FARMAKOKINETIK
I. TINJAUAN UMUM
5. Transdermal: Rute pemberian ini mencapai efek sistemis melalui kulit, biasanya
berupa suatu koyok transdermal. Kecepatan absorbsi sangat bervariasi, tergantung
sifat-sifat fisik kulit pada lokasi pemberian. Rute pemberian ini paling sering
digunakan untuk pemberian obat tertentu, seperti obat antiangina nitroglycerin,
antiemetik scopolamine, dan koyok kontraseptif sekali seminggu (Ortho Evra) yang
memiliki efek serupa dengan pil pencegah kehamilan per oral.
6. Rektal : Lima puluh persen aliran darah rektum memintas sirkulasi portal; dengan
demikian, biotransformasi obat oleh hati menjadi berkurang. Seperti halnya rute
sublingual, rute rektal mempunyai keuntungan tambahan, yaitu terhindar dari
penghancuran obat oleh enzim usus atau tingkat pH yang rendah di dalam lambung.
Rute rektal juga berguna jika obat menginduksi muntah ketika diberikan per oral, atau
jika pasien muntah-muntah; atau jika pasien tidak sadar. [Catatan: Rute rektal sering
digunakan pada pemberian obat antimuntah.] Namun, absorpsi pemberian melalui
rektum sering kali berubah-ubah dan tidak sempurna, serta banyak obat mengiritasi
mukosa rektum.
Basa lemah (BH+) juga dapat melepaskan sebuah H+. Namun, bentuk obat dasar berproton
biasanya bermuatan, dan kehilangan sebuah proton menghasilkan basa tidak bermuatan
(B):
𝐻𝐴+ : 𝐵 + 𝐻+
1. Rute obat tidak bermuatan melalui suatu
membran: Suatu obat lebih mudah melewati
suatu membran bila obat tersebut tidak
bermuatan (Gambar 1.5). Jadi, pada asam
lemah, HA yang tidak bermuatan dapat
menembus melalui membran, sedangkan A-
tidak dapat. Pada basa lemah, senyawa tidak
bermuatan, B, menembus membran sel, tetapi
BH+ tidak. Oleh sebab itu, konsentrasi efektif
bentuk permeabel masing-masing obat pada
lokasi absorpsi ditentukan oleh konsentrasi
relatif bentuk bermuatan dan tidak
bermuatannya. Selanjutnya, rasio antara dua
bentuk ini ditentukan oleh pH pada lokasi
absorbsi dan kekuatan asam-lemah atau basa
lemah yang dinyatakan sebagai nilai pKa
(Gambar 1.6). [Catatan: pKa adalah ukuran
kekuatan interaksi antara suatu senyawa dengan
proton. Makin kecil pKa suatu obat, makin kuat
keasamannya. Sebaliknya, makin tinggi pKa,
makin kuat basanya.] Keseimbangan distribusi
tercapai bila konsentrasi bentuk obat yang
permeabel adalah sama pada seluruh cairan
tubuh. [Catatan: Obat-obatan yang sangat
mudah larut dalam lipid secara cepat menyebrangi membran dan sering masuk ke
dalam jaringan dengan kecepatan yang ditemukan oleh aliran darah.]
2. Penentuan jumlah obat akan ditemukan pada tiap sisi membran: Hubungan pKa
dan rasio konsentrasi asam-basa terhadap pH dinyatakan dengan persamaan
Henderson-Hasselbalch:3
Persamaan ini berguna dalam menentukan jumlah obat yang akan ditemukan pada tiap
sisi suatu membran, yang memisahkan dua kompartemen yang memiliki pH berbeda
—misalnya, lambung (pH 1,0 sampai 1,5) dan plasma darah (pH 7,4). [Catatan:
Kelarutan dalam lipid dari obat yang tidak terionisasi secara langsung menentukan
laju keseimbangannya.]
C. Faktor-faktor fisik yang memengaruhi absorbsi
1. Aliran darah pada lokasi absorbsi: Aliran darah menuju usus jauh lebih besar
daripada aliran darah yang menuju lambung; jadi, absorbsi dari usus jauh lebih baik
daripada lambung [Catatan: Keadaan syok sangat mengurangi aliran darah yang
menuju ke jaringan subkutan sehingga mengurangi absorbsi pada pemberian SC].
2. Jumlah area permukaan yang tersedia untuk absorbsi : Karena usus memiliki
permukaan yang kaya akan mikrovili, usus mempunyai luas permukaan kira-kira 1000
kali lebih luas dibanding permukaan lambung; Jadi, absorbsi melalui usus lebih
efisien.
3. Lama kontak dengan permukaan absorbsi: Jika suatu obat dalam saluran cerna
bergerak sangat cepat, seperti pada keadaan diare berat, obat tidak diabsorbsi secara
baik. Sebaliknya, segala sesuatu yang memperlambat transpor obat dari lambung
menuju usus akan memperlambat kecepatan absorbsi obat tersebut. [Catatan: Input
parasimpatis meningkatkan kecepatan pengosongan lambung, sedangkan input
simpatis (misalnya, akibat latihan fisik atau perasaan stres) memperpanjang waktu
pengosongan lambung, begitu pula antikolinergik (misalnya, dicyclomine). Selain itu,
keberadaan makanan dalam lambung akan melarutkan obat dan memperlambat
pengosongan lambung. Oleh sebab itu, suatu obat yang diminum bersama makanan,
umumnya, terabsorbsi lebih lambat.]
IV. DISTRIBUSI OBAT
Distribusi obat merupakan sebuah proses perpindahan suatu obat secara reversibel dari
sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/atau sel-sel jaringan.
Perpindahan obat dari plasma menuju interstisial terutama tergantung pada aliran darah,
permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma dan jaringan, dan
sifat hidrofobik relatif obat tersebut.
A. Aliran darah
Kecepatan aliran darah kapiler jaringan sangat bervariasi sebagai akibat distribusi curah
jantung yang tidak sama ke berbagai organ. Aliran darah yang menuju otak, hati, dan
ginjal lebih besar daripada aliran darah yang menuju otot rangka; jaringan adiposa tetap
menclapat aliran darah yang lebih renclah. Perbedaan aliran darah ini turut menjelaskan
durasi singkat hipnosis yang dihasilkan oleh bolus suntikan intravena thiopental (lihat
h1m. 159). Besarnya aliran darah, bersama kelarutan lipid thiopental yang tinggi,
memuclahkan pergerakan yang cepat menuju ke susunan saraf pusat (SSP) dan
menghasilkan efek anestesia. Distribusi yang lebih lambat ke otot rangka dan jaringan
adiposa menurunkan konsentrasi plasma dengan cukup sehingga konsentrasi dalam SSP
yang tinggi menjadi turun dan kesadaran pulih kembali. Meskipun fenomena ini terjadi
pada semua obat hingga derajat tertentu, redistribusi terutama terjadi pada kerja obat
berdurasi sangat singkat, thiopental, dan senyawa yang memiliki sifat kimiawi dan
farmakologi yang serupa.
B. Permeabilitas kapiler
Permeabilitas kapiler ditentukan oleh struktur kapiler dan sifat kimiawi obat tersebut.
1. Struktur kapiler: Struktur kapiler sangat bervariasi dalam hal fraksi membran basalis
yang terpapar oleh taut celah antara sel-sel endotel. Tada otak, struktur kapiler bersifat
kontinu dan tidak ada taut celah antara sel-sel endotel (Gambar 1.8). Berbeda dengan
hati dan limps yang sebagian besar membran basalisnya terpapar akibat putusan-
putusan kapiler yang berukuran besar dapat dilewati protein plasma yang berukuran
besar.
a. Sawar darah-otak : Untuk memasuki otak,
obat harus melewati sel-sel endotel kapiler
SSP atau ditranspor secara aktif. Misalnya,
pengangkut spesifik untuk asam amino netral
yang berukuran besar mengangkut levodopa
menuju otak. Sebaliknya, obat yang larut-
lipid memenetrasi secara muclah menuju SSP
karena dapat telarut di dalam membran sel-
sel endotel. Obat-obat yang terionisasi atau
yang polar umumnya tidak dapat masuk ke
SSP karena tidak mampu melewati sel
endotel SSP, yang tidak memiliki taut calah.
Sel-sel endotel kapiler pada otak yang
tersusun rapat ini membentuk taut sempit
yang disebut sawar darah otak.
2. Struktur obat: Sifat kimiawi obat sangat
memengaruhi kemampuannya menembus
membran sel. Obat-obat hidrofobik yang
mempunyai distribusi elektron seragam dan tidak
bermuatan mudah bergerak menembus sebagian
besar membran biologis. Obat-obat ini dapat larut
dalam membran lipid sehingga menembus
seluruh permukaan sel. Faktor utama yang
memengaruhi distribusi obat hidrofobik adalah
aliran darah yang menuju area itu. Sebaliknya,
obat-obat hidrofilik, yang mempunyai distribusi
elektron atau muatan positif atau negatif yang
tidak seragam, tidak mudah menembus membran
sel sehingga harus melalui taut celah.
C. Pengikatan obat pada protein plasma
Pengikatan reversibel pada protein plasma menjadikan obat berada dalam bentuk yang
tidak dapat berdifusi dan memperlambat pemindahan keluar obat tersebut dari
kompartemen vaskular. Pengikatan bersifat relatif tidak selektif, seperti struktur kimia,
dan terdapat pada sisi protein tempat senyawa endogen, seperti bilirubin, biasa
menempel.. Albumin plasma adalah protein pengikat obat yang utama dan dapat bertindak
sebagai reservoir obat; seperti halnya konsentrasi obat bebas berkurang akibat eliminasi
oleh metabolisme atau ekskresi, demikian pula obat yang terikat akan berdisosiasi dari
protein tersebut. Hal ini berguna untuk mempertahankan konsentrasi obat yang konstan di
bebas sebagai suatu fraksi seluruh obat dalam plasma.
V. VOLUME DISTRIBUSI
Volume distribusi adalah suatu volume cairan, yang
secara hipotesis, tempat obat tersebar di dalamnya.
Meskipun volume distribusi tidak mempunyai dasar
fisiologis maupun fisis, kadang-kadang perbandingan
distribusi suatu obat dengan volume-volume
kompartemen cairan dalam tubuh memiliki kegunaan
(Gambar 1.9).
A. Kompartemen cairan dalam tubuh
Begitu obat memasuki tubuh, melalui Rute
pemberian apa pun, obat tersebut memiliki potensi
untuk berdistribusi ke dalam satu dari tiga
kompartemen cairan tubuh yang berbeda atau
terisolasi dalam satu sisi seluler.
1. Kompartemen plasma : Jika suatu obat
memiliki berat molekul yang sangat besar atau
terikat kuat pada protein plasma, obat tersebut
menjadi terlalu besar untuk melalui taut celah
endotel kapiler sehingga mudah terperangkap
dalam kompartemen plasma (vaskular).
Akibatnya, obat tersebut terdistribusi dalam
suatu volume (plasma) yang kira-kira 6% dari
berat badan, atau kira-kira 4 L dari cairan
tubuh pada seorang individu yang memiliki berat badan 70 kg. Heparin (lihat hal.
277) menunjukkan tips distribusi ini.
2. Cairan ektraseluler : Jika suatu obat mempunyai berat molekul yang rendah tetapi
bersifat hidrofilik, obat tersebut dapat bergerak melalui taut celah endotel kapiler
menuju cairan interstisial. Namun, obat-obatan hidrofilik tidak dapat melintasi
membran lipid sel untuk masuk ke fase cair di dalam sel. Oleh sebab itu, obat-obat ini
terdistribusi ke dalam suatu volume yang merupakan penjumlahan cairan plasma dan
cairan interstisial, Yang bersama-sama membentuk cairan ekstraseluler. jumlah ini
sekitar 20% dari berat badan, atau kira-kira 14 L pada orang dengan berat badan 70
kg. Antibiotika aminoglycoside (lihat h1m. 447) menunjukkan tipe distribusi ini.
3. Cairan tubuh total : Jika suatu obat mempunyai berat molekul Yang rendah dan
bersifat hidrofobik, obat tersebut tidak hanya dapat bergerak melalui taut celah menuju
interstisial, tetapi juga dapat bergerak melalui membran sel menuju cairan intraseluler.
Oleh sebab itu, obat tersebut terdistribusi menuju suatu volume yang berkisar 60%
dari berat badan atau kira-kira 42 liter pada seseorang dengan berat badan 70 kg.
Ethanol menunjukkan volume distribusi ini dengan nyata (lihat bawah).
4. Tempat-tempat lain : Pada kehamilan, janin dapat menyerap obat sehingga
meningkatkan volume distribusi. Obat yang sangat larut-lemak seperti thiopental (lihat
hlm. 159), juga dapat mempunyai volume distribusi yang luar biasa tinggi.
B. Volume distribusi yang nyata
Suatu obat jarang berhubungan dengan hanya satu kompartemen cairan tubuh. Sebaliknya,
sebagian besar obat terdistribusi dalam beberapa kompartemen, Sering kali berikatan
dengan komponenkomponen seluler–misalnya, lipid (berlimpah di dalam adiposit dan
membran sel), protein (berlimpah dalam plasma dan sel) atau asam nukleat (berlimpah
dalam inti sel). Oleh sebab itu, volume tempat obat terdistribusi disebut volume distribusi
yang nyata, atau Vd Dengan kata lain, konstanta ini merupakan koefisien partisi obat
antara plasma dan seluruh tubuh.
1. Penentuan Vd
a. Distribusi obat tanpa adanya eliminasi : Volume
nyata tempat obat terdistribusi (Vd) ditentukan oleh
penyuntikan suatu obat dengan dosis standar yang
mula-mula masuk seluruhnya ke dalam sistem
vaskular. Obat tersebut kemudian bergerak dari
plasma menuju interstisial dan ke sel, menyebabkan
konsentrasi plasma berkurang menurut waktu.
Untuk memudahkan, anggaplah bahwa obat tersebut
tidak dieliminasi dari tubuh; obat tersebut kemudian
mencapai suatu konsentrasi yang sama dan
clipertahankan sesuai waktu (Gambar 1.10). Konsentrasi di dalam kompartemen
vaskular adalah jumlah total obat yang diberikan dibagi volume tempat obat
terdistribusi, Vd:
C=D/Vd atau Vd = D/C
dengan C = Konsentrasi obat dalam plasma dan D = jumlah total obat dalam tubuh.
Misalnya, jika. 25 mg obat (D = 25 mg) diberikan dan konsentrasi dalam plasma
adalah 1 mg/L, VC, = 25 mg/1 mg/L = 25 L.
b. Distribusi obat bila terdapat eliminasi :
Kenyataannya, obatobat dieliminasi dari tubuh,
dan suatu grafik konsentrasi plasma terhadap
waktu menunjukkan dua fase. Penurunan multi-
multi konsentrasi dalam plasma disebabkan oleh
suatu fase distribusi yang cepat, yaitu obat
ditransfer dari plasma menuju ke interstisial dan
cairan intraseluler. Fase ini diikuti oleh fase
eliminasi yang lebih lambat, yaitu selama obat
meninggalkan kompartemen plasma dan
menghilang dari tubuh, misalnya oleh eliminasi
Pada sebagian besar situasi klinis, konsentrasi obat, [C], jauh lebih kecil daripada
konstanta Michaelis, Km, dan persamaan Michaelis-Menten berkurang menjadi,
Enzim dijenuhkan oleh konsentrasi obat-bebas yang tinggi dan kecepatan metabolisme
tetap konstan sepanjang waktu. Ini disebut sebagai kinetika zero-order (atau kadang-
kadang secara klinis disebut sebagai kinetika non-linier). Suatu jumlah obat yang
konstan dimetabolisme per satuan waktu.
B. Reaksi-reaksi metabolisme obat
Ginjal tidak dapat mengeliminasi secara efisien obat-obat lipofilik yang telah menembus
membran sel dan terabsorbsi kembali di tubulus distal. Oleh sebab itu, obat-obat yang
larut-lipid harus dimetabolisme lebih dahulu di dalam hati dengan menggunakan dua
rangkaian reaksi umum, disebut Fase I dan Fase II (Gambar 1.15).
1. Fase I: Reaksi Fase I berfungsi mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang
lebih polar dengan cara menambah atau membuka gugus fungsional yang bersifat
polar, seperti —OH atau —NH2. Metabolisme Fase I dapat meningkatkan,
mengurangi, atau tidak mengubah aktivitas farmakologis obat.
a. Reaksi Fase I yang menggunakan sistem P450 : Reaksi Fase I yang paling
sering terlibat di dalam metabolisme obat dikatalisis oleh sistem sitokrom P450
(juga disebut fungsi campuran mikrosomal oksidase).
Obat + O2 + NADPH + H+ --> Obat dimodifikasi + H2O + NADP+
Oksidasi berlangsung melalui pengikatan obat dengan bentuk oksidasi sitokrom
P450 kemudian oksigen tereduksi, berikatan dengan NADPH:sitokrom P450
oksidoreduktase.
b. Ringkasan sistem P450 : Sistem P450 penting untuk metabolisme berbagai
senyawa endogen (steroid, lipid, d1l.) dan biotransformasi zat-zat eksogen
(xenobiotik). Sitokrom P450, ditandai sebagai CYP, tersusun dari berbagai
kelompok isozim yang mengandung-heme, yang terdapat pada sebagian besar sel,
terutama di dalam hati dan saluran pencemaan. Nama kelompok tersebut
ditunjukkan dengan angka yang diikuti oleh huruf kapital untuk subkelompok
(misalnya, CYP3A). Angka lain ditambahkan untuk menunjukkan isozim yang
spesifik (CYP3A4). Terdapat banyak gen,
dan enzim, yang berbeda; oleh sebab itu,
beragam P450 dikenal sebagai isoformis.
Enam isozim bertanggung jawab untuk
sebagian besar reaksi yang dikatalisis-
P450: CYP3A4, CYP2D6, CYP2C9/10,
CYP2C19, CYP2E1, dan CYP1A2.
Persentase obat-obatan yang tersedia saat
ini dan merupakan substrat dari isozim-
isozim tersebut berturut-turut adalah 60,
25, 15, 15, 2, dan 2 persen. [Catatan: Satu
obat dapat merupakan substrat lebih dari
satu isozim.] Jumlah CYP3A4 yang cukup
besar ditemukan di dalam mukosa usus,
berperan dalam metabolisme lintas-
pertama, seperti chlorpromazine dan
clonazepam. Seperti yang mungkin
diperkirakan, enzimenzim ini menghasilkan keragaman genetik yang sangat
banyak, yang berdampak pada dosis regimen tiap orang, dan, yang lebih penting
lagi, sebagai penentu respons terapeutik dan risiko efek camping. CYP2D6, secara
khusus, tampaknya menyebabkan polimorfisme genetis.5 Mutasi menghasilkan
kapasitas metabolisme substrat menjadi sangat rendah. Misalnya, beberapa orang
tidak mendapatkan keuntungan dengan pemberian analgesik opioid codeine karena
mereka tidak memiliki enzim yang melakukan O-demetilasi dan mengaktifkan
obat tersebut. Reaksi ini tergantung pada CYP2D6. Frekuensi polimorfisme ini
sebagian ditentukan berdasarkan ras, dengan prevalensi sebesar 5-10% adalah
Kaukasia Eropa, sedangkan ras Asia Tenggara hanya 2%. Polimorfisme lainnya
telah ditandai untuk isozim subkelompok CYP2C. Meskipun CYP3A4
menghasilkan keragaman antar individu lebih dari 10 kali lipat, tidak ada
polimorfisme yang terdeteksi untuk isozim P450 ini.
c. Penginduksi : Enzim-enzim yang tergantung pada sitokrom P450 merupakan
target penting bagi interaksi farmakokinetik. Salah satunya, penginduksian isozim
CYP yang terpilih. Beberapa obat, terutama phenobarbital, rifampin, dan
carbaniazepine, mampu meningkat sintesis satu atau lebih isozim CYP.
Akibatnya, terjadi peningkatan biotransformasi obat dan dapat menyebabkan
penurunan konsentrasi obat yang termetabolisme oleh isozim CYP yang signifikan
dalam plasma, seperti yang terukur oleh AUC, dengan kehilangan efek
farmakologis secara bersamaan. Misalnya, rifampin, suatu obat antituberkulosis
(lihat h1m. 478), sangat menurunkan konsentrasi penghambat protease Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dalam plasma,' menghilangkan kemampuan obat
tersebut untuk menyupresi pematangan virion HIV. Gambar 1.16 mendata
beberapa penginduksi yang lebih penting bagi representatif isozim CYP. Akibat
peningkatan metabolisme obat meliputi: 1) penurunan konsentrasi obat dalam
plasma, 2) penurunan aktivitas obat jika metabolit tidak aktif, 3) peningkatan
aktivitas obat jika metabolit aktif, dan 4) penurunan efek terapeutik obat. Selain
obat-obatan, zat-zat alami dan polutan juga dapat menginduksi isozim CYP.
Misalnya, hidorkarbon aromatik polisiklik (ditemukan sebagai polutan udara)
dapat menginduksi CYP1A. Induksi ini berdampak pada obat tertentu; misalnya,
amitriptyline dan warfarin yang dimetabolisme oleh P4501A2. Hidorkarbon
polisiklik menginduksi P4501A2 yang menurunkan konsentrasi terapeutik agen-
agen tersebut.
d. Penghambat : Penghambatan aktivitas isozim CYP merupakan sumber interaksi
obat yang penting yang menyebabkan efek samping yang serius. Bentuk
penghambat yang paling Sering adalah kompetisi untuk isozim yang sama.
Namun, beberapa obat mampu menghambat reaksi ketika obat tersebut bukan
sebagai substratnya (misalnya, ketoconazole) sehingga menimbulkan interaksi
obat. Sejumlah obat telah memperlihatkan penghambatan pada satu atau lebih jalur
biotransformasi warfarin yang tergantung-CYP. Misalnya, omeprazole adalah
penghambat yang poten tiga isoenzim CYP yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme zvarfarin. Jika kedua obat tersebut digunakan bersama, konsentrasi
zvarfarin dalam plasma meningkat, yang mengakibatkan penghambatan koagulasi
yang lebih hebat dan risiko terjadi perdarahan, serta reaksi perdarahan serius
lainnya [Catatan: penghambat CYP yang lebih penting adalah erythromycin,
ketoconazole, dan ritonavir karena masing-masing menghambat beberapa isozim
CYPI. Cimetidine menghambat metabolisme theophylline, clozapine, dan
zvarfarin. Zat-zat alami, seperti jus anggur, dapat menghambat metabolisme obat.
Jus anggur menghambat CYP3A4 sehingga obatobatan, seperti amlodipine,
darithromycin, dan indinavir, yang dimetabolisme oleh sistem ini, memiliki
jumlah yang lebih tinggi dalam sirkulasi sistemis menyebabkan kadar dalam darah
menjadi lebih tinggi dan potensial terhadap peningkatan efek terapeutik dan/atau
toksik obat-obatan tersebut. Penghambatan metabolisme obat dapat menyebabkan
peningkatan kadar plasma terus menerus selama pengobatan jangka panjang,
perpanjangan efek farmakologis obat, dan peningkatan toksisitas yang diinduksi
oleh obat.
e. Reaksi Fase I yang tidak melibatkan sistem P450 : Reaksi ini meliputi oksidasi
amina (misalnya, oksidasi katekolamin atau histamin), dehidrogenasi alkohol
(misalnya, oksidasi etanol), esterase (misalnya, metabolisme pravastatin dalam
hati), dan hidrolisis (misalnya, procain).
2. Fase II: Fase ini terdiri dari reaksi-reaksi konjugasi. Jika metabolit hasil proses
metabolisme Fase I sudah bersifat cukup polar, metabolit tersebut dapat diekskresikan
oleh ginjal. Namun, banyak metabolit Fase I sangat lipofilik sehingga tertahan dalam
tubuli ginjal. Reaksi konjugasi lanjutan dengan suatu substrat endogen, seperti
glucuronic acid, sulfuric acid, acetic acid, atau asam amino, menghasilkan senyawa
yang polar, yang umumnya lebih larut dalam air, dan paling Sering bersifat tidak aktif
secara terapeutik. Kecuali itu, morphine-6-glucuronide, yang lebih poten dibanding
morphine. proses glukuronidasi merupakan reaksi konjugasi terpenting dan tersering.
Sistem konjugasi ini kurang pada neonatus, yang menyebabkan neonatus, khususnya
rentan terhadap obat-obat seperti chloramphenicol, yang diinaktifkan dengan pe-
nambahan glucuronic acid (lihat hlm. 454). [Catatan: Obatobat yang memiliki gugus
—OH, —HN2, atau —COON dapat langsung masuk ke dalam reaksi Fase II dan
terkonjugasi tanpa metabolisme Fase I sebelumnya]. Konjugat obat yang sangat polar
tersebut kemudian dapat diekskresikan oleh ginjal atau empedu.
3. Urutan terbalik fase-fase : Tidak semua obat mengalami reaksi Fase I dan Fase II
dengan urutan tersebut. Misalnya, isoniazid mula-mula mengalami asetilasi (suatu
reaksi Fase II) dan kemudian dihidrolisis menjadi isonicotinic acid (suatu reaksi Fase
I)