Oleh:
KELOMPOK 2 D
1. SITI NURSIYAH (D1B119020)
2. FITRA NENGSI RAHMADANI (D1B119031)
3. I PUTU ARDIKA (D1B119008)
4. LAODE MUHAMAD AKBAR (D1B119041)
5. SARI LAWA (D1B119083)
6. SITI HARTINA (D1B119052)
7. AWALUDDIN (D1B119027)
8. ANDIKA (D1B120028)
9. REZKI (D1B120092)
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Ibu yang telah membimbing kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bernilai baik, bermanfaat dan
dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami
susun ini belumlah sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Kelompok 2D
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agroforestri
2.2 Sejarah Perkembangan Agroforestri
2.3 Ruang Lingkup Agroforestri
2.4 Tujuan dan Sasaran Agroforestri
2.5 Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri
2.6 Bentuk Pola Tanam dalam Sistem Agroforestri
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Peran utama dari keberadaan pohon dalam agroforestri terdiri dari dua peran.
Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan
pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan
hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon
berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pembangunan kehutanan
diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Dalam
pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat diperlukan peran serta masyarakat di
dalam dan di luar kawasan hutan. Untuk itu keberhasilan pembangunan kehutanan
sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan masyarakat sekitar terutama untuk
peningkatan kesejahteraan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang agroforestri.
BAB II
PEMBAHASAN
Selain dari perladangan, sistem agroforestri yang dikembangkan saat ini baik
secara tradisional maupun ilmiah muncul dari sistem berkebun yang banyak dijumpai
didaerah Asia Tropis misalnya sistem kebun hutan dan kebun pekarangan yang
dilakukan masyarakat asli Kalimantan. Sistem berkebun seperti ini ternyata
ditemukan juga didaerah Amerika Latin dan Afrika yang berkaitan erat dengan sistem
praktek perladangan, dimana masyarakat tradisionalnya memiliki tradisi memelihara
pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat
penting lainnya. Pada fase pra-agroforestry, agroforestri dipraktikan sebagai sistem
pengelolaan lahan dengan pembangunan hutan menjadi tujuan utama. Sekitar tahun
1800-an, dilakukan penanaman jati oleh Sir Dietrich Brandis (rimbawan Jerman) di
daerah Birma dengan menggunakan sistem “Taungya” ( taung = bukit, ya =
budidaya ) yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian, yang kemudian
penggunaan sistem ini dilakukan diberbagai negara (Harian et al., 2008).
Di Indonesia, sistem taungya diperkenalkan oleh kolonial belanda sekitar akhir
abad XIX dalam rangka pengelolaan hutan jati. Banyak ahli yang berpendapat bahwa
sistem taungya merupakan cikal bakal agroforestri modern. Dalam perkembangan
sistem taungya selama lebih dari seratus tahun, hanya sedikit bahkan tidak ada
perhatian terhadap komponen pertanian, petani atau produk pertaniannya. Sehingga
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sangat minim dan sistem taungya hanya
dirancang untuk kepentingan kehutanan saja. Filosofi yang ada pada saat itu adalah
pebangunan hutan tanaman dengan memanfaatkan tenaga kerja dari para tuna karya
dan tuna lahan yang ada dan sebagai imbalannya mereka diperkenankan untuk
memanfaatkan lahan disela-sela anakan tanaman kehutanan untuk bercocok tanam
atau aktivitas pertanian. Ininlah gambaran umum dan asal mula konsep sistem
taungya (Harian et al., 2008).
Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu, kehutanan,
pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri
sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-
sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok
produk yang serupa. Menurut Sa’ad (2002) penggabungan tiga komponen tersebut
menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi yakni:
Dalam bahasa Indonesia, kata agroforestri dikenal dengan istilah wana tani
yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De foresta dan
Michon (dalam Hariah et al., 2008) agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua
sistem yakni:
Kelayakan (feasibility)
Keuntungan (profitability)
Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
Kesinambungan (sustainability)
1. Kelayakan (Feasibility)
a. Status ekonomi
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang ‘tertutup’ dan tidak ada
campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya
pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan.
Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan
hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan
hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau perkebunan.
b. Luas lahan
c. Kualitas lahan
B. Teknologi pendukung
C. Orientasi produksi
c. Pemenuhan kebutuhan
Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya
kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi bahan pertimbangan penting. Kemudahan
akses ke pasar dan harga pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan
menentukan apakah petani memilih menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
E. Kebijakan pendukung
2. Keuntungan (Profitability)
1) Konsep ekonomi
2) Indikator finansial
4) Analisis Komparatif
a. Risiko usaha
c. Gender
Penghasilan lain dari luar (off-farm) atau di luar sektor pertanian ini (non-
farm) juga memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek,
yang tidak bisa menunggu sampai musim panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling
mudah menghasilkan tunai adalah menjual tenaga di bidang pertanian misalnya
sebagai buruh tani. Pekerjaan di luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi,
tenaga kasar, tukang, karyawan swasta, pemerintah, dan sebagainya. Seringkali
dijumpai petani yang merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata memiliki
tingkat penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja. Mereka memiliki
kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap pasar dan informasi,
ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan sebagainya. Petani campuran itu
ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan lebih efisien, sehingga usaha taninya
lebih berkembang (Hairiah et al., 2000).
1) Penguasaan lahan
a. Privatisasi
a. Kategori hak
Terdapat empat kategori hak atas pohon, yaitu (1) hak untuk memiliki atau
mewariskan pohon-pohon; (2) hak untuk menanam pohon; (3) hak untuk
menggunakan pohon dan hasil dari pohon; (4) hak untuk memindahtangankan pohon:
merusak, memberikan, menyewakan, atau menggadaikan (Fortmann, 1988). Karena
hasil agroforestri bukan hanya pohon, maka hak-hak tersebut dapat pula dilekatkan
pada hasil agroforestri selain pohon.
Pemegang hak (right holders) dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu
negara (pemerintah), kelompok, rumah tangga, dan individu. Pemerintah memiliki
hak-hak dalam (1) mengatur penggunaan lahan dan hasil agroforestri daripadanya
yang dimiliki oleh pihak lain; (2) melarang atau membatasi penggunaan lahan dan
hasil agroforestri pada kawasan hutan tertentu, misalnya kawasan lindung; (3)
memberikan ijin penggunaan secara terbatas atas lahan dan hasil agroforestri pada
kawasan lindung.
Agroforesti adalah bentuk atau sistem penggunaan lahan, dimana pemakai lahan
dapat memperoleh hasil tanaman pangan atau tanaman agronomi lain, tanaman pakan
ternak dan hasil kayu secara simultan, serta dapat melestarikan sumber daya lahan
tersebut. Dalam sistem agroforestri ada beberapa pola tanam, diantaranya adalah
bentuk pola tanam tiga strata, multistorey cropping, alley cropping dan sebagainya
(Sutidjo, 1986).
Salah satu pola tanam yang populer dari sistem agroforestri yang mempunyai
ciri produktivitas tinggi adalah dan dapat di terapkan pada kondisi lingkungan yang
sangat luas adalah pola tanam tumpangsari berlorong atau lebih dikenal dengan istilah
alley cropping. Alley cropping adalah suatu cara pemeliharaan lahan berlereng
dengan menanam tanaman lorong atau pagar, yang dari tanaman tersebut kita tidak
hanya mengurangi resiko erosi melainkan kita juga memperoleh manfaat lain dari
tanaman lorong tersebut. Misalnya pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai
mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada
tanaman lorong (Anonim, 2015).
Selain itu, Kang et al., (1984) menuliskan bahwa Alley Cropping merupakan
salah satu sistem agroforstri yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan
di antara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohon atau semak.
Tanaman pagar di pangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari
naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Suharjito, D., L. Sundawati, Suryanto, S. R. Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor