Anda di halaman 1dari 64

Pertemuan 6

Radioterapi Kanker Nasofaring


&
Radioterapi Kanker Kelenjar
Getah Bening (Limfoma)
Radioterapi pada
Kanker Nasofaring
Kanker Nasofaring
• Karsinoma Nasofaring
(KNF) merupakan
karsinoma yang muncul
pada daerah nasofaring
(area di atas tenggorok
dan di belakang hidung),
yang menunjukkan bukti
adanya diferensiasi
skuamosa mikroskopik
ringan atau ultrastruktur.
Epidemiologi
• Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4
setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker
paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012, 87.000 kasus baru
nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus
baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada
perempuan) 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-
laki, dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan
pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan
wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25
hingga 60 tahun.Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di
propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker
nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring
sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara
dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.
Faktor Risiko
1. Jenis Kelamin : Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita.
2. Ras : Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan
Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi
dari jenis kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.
3. Umur : Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.
4. Makanan yang diawetkan : Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat
memasak makanan, seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke
rongga hidung, meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Paparan bahan
kimia ini pada usia dini, lebih dapat meningkatkan risiko.
5. Virus Epstein-Barr : Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda
dan gejala ringan, seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi
mononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker
langka, termasuk karsinoma nasofaring.
6. Sejarah keluarga : Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring
meningkatkan risiko penyakit.
General Presentation
Diagnosis
1. Anamnesis
• Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia,
hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat
ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).
• 2. Pemeriksaan Fisik
• Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pemeriksaan
nasofaring:
➢ Rinoskopi posterior
➢ Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
➢ Laringoskopi
• Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus
dengan dugaan residu dan residif.
Pemeriksaan Radiologi
• CT Scan
Pemeriksaan radiologi berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis
sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit.
CT berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya
serta penyebaran kelenjar getah bening regional.
• USG abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada
kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan
kontras.
• Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka
dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.
• Bone Scan
Untuk melihat metastasis tulang.

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM.


Pemeriksaan Patologi Anatomi
• Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring
BUKAN dari Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi
insisional/eksisional kelenjar getah bening leher. Dilakukan dengan
tang biopsi lewat hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi
posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.
• Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO
yaitu:
1. Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin (WHO 1)
2. Karsinoma Tidak Berkeratin:
a. Berdiferensiasi (WHO 2)
b. Tidak Berdiferensiasi (WHO 3)
3. Karsinoma Basaloid Skuamosa
• Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum jika:
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif sedangkan
gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
• Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada:
a) Penderita anak
b) Penderita dengan keadaan umum kurang baik
c) Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
d) Penderita yang tidak kooperatif
e) Penderita yang laringnya terlampau sensitif
3. Dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu / rekuren,
dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.
Staging (TNM)
Prognosis dan Kesintasan
• Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara
subkelompok yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian
tentang faktor-faktor yang dapat memengaruhi prognosis masih
terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan faktor-faktor
prognosis bersifat genetik ataupun molekuler klinik (pemeriksaan
fisik maupun penunjang).
• Sampai saat ini belum ada uji meta analisis yang menggabungkan
angka kesintasan dari berbagai studi yang telah ada.
• Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5
tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara
berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%
Radiasi Eksterna

Radiasi konvensional 2D
• Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel
laterolateral dan supraklavikula.
• Batas-batas lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya/ potensi penjalaran per kontinuitatum, serta kelenjar
getah bening regional (kelenjar leher sepanjang jugular serta
sternokleidomastoideus dan supraklavikula).
• Dosis radiasi total 66-70 Gy, 2 Gy/fraksi, dengan blok medulla
spinalis setelah 40 Gy. Untuk kelenjar getah bening leher positif
dilanjutkan dengan booster elektron hingga mencapai total dosis
target.
Radiasi Konformal 3 Dimensi
dan IMRT
Target radiasi
• Pendefinisian target radiasi 3 dimensi harus berdasarkan terminologi
International Commission on Radiation Units and Measurements - 50
(ICRU-50); yaitu Gross Tumor Volume (GTV), Clinical Target Volume
(CTV) dan Planning Target Volume (PTV).
• Proses simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan dalam posisi
supine, dengan fiksasi masker termoplastik untuk imobilisasi kepala
dan leher, termasuk bahu. Pemberian kontras intravena sangat
membantu dalam mendelineasi GTV, terutama pada kelenjar getah
bening. Fusi dengan modalitas pencitraan lain seperti MRI dapat
dilakukan, lebih baik dengan yang ketebalan slice-nya minimal 3 mm.
• Basis kranii (clivus dan nervus intrakranial) sangat baik bila dilihat
dengan MRI. Marrow infiltration paling baik dilihat pada sekuens MRI
T1- non kontras.
• Target volume mencakup GTV dan CTV. Pada teknik IMRT, CTV dapat dibedakan
menjadi 2 atau lebih, terkait gross disease, high risk, atau low risk.
• CTV 70 yang mencakup gross disease dan CTV 59,4 yang mencakup high risk region),
serta PTV sebagai berikut :
1. Volume Target pada daerah Gross Disease
a. GTV70 (70 Gy):
GTV: Seluruh gross disease berdasarkan CT, MRI, informasi klinis, dan temuan
endoskopik. Kelenjar getah bening positif tumor didefinisikan sebagai KGB
berukuran > 1 cm atau KGB dengan sentral nekrosis. Untuk membedakan, GTV
pada lokasi primer dinamai GTV P dan GTV pada KGB disebut GTV N.
b. CTV70 (70 Gy):
biasanya sama dengan GTV70 (tidak perlu menambahkan margin). Jika margin
dibutuhkan akibat ketidakpastian gross disease, dapat ditambahkan 5 mm
sehingga GTV70 + 5 mm = CTV70. Pada daerah sekitar batang otak dan medulla
spinalis, batas 1 mm dianggap cukup, disebabkan perlu untuk melindungi
struktur jaringan normal kritis. Jika tumor melibatkan satu sisi, yang mana
pasien dapat terancam mengalami kebutaan sebagai akibat dari terapi, maka
perlu dilakukan informed consent dan lakukan pembatasan dosis pada kiasma
optikum, untuk melindungi struktur optik kontralateral. Gross disease pada KGB
retrofaring harus mendapatkan dosis 70 Gy.
c. PTV70 (70 Gy): CTV70 + 3-5 mm, bergantung kepada tingkat kenyamanan
pengaturan posisi pasien sehari-hari. Untuk daerah sekitar batang otak dan
medulla spinalis, batas 1 mm masih diperbolehkan.
2. Volume target pada daerah subklinis risiko tinggi (High Risk).

a. CTV59,4 (59,4 Gy) : CTV59,4 harus mencakup seluruh daerah GTV70.

• Primer: seluruh nasofaring (termasuk seluruh palatum molle), clivus,


basis kranii (termasuk foramen ovale, tempat nervus V.3 berada), fossa
pterygoid, spasium parafaring, sinus sphenoid, 1/3 posterior sinus
maksilaris (mencakup fossa pterigopalatina, tempat nervus V.2
berada), sinus ethmoid posterior, sinus kavernosus pada kasus T3-4.

• Leher: KGB retrofaring, level IB-V bilateral. Level IB dapat


dikeluarkan apabila pasien N0.

b. PTV 59,4 (59,4 Gy): CTV 59,4 + 3-5 mm, bergantung kepada tingkat
kenyamanan pengaturan posisi pasien sehari-hari, namun bisa sekecil 1
mm pada daerah dekat jaringan kritis normal.
3. Volume target pada daerah subklinis risiko rendah (Low Risk).
a. PTV 54 (54 Gy): pada kasus N0 atau leher bawah (Level IV dan
VB). Daerah leher anterior bawah dapat juga menggunakan
teknik konvensional (AP atau AP=PA). Daerah ini berisiko
rendah sehingga dosis dapat diturunkan menjadi 50 Gy.
Dosis radioterapi
Dosis radioterapi kuratif definitif tanpa kemoterapi adalah (NCCN, kategori
2A):
• PTV risiko tinggi (tumor primer dan KGB positif, termasuk kemungkinan
infiltrasi subklinis pada tumor primer dan KGB risiko tinggi) : 66 Gy (2,2
Gy/fraksi) sampai 70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi)
• PTV risiko rendah hingga menengah (lokasi yang dicurigai terjadi
penyebaran subklinis) : 44-50 Gy ( 2 Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8
Gy/fraksi)

Dosis radioterapi konkuren kemoterapi (kemoradiasi) adalah (NCCN,


kategori 2A) :
• PTV risiko tinggi : 70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi)
• PTV risiko rendah hingga menengah: 44-50 Gy ( 2 Gy/fraksi) sampai 54-63
Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi). Jika menggunakan teknik 3DCRT, dosis
direkomendasikan 44-50 Gy, jika menggunakan IMRT dapat diberikan 54-
63 Gy.
Dosis Radiasi
Secara umum diberikan dosis radiasi :
• Tumor : 70 Gy
• CTV high risk : 60 Gy
• CTV low risk : 50 Gy
m
Prinsip Radioterapi Paliatif
• Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada kasus stadium
lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi.
• Pada stadium lanjut (M1), radioterapi lokoregional dapat diberikan dengan
setting kuratif pada pasien dengan metastasis pada daerah terbatas atau
dengan beban tumor yang rendah, atau pada pasien dengan gejala pada daerah
lokal primer dan KGB, dengan tujuan mengurangi gejala selama toksisitas
radiasi masih dapat ditoleransi. Pada stadium lanjut ini, radioterapi dapat
diberikan pasca pemberian kemoterapi berbasis platinum atau konkuren dengan
kemoterapi (kemoradiasi) (NCCN Kategori 2A).
• Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa nyeri.
• Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga meningkatkan
kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tatalaksana metastases tulang
merupakan salah satu modalitas terapi selain imobilisasi dengan korset atau
tindakan bedah, bisfosfonat, terapi hormonal, terapi target Cetuximab dan
Nimotuzumab, terapi radionuklir dan kemoterapi.
Rekomendasi
1. Radioterapi kuratif definitif sebagai modalitas terapi tunggal
dapat diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0, konkuren
bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3, T2-4 N0-3.
(Rekomendasi A)
2. Brakhiterapi / radiasi intrakaviter merupakan radiasi booster
pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.
3. Radioterapi paliatif dapat diberikan pada stadium lanjut dimana
tujuan kuratif sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi.
4. Teknik radiasi yang dapat diberikan adalah teknik 2D, 3D, IMRT.
Teknik IMRT di dunia telah menjadi standar namun teknik lain
dapat diterima asalkan spesifikasi dosis dan batasan dosis
terpenuhi. (Rekomendasi A)
Referensi
• http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKKNF.pdf\
• https://en.wikibooks.org/wiki/Radiation_Oncology/Toxicity/RTOG
RADIOTERAPI PADA KANKER Sanggam Ramantisan, S.Si., M.Si.
LIMFOMA NON - HODGKIN
PENGERTIAN
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah
bening dan jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin
dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya akan dibatasi pada limfoma non-
Hodgkin.
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan
primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang
dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel NK *”natural killer”. Saat
ini terdapat 36 entitas penyakit yang dikategorikan sebagai LNH dalam
klasifikasi WHO.
EPIDEMIOLOGI

LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan bervariasi dalam


hal patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar
63.190 kasus pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab
kematian utama pada kanker pada pria usia 20-39 tahun. Di Indonesia,
LNH bersama-sama dengan limfoma Hodgkin dan leukemia menduduki
urutan peringkat keganasan ke-6.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-spesifik,
diantaranya:
•Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
•Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
•Keringat malam banyak
•Cepat lelah
•Penurunan nafsu makan
•Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
•Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan
prognosis yang kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease
(KGB berukuran > 6-10 cm atau mediastinum >33% rongga toraks)
Menurut Lymphoma International Prognostic Index, temuan klinis yang
mempengaruhi prognosis penderita LNH adalah usia >60 tahun,
keterlibatan kedua sisi diafragma atau organ ekstra nodal (Ann Arbor
III/IV) dan multifokalitas (>4 lokasi).
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan berdasarkan Khusus:
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan •Penyakit autoimun (SLE, Sjorgen, Rheuma)4
laboratorik, dan Patologi Anatomik. Kelainan darah
Pemeriksaan: •Penyakit infeksi (Toxoplasma,
1. Anamnesis Umum Mononukleosis,Tuberkulosis, Lues, dsb)
•Pembersaran kelenjar getah bening (KGB) •Keadaan defisiensi imun
atau organ
•Malaise umum
•Berat badan menurun >10% dalam waktu
3 bulan
•Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu
tanpa sebab
•Keringat malam
•Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung
berdebar)
•Penggunaan obat-obatan tertentu
Pemeriksaan Fisik
•Pembesaran KGB
•Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
•Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Biopsi eksisional atau core biopsy
1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial,
dan perifer. Jika terdapat kelenjarsuperfisial/perifer yang paling representatif, maka
tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang
disarankan adalah dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan
pilihan terakhir adalah inguinal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
a. Rutin
Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru
b. Khusus
Immunohistokimia
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV

2. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi core
biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri `dan lain-lain)
mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis
Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan
thorak/abdomen. Bila fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT Scan.

Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
KLASIFIKASI STADIUM DAN HISTOLOGIK
KLASIFIKASI STADIUM
Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum pengobatan dan setiap
lokasi jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan ukurannya serta
digambar secara skematis. Hal ini penting dalam menilai hasil pengobatan.
Disepakati menggunakan sistem staging menurut Ann-Arborr.
KLASIFIKASI HISTOLOGIK
Penggolongan histologik Limfoma Non Hodgkin merupakan masalah yang
rumit. Perkembangan terkhir klasifikasi yang banyak digunakan dan diterima
oleh pusat-pusat kesehatan adalah berdasarkan /WHO terbaru (2008).
B CELL NEOPLASM
I. Precursor B-cell neoplasm : Precursor B- Lanjutan……
Acute Lymphoblastic Leukemia/lymphoblastic G. Splenic marginal zone lymphoma
lymphoma H. Plasmacytoma/ plasma cell myeloma
I. Diffuse large B-cell lymphoma, NOS
II. Peripheral B-cell neoplasms J. Diffuse large B cell lymphoma variants.
A. B-cell chronic lymphocytic leukemia/small K. Burkitt’s lymphoma
lymphocytic lymphoma L. B cell lymphoma inclassifiable with
B. Lymphoplasmacytic lymphoma features intermediate between DLBCL and
C. Mantle cell lymphoma Burkitt lymphoma
D. Follicular lymphoma M. B cell lymphoma inclassifiable with
E. Extranodal marginal zone B-cell features intermediate between DLBCL and
lymphoma or MALT type classical Hodgkin lymphoma
F. Nodal marginal zone B-cell lymphoma
TATALAKSANA
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain:
tipe limfoma (jenis histologi), stadium, sifat tumor
(indolen/progresif), usia, dan keadaan umum pasien.
I. LNH INDOLEN (FOLIKULAR) B. LNH INDOLEN STADIUM II, III, IV Standar pilihan terapi
1. Tanpa terapi
A. LNH INDOLEN STADIUM I DAN II Radioterapi
2. Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini
memperpanjang disease free survival pada
pertama yaitu R-CVP. Pada kondisi dimana Rituximab tidak
beberapa pasien. Standar pilihan terapi :
dapat diberikan maka kemoterapi kombinasi merupakan
1. Iradiasi pilihan pertama misalnya : COPP, CHOP dan FND.
3. Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer
2. Kemoterapi + radiasi 4. Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila
kemoterapi kombinasi tidak dapat diberikan/ditoleransi (
3. Extended (regional) iradiasi
(cyclofosfamid, chlorambucil)
4. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 5. Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan
menurut kriteria GELF) 6. Kemoterapi intensif ± Total Body irradiation (TBI) diikuti
dengan stem cell resque dapat dipertimbangkan pada kasus
5. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi tertentu
7. Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky)
untuk mengurangi nyeri/obstruksi.
C. LNH INDOLEN RELAPS
Standar pilihan terapi
1. Radiasi paliatif
2. Kemoterapi
3. Transplantasi sumsum tulang
II. LNH AGRESIF (DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA)
A. LNH STTADIUM I DAN II
Pada kondisi tumor non bulky (diameter tumor< 10 cm) dengan kriteria: pasien muda
risiko rendah atau rendahmenengah (aaIPI score ≤1) dan risiko tinggi atau
menengahtinggi (aaIPI ≥2), bila fasilitas memungkinkan, kemoterapi kombinasi R-
CHOP 6-8 siklus merupakan protokol standar saat ini serta dapat dipertimbangkan
pemberian radioterapi (untuk konsolidasi).
B. LNH STADIUM I-II (BULKY), III DAN IV • C. LNH REFRAKTER/RELAPS
Bila memungkinkan, pemberian kemoterpi • Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai
RCHOP 6-8 siklus ± radioterapi konsolidasi, remisi, dapat diberikan terapi salvage
dipertimbangkan pada stadium I dan II dengan radioterapi jika area yang terkena
tidak ekstensif. Terapi pilihan bila
Uji klinik pada stadium II dan IV memungkinakan adalah kemoterapi salvage
diikuti dengan transplantasi sumsum tulang
• Kemoterapi salvage seperti R-DHAP
maupun R-ICE
• High dose chemotherapy plus radioterapi
diikuti dengan transplantasi sumsum tulang
PENTING
LNM bersifat sistemik sehingga kemoterapi menjadi pilihan utama,
kemoterapi lini pertama,
kemoterapi lini kedua,
dapat dikombinasikan dengan radioterapi
PRINSIP RADIOTERAPI
Volume:
Involve-site radiation therapy (ISRT) untuk nodal disease
•Penggunaan ISRT direkomendasikan sebagai lapangan yang sesuai pada LNH. Perencanaan
terapi ISRT membutuhkan CT simulator dan kemampuan penggunaan teknik radiasi modern.
Penggunaan imaging lainnya seperti PET CT Scan dan MRI akan membantu penentuan volume
target.
•ISRT mencakup volume KGB yang terlibat pada awal penyakit. Volume target mencakup
volume awal sebelum kemoterapi atau pembedahan. Namun demikian, volume ISRT tidak
mengikutsertakan organ yang tidak terlibat yang terletak berdekatan (misal, paru, tulang,
otot, atau ginjal) ketika limfadenopati mengecil pasca kemoterapi
•Gross tumor volume (GTV) pre-kemoterapi atau pre-biopsi adalah yang menentukan clinical
target volume (CTV). Adanya pertimbangan penyebaran penyakit subklinis ataupun
ketidakpastian mengenai akurasi dan lokalisasi penyakit berdasar imaging awal dapat
mempengaruhi ekspansi CTV dan sepenuhnya berdasar dari pertimbangan klinis yang
ditentukan secara individual
•Untuk LNH indolent yang diterapi dengan radiasi saja, penentuan lapangan
yang lebih besar perlu dipertimbangkan.
•Kemungkinan pergerakan yang diakibatkan oleh pernapasan, seperti yang
dapat terlihat pada 4D-CT atau fluoroskopi (internal target volume- ITV), juga
dipertimbangkan untuk ekspansi CTV
•Planning treatment volume (PTV) merupakan tambahan ekspansi dari CTV
yang dipengaruhi hanya oleh variasi set-up (sesuai ICRU)
•Keberadaan organ at risk (OAR) harus diperhitungkan pada keputusan
perencanaan terapi (treatment planning)
•Teknik radiasi dapat menggunakan teknik konvensional, 3D conformal
radiotherapy, IMRT dengan mempertimbangkan keberadaan OAR terkait
sebaran dan pengurangan dosis pada OAR
Involve-site radiation therapy (ISRT) untuk extranodal disease
•Prinsip yang sama dengan nodal disease
•Untuk kebanyakan organ dan terutama untuk kasus indolent, CTV mencakup
seluruh organ (contoh: lambung, kelenjar saliva, tiroid).
Pada organ lainnya, termasuk orbita, payudara, paru, tulang, kulit, dan pada
beberapa kasus dimana RT diberikan sebagai konsolidasi pasca kemoterapi,
pemberian RT pada parsial organ lebih sesuai.
•Untuk kebanyakan subtipe LNH, pemberian RT pada KGB yang tidak terlibat,
tidak diperlukan.
Panduan pemberian dosis terapi secara umum:
•Konsolidasi pasca kemoterapi CR (complete response) : 30-36 Gy
•Tambahan pasca kemoterapi PR (partial response) : 40-50 Gy
•RT sebagai terapi utama pada pasien refrakter atau non-kandidat
untuk kemoterapi : 40-55 Gy
•Sebagai kombinasi dengan transplantasi stem cell : 20-36 Gy,
bergantung pada lokasi penyakit dan riwayat radiasi sebelumnya
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai