafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press,


2012

Abdul Mustaqim, Aliran-AliranTafsir, Yogyakarta: KreasiWacana, 2005

M.AlfatihSuryadilagadkk, MetodologiIlmuTafsir, Yogyakarta:TERAS, 2010

M. QuraishShihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992

14

Anda mungkin juga menyukai