Anda di halaman 1dari 24

PENGENALAN FARMAKOLOGI

FARMAKOKINETIK

I. TINJAUAN UMUM

Tujuan terapi obat adalah untuk mencegah,


menyembuhkan, atau mengendalikan berbagai
stadium penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis
obat yang memadai harus tertuju kepada jaringan
target sehingga kadar terapeutik (terapi tidak toksik)
diperoleh. Farmakokinetik mengevaluasi pergerakan
obat di dalam tubuh selama kurun waktu tertentu.
Kerja farmakologi, seperti halnya toksikologi obat,
terutama terkait dengan konsentrasi obat di dalam
plasma. Oleh sebab itu, dokter harus mengetahui
kecepatan awitan kerja obat, intensitas efek obat, dan
durasi kerja obat yang bersandar pada empat jaras
fundamental pergerakan dan modifikasi obat di dalam
tubuh (Gambar 1.1). Pertama, absorpsi obat dari lokasi
pemberian (Absorpsi) merupakan pintu masuk
agen/zat terapeutik tersebut (secara langsung atau
tidak langsung) menuju plasma. Kedua, kemudian
obat tersebut secara reversibel meninggalkan aliran darah dan menyebar ke dalam cairan
interstisial dan intraseluler (Distribusi). Ketiga, obat tersebut dimetabolisme oleh hati, ginjal,
atau jaringan lainnya (Metabolisme). Akhirnya, obat tersebut dan zat metabolitnya dieliminasi
dari tubuh dalam urine, empedu, atau tinja (Eliminasi). Bab ini memberikan pengetahuan
tentang pengaruh keempat proses tersebut (Absorpsi, Distribusi, Metabolime, dan Eliminasi) .
terhadap keputusan dokter mengenai cara pemberian obat tertentu, jumlah dan frekuensi
masing-masing dosis, serta rentang/interval dosis.

II. RUTE PEMBERIAN OBAT


Rute/cara pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan di dalam air
atau lipid, ionisasi, dan sebagainya) dan tujuan terapi (misalnya, harapan suatu awitan kerja
obat yang cepat, atau kebutuhan akan pemberian jangka
panjang atau terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat
dua rute utama pemberian obat, enteral dan parenteral.
(Gambar 1.2 menggambarkan subkategori rute
pemberian ini dan metode pemberian obat lainnya.)
A. Enteral
Pemberian enteral, atau pemberian obat melalui
mulut, adalah cara yang paling sederhana dan paling
sering dilakukan dalam pemberian obat. Ketika
diberikan melalui mulut, obat bisa ditelan atau
diletakkan pada bawah I idah sehingga memudahkan
absorpsi langsung ke dalam aliran darah.

1. Oral: Pemberian obat melalui mulut memberi


banyak keuntungan bagi pasien; obat oral mudah diberikan dan dapat membatasi
jumlah infeksi sistemis yang dapat mempersulit tata laksana. Selain itu, toksisitas atau
overdoses karena pemberian oral dapat diatasi dengan pemberian antidot, seperti arang
aktif. Di pihak lain, jaras yang terlibat dalam absorpsi obat adalah yang terumit, dan
obat terpapar dengan kondisi pencernaan saluran
cerna yang kasar sehingga absorpsi terbatas.
Beberapa obat diabsorpsi mulai dari lambung;
namun, duodenum merupakan pintu masuk utama
menuju sirkulasi sistemis karena permukaan
absorbsinya lebih besar. Sebagian besar obat yang
diabsorbsi dari saluran cerna masuk menuju
sirkulasi portal dan hati sebelum terdistribusi ke
dalam sirkulasi umum. Obat-obat tersebut
mengalami metabolisme lintas-pertama (first-pass
metabolism) di dalam hati, tempat obat-obat
tersebut mungkin dimetabolisme secara ketat
sebelum memasuki sirkulasi sistemis (Gambar
1.3). [Catatan: Metabolisme lintas-pertama oleh
usus atau hati membatasi manfaat banyak obat
yang diminum per oral. Sebagai contoh, lebih dari 90% nitroglycerin dilarutkan hanya
dalam satu kali lintasan melalui hati, yang menjadi alasan utama bahwa obat ini tidak
diberikan per oral.] Obat-obatan yang mengalami tingkat metabolisme lintas-pertama
yang tinggi harus diberikan dalam jumlah yang memadai untuk memastikan
kecukupan zat aktif obat mencapai organ target. Pemberian obat bersama makanan,
atau dikombinasi dengan obat-obatan lain, dapat memengaruhi absorpsi. Keberadaan
makanan dalam lambung memperlambat waktu pengosongan lambung sehingga obat
yang dihancurkan oleh asam (misalnya, penicillin) menjadi tidak dapat diabsorbsi
(lihat hlm. 432). [Catatan: Salut enterik obat melindungi obat dari lingkungan yang
asam; salut tersebut mencegah iritasi oleh lambung dan pelepasan obat bisa
diperpanjang, tergantung formulasinya, yang menghasilkan suatu efek lepas-lambat.]
2. Sublingual : Penempatan bawah lidah menyebabkan obat tersebut berdifusi dalam
anyaman kapiler sehingga secara langsung masuk menuju sirkulasi sistemis.
Pemberian suatu obat secara sublingual mempunyai beberapa keuntungan, yakni
absorpsinya cepat, kenyamanan pemberian, kejadian infeksi yang rendah, terhindar
dari lingkungan pencernaan yang kasar dan metabolisme lintas-pertama.
B. Parenteral
Rute parenteral menghantarkan obat langsung melewati sawar pertahanan tubuh menuju
sirkulasi sistemis atau jaringan bervaskular. Pemberian secara parenteral digunakan untuk
obat yang terabsorbsi buruk melalui saluran cerna (misalnya, heparin) dan obat yang tidak
stabil dalam saluran cerna (misalnya, insulin). Pemberian parenteral juga digunakan untuk
pasien yang tidak sadar dan berada dalam keadaan yang memerlukan awitan kerja obat
yang cepat. Selain itu, rute ini memiliki bioavailabilitas yang tertinggi dan tidak terpapar
metabolisme lintas-pertama atau lingkungan pencernaan yang kasar. Pemberian parenteral
memberi kendali terbaik terhadap dosis obat yang sesungguhnya dalam tubuh. Meskipun
demikian, rute ini bersifat ireversibel dan dapat menyebabkan nyeri, ketakutan, dan
infeksi. Tiga rute parenteral yang utama adalah intravaskular (intravena atau intraarteri),
intramuskular, dan subkutan (lihat Gambar 1.2). Masing-masing rute mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
1. Intravena (IV) : Suntikan adalah rute pemberian parenteral tersering. Obat yang tidak
terabsorbsi per oral, seperti pelumpuh neuromuskular atracurium, sering kali tidak ada
pilihan lain. Dengan pemberian IV, obat tidak melewati saluran cerna sehingga
terhindar dari metabolisme lintas-pertama oleh hati. Pemberian intravena
menimbulkan suatu efek yang cepat dan kendali maksimal atas kadar obat dalam
sirkulasi. Namun, berbeda dengan obat yang terdapat di dalam saluran cerna, obat-
obatan yang disuntikkan tidak dapat dikeluarkan kembali dengan cara-cara seperti
dimuntahkan atau diikat dengan arang aktif. Suntikan intravena secara tidak sengaja
dapat menyertakan bakteri melalui kontaminasi pada lokasi suntikan. Suntikan
intravena juga dapat memicu hemolisis atau menyebabkan efek samping lainnya
karma distribusi obat yang berkonsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan terlalu
cepat. Oleh sebab itu, kecepatan masuk obat harus dikendalikan secara hati-hati.
Perhatian yang sama juga harus diberikan untuk obat-obatan yang disuntikkan secara
intra-arteri.
2. Intramuskular (IM) obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berbentuk
larutan yang mengandung air atau preparat depo khusus—sering berupa suspensi obat
dalam vehikulum non-berair, seperti polietilen glikol. Absorbsi obat-obatan dalam
larutan berair berlangsung cepat, sedangkan absorbsi preparat-preparat depo
berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, zat obat mengendap
pada lokasi suntikan. Kemudian obat larut perlahan-lahan sehingga dosis yang
diberikan bertahan dalam waktu yang lebih lama. Contohnya adalah obat suntik
haloperidol decanoate lepas lambat (lihat hlm. 181), berdifusi lambat dari otot dan
menghasilkan suatu efek neurolepsis yang lama.
3. Subkutan (SC) : Rute pemberian ini, seperti halnya suntikan intramuskular,
memerlukan absorbsi dan agak lebih lambat dibanding rute intravena. Suntikan
subkutan mengurangi risiko yang berhubungan dengan suntikan intravaskular.
[Catatan: Sejumlah kecil epinefrin kadang-kadang dikombinasikan dengan suatu obat
untuk membatasi area kerja obat tersebut. Epinefrin bekerja sebagai suatu
vasokonstriktor lokal dan mengurangi pelepasan obat, seperti lidocaine, dari lokasi
pemberian]. Contoh-contoh lain meliputi obat berbahan padat, seperti batang tunggal
yang mengandung kontrasepsi etonogestrel, yang diimplantasi untuk aktivitas jangka
panjang (lihat h1m. 359), dan juga pompa mekanis terprogram yang dapat
diimplantasi untuk melepas insulin pada penderita diabetes melitus.
C. Lain-lain
1. Inhalasi : Inhalasi memfasilitasi penyebaran obat secara cepat melewati area
permukaan membran mukosa saluran pernapasan dan epitel paru yang luas sehingga
menghasilkan efek yang hampir sama cepatnya dengan efek yang dihasilkan oleh
pemberian obat secara intravena. Rute pemberian ini digunakan untuk obat-obatan
berbentuk gas (misalnya, beberapa obat anestetik) atau obat-obatan yang dapat
didispersi ke dalam aerosol. Rute ini terutama efektif dan menyenangkan bagi
penderita-penderita dengan keluhan-keluhan pernapasan (seperti asma atau penyakit
paru obstruktif kronis) karena obat diberikan secara langsung pada lokasi kerjanya dan
memiliki efek samping sistemis yang minimal. Contoh obat-obatan yang diberikan
melalui rute ini meliputi albuterol dan kortikosteroid, seperti fluticasone.
2. Intranasal: Ini merupakan rute pemberian obat secara langsung ke dalam hidung.
Obat-obatan tersebut meliputi dekongestan nasal, seperti kortikosteroid anti-inflamasi
mometasone furoate. Desmopressin diberikan secara intranasal pada pengobatan dia-
betes insipidus; calcitonin salmon, suatu hormon peptida yang digunakan dalam
pengobatan osteoporosis, juga tersedia dalam bentuk semprot hidung. Obat yang
disalahgunakan, cocaine, biasanya digunakan dengan cara diendus melalui hidung.
3. Intratekal/intraventrikular: Terkadang, obat perlu diberikan secara langsung ke
dalam cairan serebrospinal. Misalnya, amphotericin B digunakan dalam mengobati
meningitis kriptokokal (lihat h1m. 486).
4. Topikal: Pemberian topikal digunakan bila suatu efek lokal obat diinginkan.
Misalnya, clotrimazole, yang dipakai dalam bentuk krim yang dioles langsung pada
kulit untuk mengobati dermatofitosis, dan tropicamide atau cyclopentolate, yang
dipakai (diberikan tetes demi tetes) secara langsung pada rnata untuk mendilatasikan
pupil dan memudahkan pengukuran kelainan refraksi.

5. Transdermal: Rute pemberian ini mencapai efek sistemis melalui kulit, biasanya
berupa suatu koyok transdermal. Kecepatan absorbsi sangat bervariasi, tergantung
sifat-sifat fisik kulit pada lokasi pemberian. Rute pemberian ini paling sering
digunakan untuk pemberian obat tertentu, seperti obat antiangina nitroglycerin,
antiemetik scopolamine, dan koyok kontraseptif sekali seminggu (Ortho Evra) yang
memiliki efek serupa dengan pil pencegah kehamilan per oral.

6. Rektal : Lima puluh persen aliran darah rektum memintas sirkulasi portal; dengan
demikian, biotransformasi obat oleh hati menjadi berkurang. Seperti halnya rute
sublingual, rute rektal mempunyai keuntungan tambahan, yaitu terhindar dari
penghancuran obat oleh enzim usus atau tingkat pH yang rendah di dalam lambung.
Rute rektal juga berguna jika obat menginduksi muntah ketika diberikan per oral, atau
jika pasien muntah-muntah; atau jika pasien tidak sadar. [Catatan: Rute rektal sering
digunakan pada pemberian obat antimuntah.] Namun, absorpsi pemberian melalui
rektum sering kali berubah-ubah dan tidak sempurna, serta banyak obat mengiritasi
mukosa rektum.

III. ABSORBSI OBAT


Absorbsi adalah pemindahan obat dari lokasi pemberian menuju aliran darah. Kecepatan dan
efisiensi absorbsi tergantung cara pemberiannya. Untuk pemberian intravena, absorbsi
berlangsung sempurna karena dosis total obat mencapai sirkulasi sistemis. Pemberian obat
dengan rute lain hanya bisa menghasilkan absorbsi parsial sehingga menurunkan
bioavailabilitas. Sebagai contoh, suatu obat memerlukan cairan saluran cerna agar terlarut dan
kemudian menembus sel-sel epitel mukosa usus, tetapi keadaan penyakit atau keberadaan
makanan bisa memengaruhi proses ini.
A. Pengakutan obat dari saluran cerna
Tergantung sifat-sifat kimiawinya, obat terabsorbsi dari saluran cerna melalui difusi pasif
atau transpor aktif.
1. Difusi pasif : Tenaga penggerak absorbsi pasif
suatu obat adalah perbedaan konsentrasi antar
membran pemisah dua kompartemen tubuh; jadi,
obat tersebut bergerak dari satu bagian lain yang
berkonsentrasi tinggi menuju bagian
berkonsentrasi rendah. Difusi pasif tidak
melibatkan suatu karier, tidak tersaturasi, dan
kurang menunjukkan spesifisitas struktur. Se-
bagian besar obat masuk ke dalam tubuh melalui
mekanisme ini. Obat-obat larut-lemak mudah
melintasi sebagian besar membran biologis karena
kelarutannya di dalam lapisan ganda membran
(membrane bilayers). Obat-obatan larut-air
menembus membran sel melalui saluran atau pori-
pori berair (Gambar 1.4). Obat-obat lain dapat
masuk ke dalam sel melalui protein karier
transmembran yang khusus, yang memuclahkan
perlintasan molekul besar. Protein karier ini
mengalami perubahan struktur yang menyebabkan obat atau molekul endogen
memasuki bagian interior berbagai sel, memindahkan obat atau molekul tersebut dari
bagian yang berkonsentasi tinggi menuju bagian yang berkonsentrasi rendah. Proses
ini dikenal sebagai difusi terfasilitasi. Tipe difusi ini tidak memerlukan energi, dapat
tersaturasi, dan mungkin dapat dihambat.
2. Transpor aktif : Cara ini juga melibatkan protein-protein karier spesifik yang
terentang pada membran sel. Sejumlah kecil obat yang memiliki struktur mirip
metabolit-i-netabolit alamiah ditranspor secara aktif melewati membran sel
menggunakan protein-protein karier khusus ini. Transpor aktif bergantung pada energi
dan diatur oleh hidrolisis adenosin trifosfat (Iihat gambar 1.4). Tranpor aktif mampu
memindahkan obat dengan melawan gradien konsentrasi yaitu dari bagian
berkonsentrasi rendah menuju bagian berkonsentrasi lebih tinggi. Proses ini
menunjukkan kinetik saturasi untuk karier tersebut, seperti halnya reaksi katalisasi
enzim yang menunjukkan kecepatan maksimum pada kadar substrat yang tinggi ketika
semua situs aktifnya telah terisi substrat.'
3. Endositosis dan eksositosis : Cara ini memindahkan obat-obat yang berukuran sangat
besar melintasi membrane sel. Endositosis merupakan pengambilan molekul obat oleh
membran dan transpor ke dalam sel dengan cara mencengkeram vesikel yang terisi
obat. Eksositosis adalah kebalikan dari endositosis dan digunakan oleh sel untuk
menyekresi berbagai zat melalui proses pembentukan vesikel sejenis. Misalnya,
vitamin B 12 ditranspor melintasi dinding usus secara endositosis. Neurotransmiter
tertentu (misalnya, norepinefrin) disimpan di dalam vesikel terikat-membran pada
ujung saraf dan dilepas secara eksositosis.

B. Efek pH pada absorbsi obat


Sebagian besar obat berupa asam lemah atau basa lemah. Obat-obatan yang bersifat asam
(HA) melepaskan sebuah ion H+ yang menyebabkan sebuah anion bermuatan (A-)
membentuk:2
𝐻𝐴 : 𝐻+ + 𝐴−

Basa lemah (BH+) juga dapat melepaskan sebuah H+. Namun, bentuk obat dasar berproton
biasanya bermuatan, dan kehilangan sebuah proton menghasilkan basa tidak bermuatan
(B):
𝐻𝐴+ : 𝐵 + 𝐻+
1. Rute obat tidak bermuatan melalui suatu
membran: Suatu obat lebih mudah melewati
suatu membran bila obat tersebut tidak
bermuatan (Gambar 1.5). Jadi, pada asam
lemah, HA yang tidak bermuatan dapat
menembus melalui membran, sedangkan A-
tidak dapat. Pada basa lemah, senyawa tidak
bermuatan, B, menembus membran sel, tetapi
BH+ tidak. Oleh sebab itu, konsentrasi efektif
bentuk permeabel masing-masing obat pada
lokasi absorpsi ditentukan oleh konsentrasi
relatif bentuk bermuatan dan tidak
bermuatannya. Selanjutnya, rasio antara dua
bentuk ini ditentukan oleh pH pada lokasi
absorbsi dan kekuatan asam-lemah atau basa
lemah yang dinyatakan sebagai nilai pKa
(Gambar 1.6). [Catatan: pKa adalah ukuran
kekuatan interaksi antara suatu senyawa dengan
proton. Makin kecil pKa suatu obat, makin kuat
keasamannya. Sebaliknya, makin tinggi pKa,
makin kuat basanya.] Keseimbangan distribusi
tercapai bila konsentrasi bentuk obat yang
permeabel adalah sama pada seluruh cairan
tubuh. [Catatan: Obat-obatan yang sangat
mudah larut dalam lipid secara cepat menyebrangi membran dan sering masuk ke
dalam jaringan dengan kecepatan yang ditemukan oleh aliran darah.]
2. Penentuan jumlah obat akan ditemukan pada tiap sisi membran: Hubungan pKa
dan rasio konsentrasi asam-basa terhadap pH dinyatakan dengan persamaan
Henderson-Hasselbalch:3

𝑝𝐻 = 𝑝𝐾 + 𝑙𝑜𝑔 [𝑠𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑙 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡i𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑛i𝑠𝑎𝑠i]


𝑎
[𝑠𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑛i𝑠𝑎𝑠i]
[𝐴−]
𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑠𝑎𝑚 ∶ 𝑝𝐻 = 𝑝𝐾𝑎 + 𝑙𝑜𝑔 [𝐻𝐴]
[𝐵]
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑎𝑠𝑎 ∶ 𝑝𝐻 = 𝑝𝐾𝑎 + 𝑙𝑜𝑔
[𝐵𝐻+]

Persamaan ini berguna dalam menentukan jumlah obat yang akan ditemukan pada tiap
sisi suatu membran, yang memisahkan dua kompartemen yang memiliki pH berbeda
—misalnya, lambung (pH 1,0 sampai 1,5) dan plasma darah (pH 7,4). [Catatan:
Kelarutan dalam lipid dari obat yang tidak terionisasi secara langsung menentukan
laju keseimbangannya.]
C. Faktor-faktor fisik yang memengaruhi absorbsi
1. Aliran darah pada lokasi absorbsi: Aliran darah menuju usus jauh lebih besar
daripada aliran darah yang menuju lambung; jadi, absorbsi dari usus jauh lebih baik
daripada lambung [Catatan: Keadaan syok sangat mengurangi aliran darah yang
menuju ke jaringan subkutan sehingga mengurangi absorbsi pada pemberian SC].
2. Jumlah area permukaan yang tersedia untuk absorbsi : Karena usus memiliki
permukaan yang kaya akan mikrovili, usus mempunyai luas permukaan kira-kira 1000
kali lebih luas dibanding permukaan lambung; Jadi, absorbsi melalui usus lebih
efisien.
3. Lama kontak dengan permukaan absorbsi: Jika suatu obat dalam saluran cerna
bergerak sangat cepat, seperti pada keadaan diare berat, obat tidak diabsorbsi secara
baik. Sebaliknya, segala sesuatu yang memperlambat transpor obat dari lambung
menuju usus akan memperlambat kecepatan absorbsi obat tersebut. [Catatan: Input
parasimpatis meningkatkan kecepatan pengosongan lambung, sedangkan input
simpatis (misalnya, akibat latihan fisik atau perasaan stres) memperpanjang waktu
pengosongan lambung, begitu pula antikolinergik (misalnya, dicyclomine). Selain itu,
keberadaan makanan dalam lambung akan melarutkan obat dan memperlambat
pengosongan lambung. Oleh sebab itu, suatu obat yang diminum bersama makanan,
umumnya, terabsorbsi lebih lambat.]
IV. DISTRIBUSI OBAT
Distribusi obat merupakan sebuah proses perpindahan suatu obat secara reversibel dari
sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/atau sel-sel jaringan.
Perpindahan obat dari plasma menuju interstisial terutama tergantung pada aliran darah,
permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma dan jaringan, dan
sifat hidrofobik relatif obat tersebut.
A. Aliran darah
Kecepatan aliran darah kapiler jaringan sangat bervariasi sebagai akibat distribusi curah
jantung yang tidak sama ke berbagai organ. Aliran darah yang menuju otak, hati, dan
ginjal lebih besar daripada aliran darah yang menuju otot rangka; jaringan adiposa tetap
menclapat aliran darah yang lebih renclah. Perbedaan aliran darah ini turut menjelaskan
durasi singkat hipnosis yang dihasilkan oleh bolus suntikan intravena thiopental (lihat
h1m. 159). Besarnya aliran darah, bersama kelarutan lipid thiopental yang tinggi,
memuclahkan pergerakan yang cepat menuju ke susunan saraf pusat (SSP) dan
menghasilkan efek anestesia. Distribusi yang lebih lambat ke otot rangka dan jaringan
adiposa menurunkan konsentrasi plasma dengan cukup sehingga konsentrasi dalam SSP
yang tinggi menjadi turun dan kesadaran pulih kembali. Meskipun fenomena ini terjadi
pada semua obat hingga derajat tertentu, redistribusi terutama terjadi pada kerja obat
berdurasi sangat singkat, thiopental, dan senyawa yang memiliki sifat kimiawi dan
farmakologi yang serupa.
B. Permeabilitas kapiler
Permeabilitas kapiler ditentukan oleh struktur kapiler dan sifat kimiawi obat tersebut.
1. Struktur kapiler: Struktur kapiler sangat bervariasi dalam hal fraksi membran basalis
yang terpapar oleh taut celah antara sel-sel endotel. Tada otak, struktur kapiler bersifat
kontinu dan tidak ada taut celah antara sel-sel endotel (Gambar 1.8). Berbeda dengan
hati dan limps yang sebagian besar membran basalisnya terpapar akibat putusan-
putusan kapiler yang berukuran besar dapat dilewati protein plasma yang berukuran
besar.
a. Sawar darah-otak : Untuk memasuki otak,
obat harus melewati sel-sel endotel kapiler
SSP atau ditranspor secara aktif. Misalnya,
pengangkut spesifik untuk asam amino netral
yang berukuran besar mengangkut levodopa
menuju otak. Sebaliknya, obat yang larut-
lipid memenetrasi secara muclah menuju SSP
karena dapat telarut di dalam membran sel-
sel endotel. Obat-obat yang terionisasi atau
yang polar umumnya tidak dapat masuk ke
SSP karena tidak mampu melewati sel
endotel SSP, yang tidak memiliki taut calah.
Sel-sel endotel kapiler pada otak yang
tersusun rapat ini membentuk taut sempit
yang disebut sawar darah otak.
2. Struktur obat: Sifat kimiawi obat sangat
memengaruhi kemampuannya menembus
membran sel. Obat-obat hidrofobik yang
mempunyai distribusi elektron seragam dan tidak
bermuatan mudah bergerak menembus sebagian
besar membran biologis. Obat-obat ini dapat larut
dalam membran lipid sehingga menembus
seluruh permukaan sel. Faktor utama yang
memengaruhi distribusi obat hidrofobik adalah
aliran darah yang menuju area itu. Sebaliknya,
obat-obat hidrofilik, yang mempunyai distribusi
elektron atau muatan positif atau negatif yang
tidak seragam, tidak mudah menembus membran
sel sehingga harus melalui taut celah.
C. Pengikatan obat pada protein plasma
Pengikatan reversibel pada protein plasma menjadikan obat berada dalam bentuk yang
tidak dapat berdifusi dan memperlambat pemindahan keluar obat tersebut dari
kompartemen vaskular. Pengikatan bersifat relatif tidak selektif, seperti struktur kimia,
dan terdapat pada sisi protein tempat senyawa endogen, seperti bilirubin, biasa
menempel.. Albumin plasma adalah protein pengikat obat yang utama dan dapat bertindak
sebagai reservoir obat; seperti halnya konsentrasi obat bebas berkurang akibat eliminasi
oleh metabolisme atau ekskresi, demikian pula obat yang terikat akan berdisosiasi dari
protein tersebut. Hal ini berguna untuk mempertahankan konsentrasi obat yang konstan di
bebas sebagai suatu fraksi seluruh obat dalam plasma.

V. VOLUME DISTRIBUSI
Volume distribusi adalah suatu volume cairan, yang
secara hipotesis, tempat obat tersebar di dalamnya.
Meskipun volume distribusi tidak mempunyai dasar
fisiologis maupun fisis, kadang-kadang perbandingan
distribusi suatu obat dengan volume-volume
kompartemen cairan dalam tubuh memiliki kegunaan
(Gambar 1.9).
A. Kompartemen cairan dalam tubuh
Begitu obat memasuki tubuh, melalui Rute
pemberian apa pun, obat tersebut memiliki potensi
untuk berdistribusi ke dalam satu dari tiga
kompartemen cairan tubuh yang berbeda atau
terisolasi dalam satu sisi seluler.
1. Kompartemen plasma : Jika suatu obat
memiliki berat molekul yang sangat besar atau
terikat kuat pada protein plasma, obat tersebut
menjadi terlalu besar untuk melalui taut celah
endotel kapiler sehingga mudah terperangkap
dalam kompartemen plasma (vaskular).
Akibatnya, obat tersebut terdistribusi dalam
suatu volume (plasma) yang kira-kira 6% dari
berat badan, atau kira-kira 4 L dari cairan
tubuh pada seorang individu yang memiliki berat badan 70 kg. Heparin (lihat hal.
277) menunjukkan tips distribusi ini.
2. Cairan ektraseluler : Jika suatu obat mempunyai berat molekul yang rendah tetapi
bersifat hidrofilik, obat tersebut dapat bergerak melalui taut celah endotel kapiler
menuju cairan interstisial. Namun, obat-obatan hidrofilik tidak dapat melintasi
membran lipid sel untuk masuk ke fase cair di dalam sel. Oleh sebab itu, obat-obat ini
terdistribusi ke dalam suatu volume yang merupakan penjumlahan cairan plasma dan
cairan interstisial, Yang bersama-sama membentuk cairan ekstraseluler. jumlah ini
sekitar 20% dari berat badan, atau kira-kira 14 L pada orang dengan berat badan 70
kg. Antibiotika aminoglycoside (lihat h1m. 447) menunjukkan tipe distribusi ini.
3. Cairan tubuh total : Jika suatu obat mempunyai berat molekul Yang rendah dan
bersifat hidrofobik, obat tersebut tidak hanya dapat bergerak melalui taut celah menuju
interstisial, tetapi juga dapat bergerak melalui membran sel menuju cairan intraseluler.
Oleh sebab itu, obat tersebut terdistribusi menuju suatu volume yang berkisar 60%
dari berat badan atau kira-kira 42 liter pada seseorang dengan berat badan 70 kg.
Ethanol menunjukkan volume distribusi ini dengan nyata (lihat bawah).
4. Tempat-tempat lain : Pada kehamilan, janin dapat menyerap obat sehingga
meningkatkan volume distribusi. Obat yang sangat larut-lemak seperti thiopental (lihat
hlm. 159), juga dapat mempunyai volume distribusi yang luar biasa tinggi.
B. Volume distribusi yang nyata
Suatu obat jarang berhubungan dengan hanya satu kompartemen cairan tubuh. Sebaliknya,
sebagian besar obat terdistribusi dalam beberapa kompartemen, Sering kali berikatan
dengan komponenkomponen seluler–misalnya, lipid (berlimpah di dalam adiposit dan
membran sel), protein (berlimpah dalam plasma dan sel) atau asam nukleat (berlimpah
dalam inti sel). Oleh sebab itu, volume tempat obat terdistribusi disebut volume distribusi
yang nyata, atau Vd Dengan kata lain, konstanta ini merupakan koefisien partisi obat
antara plasma dan seluruh tubuh.
1. Penentuan Vd
a. Distribusi obat tanpa adanya eliminasi : Volume
nyata tempat obat terdistribusi (Vd) ditentukan oleh
penyuntikan suatu obat dengan dosis standar yang
mula-mula masuk seluruhnya ke dalam sistem
vaskular. Obat tersebut kemudian bergerak dari
plasma menuju interstisial dan ke sel, menyebabkan
konsentrasi plasma berkurang menurut waktu.
Untuk memudahkan, anggaplah bahwa obat tersebut
tidak dieliminasi dari tubuh; obat tersebut kemudian
mencapai suatu konsentrasi yang sama dan
clipertahankan sesuai waktu (Gambar 1.10). Konsentrasi di dalam kompartemen
vaskular adalah jumlah total obat yang diberikan dibagi volume tempat obat
terdistribusi, Vd:
C=D/Vd atau Vd = D/C
dengan C = Konsentrasi obat dalam plasma dan D = jumlah total obat dalam tubuh.
Misalnya, jika. 25 mg obat (D = 25 mg) diberikan dan konsentrasi dalam plasma
adalah 1 mg/L, VC, = 25 mg/1 mg/L = 25 L.
b. Distribusi obat bila terdapat eliminasi :
Kenyataannya, obatobat dieliminasi dari tubuh,
dan suatu grafik konsentrasi plasma terhadap
waktu menunjukkan dua fase. Penurunan multi-
multi konsentrasi dalam plasma disebabkan oleh
suatu fase distribusi yang cepat, yaitu obat
ditransfer dari plasma menuju ke interstisial dan
cairan intraseluler. Fase ini diikuti oleh fase
eliminasi yang lebih lambat, yaitu selama obat
meninggalkan kompartemen plasma dan
menghilang dari tubuh, misalnya oleh eliminasi

ginjal atau empedu atau biotransformasi di hati


(Gambar 1.11). Kecepatan eliminasi obat, biasanya,
proporsional dengan konsentrasi obat, C; artinya,
kecepatan eliminasi sebagian besar obat bersifat
first-order dan menunjukkan hubungan yang tinier
terhadap waktu—jika lnC (dengan InC adalah log
C, dari pada C) diekstrapolasi menurut waktu
(Gambar 1.12). Hal ini karena proses eliminasi
tidak disaturasi.
c. Penghitungan konsentrasi obat jika distribusi
bersifat cepat : Anggaplah bahwa proses eliminasi
bermula pada saat penyuntikan dan terns
berlangsung selama fase distribusi. Konsentrasi
obat dalam plasma, C, dapat diperhitungkan
kembali mulai pada waktu nol (saat penyuntikan) untuk menentukan C0 yang
merupakan konsentrasi obat yang tercapai jika fase distribusi terjadi secara instan.
Misalnya, jika 10 mg obat disuntikkan ke pasien dan konsentrasi plasma yang
diperhitungkan pada waktu nol adalah Co = 1 mg/L (dari grafik yang ditunjukkan
dalam Gambar 1.12), lalu Vd = 10 mg/1 mg/L = 10 L.
d. Distribusi obat yang tidak merata antarkompartemen: Volume distribusi yang
nyata menganggap bahwa obat terdistribusi secara sama dalam suatu kompartemen
tunggal. Namun, sebagian besar obat terdistribusi secara tidak merata dalam beberapa
kompartemen dan volume distribusi tidak memberikan suatu volume fisik yang nyata
tetapi lebih mencerminkan rasio obat dalam ruangan ekstraplasma terhadap ruang
intraplasma. Meskipun demikian, Vd berguna karena dapat cligunakan untuk
mengalkulasi jumlah obat yang diperlukan agar mencapai konsentrasi plasma yang
diinginkan. Misalnya, anggaplah aritmia pada seorang pasien penyakit jantung tidak
terkontrol dengan baik karena kadar digitalis dalam plasma tidak adekuat. Seharusnya,
konsentrasi obat dalam plasma adalah C1 dan kadar digitalis yang diinginkan
(diketahui dari uji klinis) berkonsentrasi lebih tinggi, C2. Dokter perlu tabu jumlah
obat tambahan yang harus diberikan untuk meningkatkan kadar obat dalam sirkulasi
dari C1 menuju C2:
(Vd)(C1) = jumlah obat awal di dalam tubuh
(Vd)(C1) = jumlah obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
plasma yang diinginkan.
Perbedaan antara kedua nilai tersebut adalah dosis obat tambahan yang diperlukan,
sama dengan Vd (C2–C1).
2. Efek Vd yang besar terhadap waktu-paruh suatu obat
Nilai Vd yang besar berpengaruh penting terhadap waktu-paruh suatu obat karena
eliminasi obat tergantung pada jumlah obat yang sampai ke hati atau ginjal (atau organ-
organ lain tempat metabolisme berlangsung) per satuan waktu. Penghantaran obat menuju
organ-organ penghancur tidak hanya tergantung pada aliran darah, tetapi juga fraksi obat
dalam plasma. Jika Vd suatu obat bernilai besar, sebagian besar obat berada dalam
ruangan ekstraplasma dan tidak berada pada organ-organ ekskresi. Oleh sebab itu, setiap
faktor yang meningkatkan volume distribusi dapat menyebabkan peningkatan waktuparuh
dan memperpanjang lama kerja obat. [Catatan: Vd yang luar biasa besar menunjukkan
adanya isolasi obat dalam beberapa organ atau kompartemen).
VI. METABOLISME OBAT
Obat paling sering dieliminasi melalui biotransformasi
dan/atau ekskresi ke dalam urine atau empedu. Proses
metabolisme mengubah obat-obat lipofilik menjadi
produk yang bersifat lebih polar dan mudah diekskresi.
Hati adalah lokasi utama metabolisme obat, tetapi obat-
obat tertentu dapat mengalami biotransformasi dalam
jaringan lain, seperti ginjal dan usus. [Catatan: Beberapa
obat, pada awalnya, diberikan dalam. bentuk senyawa
tidak aktif (pro-drug) dan harus dimetabolisme menjadi
bentuk aktif.]
A. Kinetika metabolism
1. Kinetika first-order: Transformasi metabolic
obat dikatalisis oleh enzim-enzim, dan sebagian
besar reaksi mengikuti kinetika Michaelis-
Menten:4

𝑣 = 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑡𝑎𝑏𝑜𝑙i𝑠𝑚𝑒 𝑜𝑏𝑎𝑡 = 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐶]


𝐾𝑚 + [𝐶]

Pada sebagian besar situasi klinis, konsentrasi obat, [C], jauh lebih kecil daripada
konstanta Michaelis, Km, dan persamaan Michaelis-Menten berkurang menjadi,

𝑣 = 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑡𝑎𝑏𝑜𝑙i𝑠𝑚𝑒 𝑜𝑏𝑎𝑡 = 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐶]


𝐾𝑚
Jadi, kecepatan metabolisme obat proporsional secara langsung terhadap konsentrasi
obat bebas dan, kinetika first-order terobservasi (Gambar 1.14). Hal ini berarti bahwa
suatu fraksi obat yang konstan dimetabolisme per satuan waktu.
2. Kinetika zero-order: Dosis sejumlah obat, seperti aspirin, ethanol, dan
phenytoin,
sangat besar sehingga [C] jauh lebih besar dari Km, dan persamaan kecepatan menjadi:

𝑣 = 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑡𝑎𝑏𝑜𝑙i𝑠𝑚𝑒 𝑜𝑏𝑎𝑡 = 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐶]


𝐾𝑚

Enzim dijenuhkan oleh konsentrasi obat-bebas yang tinggi dan kecepatan metabolisme
tetap konstan sepanjang waktu. Ini disebut sebagai kinetika zero-order (atau kadang-
kadang secara klinis disebut sebagai kinetika non-linier). Suatu jumlah obat yang
konstan dimetabolisme per satuan waktu.
B. Reaksi-reaksi metabolisme obat
Ginjal tidak dapat mengeliminasi secara efisien obat-obat lipofilik yang telah menembus
membran sel dan terabsorbsi kembali di tubulus distal. Oleh sebab itu, obat-obat yang
larut-lipid harus dimetabolisme lebih dahulu di dalam hati dengan menggunakan dua
rangkaian reaksi umum, disebut Fase I dan Fase II (Gambar 1.15).
1. Fase I: Reaksi Fase I berfungsi mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang
lebih polar dengan cara menambah atau membuka gugus fungsional yang bersifat
polar, seperti —OH atau —NH2. Metabolisme Fase I dapat meningkatkan,
mengurangi, atau tidak mengubah aktivitas farmakologis obat.

a. Reaksi Fase I yang menggunakan sistem P450 : Reaksi Fase I yang paling
sering terlibat di dalam metabolisme obat dikatalisis oleh sistem sitokrom P450
(juga disebut fungsi campuran mikrosomal oksidase).
Obat + O2 + NADPH + H+ --> Obat dimodifikasi + H2O + NADP+
Oksidasi berlangsung melalui pengikatan obat dengan bentuk oksidasi sitokrom
P450 kemudian oksigen tereduksi, berikatan dengan NADPH:sitokrom P450
oksidoreduktase.
b. Ringkasan sistem P450 : Sistem P450 penting untuk metabolisme berbagai
senyawa endogen (steroid, lipid, d1l.) dan biotransformasi zat-zat eksogen
(xenobiotik). Sitokrom P450, ditandai sebagai CYP, tersusun dari berbagai
kelompok isozim yang mengandung-heme, yang terdapat pada sebagian besar sel,
terutama di dalam hati dan saluran pencemaan. Nama kelompok tersebut
ditunjukkan dengan angka yang diikuti oleh huruf kapital untuk subkelompok
(misalnya, CYP3A). Angka lain ditambahkan untuk menunjukkan isozim yang
spesifik (CYP3A4). Terdapat banyak gen,
dan enzim, yang berbeda; oleh sebab itu,
beragam P450 dikenal sebagai isoformis.
Enam isozim bertanggung jawab untuk
sebagian besar reaksi yang dikatalisis-
P450: CYP3A4, CYP2D6, CYP2C9/10,
CYP2C19, CYP2E1, dan CYP1A2.
Persentase obat-obatan yang tersedia saat
ini dan merupakan substrat dari isozim-
isozim tersebut berturut-turut adalah 60,
25, 15, 15, 2, dan 2 persen. [Catatan: Satu
obat dapat merupakan substrat lebih dari
satu isozim.] Jumlah CYP3A4 yang cukup
besar ditemukan di dalam mukosa usus,
berperan dalam metabolisme lintas-
pertama, seperti chlorpromazine dan
clonazepam. Seperti yang mungkin
diperkirakan, enzimenzim ini menghasilkan keragaman genetik yang sangat
banyak, yang berdampak pada dosis regimen tiap orang, dan, yang lebih penting
lagi, sebagai penentu respons terapeutik dan risiko efek camping. CYP2D6, secara
khusus, tampaknya menyebabkan polimorfisme genetis.5 Mutasi menghasilkan
kapasitas metabolisme substrat menjadi sangat rendah. Misalnya, beberapa orang
tidak mendapatkan keuntungan dengan pemberian analgesik opioid codeine karena
mereka tidak memiliki enzim yang melakukan O-demetilasi dan mengaktifkan
obat tersebut. Reaksi ini tergantung pada CYP2D6. Frekuensi polimorfisme ini
sebagian ditentukan berdasarkan ras, dengan prevalensi sebesar 5-10% adalah
Kaukasia Eropa, sedangkan ras Asia Tenggara hanya 2%. Polimorfisme lainnya
telah ditandai untuk isozim subkelompok CYP2C. Meskipun CYP3A4
menghasilkan keragaman antar individu lebih dari 10 kali lipat, tidak ada
polimorfisme yang terdeteksi untuk isozim P450 ini.
c. Penginduksi : Enzim-enzim yang tergantung pada sitokrom P450 merupakan
target penting bagi interaksi farmakokinetik. Salah satunya, penginduksian isozim
CYP yang terpilih. Beberapa obat, terutama phenobarbital, rifampin, dan
carbaniazepine, mampu meningkat sintesis satu atau lebih isozim CYP.
Akibatnya, terjadi peningkatan biotransformasi obat dan dapat menyebabkan
penurunan konsentrasi obat yang termetabolisme oleh isozim CYP yang signifikan
dalam plasma, seperti yang terukur oleh AUC, dengan kehilangan efek
farmakologis secara bersamaan. Misalnya, rifampin, suatu obat antituberkulosis
(lihat h1m. 478), sangat menurunkan konsentrasi penghambat protease Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dalam plasma,' menghilangkan kemampuan obat
tersebut untuk menyupresi pematangan virion HIV. Gambar 1.16 mendata
beberapa penginduksi yang lebih penting bagi representatif isozim CYP. Akibat
peningkatan metabolisme obat meliputi: 1) penurunan konsentrasi obat dalam
plasma, 2) penurunan aktivitas obat jika metabolit tidak aktif, 3) peningkatan
aktivitas obat jika metabolit aktif, dan 4) penurunan efek terapeutik obat. Selain
obat-obatan, zat-zat alami dan polutan juga dapat menginduksi isozim CYP.
Misalnya, hidorkarbon aromatik polisiklik (ditemukan sebagai polutan udara)
dapat menginduksi CYP1A. Induksi ini berdampak pada obat tertentu; misalnya,
amitriptyline dan warfarin yang dimetabolisme oleh P4501A2. Hidorkarbon
polisiklik menginduksi P4501A2 yang menurunkan konsentrasi terapeutik agen-
agen tersebut.
d. Penghambat : Penghambatan aktivitas isozim CYP merupakan sumber interaksi
obat yang penting yang menyebabkan efek samping yang serius. Bentuk
penghambat yang paling Sering adalah kompetisi untuk isozim yang sama.
Namun, beberapa obat mampu menghambat reaksi ketika obat tersebut bukan
sebagai substratnya (misalnya, ketoconazole) sehingga menimbulkan interaksi
obat. Sejumlah obat telah memperlihatkan penghambatan pada satu atau lebih jalur
biotransformasi warfarin yang tergantung-CYP. Misalnya, omeprazole adalah
penghambat yang poten tiga isoenzim CYP yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme zvarfarin. Jika kedua obat tersebut digunakan bersama, konsentrasi
zvarfarin dalam plasma meningkat, yang mengakibatkan penghambatan koagulasi
yang lebih hebat dan risiko terjadi perdarahan, serta reaksi perdarahan serius
lainnya [Catatan: penghambat CYP yang lebih penting adalah erythromycin,
ketoconazole, dan ritonavir karena masing-masing menghambat beberapa isozim
CYPI. Cimetidine menghambat metabolisme theophylline, clozapine, dan
zvarfarin. Zat-zat alami, seperti jus anggur, dapat menghambat metabolisme obat.
Jus anggur menghambat CYP3A4 sehingga obatobatan, seperti amlodipine,
darithromycin, dan indinavir, yang dimetabolisme oleh sistem ini, memiliki
jumlah yang lebih tinggi dalam sirkulasi sistemis menyebabkan kadar dalam darah
menjadi lebih tinggi dan potensial terhadap peningkatan efek terapeutik dan/atau
toksik obat-obatan tersebut. Penghambatan metabolisme obat dapat menyebabkan
peningkatan kadar plasma terus menerus selama pengobatan jangka panjang,
perpanjangan efek farmakologis obat, dan peningkatan toksisitas yang diinduksi
oleh obat.
e. Reaksi Fase I yang tidak melibatkan sistem P450 : Reaksi ini meliputi oksidasi
amina (misalnya, oksidasi katekolamin atau histamin), dehidrogenasi alkohol
(misalnya, oksidasi etanol), esterase (misalnya, metabolisme pravastatin dalam
hati), dan hidrolisis (misalnya, procain).
2. Fase II: Fase ini terdiri dari reaksi-reaksi konjugasi. Jika metabolit hasil proses
metabolisme Fase I sudah bersifat cukup polar, metabolit tersebut dapat diekskresikan
oleh ginjal. Namun, banyak metabolit Fase I sangat lipofilik sehingga tertahan dalam
tubuli ginjal. Reaksi konjugasi lanjutan dengan suatu substrat endogen, seperti
glucuronic acid, sulfuric acid, acetic acid, atau asam amino, menghasilkan senyawa
yang polar, yang umumnya lebih larut dalam air, dan paling Sering bersifat tidak aktif
secara terapeutik. Kecuali itu, morphine-6-glucuronide, yang lebih poten dibanding
morphine. proses glukuronidasi merupakan reaksi konjugasi terpenting dan tersering.
Sistem konjugasi ini kurang pada neonatus, yang menyebabkan neonatus, khususnya
rentan terhadap obat-obat seperti chloramphenicol, yang diinaktifkan dengan pe-
nambahan glucuronic acid (lihat hlm. 454). [Catatan: Obatobat yang memiliki gugus
—OH, —HN2, atau —COON dapat langsung masuk ke dalam reaksi Fase II dan
terkonjugasi tanpa metabolisme Fase I sebelumnya]. Konjugat obat yang sangat polar
tersebut kemudian dapat diekskresikan oleh ginjal atau empedu.
3. Urutan terbalik fase-fase : Tidak semua obat mengalami reaksi Fase I dan Fase II
dengan urutan tersebut. Misalnya, isoniazid mula-mula mengalami asetilasi (suatu
reaksi Fase II) dan kemudian dihidrolisis menjadi isonicotinic acid (suatu reaksi Fase
I)

VII. ELIMINASI OBAT


Pengeluaran obat dari tubuh terjadi melalui berbagai
rute, yang terpenting adalah melalui ginjal dalam
bentuk urine. Rute lainnya meliputi empedu, usus,
paru-paru, atau ASI pada ibu-ibu yang menyusui.
Seorang penderita dengan gagal ginjal mungkin
menjalani dialisis ekstrakorporeal, yang akan
mengeluarkan molekul kedl, seperti obat-obatan.
A. Eliminasi obat melalui ginjal
1. Filtrasi glomerulus: Obat-obatan masuk ke
ginjal melalui A. renalis yang bercabang
membentuk suatu pleksus kapiler glomerulus.
Obat bebas (tidak terikat albumin) mengalir
melalui celah kapiler menuju ruang Bowman
sebagai bagian filtrat glomerulus (Gambar
1.17). Kecepatan filtrasi glomerulus (125
mL/menit) normalnya sekitar 20% aliran
plasma ginjal (600 mL/menit). [Catatan:
Kelarutan dalam lipid dan pH tidak me-
mengaruhi perjalanan obat menjadi filtrat
glomerulus]
2. Sekresi tubulus proksimal: Obat-obat yang tidak ditransfer menjadi filtrat
glomerulus meningggalkan glomerulus melalui arteriol eferens, yang membentuk
suatu pleksus kapiler yang mengelilingi lumen nefron pada tubulus proksimal. Sekresi
terutama terjadi pada tubulus proksimal melalui dua sistem transpor aktif yang
membutuhkan energi (memerlukan karier), satu untuk transpor anion (misalnya,
bentuk asam lemah yang dihilangkan protonnya) dan satu lagi untuk kation (misalnya,
bentuk basa lemah yang dihilangkan protonnya). Setiap sistem transpor ini
menunjukkan spesifisitas yang rendah dan dapat mentranspor banyak senyawa; jadi,
kompetisi antar-obat melalui karier-karier ini dapat terjadi pada tiap sistem transpor
tersebut (misalnya, lihat probenecid, hlm. 612). [Catatan: Bayi bayi prematur dan
neonatus belum mempunyai mekanisme sekretorik tubulus yang berkembang
sempurna sehingga obat-obat tertentu dapat tertahan di dalam filtrat glomerulus].
3. Reabsorbsi tubulus distal : Begitu suatu obat bergerak menuju tubulus kontortus
distal, konsentrasinya meningkat dan melampaui konsentrasi di dalam ruang
perivaskular. Obat tersebut, jika tidak bermuatan, dapat berdifusi keluar lumen nefron,
kembali ke dalam sirkulasi sistemis. Pengubahan pH urine untuk meningkatkan
bentuk ionisasi obat dalam lumen dapat digunakan untuk mengurangi jumlah obat
yang berdifusi-kembali sehingga meningkatkan bersihan (clearance) obat yang tidak
diinginkan. Aturan yang umum adalah asam lemah dapat dieliminasi melalui
alkalinisasi urine, sedangkan eliminasi basa lemah dapat ditingkatkan dengan
asidifikasi urine. Proses ini disebut "pemerangkapan ion (ion trapping)". Sebagai
contoli, seorang penderita overdoses phenobarbital (asam lemah) dapat diberi
bicarbonate, yang menyebabkan alkalinisasi urine dan menjaga obat tetap terionisasi
sehingga mengurangi reabsorbsi phenobarbital. Jika overdoses terjadi karena basa
lemah, seperti cocaine, asidifikasi urine dengan NH 4Cl menyebabkan protonisasi obat
dan peningkatan bersihannya.
4. Peranan metabolisme obat: Sebagian besar
obat larut dalam lipid dan, jika tanpa
modifikasi kimiawi, akan berdifusi keluar dari
lumen tubulus ginjal ketika konsentrasi obat di
dalam filtrat menjadi lebih besar daripada
konsentrasi di dalam ruangan perivaskular.
Untuk mengurangi reabsorbsi ini, obat diubah,
terutama di dalam hati, oleh tubuh menjadi
lebih polar dengan menggunakan dua jenis
reaksi: Reaksi Fase I (lihat hlm. 16), yang
melibatkan penambahan gugus hidroksil atau
penghilangan gugus hidroksil, karboksil atau
amino, dan reaksi Fase 11 (lihat hlm. 19) yang
menggunakan reaksi konjugasi dengan sulfat,
glisin atau glucuronic acid untuk
meningkatkan polaritas obat. Konjugat-
konjugat tersebut diionisasi dan molekul-
molekul yang dimuati listrik tidak dapat
berdifusi-kembali dari lumen ginjal (Gambar
1.18).
B. Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
Bersihan plasma adalah volume plasma yang clibersihkan dari semua obat dalam waktu
tertentu, misalnya mL/menit. Bersihan sama dengan jumlah aliran plasma ginjal dikalikan
dengan rasio ekstraksi dan karena rasio ini biasanya tidak berubah-ubah menurut waktu,
bersihan bersifat konstan.
1. Rasio ekstraksi : Rasio ini menunjukkan penurunan konsentrasi obat di dalam plasma
dari arteri menuju vena ginjal. Obat masuk menuju ginjal dengan konsentrasi C1 dan
keluar dari ginjal dengan konsentrasi C2. Rasio ekstrasksi = C2/ C1
2. Kecepatan ekskresi: Rasio ekskresi ditentukan dengan persamaan:
Kecepatan ekskresi = (bersihan) (konsentrasi plasma)
mg/menit mL/menit mg/mL
Eliminasi suatu obat selalu mengikuti kinetika first-order dan konsentrasi obat di
dalam plasma menurun secara eksponensial menurut waktu. Hal ini dapat digunakan
untuk menentukan waktu-paruh, 1/2, obat (waktu yang diperlukan agar konsentrasi
obat berkurang dari C menjadi 1/2C).
𝑡1/2 = 𝐼𝑛0,5/𝑘𝑒 = 0,693 𝑉𝑑/𝐶𝐿
dengan ke= konstanta kecepatan first-order untuk eliminasi obat dari tubuh secara
total; dan CL = bersihan (clearance)
C. Bersihan tubuh total
Bersihan tubuh total (sistemik), CLtotal atau CLt, merupakan penjumlahan bersihan dari
berbagai organ yang memetabolisme obat dan organ yang mengeliminasi obat. Ginjal
adalah organ ekskresi utama yang Sering; namun, hati juga berperan menghilangkan obat
melalui metabolisme dan/atau ekskresi ke dalam empedu. Pasien gagal ginjal terkadang
bisa mendapat keuntungan dari suatu obat yang terekskresi melalui jalur ini, menuju usus
dan tinja daripada melalui ginjal. Beberapa obat dapat juga direabsorbsi melalui sirkulasi
enterohepatik sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Bersihan total dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:
𝐶𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐶𝐿ℎ𝑒𝑝𝑎𝑡i𝑘 + 𝐶𝐿gi𝑛j𝑎𝑙 + 𝐶𝐿𝑝𝑎𝑟𝑢 + 𝐶𝐿𝑙𝑎i𝑛𝑛𝑦𝑎
Pengukuran dan penjumlahan masing-masing bersihan ini tidak mungkin dilakukan.
Namun, bersihan total dapat diturunkan dari persamaan kondisi-seimbang (steady-state):
𝐶𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐾𝑒𝑉𝑑
D. Keadaan Klinis yang menyebabkan perubahan waktu paruh obat
Bila seorang penderita mempunyai suatu kelainan yang mengubah waktu-paruh suatu
obat, penyesuaian dosis diperlukan. Pemrediksian penyesuaian waktu-paruh penting untuk
ditentukan pada pasien tertentu. Waktu-paruh suatu obat ditingkatkan oleh 1)
berkurangnya aliran plasma ginjal atau hati—misalnya, pada syok kardiogenik, gagal
jantung, atau perdarahan; 2) berkurangnya rasio ekstraksi-misalnya, pada penyakit ginjal;
dan 3) berkurangya metabolisme—misalnya, ketika obat lain menghambat
biotransformasinya atau pada insufisiensi hati, seperti sirosis. Pada sisi lain, waktu-paruh
obat dapat menurun akibat 1) peningkatan aliran darah hati; 2) penurunan ikatan protein;
dan 3) peningkatan metabolisme.

Anda mungkin juga menyukai