Anda di halaman 1dari 25

KONTRUKSI MODEL KURIKULUM DAN TANTANGAN

GLOBAL DISATUAN PENDIDIKAN ISLAM

TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Oleh:

SAPARWADI
200403057

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan proses pembelajaran, kurikulum sangat dibutuhkan
sebagai pedoman untuk menyususn target dalam proses belajar mengajar.
Karena dengan adanya kurikulum maka akan memudahkan setiap pengajar
dalam porses belajar mengajar, maka dengan itu perlu untuk diketahui apa arti
dari kurikulum itu. Yang dimaksud dengan kurikulum adalah suatu usaha untuk
menyampaikan asas-asas dan ciri-ciri yang penting dari suatu rencana dalam
bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan guru disekolah.
Pendidikan sebagai sebuah sistem untuk proses perubahan individu
memiliki nilai penting di dalam kehidupan setiap manusia. Untuk mewujudkan
perubahan yang mampu menjangkau semua aspek dalam diri manusia
dibutuhkan kurikulum yang mampu menunjangnya. Kurikulum perlu didesain
agar proses kehidupan yang ada mendapat porsi yang imbang, antara aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Globalisasi membawa pengaruh
dalam berbagai lini kehidupan baik yang negatif maupun positif, termasuk di
dalamnya adalah dunia pendidikan. Untuk menunjang dan menghadang
globalisasi, maka perlu adanya strategi dalam pendidikan. Strategi itu
dimaksudkan sebagai sebuah langkah yang harus dilakukan.
Dalam era globalisasi pada saat sekarang ini pendidikan adalah
merupakan suatu hal atau sebuah komponen yang sangat penting dan
dibutuhkan dalam mengikuti perkembangan jaman. Dalam melaksanakan dan
mewujudkan suatu pembangunan, suatu bangsa dan negara memerlukan
pendidikan. Dengan kata lain pelaksanaan sebuah pembangunan suatu bangsa
dan negara tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh berbagai
sektor, salah satu diantaranya adalah sektor pendidikan. Pendidikan dinegara
Indonesia bertujuan membentuk karakter bangsa yaitu manusia seutuhnya yang
memiliki kualitas iman, budi pekerti dan rasionalitas tinggi. Pendidikan yang ada
dapat dijadikan sebagai sebuah cara sekaligus sebagai tolak ukur bagi kemajuan

1
dan keberhasilan sebuah negara dalam mencetak dan menghasilkan manusia
yang berkualitas.
Era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses
pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih
komprehensif dan eksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif
dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus
dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.
Dalam hal ini lembaga pendidikan Islam yang berfungsi untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi tumpuan harapan
masyarakat muslim untuk kepentingan pendidikan putra-putri mereka. Untuk
memenuhi kebutuhan ini tentu madrasah membutuhkan konsep manajemen yang
baik sehingga dapat melakukan inovasi dan improvisasi dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat muslim dalam menghadapi perkembangan global yang
semakin kompetitif. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini madrasah jika
dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya masih tertinggal, khususnya
dalam hal persaingan kualitas outputs. Meskipun usaha perbaikan telah
dilakukan dengan memperbaiki kurikulum dan memberi mata pelajaran umum
70% dan 30% sisanya pelajaran agama.
Fenomena lembaga pendidikan islam yang masih di anggap sebagai
lembaga pendidikan kedua, yang seringkali keberadaannya di anggap hanya
sebagai sekolah cadangan. Apalagi hampir semua madrasah dalam upaya
pengembangannya, masih tergolong miskin sumber daya, di tambah pula dengan
sistem pengelolaan yang kurang profesional, membuat madarasah kurang
bermutu dan outputsnya tidak dapat bersaing dengan alumni dari sekolah umum

2
lainnya. Ini dapat kita lihat dari rendahnya nilai UAN/UAS dan kurang
berpeluangnya alumni madrasah dalam merebut peluang kerja dan menduduki
kursi perguruan tinggi bergengsi.
Lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah mampu
meningkatkan mutu pendidikannya apabila setiap komponen yang ada di
madrasah mampu bekerja secara kompak demi peningkatan prestasi peserta
didik. Menyikapi persoalan mutu pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam
yang diselenggarakan di madrasah pada umumnya terbentur pada kualitas
sumber daya manusia. Yang mana persoalan ini masih menjadi problema dalam
dunia pendidikan Islam, di tambah dengan lemahnya kreativitas kepala sekolah
serta lambannya informasi di tingkat lokal/sekolah. Pendidikan selalu
memberikan warna positif di dalam kehidupan generasi muda. Tetapi sebuah
persolaan besar menghadang pendidikan terkait lahirnya era globalisasi. Untuk
dapat keluar dari persoalan tersebut perlu adanya sebuah rumusan dan kebijakan
baru tentang pendidikan terlebih di era globalisasi seperti ini melalui kontruksi
kurikikulum di era globalisasi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pengembangan Kurikulum
pengembangan program dalam konteks pengembangan kurikulum akan
berkenaan pada dua hal, yaitu: pengembangan suatu bidang studi/ mata
kuliah/mata pelajaran (course); dan pengembangan kurikulum pendidikan
secara menyeluruh (curriculum). Keduanya (course dan curriculum) memiliki
kontribusi untuk saling berhubungan, saling mempengaruhi, dan saling
bergantungan. Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu
kurikulum, yaitu landasan filosofis, psikologis, sosial-budaya, serta
perkembangan ilmu dan teknologi. Landasan tersebut dihasilkan melalui
pemikiran dan penelitian yang bersifat mendalam dan komprehensif, yang pada
hakikatnya berupa bahan pertimbangan terhadap faktor-faktor yang harus
diperhatikan oleh para pengembang kurikulum dalam mengembangkan
kurikulum pada lembaga pendidikan, baik secara makro maupun mikro.
Sebagaimana kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 di Indonesia juga
dikembangkan berdasarkan 5 landasan, yakni: (1) Landasan Filosofis; (2)
Landasan Sosiologis; (3) Landasan Psiko-Pedagogik; (4) Landasan Teoritis;
dan (5) Landasan Yuridis. Uraian masing-masing landasan adalah sebagai
berikut: Pertama, Landasan Filosofis. Secara filosofis, Kurikulum 2013 di
Indonesia dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa pendidikan berakar pada
budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa
mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan
berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk
membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi
kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Peserta didik adalah pewaris
budaya bangsa yang kreatif. Pendidikan ditujukan untuk
mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui
pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah
disiplin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu. Pendidikan
untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari

4
masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan
berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun
kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik. Menurut pandangan
filosofis ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau
adalah sesuatu yang harus termuat dalam kurikulum untuk dipelajari oleh
peserta didik. Kedua, Landasan Sosiologis. Ditinjau dari aspek sosiologis,
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan
rancangan dan proses pendidikan dalam rangka memenuhi dinamika
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercantum dalam
tujuan pendidikan nasional. Dewasa ini, perkembangan pendidikan di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. Perubahan ini dimungkinkan, karena berkembangnya
tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan,
yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terusmenerus.
Hal itu juga dimaksudkan agar pendidikan selalu dapat menjawab tuntutan
perubahan, sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, keluaran pendidikan
akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun
masyarakat yang berbasis pengetahuan. Ketiga, Landasan Psiko-Pedagogik.
Dari pandangan psiko-pedagogis, Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk
memenuhi tuntutan perwujudan konsepsi pendidikan yang bersumbu pada
perkembangan peserta didik beserta konteks kehidupannya, sebagaimana
dimaknai dalam konsepsi pedagogik yang transformatif. Konsepsi ini menuntut
bahwa kurikulum harus didudukkan sebagai wahana pendewasaan peserta
didik, sesuai dengan perkembangan psikologisnya dan mendapatkan perlakuan
pedagogis sesuai dengan konteks lingkungan dan zamannya. Kebutuhan ini,
terutama, menjadi prioritas dalam merancang kurikulum untuk jenjang
pendidikan dasar khususnya. Oleh karena itu, implementasi pendidikan dasar
yang selama ini menekankan pada pengetahuan perlu dikembangkan menjadi
kurikulum yang menekankan pada proses pembangunan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan peserta didik melalui berbagai pendekatan yang
mencerdaskan dan mendidik. Penguasaan substansi mata pelajaran tidak lagi
ditekankan pada pemahaman konsep yang steril dari kehidupan masyarakat,
melainkan pembangunan pengetahuan melalui pembelajaran otentik..
Keempat, Landasan Teoritis. Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori
“Pendidikan Berdasarkan Standar”, atau Standard-Based Education; dan teori
“Kurikulum Berbasis Kompetensi”,. Kurikulum 2013, dengan demikian,
menganut dua landasan teoritis, yaitu: (1) Pembelajaran yang dilakukan oleh
guru, dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran
di sekolah, kelas, dan masyarakat; serta (2) Pengalaman belajar langsung
peserta didik, harus sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan
kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual
peserta didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh
peserta didik menjadi hasil kurikulum. Kelima, Landasan Yuridis. Secara
yuridis, Kurikulum 2013 disusun berdasar peraturan perundangan, antara lain:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
(3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, beserta Segala Ketentuan yang Dituangkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional; serta (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Djuandi, 2013). Selain peraturan perundangan yang
menjadi landasan dalam penyusunan Kurikulum 2013, dalam
pengembangannya telah pula ditetapkan peraturan sebagai landasan
operasional pada masing-masing satuan pendidikan, antara lain: (1) Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.64/2013 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.54/2013 tentang SKL,
Pengembangan Kurikulum atau Standar Kompetensi Lulusa, untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah; (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses untuk Satuan

6
Pendidkan Dasar dan Menengah; (4) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan; (5)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.68 Tahun 2013 tentang
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah; serta (6) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.71 Tahun 2013 tetang Buku Teks Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Abad XXI adalah abad yang penuh harapan dan juga ancaman. Penuh
pengharapan, karena perkembnagan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat dibandingkan dengan empat abad sebelumnya, sehingga manusia
dapat memperoleh kemudahan dalam memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Pemenuhan kebutuhan tidak sekedar fungsinya, tetapi sudah
dikemas dalam bentuk pelayanan yang lebih baik, diwarnai dengan sentuhan
seni, memilki rasa peradaban super modern, dan keunikan. Namun demikian,
dibalik semua kemudahan tersebut terdapat satu ancaman. Untuk menjalani
hidup pada abad XXI dibutuhkan kreativitas, kearifan, dan kebersamaan,
terutama dalam hal pendidikan .

B. Pendidikan lembaga islam di era globalisasi


Lembaga Pendidikan Islam saat ini, dihadapkan pada berbagai
perkembangan yang meniscayakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan
sehingga mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi tantangan bagi
pendidikan Islam,1 terutama dalam menghadapi era globalisasi yang telah
mampu mengsis-tematisasikan jarak dan waktu antar berbagai negara dalam
pertukaran informasi dan pengetahuan, khususnya dalam bidang pendidikan
Islam. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, telah melahirkan
aneka media yang dapat difungsikan untuk mengembangkan pendidikan Islam
dimaksud. Jika pada era klasik, Lembaga pendidikan Islam hanya dapat
menjangkau sasaran masyarakat lokal dengan kualitas yang relatif rendah,
dengan adanya multi media, terutama internet, maka lembaga pendidikan Islam
bisa berlangsung dengan jangkauan tanpa batas, waktu yang sangat singkat,
dan kualitas yang lebih tinggi. Para pakar pendidikan Islam dituntut untuk
menggunakan dan mengembangkan media pendidikan terupdate sehingga
pendidikan Islam dapat bersanding dengan pendidikan umum yang akhir-akhir
ini mengalami lompatan signifikan yang sangat meng-gembirakan. Hal ini
akan terjadi, jika para pimpinan dan pendidik di berbagai lembaga pendidikan
Islam memulai untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kinerjanya. Jika
tidak, maka cita-cita meningkatkan kualitas pendidikan Islam hanyalah sebuah
impian belaka.
Sedangkan globalisasi dalam pengertian umum dapat dipahami sebagai
dominasi aneka usaha besar dan raksasa atas tataniaga dan sistem keuangan
internasional yang kita ikuti. Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera
warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini.
Deretan penjualan “makanan siap telan” (fast food) menjadi saksi akan
pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, bukannya menentukan
pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya
dominasi tersebut. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan
pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar negara, inilah yang
sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negaranegara yang ada.
Berdasarkan term ini, dapat dipahami bahwa fenomena globalisasi juga
memberikan banyak ancaman bagi kehidupan manusia, dalam konteks
Indonesia misalnya, beberapa ancaman globalisasi adalah semakin tidak
tertahannya ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan
pemasaran global. 5 Ancaman inilah yang nantinya akan berpengaruh secara
langsung, sebab melalui penentuan kebijakan pemerintahan,bagi proses
peminggiran kaum tertindas-terpinggir, semacam: buruh/karyawan, petani,
kaum pinggiran kota, guru, pelajar, mahasiswa/pendidikan, masyarakat lokal.
Betapa tidak, saat ini tampak jelas dihadapan kita, bahwa beberapa kebutuhan
“primer” rakyat telah disunat dengan ditiadakan ataupun dikuranginya subsidi;
padahal yang kita tahu bahwa kehidupan yang layak, pekerjaan, kekayaan

8
alam, pendidikan adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya
sebagaimana terdapat dalam undang-undang dasar dan falsafah pancasila.
Dengan melihat sumber globalisasi saat ini, maka dalam proses
globalisasi ini ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa
Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dalam era ini,
kehebatan suatu negara-bangsa tidak lagi didasarkan atas sumber daya alam
yang melimpah dan alat-alat produksi masal, tetapi sandaran terpenting yang
akan menentukan keberlangsungan hidup dan kemajuan negara-bangsa adalah
mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari sini dapat dilihat betapa
pentingnya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.
Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu lembaga pendidikan
yang ada di Indonesia sebenarnya mempunyai peluang dalam menciptakan
SDM yang berkualitas dengan catatan pondok pendidikan islam mampu
mempertahankan nilai-nilai tradisional yang telah hidup berabad-abad,
menjadi pendidikan alternatif yang ideal, mencetak generasi muda yang ber-
akhlakul karimah, di era globalisasi yang sedang terjadi dengan tanpa
meninggalkan watak kependidikan islam annya. Minimal ada tiga alasan
mengapa Lembaga Pendidikan Islam memiliki peluangnya lebih besar
dibandingkan lembaga pendidikan yang lain;”
1. Lembaga pendidikan Islam/Madrasah yang ditempati generasi bangsa
(mulai anak-anak hinggga pemuda), dengan pendidikan yang tidak
terbatas oleh waktu sebagaimana pendidikan umum.
2. Pendidikan pendidikan islam yang mencoba memberikan keseimbangan
antara pemenuhan lahir dan batin.
3. Pendidikan pendidikan islam terbuka untuk semua kalangan”.
Serta jika Lembaga Pendidikan Islam melakukan inovasi dalam
pendidikannya maka pada hakikatnya pendidikan islam akan lebih terbuka
kesempatannya di pilih oleh masyarat. Inovasi pendidikan dapat menyangkut
berbagai bidang.
Kurikulum sebagai salah satu bagian dari software merupakan salah
satu aspek yang cukup urgen untuk di perbaharui agar sesuai dengan
perkembangan zaman. Kurikulum merupakan komponen instrumen
pendidikan yang penting keberadaannya, karena dengan kurikulum segala
bentuk aktivitas pendidikan akan terarah dalam rangka pencapain tujuan
pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS. Sistem pendidikan serta
kurikulum pendidikan islam kini menjadi banyak perbincangan bukan hanya
sekedar karena kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan nasional yang
selalu berubah, tetapi karena dinamisasi Lembaga Pendididikan Islam dalam
mengembangankan kurikulum, dengan membentuk lembaga pendidikan
formal yang menyerap muatan kurikulum yang dibutuhkan dalam konteks
kebutuhan masyarakat akan pendidikan modern yang membutuhkan lembaga
legal formal yang mampu mengeluarkan ijazah, sebagai suatu formalitas
kelulusan dalam menjalani program pendidikan, dan penambahan mata
pelajaran umum di dalam sekolah keagamaan (dalam hal ini adalah pendidikan
islam dan lembaga pendidikan Islam) sebagai suatu wujud tantangan
kebutuhan zaman akan kebutuhan pendidikan yang memberikan orientasi
pengajaran, dan pemberian bekal hidup yang berbeda. Keadaan yang seperti ini
juga belaku pada pengembangan pendidikan Islam.

C. Konstruksi Kurikulum dan tantangan global dilingkungan Pendidikan Islam


Globalisasi ibaratkan dua sisi keping mata uang yang satu bagian
dengan bagian yang lain saling berperan, artinya globalisasi telah
menyebabkan kemajuan yang luar biasa pada peradaban manusia, namun pada
saat yang bersamaan juga tidak sedikit efek negatif yang ditimbulkan dengan
datangnya globalisasi itu. Kita ambil contoh yang terjadi pada dunia
pendidikan saat ini. Adanya globalisasi yang ditandai dengan kemudahan
dalam mengakses informasi, telah menyebabkan lompatan yang sangat luar
biasa. Penemuan-penemuan penting yang tercipta dalam dunia pendidikan
seperti metode pengajaran, kurikulum, media dan lain-lain, demikian
mudahnya tersebar dalam waktu yang tidak lama bahkan hanya dalam hitungan
menit bahkan detik saja. Adapun sisi negatifnya, mengutip dari Andrias Harefa
(2005) dikatakan bahwa pendidikan di era globalisasi saat ini telah terjebak

10
dalam arus kapitalisasi yang dalam istilah lain bernama komersialisasi
pendidikan. Adanya biaya pendidikan yang tidak murah berakibat pada
banyaknya anak yang berasal dari kelas ekonomi bawah sulit mendapatkan
akses pendidikan yang lebih bermutu.
Sekolah kemudian menerapkan aturan seperti pasar yang berimplikasi
pada visiologis pendidikan yang salah. Keberhasilan pendidikan hanya didasari
pada besarnya jumlah lulusan sekolah yang dapat diserap oleh sektor industri.
Pendidikan semacam ini tidak untuk menjadikan manusiamanusia melek
sosial, padahal sebetulnya tujuan pendidikan untuk mengembangkan
intelektual yang ada pada siswa. Kondisi di atas semakin diperparah dengan
mudahnya perizinan untuk pendirian lembaga pendidikan baru. Hal ini telah
menjadikan para pemilik modal besar (kelas kakap) berlomba dalam sektor
ini, karena secara hitung-hitungan bisnis pendidikan merupakan salah satu
sektor publik yang cukup menguntungkan pada saat ini. Mengapa demikian,
karena pendidikan merupakan kategori kebutuhan dasar bagi setiap orang.
Selama masih ada kelahiran di muka bumi ini, maka selama itu pula lembaga-
lembaga pendidikan tidak akan pernah tutup, atau kehilangan peminatnya.
Disamping itu, bagi para pengelola lembaga pendidikan tidak banyak
dipusingkan dengan situasi politik maupun ekonomi, kalaupun ada
pengaruhnya tidak sehebat bila terjadi pada dunia industri atau bidang-bidang
bisnis lainnya. Bermunculannya lembaga pendidikan baik yang dikelola oleh
perorangan maupun kelompok, pada satu sisi kondisi ini sangat
menggembirakan namun di sisi lain membuat persaingan semakin tidak sehat.
Alasannya adalah persaingan hanya milik pemodal kuat dengan berbagai
strategi intervensinya. Sebagai contoh mari kita sama-sama cermati dan
perhatikan dengan seksama, fenomena yang terjadi pada Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) ataupun lembaga pendidikan lainnya. Betapa perkembangan
lembaga PAUD maupun lembaga lainnya di tingkat RT/ RW bahkan dusun di
beberapa tempat mengalami kondisi mati suri. Mereka mengalami stagnasi
organisasi dan tidak inovatif sehingga kalah bersaing dengan lembaga sejenis
yang memiliki konsep terarah, inovatif dan memiliki nama atau bonafid.
Akibat selanjutnya adalah lembaga tersebut akan semakin tertinggal bahkan
kehilangan calon anak didik. Masyarakat lebih percaya pada lembaga yang
merupakan cabang dari Jakarta bahkan luar negeri, dan anehnya orang tua
menutup mata terhadap biaya pendidikan berapapun yang harus dibayar
dengan tendensi kualitas dan inovasi.
Dampak selanjutnya lembaga lokal yang berbasis sumber daya terbatas
semakin tersisih karena mereka kehilangan masyarakat yang mampu
membayar, bahkan pada beberapa kasus terdapat banyak lembaga yang
kesulitan memenuhi target anak didik dan target pemasukan keuangan karena
masyarakat sasarannya memiliki kemampuan finansial yang terbatas pula.
Pada tahapan selanjutnya, karena sedemikian eratnya pengelolaan lembaga
pendidikan dengan praktekpraktek yang biasa berlaku dalam dunia bisnis,
muncullah pengkomersilan atau dengan istilah populernya komersialisasi
pendidikan. Keadaan menjadi semakin runyam setelah adanya komersialisasi
pendidikan, banyak lembaga pendidikan yang kemudian menganut paradigma
pendidikan yang bersifat ekonomis. Ironisnya, lembaga pendidikan pada
akhirnya gagal mengimplikasikan bahwa proses pembelajaran menjadi salah
satu pilar utama dalam humanisasi hidup manusia. Komersialisasi pendidikan
secara tidak langsung juga telah menciptakan jurang pemisah, antara pihak
yang mempunyai modal dan pihak yang mempunyai sedikit modal. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Ivan Illich dkk., (2001), komersialisasi
pendidikan dianggap sebagai misi lembaga pendidikan modern mengabdi
kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi
kaum tertindas. Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak tercapai dalam
proses pendidikan, karena adanya komersialisasi pendidikan. Menurut Satriyo
Brojonegoro sebagaimana dikutip oleh Darmaningtyas, (2005) pendidikan
hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu, yang memiliki modal untuk
mengakses pendidikan. pendidikan sebagai bagian dari kehidupam masyarakat
mempunyai peran penting dalam mengembangkan kualitas sumber daya
manusia untuk mencapai kecakapan hidup serta media sosialisasi dalam
masyarakat. Namun, peran pendidikan juga mempunyai keterkaitan dengan

12
masalah ekonomi bahkan menjadi faktor yang tidak dapat ditinggalkan dalam
proses tercapainya pendidikan yang berkualitas. Sehingga maraknya
komersialisasi pendidikan di era globalisasi saat ini juga menimbulkan
berbagai opini pro dan kontra yang dilontarkan oleh masyarakat melalui
tulisan-tulisan di media massa yang merupakan suatu fenomena yang begitu
memprihatinkan pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan nasional dalam
praktiknya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan kecenderungan dunia
pendidikan saat ini yang banyak terjebak ke arah komersialisasi bahwa
pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fakta di lapangan
juga memperlihatkan bahwa banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi
maupun sekolah dengan status yang kurang jelas tumbuh subur terutama di
kota besar bahkan merambah ke kota kecil. Dengan berbagai cara, lembaga
pendidikan tersebut mengiklankan dan menawarkan program pendidikan untuk
mendapatkan gelar seperti MBA (Magister Bisnis Administration) maupun
MM (Magister Management) tanpa melalui proses pembelajaran. Lembaga-
lembaga tersebut lebih mementingkan keuntungan daripada mutu sehingga
dapat membunuh idealisme pendidikan Indonesia. Selain itu, muncul juga
sekolah-sekolah dengan program dan perlengkapan yang serba mahal mulai
dari tingkat taman kanak-kanak sampai pada tingkat perguruan tinggi yang
hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan.
Lebih lanjut menurut Ismara (2005) ada beberapa faktor secara
dominan mempengaruhi daya saing sebuah lembaga pendidikan antara lain:
1. Lokasi, secara umum lembaga pendidikan akan berupaya mencari lokasi
yang mudah dijangkau, dan memiliki akses terhadap sektor lainnya
sehingga faktor ini merupakan salah satu keunggulan komparatif, untuk
bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya.
2. Keunggulan nilai, misalnya kelebihan kurikulum yang diterapkan, sumber
daya manusia, sarana prasarana, hingga keunggulan kerjasama.
3. Kebutuhan masyarakat, pada beberapa kasus umum terdapat beragam
alasan orang tua menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan tertentu,
salah satu alasan yang paling mengemuka adalah faktor kualitas
menyangkut proses pembelajaran dan hasilnya, termasuk kepastian setelah
anak mereka menamatkan pendidikan dari sebuah lembaga pendidikan.
Masyarakat menilai keterserapan mereka di sekolah berkualitas pada
tingkat di atasnya, merupakan salah satu alasan mereka rela menyekolahkan
anaknya berbondong-bondong ke kota. Senada dengan pendapat di atas,
menurut Sujarwo (2006) untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi
pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia
yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:
1. Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang
berdasarkan pada need assessment dan karakteristik masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan
yang harus dipenuhi.
2. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam
pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator,
fasilitator dan pemberdaya masyarakat.
3. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan
pasar dan tuntutan teman saing.
4. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi
sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada,
pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain
yang sangat peduli pada pendidikan.
5. Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak,
baik dari instansi pemerintah maun non pemerintah, bahkan baik dari
lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri.
6. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar
belajar, sebagai masyarakat belajar seumur hidup.
7. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan
baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam
mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan

14
internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dan
sebagainya)
Dari paparan diatas maka perlu ada design kurikulum di lembaga
pendidikan islam dengan tetap mengacu pada setiap perubahan zaman. Dapat
dijabarkan ada beberapa sebab terjadinya perubahan kurikulum
1. Adanya perkembangan dan perubahan bangsa yang satu dengan yang lain.

Perubahan perhatian dan perluasan bentuk pembelajaran harus mendapat


perhatian. Perubahan praktek pendidikan di suatu Negara harus mendapan
perhatian serius, agar pendidikan di Negara kita tidak ketinggalan zaman. Tetapi
tentu perubahan kurikulum harus disesuaikan denga kondisi setempat,
kurikulum Negara lain tidak sepenuhnya diadopsi karena adanya perbedaan-
perbedaan baik ideologi, agama, ekonomi, sosial, maupun budaya.

2. Berkembangnya industri dan produksi atau teknologi.

Pesatnya perubahan di bidang teknologi harus disikapi dengan cepat, karena


kalau tidak demikian maka output dari lembaga pendidikan akan menjadi
makhluk terasing yang akanhidup di dunianya. Kurikulum harus mampu
menciptakan manusia-manusia yang siap pakai di segala bidang yang
diminatinya, bahkan mampu menciptakan dunia sendiri yang baru bukan hanya
mampu mengikuti dunia itu.

3. Orientasi politik dan praktek kenegaraan.

Praktek politik kenegaraan memegang peranan penting dalam perubahan


kurikulum. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan termasuk kurikulum
itu tidak dapat terlepas dari perpolitikan suatu bangsa. Oleh karena itulah
orientasi politik Negara harus diarahkan pada pemantapan demokrasi yang
sejati, sehingga sistem pendidikan akan berjalan dengan baik tanpa dibayangi
ketakutan terhadap kekuasaan atau penguasa.

4. Pandangan intelektual yang berubah.


Selama ini pendidikan di Indonesia lebih diarahkan pada pencapaian materi
sebanyak-banyaknya daripada mencapai suatu kemampuan tau kompetensi
tertentu. Sehingga outputnya kurang berkualitas di bandingkan dengan Negara
lain. Untuk meningkatkan kualitas itulah maka pemerintah mengupayakan
dilaksanakannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang dirintis seja
tanggal 26 Juni 2002, kemudian pada tahun 2006 diberlakukan kurikulum baru
yaitu KTSP dan sekarang mulai dirintis kurikulum terbaru yaitu Kurikulum 2013
dengan basis yang sanma dengan perubahan dan penekanan pada aspek tertentu.

5. Pemikiran baru mengenai proses belajar-mengajar.

Banyak sekali pemikiran, konsep atau teori baru dalam proses pembelajaran,
walaupun pemikiran itu kadang hanyalah perubahan pada titik tekannya saja.
Misalnya mengenai active learningatau (CBSA),contextual learning, quntum
teaching-learning dan lain-lain, untuk dapat mengaktifkan seorang individu
siswa dan mengaktifkan kelompok.

6. Perubahan dalam masyarakat.

Masyarakat adalah suatu komunitas yang dinamis dan akan selalu berubah, baik
perubahan kearah positif maupun negatif perubahan positif antara lainadalah
kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan pendidikan anak, terutama lagi
kalangan menengah ke atas, dengan menyediakan fasilitas yang memadai seperti
alat komunikasi, transportasi, komputer dan internet. Perubahan kearah negatif
sesungguhnya lebih banyak terjadi akibat efek tidak baik karena kemudahan-
kemudahan yang dialami oleh manusia modern, seperti mudahnya
berkomunikasi antar individu yang kemudian disalahgunakan untuk kejahatan.

7. Eksploitasi ilmu pengetahuan.

Dengan pesatnya kemajuan di berbagai bidang kehidupan, tentu ilmu


pengetahuan mendapat porsi dalam kehidupan manusia. Banyak sekali disiplin
ilmu pengetahuan baru yang pada dekade sebelumnya belum dikenal. Oleh

16
karena itu kurikulum paling tidak harus disesuaikan dengan berkembangnya
kehidupan di masa depan.
Dalam hal ini institusi pendidikan di Indonesia yang mengenyam sejarah
paling panjang di antaranya adalah salah satunya lembaga pendidikan islam..
Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan lainnya di Indonesia,
Lembaga berbentuk pendidikan islam telah hadir lebih awal. Dalam sejarah yang
amat panjang itu, pendidikan islam terus berhadapan dengan banyak rintangan,
diantaranya pergulatan dengan modernisasi. M. Dawam Raharjo, salah seorang
pemikir muslim Indonesia, pernah menuduh bahwa pendidikan islam merupakan
lembaga yang kuat dalam mempertahankan keterbelakangan dan ketertutupan.
Dunia pendidikan islam memperlihatkan dirinya bagaikan bangunan luas, yang tak
pernah kunjung berubah. Ia menginginkan masyarakat luar berubah. Oleh karena
itu, ketika isu-isu modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh rezim
negara jelas orientasinya adalah pendidikan islam . Dalam kaitannya dengan peran
tradisionalnya, pendidikan islam kerap diidentifikasi memiliki peranan penting
dalam masyarakat Indonesia, antara lain: sebagai pusat berlangsungnya transmisi
ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan
Islam tradisional, dan sebagai “pusat reproduksi” ulama. Dalam proses
pembelajaran di Lembaga pendidikan islam , ilmu-ilmu keIslaman memang
menjadi prioritas utama, untuk tidak mengatakan satu-satunya. Hal ini antara lain
tampak dari kurikulum yang berlaku. Sebagaimana diketahui, kitab kuning berisi
pembahasan tentang berbagai ilmu ke Islaman tradisional, yang dalam banyak
aspek tidak memiliki hubungan langsung dengan ilmu-ilmu modern.
Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, Lembaga pendidikan
islam mengalami perubahan dan perkembangan yang berarti. Di antaranya
perubahan-perubahan yang paling penting menyangkut penyelengaraan
pendidikan. Dewasa ini, tidak sedikit Lembaga pendidikan islam di Indonesia telah
mengadopsi sistem pendidikan formal seperti yang diselenggarakan pemerintah..
Namun demikian, banyak pula pendidikan islam yang sudah memiliki lembaga
pendidikan sistem sekolah seperti dikelola oleh Depdikbud. Beberapa Lembaga
pendidikan islam bahkan sudah membuka perguruan tinggi, baik berupa Institut
Agama Islam maupun Universitas. Di Lembaga pendidikan islam, sistem
pembelajaran tradisional yang berlaku pada pendidikan islam tradisional mulai
diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum,
misalnya, Lembaga pendidikan islam tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum modern yang diakomodasi dari
kurikulum pemerintah. Dalam hal ini, mata pelajaran umum menjadi mata pelajaran
inti, disamping mata pelajaran agama yang tetap dipertahankan. Begitu pula dalam
pendidikan islam yang baru ini, sistem pengajaran yang berpusat pada kiai mulai
ditingalkan. Pihak pendidikan islam umumnya merekrut lulusan-lulusan perguruan
tinggi untuk menjadi pengajar di sekolah-sekolah yang di dirikan oleh pengelola
pendidikan islam . Semua perubahan itu sama sekali tida mencabut pendidikan
islam dari peran tradisionalnya sebagai lembaga yang banyak bergerak di bidang
pendidikan Islam. Hal tersebut justru semakin memperkaya sekaligus mendukung
upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional sebagaimana di muat
dalam “kitab kuning” dan melebarkan jangkauan pelayanan pendidikan islam
terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat, terutama di bidang pendidikan
formal. Dengan ungkapan lain, proses perubahan seperti dijelaskan diatas
merupakan salah satu bentuk modernisasi lembaga pendidikan islam sebagai
lembaga pendidikan maupun lembaga sosial. Namun, dalam proses perubahan
tersebut, lembaga pendidikan islam tampaknya dihadapkan pada keharusan
merumuskan kembali sistem pendidikan yang di selenggarakan. Di sini, lembaga
pendidikan islam tengah berada dalam proses pergumulan antara “identitas dan
keterbukaan”. Di satu pihak, lembaga pendidikan islam di tuntut untuk menemukan
identitasnya kembali sebagai lembaga pendidikan Islam. Sementara di pihak lain,
ia juga harus bersedia membuka diri terhadap sistem pendidikan modern yang
bersumber dari luar lembaga pendidikan islam . Salah satu agenda penting
pendidikan islam dalam kehidupan dewasa ini adalah memenuhi tantangan
modernisasi yang menuntut tenaga trampil di sektor-sektor kehidupan modern.
Dalam kaitan dengan modernisasi ini, lembaga pendidikan islam diharapkan
mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan
modern. Mempertimbangkan proses perubahan di lembaga pendidikan islam ,

18
tampaknya bahwa hingga dewasa ini lembaga pendidikan islam telah memberi
kontribusi penting dalam menyelengarakan pendidikan formal dan modern. Hal ini
berarti lembaga pendidikan islam telah berperan dalam perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian, dalam konteks peningkatan mutu
pendidikan dan perluasan akses masyarakat dari segala lapisan sosial terhadap
pendidikan, peran lembaga pendidikan islam tidak hanya perlu ditegaskan, tetapi
mendesak untuk dilibatkan secara langsung.
Terdapat dua kekuatan utama dari budaya pendidikan Islam yang
memungkinkannya untuk tetap eksis dan mampu mengimbangi segala bentuk
dinamika perubahan sosial akibat modernisasi. Pertama, adanya karakter budaya
pendidikan yang memungkinkan santrinya belajar secara tuntas. Dalam konsep ini
pendidikan dilakukan tidak terbatas pada pola transfer ilmu-ilmu pengetahuan dari
guru ke murid, melainkan juga termasuk aspek pembentukan kepribadian secara
menyeluruh. Transfer ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan islam
tidak dibatasi oleh target waktu penyelesaian kurikulum sebagaimana telah dirinci
di dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), melainkan lebih
menekankan pada penguasaan detaildetail konsep secara tuntas, tanpa dibelenggu
oleh batasan waktu tertentu. Di lembaga pendidikan islam, hal paling penting yang
diperhatikan kiai atau ustadz bukanlah capaian kuantitas materi yang bisa
diselesaikan santri, melainkan kualitas penguasaannya. Kedua, kuatnya partisipasi
masyarakat. Pada dasarnya pendirian Lembaga Pendidikan Islamdi seluruh
Indonesia didorong oleh permintaan (demand) dan kebutuhan (need)
masyarakatnya sendiri. Hal ini memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat di
dalam lembaga pendidikan berlangsung secara intensif. Partisipasi ini diwujudkan
dalam berbagai bentuk, mulai dari penyediaan fasilitas fisik, penyediaan anggaran
kebutuhan, dan sebagainya. Sedangkan lembaga pendidikan berperan dalam
memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan tuntunan
kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya, tingginya tingkat partisipasi
masyarakat telah menempatkan lembaga pendidikan dan kiai sebagai pusat atau inti
kehidupan masyarakat. Sebagai inti masyarakat, lembaga pendidikan dan kiai
menjadi penentu bagi dinamika atau perubahan apa pun yang terjadi atau harus
terjadi di masyarakat tersebut.
Hal lain yang memungkinkan lembaga pendidikan melaksanakan model
pendidikan tuntas adalah model pembentukan kepribadiannya. Di lembaga
pendidikan , santri tidak dididik aspek kognitif saja, melainkan sekaligus afektif
dan psikomotoriknya. Latihan-latihan spiritual dan hormat kepada guru sangat
ditekankan. Santri juga didorong untuk mencontoh perilaku kiainya sebagai tokoh
panutan. Selain itu, santri juga dilatih untuk mandiri, baik dalam belajar maupun
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Dalam waktu 24 jam kiai dan ustadz
memantau dan mengarahkan seluruh aktifitas santri agar sesuai dengan ideal-ideal
moral keagamaan yang dikembangkan di lembaga pendidikan . Dengan demikian,
proses pembentukan kepribadian santri dilakukan secara sistematis.
keberlangsungan perkembangan lembaga pendidikan sangat tergantung
pada seberapa besar partisipasi masyarakat dan seberapa sesuai pelayanan lembaga
pendidikan dengan permintaan dan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain,
lembaga pendidikan mampu bertahan karena merupakan lembaga pendidikan asli
Indonesia yang memiliki akar tradisi sangat kuat di lingkungan masyarakat.
Lembaga pendidikan muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis
masyarakat lingkungannya, sehingga lembaga pendidikan mempunyai keterkaitan
erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Sejauh yang bisa
diamati, dua karakter budaya ini merupakan kelebihan lembaga pendidikan
lembaga pendidikan tradisional dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal.
Pendidikan di sekolah-sekolah formal yang masih berlangsung hingga saat ini telah
terbukti memiliki kelemahan dalam menciptakan sumber daya manusia yang
mandiri dan memiliki kemampuan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah sistem
pembelajaran yang dikembangkan di sekolah-sekolah formal lebih menekankan
pada pencapaian target kurikulum secara kuantitatif, sehingga kualitas penguasaan
anak didik terhadap materi ilmu pengetahuan yang diajarkan terabaikan. Demikian
juga dengan partisipasi masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan formal
sangat minimal. Hal ini mungkin disebabkan karena lembaga-lembaga pendidikan

20
formal tidak atau kurang berakar pada basis masyarakatnya, melainkan lebih
bergantung pada visi besar kebijakan pemerintah.
BAB III
SIMPULAN
Pengembangan kurikulum, mencakup kegiatan yang menyeluruh dan
meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi; serta menyangkut pengembangan
komponen penting dalam kurikulum, yaitu komponen tujuan, bahan, kegiatan, dan
evaluasi. Pengembangan kurikulum meliputi landasan filosofis, sosiologis, psiko-
pedagogis, teoritis, dan yuridis. Prinsip pengembangan kurikulum meliputi
relevansi, fleksibilitas, kolaborasi, kontinuitas, efisiensi, dan efektifitas. Sebagai
bagian akhir dari tulisan ini, penulis menguraikan kesimpulan bahwa pesantren
tradisional hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab kuning sebagai
inti kurikulumnya.
Kurikulum Lembaga pendidikan Islampun ditetapkan secara mandiri
oleh kyai, serta dalam operasionalnya juga memasukkan kurikulum negeri dan serta
mengikuti ujian negara. Lembaga pendidikan islam masih dapat menjadi patron
pendidikan, karena mampu juga memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan
spiritual masyarakat. Di era global, lembaga pendidikan islam masih tetap relevan
untuk tetap dipertahankan. Dalam menghadapi era global yang diiringi modernisasi
dalam segala bidang kehidupan, pesantren harus tetap berupaya menjaga
eksistensinya dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang melingkupinya tanpa
meninggalkan ciri khas kepesantrenan yang dimilikinya. Upaya tersebut dengan
cara lembaga pendidikan mengenali keseluruhan komponen-komponen
pembentuknya secara baik, lalu mengembangkannya secara modern sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi kapan lembaga pendidikan berada. Adaptasi di
sini mencakup semua segi dan aspek kelembagaan tanpa harus meninggalkan ciri-
ciri khas keislamannya. Dengan adanya upaya tersebut, diharapkan Lembaga
pendidikan Islam tidak akan ketinggalan zaman dan selalu relevan dengan
kebutuhan zaman.

22
Daftar Pustaka
Ali, Mohamad. "Reorientasi Makna Pendidikan: Urgensi Pendidikan
Terpadu", dalam Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Amri, Sofan. (2013). Pengembangan & Model Pembelajaran dalam


Kurikulum 2013. Jakarta: PT Prestasi Pustakarya

Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng.


Malang: Kalimasahada Press, 1993.

Arifin, Zainal. (2013). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum.


Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Asrorah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana ilmu,


1999.

Hamalik, Oemar. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Nia Indah Purnamasari, Konstruksi Sistem Pendidikan Pesantren


Tradisional di Era Global: Paradoks dan Relevansi. El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-
Desember 2016

Syamsul Bahri, PENGEMBANGAN KURIKULUM DASAR DAN


TUJUANNYA Fakultas Tarbiah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Volume XI, No. 1,
Agustus 2011

Purwadhi, Pengembangan Kurikulum dalam Pembelajaran Abad XXI,


MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume
4(1), Maret 2019.

Syaripudin Basyar, PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI:


Antara Konsepsi dan Aplikasi, Al-Idarah: Jurnal Kependidikan Islam Vol. 8 No.
1, Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai