NPM : P21331119027 Kelas : D4-5A TUGAS EKONOMI PANGAN DAN GIZI
A. Garis kemiskinan menurut departemen sosial, BPS, dan Prof. Sayogyo
1. Garis Kemiskinan menurut Departemen Sosial Garis Menurut Departemen Sosial, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (baik makanan maupun nonmakanan). Kriteria kemiskinan menurut Departemen Sosial (2007) antara lain: 1) rendahnya penghasilan; 2) terbatasnya pemilikan rumah tinggal yang layak huni; 3) pendidikan dan keterampilan yang rendah; 4) hubungan sosial dan akses informasi terbatas; 5) angka buta huruf (dewasa) adalah proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau lainnya; 6) penolong persalinan oleh tenaga tenaga tradisional, yaitu dukun, keluarga atau tetangga; 7) penduduk tanpa akses air bersih; 8) penduduk tanpa akses sanitasi; 9) angka kesakitan, yaitu proporsi penduduk yang mempunyai gangguan kesehatan sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari; dan 10) angka pengangguran adalah proporsi penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, dan sudah mendapat pekerjaan tetapi belum memulai pekerjaan. 2. Garis Kemiskinan menurut (BPS) Badan Pusat Statistik menggunakan batas miskin berdasarkan jumlah rupiah yang dibelanjakan per kapita dalam kurun waktu satu bulan untuk konsumsi kebutuhan minimum berupa makanan dan non makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah tercukupinya kebutuhan kalori sebesar 2100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran untuk kebutuhan minimum non makanan adalah seperti pakaian, perumahan dan barang atau jasa lainnya. Badan Pusat Statistik menggunakan dua pendekatan yaitu; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan head count index. Menurut metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Sementara metode head count index adalah ukuran yang mernggunakan kemiskinan absolute. Jumlah penduduk miskin dapat diukur dari nilai rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan sehingga, BPS merumuskan 2 (dua) komponen garis kemiskinan yaitu, garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line). Garis kemiskinan dalam hal ini merupakan fungsi dari biaya hidup (cost of living). Makanan dan non makanan mempengaruhi penentuan komoditi yang akan dipilih untuk dikonsumsi. Pilihan untuk mengkonsumsi sangat dipengaruhi oleh harga, selera, dan pendapatan. Tingkat pendapatan akan sangat menentukan berapa banyak kebutuhan non makanan yang mampu dikonsumsi per kapita. 3. Garis Kemiskinan menurut Prof. Sajogyo Garis kemiskinan, yakni spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencangkup konsepsi nilai ambang kecukupan (food threshold) dan menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Garis kemiskinan dinyatakan dalam Rp/bulan dalam bentuk ekuivalen nilai tukar beras (kg/orang/bulan) dengan dibandingkan nilai tukar antardaerah dan antarzaman sesuai dengan harga beras setempat. Memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena: 1) Dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka “penghasilan”. 2) Sudah mencangkup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang “dimakan”, mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut. 3) Data dari BPS mulai banyak tersedia (sampel besar) dan lebih baik lagi jika mencangkup data selama minimal satu tahun penuh. Hasilnya, klasifikasi berupa: 1) Desa: a) Miskin : pengeluaran rumah tangga di bawah 320kg nilai tukar beras/orang/tahun b) Miskin sekali : pangan tak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/orang/tahun c) Paling miskin : pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/orang/tahun 2) Kota: a) Miskin : pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kh nilai tukar beras/orang/tahun b) Miskin sekali : di bawah 380 kg nilai tukar beras/orang/tahun c) Paling miskin : di bawah 270 kg nilai tukar beras/orang/tahun Lapisan pengeluaran rumah tangga “240 kg-320 kg nilai tukar beras/orang/tahun” di desa disebut lapisan ambang kecukupan pangan. Rumah tangga dalam lapisan ini dapat mencapai kebutuhan pangan (kalori-protein). Untuk kota lapisan pengeluaran "360 kg-480 kg nilai tukar beras/ orang/tahun" dapat mencapai kecukupan pangan pula, yaitu mendekati patokan 1.900 kalori dan 40 gram protein/orang/hari (rekomendasi netto sesuai susunan penduduk Indonesia dan patokan FAO/WHO tahun 1971). Contoh Di desa: golongan pengeluaran rumah tangga Rp751-Rpl.000/orang/bulan(= 240- 380 kgberas/orang/tahun). Dari tingkat konsumsi 1.620 kalori dan 31,5 gram protein, seharga Rp23,2/orang/hari melalui program perbaikan diet dapat mencapai 1.858 kalor/40,2 gram protein, seharga Rp27,57/orang/hari (= tambah 16%), yaitu dengan menambah 200 kalori dari tambahan beras atau jagung atau ubi-ubian, sesuai susunan diet rumah tangga lapisan tersebut dengan nilai per Rp1.000 kalori-Rp9,72 dan menambah 100% konsumsi ikan dan kacang-kacangan. Ikan menjadi 40 kalori per 8,0 gram protein (Rp2,72) dan kacang-kacangan 34 kalori per 2,6 gram protein, seharga Rp1,50. ltulah sumber protein di luar serealia yang paling murah bagi mereka. Pengeluaran untuk makanan menjadi Rp27,05 dari semula Rp23,29 per orang/hari. Ditambah dengan pengeluaran bukan pangan Rp5,81/orang/hari, maka setelah perbaikan untuk kecukupan pangan pengeluaran total menjadi Rp32,89/orang/hari atau 316 kg nilai tukar beras/orang/tahun. Hanya rumah tangga dekat batas 320 kg nilai tukar beras/orang/tahun dapat mencapai kecukupan pangan, jika terhadap mereka dilakukan perbaikan pangan dengan cara tersebut. Diet yang diperbaiki pada rumah tangga lapisan tersebut berarti bahan pangan pokok 441 gram ekivalen kalori beras/orang/hari dengan 84% beras + jagung. Di desa lapisan berikutnya,yaitu lapisan dengan pengeluaran Rp1.000- Rp1.250/orang/bulan, rata-rata mencapai 433 gram ekivalen (kalori) beras/orang/hari (89% beras + jagung). Di kota: golongan pengeluaran rumah tangga Rp 1.251-Rp1.500 I orang/bulan (= 360 kg-480 kg nilai tukar beras/orang/tahun). Dari tingkat konsumsi 1.426 kalori per 32,3 gram protein seharga Rp33,41/orang/hari dengan program perbaikan diet dapat mencapai 1.826 kalori/43,8 gram protein seharga Rp42,01/orang/hari, yaitu dengan menarnbah 400 kalori dari tambahan beras atau jagung atau ubi-ubian sesuai pola diet merekaseharga Rp 12,87/1.000 kalori dan menambah 100% konsumsi ikan dan kacang-kacangan. Ikan menjadi 18 kalori per 4,0 gram protein (Rp 3,72) dan kacang-kacangan 62 kalori/4,2 gram protein (Rp3,18/orang/hari). Perbaikan diet tersebut berarti tambahan biaya pangan 26%. Dengan pengeluaran bukan-pangan Rp12,17/orang/hari total pengeluaran menjadi Rp54,18/orang/hari atau 473 kg nilai tukar beras/orang/ tahun. Ini sudah dekat sekali pada batas 480 kg/orang/tahun nilai tukar beras. (Waktu itu beras di kota ditaksir seharga Rp41,25/kg atau 10% lebih mahal dari di desa Rp 37,50/kg). Diet yang diperbaiki pada lapisan "360-480 kg nilai tukar beras/orang/ tahun" itu berarti bahan pangan pokok 415 gram ekivalen kalori beras/orang/hari dengan 96% beras + jagung. Lapisan lebih atas berikutnya ternyata hanya mencapai bahan pangan pokok 366 gram ekivalen/orang/hari (95% beras + jagung). Hal tersebut masih rendah menurut patokan gizi walaupun daya beli lebih tinggi. Perbaikan pasaran dan peningkatan hasil pangan tetap diperlukan peranannya, terutama untuk tiga jenis bahan pangan pokok sumber karbohidrat tersebut, ikan dan kacang-kacangan.
B. Teori Pertumbuhan Penduduk terhadap Permintaan Pangan oleh Thomas Robert
Malthus Istilah krisis selalu dikaitkan dengan tidak seimbangnya antara supply (ketersediaan) dengan demand (kebutuhan), yaitu ketika angka kebutuhan lebih tinggi dari ketersediaan, maka terjadilah krisis. Kekhawatiran terhadap krisis pangan pertama dinyatakan oleh Thomas Robert Malthus (1766–1834), bahwa laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasar deret hitung. Deret ukur dalam pemahaman Malthus diartikan sebagai terjadinya peningkatan berdasar kelipatan yakni: 1, 2, 4, 8, dan seterusnya. Sedangkan deret hitung menjelaskan bahwa peningkatan terjadi berdasar penambahan tetap dengan angka variabel penambah 1, yakni 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Dapat dikatakan bahwa teori Malthus mengingatkan bahwa secara alamiah generasi yang akan datang akan memiliki permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan ketersediaan pangan, dibanding dengan generasi sebelumnya. Malthus mengemukakan dua macam check ‘pencegah’ yang dapat mempertahankan laju pertumbuhan penduduk pada tingkat keseimbangan dengan ketersediaan pangan, yang dikenal dengan preventive dan positive check. Preventive check bekerja memengaruhi pertumbuhan penduduk melalui penurunan angka kelahiran, seperti menghindari perkawinan, menunda usia kawin, dan membatasi jumlah anak (keluarga berencana); sedangkan positive check memengaruhi perumbuhan penduduk melalui tingkat kematian yang tinggi, seperti dampak perang, kemiskinan, kelaparan, dan wabah penyakit (Malthus, 1798). Solusi yang ditawarkan adalah bagaimana menekan laju pertambahan penduduk. Program keluarga berencana (KB) berhasil menekan laju pertambahan penduduk di banyak negara seperti Tiongkok dan Indonesia, namun tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan. Contoh : Penerapan teori Malthus, Indonesia pernah menganut teori tersebut. Di mana dahulu Indonesia berhasil menciptakan swasembada beras selama 2 tahun, namun belum bisa untuk jangka panjang. Salah satu solusi dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan areal dan produktivitas. Selama 5 tahun terakhir (2004-2008), areal panen padi hanya meningkat 0,47 juta ha dengan komposisi 11,42 juta ha di tahun 2004 dan menjadi 12,34 juta ha di tahun 2008. Dari segi produktivitas mengalami peningkatan 0,32 ton/ha dengan komposisi 4,54 ton/ha di tahun 2004 dan menjadi 4,86 ton/ha di tahun 2008. Hal tersebut dirasakan belum cukup memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia seiring semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk setiap tahun sehingga perangkap Malthus tetap terus ada.
C. Neraca Bahan Makanan (NBM) Nusa Tenggara Timur Tahun 2006