Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN AGAMA

Disusun untuk mememenuhi mata kuliah Pengantar Studi Islam


yang dibimbing oleh: Drs. Abdul Wahib,, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Kelompok 4/ Kelas C2
1. Muhammad Roikul Ubbad (211101030067)
2. Alfin Nabila Oktanisa (211101030076)
3. Putri Arroyyani (211101030051)
4. Nurul Hafshotus Shafirah (211101030050)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim, kami panjatkan puja dan puji syukur atas


kehadiran Allah SWT. Atas segala limpahan nikmat serta karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah guna memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah Pengantar Studi Islam dengan judul “HUBUNGAN MANUSIA DENGAN
AGAMA”.
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs.
Abdul Wahib,, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Penngantar Studi Islam,
harapannya tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait Hubungan Manusia dengan Agama terhadap penulis dan
pembaca. Makalah ini kami buat sebagian dengan mengambil referensi dari
berbagai sumber yang kemudian kami rangkum sesingkat mungkin.
Telepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Banyuwangi. 25 September 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agama 3
2.2 Hakikat Manusia 4
2.3 Hubungan Manusia dengan Agama 8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia yang lahir di dunia membawa fitrah, bakat, dan insting. Yang
dibawa manusia ketika lahir adalah fitrah agama, yaitu unsur ketuhanan. Unsur
ketuhanan ini di luar ciptaan akal budi manusia dan merupakan sifat kodrat
manusia. Kejadian manusia sebagai makhluk ciptaan Allah telah dilengkapi
dengan unsur-unsur kemanusiaan, keadi-lan, kebajikan, dan sebagainya. Hal
utama yang perlu dipahami setiap muslim mengenai manusia adalah bahwa Tuhan
menyatakan manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertugas untuk membangun
dan mengelola dunia, sesuai dengan kehendak pencipta-Nya. Dalam
melaksanakan tugas kekhalifahan ini, selain dibekali fitrah agama, manusia juga
dibekali dengan berbagai macam potensi lainnya seperti, potensi naluriyah,
inderawi, dan akal sehingga dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya
dan menjalankan tugas kekhalifahan sesuai dengan yang diamanahkan Allah Swt.
Dari potensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Manusia dan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati.
Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam
bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam
menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka
secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu
spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa. Jika manusia dilihat dari
hubungannya dengan agama, dapat dikatakan bahwa agama dapat membuat
manusia menjadi orang beriman dan mampu menjalankan semua tanggung
jawabnya sebagai manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu bagi kita untuk menganalisis
atau mempelajari keterkaitan antara manusia dengan agama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari agama?
2. Bagaimana hakikat manusia?
3. Bagaimana hubungan manusia dengan agama?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari agama
2. Untuk mengetahui hakikat manusia
3. Untuk mengetahui hubungan manusia dengan agama

2
BAB II
PEMBAHASAN
.1 Pengertian Agama
Agama menurut kamus bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada tuhan, atau juga di sebut nama lainnya dengan ajaran dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata “Agama”
berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa lain “religio” dan
berakal dari kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya,
dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya dengan Tuhannya.1
Dalam bahasa arab, “Agama” berasal dari kata “Addin” berarti undang-
undang atau hukum. Dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini sejalan dengan
agama yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum,
yang harus dipatuhi penganut agama yang bersangkutan. Selanjutnya, agama juga
menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh dengan Tuhannya.2
Agama islam adalah agama Allah, dari Allah dan milik Allah. Diamanatkan
kepada seluruh umat manusia pengikut dari utusan Allah. Mulai dari zaman Nabi
Adam, hingga Nabi Isa agama Allah adalah agama Tauhid yaitu Islam, walaupun
sekarang agama yahudi itu telah diklaim agama yang dibawa oleh Musa kemudian
kristen diklaim sebagai ajaran Nabi Isa. Padahal sesungguhnya ajaran yang
dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa untuk masalah akidah adalah sama, sama-
sama mengesakan Allah, hanya berbeda dalam hal syara’ yang lain. Jadi, makna
islam secara khusus sebagai agama penyempurna yang diamanatkan untuk para
pengikut Nabi Muhammad SAW.3
Agama islam (‫ )اسالم‬berasal dari kata- kata salam (‫ )سالم‬yang berarti damai dan
aman, sala mah (‫ )سالمة‬yang berarti selamat. Istilah islam (‫ )االسالم‬itu sendiri berarti

1
Abdul Razak dan Ja’far, “STUDI ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK (Islam
Rahmatan lil „Alamin)” (Tanggerang Selatan: Yayasan Asy Syariah Modern Indonesia,2019), hlm
1-2
2
Ibid. hlm 2
3
Heru Juabdin Sada, “Manusia dalam Perspektif Agama Islam”, Al-Tadzkiyyah. Vol.7 No 1, 2016,
hlm 134-135

3
suatu penyerahan diri secara totalitas hanya kepada Allah SWT agar memperoleh
ridho dari-Nya dengan menaati dan mematuhi semua perintah serta semua
larangan-Nya. Islam terdiri atas aqidah dan syariat, aqidah atau kepercayaan
(ilmunya), syariat peribadatan dan syariat akhlak dan muamalah. Islam merupakan
satu-satunya agama yang haq dan dibenarkan oleh Allah SWT 4, dalam firman-
Nya:
٨٥ – َ‫َو َم ْن يَّ ْبت َِغ َغي َْر ااْل ِ ْساَل ِم ِد ْينًا فَلَ ْن يُّ ْقبَ َل ِم ْن ُۚۚهُ` َوه َُو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين‬
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85)
.2 Hakikat Manusia
Martin Buber mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa disebut
‘ini’ atau ‘itu’. Menurutnya manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan
yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun
keterbatasan ini hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang akan
dilakukannya tidak dapat diprediksi. Dalam pandangan ini manusia berpotensi
utuk menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’, tergantung kecenderungan mana yang lebih besar
dalam diri manusia. Hal ini memungkinkan manusia yang ‘baik’ kadang-kadang
juga melakukan ‘kesalahan’.5
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia adalah perkaitan antara badan dan
ruh. Badan dan ruh merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak
tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua
substansi adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya
juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT6, sebagaimana firman-Nya:

‫ ثُ َّم خَ لَ ْقنَا‬١٣- ۖ ‫ار َّم ِكي ٍْن‬ ٍ ‫طفَةً فِ ْي قَ َر‬ ْ ُ‫ ثُ َّم َج َع ْل ٰنهُ ن‬١٢- ۚ ‫َولَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ااْل ِ ْن َسانَ ِم ْن س ُٰللَ ٍة ِّم ْن ِطي ٍْن‬
‫طفَةَ َعلَقَةً فَخَ لَ ْقنَا ْال َعلَقَةَ ُمضْ َغةً فَ َخلَ ْقنَا ْال ُمضْ َغةَ ِع ٰظ ًما فَ َك َسوْ نَ̀ا ْال ِع ٰظ َم لَحْ ًما ثُ َّم اَ ْن َشأْ ٰنهُ خَ ْلقًا ٰاخ ۗ ََر‬ ْ ُّ‫الن‬
١٤ – َ‫ك هّٰللا ُ اَحْ َسنُ ْالخَالِقِ ْي ۗن‬ `َ ‫فَتَبَا َر‬
4
Ibid. Hlm 135
5
Siti Khasinah, “Hakikat Manusia menurut Pandangan Islam dan Barat”, Jurnal Ilmiah Didaktika.
Vol 13 No 2, 2013, hlm 300
6
Solehan Arif, “Manusia dan Agama”, Islamuna. Vol 2 No 2, 2015, hlm 151

4
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu
yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudi-an, Kami menjadikannya makhluk yang
berbentuk lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik”. (QS.al-
Mu‟minun:12-14)
Setidaknya ada empat kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk makna
manusia, yaitu: al-basyar, al-insān, al-nās, dan banī ādam. Meskipun kata tersebut
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan
pengertian yang berbeda.7
1. Al-Basyar
Secara etimologi, al-basyar berarti kulit kepala, wajah atau tubuh yang
menjadi tempat tumbuhnya rambut. Menurut Quraish Shihab, kata basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti
kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang.
Berdasarkan konsep al-basyar, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah
prinsip kehidupan biologis seperti berkembangbiak, mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan
kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan
juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut
keturunannya. Sebagai makhluk biologis, manusia juga mengalami proses
akhir secara fisik, yaitu mati. Mati merupakan tahap akhir dari proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.
2. Al-insan

7
Ibid. hlm 153

5
Islam sebagai agama samawi paling belakangan muncul juga menawarkan
pandangan tentang manusia. Manusia dalam bahasa Arab disebut al-nās atau
al-insān. Kata al-insān berasal dari kata al-uns yang berarti jinak, harmonis,
dan tampak. Dalam al-Quran kata insān sering juga dihadapkan dengan kata
jin atau jān, yaitu makhluk yang tidak tampak. Kata insān dalam al-Quran
digunakan untuk menunjuk manusia sebagai totalitas (jiwa dan raga). Potensi
tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara
fisik dan secara mental spiritual.
Perkembangan tersebut antara lain, meliputi kemampuan untuk berbicara.
Menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan
manusia dengan kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak diketahui.
Kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di dalam ruh,
dalam bentuk kesaksian. Potensi untuk mengembangkan diri ini (yang positif)
memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya
insaninya. Integritas ini akan tergambar pada nilai iman dan bentuk
amaliyahnya. Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban
amanah Allah di muka bumi secara utuh. Namun demikian, manusia sering
lalai bahkan melupakan nilai insaniyah yang dimilikinya dengan berbuat
kerusakan di bumi.
3. Al-nas
Kata al-nās menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial
secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. Dilihat
dari kandungan maknanya, kata ini lebih bersifat umum dibandingkan dengan
kata al-insān. Dalam al-Quran,kosa kata al-nās umumnya dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal.
Adapun secara umum penggunaan kata al-nās memiliki arti peringatan
dari Allah kepada semua manusia untuk selalu menjaga perbuatannya karena
semua itu pasti ada konsekuensinya, seperti jangan terlampau hemat memakai
harta bendanya atau pelit, jangan sombong, bangga karena telah berbuat baik

6
dan jangan menjadikan setan sebagai temannya karena setan merupakan
seburuk-buruk teman, jangan takut kepada manusia tetapi takutlah kepada-
Nya. Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga
dapat mendatangkan manfaat, merupakan usaha yang sangat dianjurkan.
Dengan demikian konsep al-nās, mengacu kepada peran dan tanggung jawab
manusia sebagai makhluk sosial dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT.
4. Bani Adam
Secara etimologi kata banī ādam menunjukkan arti pada keturunan Nabi
Adam. Namun yang jelas, menurut al-Quran pada hakikatnya manusia berasal
dari nenek moyang yang sama, yakni Adam dan Siti Hawa. Berdasarkan asal
usul yang sama ini berarti manusia masih memiliki hubungan darah, serta
pertalian kekerabatan. Dari ras manapun dia berasal. Atas kesamaan ini sudah
semestinya manusia mampu menempatkan dirinya dalam komunitas
persaudaraan umat sejagat. Persaudaraan antar sesama manusia dengan
merujuk kepada kesamaan asal usul dan keturunan.
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep banī ādam, manusia
diingatkan Allah agar tidak tergoda setan, menyuruh manusia memakai
pakaian yang bagus ketika beribadah dan mencegah dari makan minum secara
berlebih-lebihan, bertakwa dan mengadakan perbaikan, kesaksian manusia
terhadap Tuhannya, dan terakhir peringatan agar manusia menyadari bahwa
setan itu merupakan musuh yang nyata. Dengan demikian bahwa pemaknaan
kata banī ādam lebih ditekankan pada aspek amaliyah manusia sekaligus
pemberi arah kemana dan dalam bentuk apa aktifitas itu dilakukan. Di sini
terlihat demikian demokratisnya Allah terhadap manusia. Hukum sebab akibat
tersebut memungkinkan Allah SWT untuk meminta pertanggungjawaban pada
manusia terhadap semua perbuatan yang dilakukannya.
.3 Hubungan Manusia dengan Agama
1) Fitrah terhadap Agama
Sering ditemukannya beraneka macam ritual keagamaan dalam
masyarakat semenjak dahulu hingga sekarang ini membuktikan bahwa

7
kehidupan di bawah keyakinan adalah tabiat hidup pada manusia. Tabiat ini
ada sejak manusia dilahirkan sehingga hampir tak ada pertentangan
didalamnya, dari yang baru tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan.
Agama-agama dengan corak yang berbeda-beda telah berkembang dalam
masyarakat tersebut. Susunan alam dan jagat raya yang sedemikian rupa
mengagumkan itu telah menggiring manusia kepada keberadaan Sang
Pencipta yang Maha Sempurna. Manusia membutuhkan Tuhan untuk
disembah, penyembahan yang dilakukan manusia kepada sang maha Pencipta
merupakan bagian dari karekteristik penciptaan itu sendiri sebagaimana
penciptaan satelit mengorbit pada planetnya8. Allah SWT berfirman:

ٰۤ ‫اَلَم تَر اَ َّن هّٰللا يُسبِّ ُح لَهٗ م ْن فى السَّمٰ ٰوت وااْل َرْ ض والطَّ ْي ُ`ر‬
ۗٗ‫صاَل تَهٗ َوتَ ْسب ْي َحه‬
ِ ٍ ۗ ّ‫ص ٰف‬
َ ‫ت ُكلٌّ قَ ْد َعلِ َم‬ َ ِ َ ِ ِ َ َ َ َ ْ
٤١ – َ‫َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ۢ ٌم بِ َما يَ ْف َعلُوْ ن‬
Artinya: “Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan
sayapnya. masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya,
dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S: An-Nuur,
24:41)
2) Pencarian Manusia terhadap Agama
Kesempurnaan akal senantiasa menuntut manusia untuk berpikir. Oleh
sebabnya, pencarian ummat manusia terhadap kebenaran ajaran agama yang
dianutnya tidak pernah lepas dari muka bumi ini. Penyimpangan pemahaman
ajaran agama dalam konteks perjalanan sejarah kehidupan manusia pada
akhirnya dapat diketahui oleh terpenuhinya kepuasan berpikir manusia yang
hidup kemudian. Nabi Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan
manusia-manusia pada saat itu mempertuhankan benda-benda mati di alam ini
seperti patung, matahari, bulan, dan bintang. Demikian pula Nabi Muhammad
SAW, pada akhirnya memerlukan tahannus karena jiwanya tidak dapat

8
Heru Juabdin Sada, “Manusia dalam Perspektif Agama Islam”, Al-Tadzkiyyah. Vol.7 No 1,
2016, hlm 137-138

8
menerima aturan hidup yang dikembangkan oleh masyarakat Quraisy di
Mekkah yang mengaku masih menyembah Tuhan Ibrahim. Allah berfiman;

٧ – ‫ض ۤااًّل فَهَ ٰد ۖى‬


َ َ‫َو َو َجدَك‬
Artinya: “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia
memberikan petunjuk.”. (Q.S: Ad-Dhuhaa, 93:7)
Seiring dengan sifat-sifat mendasar yang ada pada diri manusia itu Al-
Quran dalam sebagian besar ayat-ayatnya menantang kemampuan berpikir
manusia untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana yang dibawa
dalam ajaran Islam. Keteraturan alam dan sejarah bangsa-bangsa pada masa
terdahulu menjadi obyek yang dianjurkan untuk dipikirkan. Perbandingan
ajaran antar berbagai agama pun diketengahkan Alqur‟an dalam rangka
mengokohkan pengambilan pendapat manusia (Imam Syafe‟i, 2014)
Akibat dari adanya proses berpikir ini, baik itu merupakan sebuah
kemajuan atau kemunduran, maka terjadilah sebuah perpindahan
(transformasi) agama dalam kehidupan umat manusia. Ketika seseorang
merasa gelisah dengan jalan yang dilaluinya dan kemudian ia menemukan
sebuah titik pencerahan, maka niscaya ia akan memasuki dunia yang jauh
lebih memuaskan akal dan jiwanya itu. Ketenangan merupakan modal dasar
dalam upaya mengarungi kehidupan pribadi. Padahal masyarakat itu adalah
kumpulan pribadi-pribadi. Masyarakat yang tenang, dan bangsa damai yang
sejuk sesungguhnya tercipta dari masyarakat yang menjalanai kehidupannya9.
3) Agama Sumber Ketenangan Jiwa Manusia
Adapun manusia merupakan makhluk yang memiliki ruh, ia juga
membutuhkan ketenangan-ketenangan yang bersifat ruhaniah, yakni
ketenangan hakiki. Ketenangan ruhaniah mempunyai kontribusi yang sangat
penting terhadap kebahagiaan hidup manusia, baik secara lahiriah maupun
batiniah. Kebahagiaan hidup itu tidak akan bisa didapatkan jika manusia tidak
memperoleh ketenangan hakiki. Bahkan fisik manusia itu bisa hancur jika
ketidaktenangan manusia mencapai titik yang paling memprihatinkan.
9
Ibid. hlm 138-139

9
Namun ketenangan hakiki itu tidak akan bisa didapatnya tanpa diri
manusia itu sendiri mengenal pemilik ruh, yaitu Allah SWT. Manusia tidak
mungkin mampu mengenal Allah SWT tanpa Agama. Bahkan manusia tidak
akan pernah tahu untuk apa ia diciptakan dan kemana
pertanggungjawabanya.10
4) Agama sebagai Petunjuk Tata Sosial
Rasulullah SAW bersabda: “Innamaa bu’itsu liutammima makarimal
akhlaaq”. Yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus (Nabi Muhammad) untuk
menyempurnakan akhlak. Orang yang bertanggung jawab dalam pendidikan
akhlak adalah orang tua pada pendidikan informal, guru atau ustad pada
pendidikan formal dan lain sebagainya. Pendidikan akhlak sangat penting
karena menyangkut perilaku dan sikap yang harus ditampilkan oleh seoarang
muslim dalam kehidupan sehari-hari baik personal maupun sosial. Akhlak
yang terpuji merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh setiap umat
muslim (sebab maju atau mundurnya suatu bangsa atau negara itu sangat
tergantung kepada akhlak tersebut). Untuk mencapai maksud tersebut maka
perlu adanya kerja sama yang sinergis dari berbagai pihak dalam menumbuh
kembangkan akhlak mulia dan menghancur leburkan faktor-faktor penyebab
timbulnya akhlak yang buruk.11

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

10
Ibid. hlm 139-140
11
Ibid. hlm 140

10
Berdasarkan pembahasan diatas maka bisa dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan
kepada Tuhan, dan tata kaidah yang berhubungan dengan budaya. Agama
islam merupakan agama Allah, dari Allah dan milik Allah.
2. Hakikat manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan yang memiliki
potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun keterbatasan ini
hanya bersifat faktual bukan esensial. Islam berpandangan bahwa hakikat
manusia adalah perkaitan antara badan dan ruh. Setidaknya ada empat kata
yang digunakan al-Quran untuk menunjuk makna manusia, yaitu: al-
basyar, al-insān, al-nās, dan banī ādam.
3. Hubungan manusia dengan agama dapat dilihat dari beberapa hal yaitu,
fitrah terhadap agama, pencarian manusia terhadap agama, agama sumber
ketenangan jiwa manusia, dan agama sebagai petunjuk tata sosial,

11
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Solehan. 2015. “Manusia dan Agama” dalam Islamuna: Jurnal Studi Islam
Volume 2 No 2 (hlm 151-160)
Khasinah, Siti. 2013. “Hakikat Manusia menurut Pandangan Islam dan Barat”
dalam Didaktika: Jurnal Ilmiah Volume 13 No 2 (hlm 300)
Razak, Abdul dan Ja’far. 2019. “STUDI ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT
MAJEMUK (Islam Rahmatan lil „Alamin)”. Tanggerang Selatan: Yayasan
Asy Syariah Modern Indonesia.
Sada, Heru Juabdin. 2016. “Manusia dalam Perspektif Agama Islam” dalam Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam Volume 7 No 1 (134-140)

12

Anda mungkin juga menyukai