Anda di halaman 1dari 17

ALIRAN PEMIKIRAN KRIMINOLOGI

Disusun untuk memenuhi tugas:

KRIMINOLOGI & VIKTIMOLOGI 6-A1

Dosen Pengampu:

Rachmat Kurniawan Siregar, SH., MH.

Disusun Oleh Kelompok 4 :

Muhammad Iqbal Rusfandi (201810115175)

Risky Adelia Putri (201810115046)

Donny Ramadhan (201810115020)

Muhammad Andi Prastio (201810115034)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “Aliran Pemikiran Kriminologi”. Pada makalah ini kami
banyak mengambil dari berbagai sumber dan referensi dan pengarahan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Dan juga kami berterima kasih kepada bapak Rachmat Kurniawan Siregar,
SH., MH., selaku Dosen Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi Universitas
Bhayangkara jakarta Raya yang telah memberikan tugas ini kepada kami

Kami selaku penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh
dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Bekasi, 11 Maret 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
I.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
I.3 Tujuan Pembahasan...........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Aliran Klasik......................................................................................................4
2.2 Aliran Neo Klasik..............................................................................................5
2.3 Aliran Positivis...................................................................................................6
2.4 Aliran Kritis.......................................................................................................9

BAB III PENUTUP..............................................................................................12


3.1 KESIMPULAN................................................................................................12
3.2 SARAN............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai
kejahatan. Asal kata Crimonology adalah Crimen yang berarti kejahatan atau
penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Sehingga kriminologi secara
harfiah dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan tindak
kriminal.
Secara umum kajian kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan dari
berbagai aspek, sehingga pemahaman tentang fenomena kejahatan akan bisa
diperoleh dengan baik dan tepat. Faktor-faktor pemicu perkembangan kriminologi
yang utama adalah ketidakpuasan terhadap hukum pidana, hukum acara pidana,
dan sistem penghukuman. Dimana salah satu tujuan paling mendasar dari Hukum
Pidana adalah memberantas kriminalitas dan memperbaiki para pelaku kejahatan
agar tidak mengulangi perbuatannya. Dengan demikian Hukum Pidana harus
mempelajari sebab-akibat dari terjadinya kejahatan. Dengan timbulnya tugas
Hukum Pidana untuk mencari sebab-akibat dari suatu gejala sosial tersebut, maka
kriminologi berperan penting untuk dapat menyumbangkan bahan-bahan kepada
Hukum Pidana. Bahan-bahan tersebut diperlukan guna menyesuaikan Hukum
Pidana dengan kebutuhan masyarakat dalam memberantas kejahatan (fight crime).

Dalam sejarah intelektual, terhadap masalah penjelasan fenomena kejahatan


secara umum dapat dibedakan dengan dua cara pendekatan yang mendasar. Yaitu
pendekatan spiritistik dan pendekatan naturalistik. 1 Keduanya merupakan
pendekatan pada masa kuno maupun modern. Penjelasan spritistik berdasar pada
adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam penjelasan spritistik
ini adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik. Tidak terikat oleh batasan-
batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi
subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas. Bahwa
dalam pendekatan spiritistik fokus perhatiannya adalah pada perbedaan antara

1
Istijab, “Kriminologi”, (Pasuruan: CV. Penerbit Qiara Media, 2020), hal 9.

1
kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa dan keburukan yang datang dari
setan. Dari kaca pandang spiritistik seorang yang telah melakukan suatu kejahatan
dipandang sebagai orang yang telah terkena bujukan setan. Untuk membuktikan
kesalahan seseorang, mereka meyakini bahwa manakala orang itu tidak bersalah
maka Tuhan akan menolongnya dari rasa sakit atau bahkan kematian. Namun
manakala orang itu bersalah, maka Tuhan akan memberikan kepadanya rasa sakit
dan kematian yang amat menyiksa.

Dilihat dari pendekatan naturalistik, berangkat dari pemikiran Hippocrates


yang menyatakan bahwa “the brain is organ of the mind”. Ini adalah dasar dari
paham rasionalisme yang muncul dari perkembangan ilmu alam setelah abad
pertengahan. Menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih
rasional dan mampu membuktikan secara ilmiah. 2 Apabila penjelasan spiritistik
menggunakan dasar dunia lain untuk menjelaskan apa yang terjadi, maka
penjelasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-
obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada (nyata).
Dari pendekatan naturalistik ini timbul beberapa paradigma, atau aliran pemikiran
kriminologi. Seperti aliran klasik, aliran positifis, aliran kritis dan aliran
kartografik.

2
Anggaraeni Haryani Putri, “Diktat Kriminologi”, (Bekasi: Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya, 2020), hal 30.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa landasan pemikiran dari aliran klasik yang dikemukakan oleh Cesare
Beccaria?
2. Apa yang dimaksud dengan teori born criminal dalam determinisme
biologis aliran positivis?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Penulis berharap agar pembaca dapat mengerti dan memahami tentang
aliran pemikiran kriminologi.
2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam suatu masalah
khususnya tentang aliran pemikiran kriminologi.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aliran Klasik
Aliran klasik muncul pada abad ke-18 yang dipelopori oleh Cesare Beccaria,
dan aliran ini timbul di Inggris pada abad pertengahan ke-19. Dasar pemikiran
dari mazhab klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will). Dengan perkataan lain
manusia dalam bertingkah laku dipandu oleh dua hal yaitu kesenangan dan
penderitaan yang menjadi risiko dari tindakan yang dilakukannya. Sehingga
dalam hal ini hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakan yang dilakukannya, dan
bukan karena kesalahannya.3
Aliran Klasik ini mengajarkan, bahwa Hukum Pidana itu dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan-kepentingan perseorangan terhadap kekuasaan negara.
Hal ini didasari bahwa pada masa sebelum Revolusi Perancis, dimana Hukum
Pidana saat itu belum dikodifikasikan dan juga belum ada ketentuan hukum yang
berlaku. Sehubungan dengan keadaan tersebut, perangkat negara dapat
menghukum setiap orang yang menurutnya patut dihukum. Adapun berat
ringannya hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim, sehinga terdapat
ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Selain itu, tatacara penyidikan juga
belum diatur dengan Undang-Undang (belum adanya KUHAP), sehingga sering
kali menimbulkan tindakan-tindakan dari pihak penyidik yang bertentangan
dengan rasa kemanusiaan.
Dengan pemikiran demikian maka Beccaria menuntut adanya persamaan
dimuka hukum bagi semua orang (equality before the law) dan keadilan dalam
penerapan sanksi. Beccaria selanjutnya menginginkan kesetaraan antara tindakan
dan hukuman yang dijatuhkan. Beccaria berusaha menentang kesewenangan
lembaga peradilan pada saat itu, dalam kritiknya pada intinya adalah menentang
terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman. Ini dapat

3
Ibid, hal 32.

4
diungkap secara tersirat dalam tulisannya yang berjudul The Crimes and
Punishment.4
Kemudian Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan dari pemberian
hukuman semata-semata berfungsi sebagai alat pencegahan bagi lahirnya
kejahatan. Pendapat Jeremy Bentham ini kemudian mengilhami lahirnya Code
Civil du Napoleon 1971 dan juga konstitusi Amerika. Adanya persamaan di
hadapan hukum dan keseimbangan antara hukuman atau sanksi dan kejahatan
diterapkan secara murni pada saat itu.5
M. Abdul Kholiq mengatakan bahwa dalam perspektif aliran klasik ini,
kejahatan dan penjahat umumnya hanya dipandang dari sudut yuridis.6 Kejahatan
adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana, sedangkan penjahat
adalah orang yang melakukan kejahatan menurut hukum pidana. Kejahatan
dipandang sebagai hasil pilihan bebas (free will) dari individu yang menilai
untung ruginya melakukan kejahatan. Tanggapan rasional yang diberikan
masyarakat agar individu tidak melakukan pilihan dengan berbuat kejahatan yaitu
dengan cara meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan sebaliknya dengan
menurunkan keuntungan yang dapat diperoleh dari melakukan kejahatan. Dalam
hubungan ini, maka tugas kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem
hukuman (pemidanaan) yang akan meminimalkan tindak kejahatan.7
Jadi menurut pandangan klasik ini, pemidanaan adalah suatu solusi atau cara
untuk menanggulangi kejahatan (control of crime) yang dapat dibenarkan dan
sekaligus juga juga pembenaran untuk eksistensi hukum pidana dan sistem
peradilan pidana.8

2.2 Aliran Neo Klasik


Aliran neo klasik berkembang pada abad ke-19. Ia mempunyai basis
pemikiran yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan

4
Ibid.
5
Ibid.
6
M. Abdul Kholiq, “Urgensi Pemikiran Kritis dalam Pengembangan Kriminologi Indonesia di
Masa Mendatang”, Jurnal Hukum. No. 15 Vol 7. Desember 2000: 161 -174, hal 163.
7
Ibid.
8
Ibid.

5
pada kehendak manusia. Doktrin dasarnya sama dengan aliran klasik, yakni
bahwa manusia adalah mahkluk yang mempunyai rasio, berkehendak bebas
karenanya bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya. Meski demikian,
terdapat sejumlah revisi yang dilakukan terhadap inti ajaran aliran klasik.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain:
1. Perubahan pada doktrin kehendak bebas. Bagi aliran neo klasik, dalam
melakukan suatu perbuatan jahat, pelaku tidak hanya ditentukan free-will
semata, tetapi juga dipengaruhi oleh:
a. Patologi: ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa atau keadaan
lain-lain yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak
bebasnya.
b. Premeditasi: niat yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak,
akan tetapi hal ini berkaitan dengan hal-hal yang aneh (irrasional).
Sebab, jika benar maka pelaku tindak pidana baru (untuk pertama kali)
harus dianggap lebih bebas untuk memilih dari pada residivis yang
terkait oleh kebiasaan-kebiasaannya, oleh karena itu harus dihukum
lebih berat.
2. Pengakuan adanya keadaan-keadaan atau keadaan mental dari individu.
3. Perubahan doktrin tanggungjawab sempurna yang mendasari pembalasan
dalam aliran klasik. Bagi pemikir neo klasik, kesalahan tidak boleh
ditimpahkan sepenuhnya kepada pelaku. Sebab, bisa saja seorang
melakukan kejahatan karena faktor lain seperti kegilaan, kedunguan, usia
dan lain-lain keadaan yang mempengaruhi “pengetahuan dan niat” pada
waktu seseorang melakukan kejahatan.
4. Dimasukkan keterangan ahli dalam acara pengadilan untuk menentukan
besar tanggungjawab, apakah si terdakwa mampu memilih antara yang
benar dan yang salah (Indah Sri Utami, 2012:65-68).

2.3 Aliran Positivis

6
Aliran modern atau aliran positivis muncul pada abad ke-19 yang dimulai
dengan ide determinisme manusia. Pemahaman ini menggantikan doktrin
kehendak bebas dari aliran klasik. Aliran inilah yang pertama kali mendekati
kategori "ilmiah" dalam upaya memahami problem kejahatan. Melalui studi
ilmiah tentang kejahatan yang dipandang sebagai gejala sosial, para positivis
mencoba menemukan hubungan sebab akibat (cause and effect relationship)
dengan cara melakukan analisis terhadap perilaku kriminal yakni dengan
mempelajari karakteristik fisik para pelanggar hukum (pelaku kejahatan).

Mazhab ini berkeyakinan bahwa perilaku manusia ditentukan sebagian oleh


faktor-faktor biologis, tetapi sebagian besar merupakan pencerminan karakteristik
dunia sosiokultural di mana ia hidup. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk
yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan inteligensinya,
tetapi makhluk yang dibatasi dan ditentukan oleh perangkat biologis dan situasi
9
kulturalnya. Secara garis besar aliran positivis membagi dirinya menjadi dua
pandangan, yakni pertama, determinisme biologis: yaitu teori ini mendasarkan
pada pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh
biologis yang ada pada dirinya. Kedua, yakni determinisme kultural: yaitu teori
ini mendasarkan pemikiran pada pengaruh sosial, budaya, dari lingkungan dimana
seseorang itu hidup.10

Dari pandangan determinisme biologis, Cesare Lombroso seorang dokter Italia


yang juga merupakan bapak dari kriminologi modern melahirkan teori born
criminal yang lahir dan diilhami oleh teori Charles Darwin tentang evolusi
manusia. Lombroso membantah bawah manusia itu mempunyai free will. Doktrin
Atavisme menurut Lombroso membuktikan adanya sifat hewani yang diturunkan
oleh nenek moyang. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dari turunannya yang
memunculkan sifat jahat pada manusia modern. Dalam hal ini, Cesare Lombroso
telah meneliti para penjahat yang ditahan dirumah-rumah penjara, baik yang
masih berada di rumah penjara maupun yang sudah meninggalkannya. Setiap

9
Ibid, hal 165.
10
Anggaraeni Haryani Putri, Op. cit, hal 33.

7
orang diteliti tentang bentuk tubuhnya, panjang tulang-tulang lengan, kaki,
tungkai, bentuk telinganya, bentuk tengkorak kepalanya dan lain-lain. Kemudian
Lombroso mengambil kesimpulan dan menyusun dalilnya sebagai berikut :
“Seorang penjahat itu adalah merupakan pembawaannya, bakatnya yang dibawa
sejak lahir.” Bakat itu dapat diketahui dari beberapa ciri yang terdapat pada:
a. Tubuhnya (ciri-ciri luar) antara lain: kelopak matanya dalam, rambutnya
tumbuh kaku, tulang rahang yang tumbuh besar, flaporant;
b. Rohaninya antara lain keras kepala, tahan menderita dan malas.
Dalam kesehariannya seseorang yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana
diajarkan oleh Cesare Lombroso tadi sering disebut sebagai Lombrosso type.
Berdasarkan penelitiannya, Lombroso mengklasifikasikan penjahat kedalam
empat golongan, yakni:
1. Born criminal yaitu orang yang berdasarkan pada doktrin atavisme
tersebut di atas.
2. Insane criminal yaitu mereka yang tergolong kedalam kelompok idiot,
embisil dan paranoid.
3. Occasional Criminal yaitu pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya
berdasarkan pengalamannya yang terus menerus yang kemudian
mempengaruhi kepribadiannya.
4. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan-
tindakannya karena marah, cinta atau karena kehormatan.11
Selanjutnya dalam pandangan determinisme kultural, seorang sarjana Perancis
yang bernama Lacassagne menolak ajaran Cesare Lombrosso, yang mengajarkan
bahwa seorang penjahat itu mempunyai pembawaan dan bakat yang dimiliki
semenjak ia dilahirkan. Lacassagne berpendapat, bahwa tidak mungkin kejahatan
itu disebabkan hanya oleh bakat dan pembawaan saja. Sebab-sebab kejahatan
haruslah dicari dalam kondisi masyarakat itu sendiri, antara lain kemiskinan,
lingkungan pergaulan seseorang, kepadatan penduduk, penyalahgunaan minuman
keras dan lain-lainnya. Dilanjutkan dengan pernyataan Manouvier, bahwa
kejahatan lebih banyak disebabkan oleh millieu atau lingkungan dimana manusia
11
Ibid, hal 35.

8
yang bersangkutan itu hidup, bahwa pengaruh lingkungan inilah yang menurutnya
mempengaruhi sikap jahat manusia.12
Aliran positivis ini muncul untuk menanggulangi kejahatan bahwa tidaklah
cukup dengan melalui penjatuhan pidana saja, melainkan harus dilakukan dengan
menyelesaikan causa-nya terlebih dahulu yang menimbulkan kejahatan itu sendiri.
Secara komparatif, pemikiran positivis dapat dikatakan beberapa langkah lebih
maju dibandingkan dengan pemikiran klasik. Apabila sebelumnya pemikiran
klasik hanya melihat problem kejahatan dan upaya penanganannya melalui jalur
penal semata dimana ini berarti lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah
kejahatan terjadi, maka dalam jalur non penal titik beratnya adalah pada sifat
preventif sebelum kejahatan terjadi.13 Hal demikian ini karena pemikiran positivis
cenderung masih dalam taraf "eksplorasi" (penjajakan) terhadap apa yang disebut
sebagal realitas sosial yang sesungguhnya tentang kejahatan. Indikatornya antara
lain ialah masih terbelenggunya aliran ini dalam bingkai determinisme biologis
dan sosiokultural dalam menganalisis sebab kejahatan. Aspek-aspek penentu
lainnya seperti kebijakan di bidang politik, kebijakan, dan di bidang hukum masih
belum "terjamah" secara benar oleh mereka, sehingga secara keseluruhan
pemikiran positivis masih belum dapat menunjang perkembangan kriminologi
sebagal suatu ilmu yang memiliki peranan penting dalam pendukung
operasionalisasi bidang-bidang ilmu yang lain seperti ilmu hukum pidana.14

2.4 Aliran Kritis


Aliran kritis juga dikenal dengan istilah “Critical Criminology” atau
“kriminologi baru”. Aliran pemikiran ini tidak berusaha menjawab persoalan-
persoalan apakah perilaku manusia itu “bebas” ataukah ditentukan, akan tetapi
lebih mengarahkan pada proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam
membangun dunianya di mana dia hidup. Dengan demikian akan mempelajari
proses-proses dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan
kejahatan kepada orang-orang dan tindakan-tindakan tertentu pada waktu dan
12
Ibid, hal 36.
13
M. Abdul Kholiq, Op. cit, hal 166.
14
Ibid.

9
tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini dapat dibedakan antara
pendekatan interaksionis dan pendekatan konflik.15
Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-
tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat
tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki
masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang
dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat.
Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok
bersangkutan dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat. Dengan
demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses
kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan
undang-undang yakni yang dijadikan orang-orang tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan
dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial.
Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti
bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan-tindakan yang
dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan
menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara
umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai "berbeda" dan
"jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu
tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang-kadang kondisi yang
mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya
banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. Dasar pemikiran
interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan
oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia
tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial akan tetapi juga
peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi-
kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus
sebagai produk dari lingkungannya.

15
Susanto, Diktat Kriminologi, (Semarang: Universitas Diponegoro 1991), hal. 13- 14.

10
Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam
mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendefinisikan kejahatan. Menurut
pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam
perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka
yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam mendefinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai
kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok
orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian
juga sebaliknya. Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi
sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari
perilaku kolektif.
Dalam mazhab kritis ini, tidak lagi dianggap penting persoalan mengenal
apakah manusia itu hakekatnya memiliki kebebasan dalam memilih perilakunya
meliputi perilaku jahat/kriminal (mazhab klasik) ataukah ia terikat pada faktor-
faktor biologis, sosial dan kultural (seperti pandangan mazhab positivis). Secara
global, pemikiran kritis menilai bahwa jumlah kejahatan yang terjadi maupun
karakteristik para pelaku kejahatannya ditentukan terutama oleh bagaimana
hukum pidana yang memandang suatu perbuatan sebagai kriminal itu dirumuskan
dan bagaimana pula praktik pelaksanaannya (proses kriminalisasi dan proses law
enforcement). Dalam konteks inilah pemikiran kritis mulai "menggugat" dan
sekaligus menggarisbawahi bahwa politik hukum tidak selamanya "lurus" dan
"bebas" dari kepentingan non yuridis. Dalam kasus-kasus tertentu dari aliran ini
kadang kala timbul suatu pandangan bahwa justru hukum dalam arti perundang-
undangan pidana itu sendiri sebenamya dapat menjadi faktor kriminogenik. Hal
demikian ini karena undang-undang yang ada substansinya lebih berorientasi dan
memihak pada kepentingan golongan tertentu penguasa dan pada saat yang sama
mengabaikan atau bahkan menindas golongan lainnya. Jadi hukum dipergunakan
sebagai alat.

11
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Sebagaimana pemaparan dan penjabaran makalah diatas maka kesimpulan
yang dapat kami ambil adalah sebagai berikut:
1. Dasar pemikiran dari mazhab klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa
pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas
(free will). Dengan perkataan lain manusia dalam bertingkah laku dipandu
oleh dua hal yaitu kesenangan dan penderitaan yang menjadi risiko dari
tindakan yang dilakukannya. Sehingga dalam hal ini hukuman dijatuhkan
berdasarkan tindakan yang dilakukannya, dan bukan karena kesalahannya.
2. Teori born criminal yang lahir dan diilhami oleh teori Charles Darwin
tentang evolusi manusia. Lombroso membantah bawah manusia itu
mempunyai free will. Doktrin Atavisme menurut Lombroso membuktikan
adanya sifat hewani yang diturunkan oleh nenek moyang. Gen ini dapat
muncul sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat
pada manusia modern. Kemudian Lombroso juga mendalilkan sebagai
berikut : “Seorang penjahat itu adalah merupakan pembawaannya,
bakatnya yang dibawa sejak lahir.” Bakat itu dapat diketahui dari
beberapa ciri-ciri dan karakteristik biologisnya.

2.2 Saran
Sebagaimana pemaparan dan penjabaran makalah diatas maka saran yang
dapat kami berikan adalah sebagai berikut:
1. Bahwa perkembangan pemikiran aliran kritis dalam kriminologi berguna
untuk memahami proses-proses yang menjadikan suatu perbuatan sebagai
kejahatan. Sehingga dari pemahaman yang benar tentang proses-proses
tersebut, selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk menetapkan strategi
kebijakan yang tepat dalam menanggulangi kejahatan.

12
2. Bahwa aliran kritis dipandang sangat urgen dalam upaya-upaya
pengembangan ilmu kriminologi di masa mendatang. Karena hakekatnya
yang selalu mempertanyakan realitas yang tampak dari suatu gejala
hukum.

13
DAFTAR PUSTAKA
Istijab. 2020. Kriminologi. Pasuruan: CV. Penerbit Qiara Media.
Putri, Anggaraeni Haryani. 2020. Diktat Kriminologi. Bekasi: Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya.
Kholiq, Abdul. 2000. “Urgensi Pemikiran Kritis dalam Pengembangan
Kriminologi Indonesia di Masa Mendatang”. Jurnal Hukum. No. 15 Vol 7.
Desember 2000: 161 -174.

14

Anda mungkin juga menyukai