Anda di halaman 1dari 7

Nama: Erviandi Taufiq

NIM: 1810110076

Kelas: PAI B “6”

Profesionalisme Guru dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan

Pendahuluan

Setelah lebih dari lima puluh tahun Indonesia merdeka, beru saat ini timbul perhatian
yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Perhatian ini antara lain dilakukan melalui perubahan Undang-Undang No. 2
Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dan ditetapkannya anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN), serta keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang nasional,
mengajar ditetapkannya baru: pendidikan Republik 47 2008 tengang Guru, Standar
Pemerintah Rangka Mutu ini dan penting dan lain sebagainya. Semua itu pada intinya
ditujukan untuk meningkatkan mutupendidikan nasional. Munculnya berbagai kebijakan
pemerintah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab oleh para
penyelenggara pendidikan, pemangku kepentingan, pemangku kepentingan dan sebagainya,
dan bukan hanya rencana tersebut untuk menaikkan gaji atau tunjangan.

Para ahli pendidikan pada umumnya menyukai, bahwa peningkatan mutu pendidikan
sebagaimana tersebut di atas pada akhirnya bermuara kepada tersedianya tenaga pendidik
(guru dan dosen) yang bermutu. Tersedianya dana yang besar, sarana prasarana yang,
berbagai komponen pendidikan lainnya yang seroe baru, belum menjamin tercapainya tujuan
peningkata mutu pendidikan, jika mutu tenaga pendidiknya tidak ditingkatkan. Pernyataan
ini mengingatkan tentang pentingnya meningkatkan mutu pendidik sebagai upaya strategi
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kesadaran peningkatan mutu tenaga pendidik
saat ini sedang tumbuh, dan karenanya perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Tenaga pendidik yang bermutu dan profesional antara lain wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Hal ini mengingatkan tentang pentingnya dilakukan
pendidikan profesi keguruan diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Kebijakan ini ditempuh, mengingat
bahwa pembina mutu tenaga pendidik hal-hal yang mudah. Merujuk kepada berbagai
undang-undang, peraturan, berbagai kebijakan pemerintah, berbagai referensi kependidikan,
hasil pengamatan dan pengalaman, tulisan ini akan mencoba menawarkan proposal tentang
langkah-langkah strategi dalam membina hubungan guru agar menjadi guru yang profesional,
dengan terlebih dahulu mengemukakan-isyarat ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang perlunya
peningkatan mutu profesionalitas.

Pembahasan

A. Isyarat Al-Qur’an tentang Profesionalisme Guru

Di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa, ayat 58 Allah menyatakan: Sesungguhnya


Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya
kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dengan mengutip hadis Rasulullah Saw. Yang di riwayatkan oleh Ibn Abbas,
Imam al-Maraghi, berpendapat, bahwa ayat tersebut turun tentang kunci Ka’bah dari
Rasulullah Saw. Kepada Usman ibn Thalhah pada peristiwa Futuh al-Makkah.Pada
saat itu ada di antara keluarga Nabi Muhammad Saw., seperti Ali Ibn Abi Thalib, dan
Al-Abbas yang ingin mendapatkan kepercayaan mengurusi kunci Ka’bah
tersebut.Namun, Nabi Muhammad Saw.tetap menyerahkan kunci Ka’ bah itu kepada
Usman Ibn Thalhah, karena dianggap lebih ahli, berpengalaman dan profesional
dibandingkan yang lain.1

Selanjutnya, Imam Bukhari salah seorang penghimpun hadis yang sangat


terkenal dan disegani, mengungkapkan bahwa sebelum hijrah ke Madinah, Nabi ingin
sekali memasuki Ka’bah untuk beribadah. Ia meminta Usman ibn Thalhah untuk
memberikan kunci Ka’bah tersebut agar beliau dapat membukanya, tetapi Usman
menolak memberikan kunci Ka’bah tersebut. Bergulir, dan Nabi berhasil menaklukkan
Makkah dan menguasai Ka’bah dan mengambil Kuncinya dari Usman ibn Thalhah.
1
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, al-Mujallid al-Tsani, ( Beirut: Dar al-Fkr, tp,th.) 70
Namun, setelah beliau beribadah di dalam ka’bah, beliau menyerahkan kembali kunci
Ka’bah tersebut kepada usman ibn thalhah, sekalipun di antara sahabat dan keluarga
dekat Nabi, seperti Ali ibn Abi Thalib, sepupu dan juga menantu Nabi menginginkan
diserahi kunci Ka’bah tersebut.2

Dari ayat 58 surat Al-Nisa beserta penjelasan tentang asbab nuzul-nya


sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa catatan penting dalam hubungannya
dengan profesionalisme sebagai berikut.

Pertama, seorang tenaga yang profesional adalah seorang yang bersifat al-amin
(terpercaya), al-hafidz (dapat menjaga amanah), dan al-wafiya (yang merawat sesuatu
dengan baik). Imam al-Maraghi lebih lanjut menjelaskan makna amanah yang terdapat
pada ayat tersebut menjadi tiga bagian, yaitu amanah al-abd ma’a rabbihi, amanah al-
abd ma’a al-naas, dan amanah al-abd ma’a nafsihi. Amanah al abd ma’a rabbihi adalah
sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap Tuhannya,
seperti memelihara segala perintah-Nya dan menghentikan segala yang dilarang-Nya
serta mengamalkan syariat-Nya dalam rangka mendapatkan manfaat dan mendekatkan
diri kepada-Nya. Sedangkan amanah al-abd ma’a al-naas adalah sesuatu yang harus
aijage dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap orang lain, seperti seorang
pemimpin yang berbuat adil terhadap rakyatnya, seorang ulama yang berbuat adil
terhadap orangg orang awam dan menunjukinya kepada akidah yang benar berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat dengan jalan memberikan
pendidikan yang baik dan usaha yang halal lainnya amanah al-abd ma’a nafsihi sini
adalah seseorang yang menggunakan potensi dan kompetensinya hanya untuk sesuatu
yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan baginya di dunia dan akhirat mendidik
adalah termasuk amanah al-abd ma’a al-nas.

Kedua, seorang tenaga pendidik profesional dalam pandangan Islam adalah seorang
pendidik yang memiliki keahlian. Kepercayaan yang diberikan oleh Rasulullah Saw.
Kepada Usman ibn Thalhah untuk menjaga kunci Ka’bah tersebut, adalah karena
Usman ibn Thalhah sudah teruji ke- ahliannya selama bertahun-tahun. Nabi
Muhammad Saw. Tidak terpengaruh untukmenyerahkan kunci Ka’bah tersebut kepada
orang lain, termasuk keluarga dan sahabat dekatnya yang belum teruji keahliannya.

2
Abuddin Nata, Pendidikan dalam kisah mulia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2008), cet 1, 29-30
Walaupun demikian kuat desakan sahabat dan keluarga Nabi tersebut untuk
menyerahkan kunci Ka’bah kepadanya, namun Nabi Muhammad Saw. Tetap tidak
tergoyahkan. Nabi Muhammad Saw. Tetap profesional, tidak tergoyahkan untuk
bertindak kolusi atau nepotisme, sehingga dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam
Bukhari, Nabi Muhammad Saw. Menegaskan: Idza wussida al-amr ila ghair ahlhi fa
intadzir al-sa’ah Jika suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka
tunggulah kerusakannya. Jatuhnya mutu pendidikan di Indonesia saat ini antara lain,
karena banyak tenaga guru yang tidak memiliki keahlian, namun berani tampil sebagai
pendidik. Kerusakan dan jatuhnya mutu pendidikan yang disebabkan oleh guru yang
tidak ahli ini masih banyak terjadi. Mereka yang tidak memiliki keahlian berani
mengajar, karena kerusakan mutu pendidikan yang disebabkan guru yang tidak ahli
tersebut tidak terjadi seketika, melainkan setelah dua puluh lima tahun pendidikan
tersebut dilakukan. Hal ini berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh seorang
dokter, yang apabila salah dalam melakukan diagnosa dan terapi, akibatnya langsung
dapat dilihat pada pasiennya. Karena itu, seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam
bidang dokter tidak berani melakukan praktik medis, sedangkan mereka yang tidak
memiliki keahlian dalam bidang pendidikan tetap berani melakukan tugas mendidik,
karena akibatnya bersifat jangka panjang. Karena itu perlu ada lembaga pengawas yang
memonitor dan mengawasi adanya guru-guru yang tidak memiliki keahlian, namun
tetap mendidik. Institusi perhimpunan wali murid, seperti Majelis Madrasah atau
Komite Sekolah harus mengawasi praktik guru yang tidak memiliki keahlian yang
berani melakukan tugas pendidikan.

B. Langkah-langkah Mencetak Guru Profesional

Perhatian terhadap pembinaan guru yang profesional merupakan agenda yang


sudah berlangsung sejak Nabi Adam a.s, zaman Dinasti dan kerajaan di India, Cina,
Persia, Mesir Kuno, Yunani, dan seterusnya. Di Indonesia, perhatian ter- hadap
pembinaan guru profesional sudah dilakukan sejak zaman kerajaan Hindu, Budha, zaman
kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan
Era Reformasi sekarang. Pembinaan guru yang rofesional tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan zaman. Pembinaan guru yang profesional di zaman Orde Lama dan Orde Baru
misalnya, tampak lebih baik daripada masa sekarang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
beberapa catatan sebagai berikut.

Pertama, di masa Orla dan Orba, setiap orang yang ingin menjadi guru harus
lulusan pendidikan keguruan. Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru
(SPG), ada pula program D-II PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar), D- III PGSM
(Pendidikan Guru Sekolah Menengah). Selanjutnya untuk menjadi guru MI ada
Pendidikan Guru Agama 4 Tahun (PGA 4 Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah
ada Pendidikan Guru Agama 6 Tahun (PG4 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM
dapat melanjutkan ke IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan
PGA 6 Tahun dapat melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah. Dengan demikian, mereka yang
masuk Fakultas Keguruan (IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki bekal teori dan
praktik ilmu keguruan yang matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini sudah tidak
ada lagi, sehingga input yang masuk ke Fakultas Keguruan tidak memiliki bekal ilmu
dasar keguruan yang memadai. Untuk itu sekolah-sekolah keguruan tersebut perlu
dipertimbangkan untuk dihidupkan kembali.

Kedua, guna memperoleh kompetensi akademik dan pedagogik yang matang,


seharusnya pola pembinaan tenaga dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara
fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru
bidang fikih misalnya, sebaiknya tamatan S1 Fakultas Syariah, kemudian mengikuti
pendidikan profesi keguruan di Fakultas Tarbiyah. Demikian pula untuk mendapatkan
guru yang mahir dalam bidang tafsir, diambil dari jurusan tafsir, guru yang mahir dalam
bahasa Arab diambil dari Fakultas Dirasah Islamiyah atau Fakultas Adab jurusan sastra
Arab yang kemudian mengikuti pendidikan profesi keguruan di Fakultas Tarbiyah. Untuk
itu perlu adanya kolaborasi antara fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas
keguruan.

Ketiga, bahwa tenaga pengajar pada pendidikan profesi sebaiknya kaum


profesional yang selain memiliki keahlian, kemahiran dan kecakapan, juga memiliki
pengalaman prakris di bidangnya. Guru senior yang berprestasi kiranya lebih tepat
diposisikan sebagai kaum profesional untuk mengajar pendidikan profesi guru. Berkenaan
dengan ini Ki Supriyoko berpendapat, bahwa kaum profesional wajib hukumnya menjadi
tenaga pengajar dalam pendidikan profesi guru. Jangan sampai tenaga pengajar dalam
program ini didominasi akademisi, meskipun mereka bergelar doktor atau profesor. Ika
hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ubahnya dengan pendidikan akademik
sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya.

Keempat, bahwa pendidikan calon guru profesional seharusnya dilakukan melalui


sistem guru berjenjang dan Berantai. Sistem ini dijumpai pada pendidikan gratis untuk
orang miskin sebagaimana dijumpai di pesantren. Pada tahun 70-an, Pesantren Jauharun
Naqiyah, tempat penulis menimba ilmu pernah menerapkan sistem guru berjenjang dan
berantai ini. Caranya, seorang murid yang cerdas dan pandai dari tingkat Tsanawiyah
misalnya diberi kepercayaan mengajar murid Ibtidaiyah; dan seorang murid yang cerdas
dan pandai dari tingkat Aliyah diberi kesempatan mengajar di tingkat Tsanawiyah; dan
selanjutnya para murid Aliyah belajar kepada Kyai. Dengan cara ini banyak keuntungan
yang didapat. Dengan sistem ini, seorang murid tidak hanya menguasai ilmunya dengan
baik juga memperoleh pengalaman mengajar, memperoleh pengakuan terhadap ilmunya,
menimbulkan rasa percaya diri, menumbuhkan keikhlasan, dan terlaksananya program
pendidikan gratis bagi orang-orang yang kurang mampu. Pengalaman pengajar selama
bertahun-tahun jauh lebih matang daripada pengalaman mengajar hanya satu semester
pada Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksanakan di fakultas-fakultas
keguruan. Dalam rangka pembinaan mutu tenaga guru profesional, sistem guru berantai
dan berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan harus ada seorang ahli
pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil melaksanakan
tugasnya mengajar (learning by doing). Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman yang
lama saja belum menjamin terciptanya guru yang profesional. Seseorang mungkin
memiliki pengalaman mengajar sepuluh tahun, namun cara mengajarnya dalam sepuluh
tahun itu secara pedagogik atau ilmu keguruan bertentangan dengan prinsiP-prinsip
pengajaran yang di- dasarkan pada teori pendidikan yang sahih.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup


sebagai berikut.

Pertama, bahwa pembinaan tenaga guru yang profe- sional perlu dilakukan,
karena guru yang profesionalah yang akan mendukung peningkatan mutu pendidikan.
Untuk itu pembinaan mutu guru profesional tidak dapat diabaikan, atau ditunda-tunda
lagi. Berbagai sekolah unggul yang ada di Indonesia, selalu memiliki guru yang unggul
pula.
Kedua, guru yang profesional dalam pandangan Islam selain harus memiliki
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan akademik, juga harus didasarkan pada visi
dan spirit ajaran Islam, sehingga memiliki makna ibadah kepada Allah Swt., dan terhindar
dari pengaruh materialisme dan hedonisme yang menjadi sebab jatuhnya mutu
pendidikan.

Ketiga, dalam rangkameningkatkan mutu guru profesional, perlu dipertimbangkan


untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah keguruan, kolaborasi antara fakultas non
ke- guruan dan non keguruan, melibatkan kaum profesional sebagai tenaga pengajar pada
pendidikan profesi keguruan, dan dengan menerapkan sistem magang, konsep guru
berantai dan berjenjang, serta tutor sebaya yang dimonitor, disupervisi dan dibina oleh
guru senior berpengalaman dan profesional dalam mendidik calon-calon guru.

Daftar Pustaka

al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghi, al-Mujallid al-Tsani. ( Beirut: Dar al-Fkr,
tp,Th.).

Nata, Abuddin. Pendidikan dalam kisah mulia. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2008). cet 1.

Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2012).

Anda mungkin juga menyukai