Anda di halaman 1dari 32

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman tembakau termasuk golongan tanaman semusim, dalam dunia
pertanian tergolong kedalam tanaman perkebunan, tetapi bukan merupakan
kelompok tanaman pangan. Tembakau dimanfaatkan daunnya sebagai bahan
pembuatan rokok. Terdapat lebih dari 50 spesies tembakau yang tergolong genus
Nicotiana, namun hanya ada 2 spesies yang mempunyai arti ekonomi cukup
tinggi, yaitu Nicotiana tabaccum L. dan Nicotiana rustica. Perbedaan yang
mencolok diantara kedua spesies tersebut yaitu kadar nikotinnya (Prabowo, 2007).
Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun belakangan ini adalah
rendahnya produktivitas tanaman tembakau, meskipun berbagai usaha telah
dilakukan (PTPN II, 2007).
. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, mencatat produktivitas
tanaman tembakau dalam kurun waktu lima tahun yaitu sejak tahun 2015-2019
mengalami penurunan. Tahun 2015 KPRI mencatat produktivitas tembakau
sebanyak 946 kg/ha, 2016 sebanyak 934 kg/ha, 2017 sebanyak 917 kg/ha, 2018
sebanyak 902 kg/ha dan tahun 2019 yaitu sebanyak 905 kg/ha (Direktorat Jendral
Perkebunan, 2019). Salah satu penyebabnya yaitu serangan hama dan penyakit.
Hama timbul dan berkembang pada suattu tempat dan waktu, tidak lepas dari
hubungannya dengan perubahan-perubahan elemen lain pada suatu ekosistem
(Ghotama dan Soebandridjo, 1985). Hama tanaman merupakan fenomena
ekologis. Eksistensi pemunculannya tidak dapat dilepaskan dar dinamika sitem
local, nasional, regional, maupun global (Untung, 2006).
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 9 jenis serangga hama pemakan
daun, Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama pemakan daun yang
sangat penting. Kehilangan hasil akibat serangan hama S. litura dapat mencapai
85% bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen jika tidak dapat dikendalikan
(Marwoto dan Suharsono, 2008). Widodo dan Sumarsin (2007) mengatakan
bahwa serangan berat S. litura mampu menghabiskan seluruh daun tanaman
2

dalam waktu semalam. Kerusakan pada daun menyebabkan terganggunya proses


fotosintesis sehingga tanaman tidak dapat melanjutkan proses perkembangannya
untuk mengahsilkan bunga, biji dan buah.
S. litura termasuk jenis serangga yang mengalami metamorphosis
sempurna yang terdiri dari empat stadaia hidup yaitu telur, larva, pupa dan imago.
Pada siang hari S. litura tidak tampak karena umumnya bersembunyi di tempat-
tempat yang teduh, di bawah barang dekat leher akar. Pada malam hari S. litura
akan keluar dan melakukan serangan. Serangga ini merusak pada stadia larva,
yaitu dengan memakan daun, sehingga daun menjadi berlubang-lubang. Biasanya
dalam jumlah besar S. litura bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis
daunnya ketanaman lainnya (Pracaya, 1995).
S. litura sering mengakibatkan penurunan produktivitas bahkan sampai
terjadi kegagalan dalam panen karena menyebabkan daun menjadi sobek,
terpotong-potong, berlubang dan apabila tidak segera diatasi maka daun pada
tanaman diareal pertanian akan habis (Samsudin, 2008). S. litura bersifat polifag
atau mempunyai kisaran inang yang cukup luas, sehingga agak sulit dikendalikan.
Selain tanaman dibidang pertanian dan hortikultura, tanaman perkebunan seperti
tembakau, kapas dan berbagai jenis gulma seperti Ageratum sp pun menjadi
sasaran S. litura (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Petani hingga kini masih mengandalkan insektisida sintetik dalam
pengendalian hama dibandingkan menggunakan insektisida nabati yang lebih
aman (Afifah, dkk., 2015). Sampai saat ini pengendalian hama tanaman yang
umum dilakukan oleh petani dengan menggunakan pestisida kimia. Selain
harganya mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi
lingkungan dan kesehatan manusia (Gapoktan, 2009). Penggunaan insektisida
sintetik dapat menimbulkan dampak negatif seperti meningkatnya jasad
pengganggu, resistensi hama sasaran dan terjadinya pencemaran lingkungan,
sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem
pengendalian hama terpadu (PHT) (Dewi, 2007).
Melihat adanya beberapa dampak yang diakibatkan dari penggunaan
pestisida kimia, maka perlu adanya upaya untuk mencari alternatif lain untuk
mengendalikannya. Penanggulangan organisme pengganggu tanaman dapat
3

menggunakan insektisida nabati sebagai alternatif untuk pengendaliannya. Salah


satu upaya yang perlu dilakukan dan diterapkan adalah dengan penggunaan
pestisida nabati dari bahan-bahan alami sebagai alternatif pengganti pestisida
kimia. Insektisida nabati diartikan sebagai insektisida yang bahan aktifnya berasal
dari tumbuhan dan bersifat racun bagi hama serta didalamnya terdapat senyawa
metabolit sekunder dengan berbagai kandungan senyawa bioaktif. Secara
ekonomis lebih murah dan mudah untuk didapatkan bahannya serta tidak
berbahaya bagi lingkungan dan pengguna. Bagian tanaman yang dapat digunakan
untuk insektisida nabati yaitu bunga, buah, biji, kulit batang, daun dan akar.
Insektisida nabati dalam mempengaruhi serangga sasaran memiliki sistem kerja
antara lain sebagai repellent, antifeedant, menganggu proses pencernaan,
mengakibatkan kemandulan dan menghambat perkembangan serangga. (Thamrin,
dkk, 2013; Indrarosa, 2013).
Menurut Tukumin dan Rijal (2002), insektisida nabati bersifat ramah
lingkungan karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi
manusia maupun lingkungan. Kelebihan lain dari dari penggunaan insektisida
nabati adalah relatif murah dibandingkan dari pestisida kimia dan dapat dibuat
sendiri dengan teknologi sederhana, sehingga mudah dilakukan oleh petani kecil
karena bahannya ada disekitar lahan pertanian atau tempat tinggal.
Tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati adalah
tanaman karet (Hevea brasiliensis), tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan
tumbuhan gamal (Gliricidia sepium (Jacq) Kunth). Menurut Morallo dan Rijesus
(1986) tanaman yang paling banyak mengandung bahan insektisida nabati berasal
dari family Asteraceae, Fabaceae, dan Eurphobiaceae. Tanaman karet termasuk
genus Hevea dan tanaman jarak pagar termasuk genus Jatropha dan sama-sama
masuk kedalam family Eurphobiaceae. Bagian tanaman karet dan jarak pagar
yang dapat digunakan sebagai bahan baku insektisida nabati adalah bagian biji.
Kandungan senyawa racun yang terdapat pada biji karet adalah HCN
(asam sianida) yang berfungsi sebagai racun. Kandungan HCN (asam sianida)
yang terdapat pada tanaman berpotensi sebagai racun serangga, HCN (asam
sianida) ini bekerja mengganggu sistem syaraf serangga (Ary, dkk, (2015).
4

Senyawa kimia yang terdapat pada tanaman jarak pagar yaitu kursin,
forbol ester, trigliresida, dll, yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati.
Ekstrak biji dan daun jarak pagar menunjukkan sifat antimoluska, anti serangga
dan anti jamur. Farbol ester dalam jarak pagar diduga merupakan salah satu racun
utamanya (Syah, 2006). Hampir semua bagian tanaman jarak pagar mengandung
senyawa kimia, misalnya pada daun, buah, biji dan getah. Namun yang
dimanfaatkan sebagai insektisida adalah dari biji, karena pada biji tersebut
mengandung berbagai senyawa alkaloid, saponin, dan sejenis protein beracun
yang disebut kursin. Biji mengandung 34-45% minyak lemak, yang terdiri dari
berbagai trigliserida, asam palmitat, stearate dan kurkanolat (Sinaga, 2010).
Kandungan bahan aktif yang terdapat pada daun gamal adalah tannin, dan ekstrak
daun gamal ini efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan insektisida nabati dari ekstrak
biji karet, biji jarak pagar, daun gamal serta campuran dari ketiga bahan tersebut
dalam pengendalian ulatgrayak (S. litura F.) di lapangan.

1.3 Kerangka Pemikiran


Ulat grayak merupakan hama yang menyerang tanaman perkebunan, hama
ini merusak pada stadia larva. Kerusakan yang disebabkan akibat serangan hama
ini dapat menurunkan produktivitas dan dapat mengakibatkan kegagalan panen,
sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi para petani dari
segi ekonomis. Upaya yang dilakukan oleh petani adalah menggunakan
insektisida sintetis, karena cara ini dianggap sangat mudah dalam mengendalikan
ulat grayak, tetapi cara ini dapat menimbulkan dampak negative yang ditimbulkan
dapat berdampak buruk bagi kesehatan si penggunanya maupun bagi lingkungan.
Penggunaan insektisida sintetis yang berlebihan dalam pertanian akan
menurunkan produktivitas dan dapat menurunkan kualitas pertanian sehingga
tidak baik untuk dikonsumsi. Selain itu, penggunaan insektisida sintetis dapat
merusak lingkungan yang akan berdampak buruk pada produktivitas lahan, biaya
5

yang sangat mahal, timbulnya musuh alami, meningkatnya residu, gangguan


kesehatan bagi pengguna dan gejala resistensi hama.
Penggunaan insektisida nabati merupakan cara alternatif dalam
mengendalikan ulatgrayak, Karena insektisida nabati dianggap ramah lingkungan
dan biaya yang murah serta tidak meninggalkan residu bagi tanaman dan hasil
panen. Banyak tanaman yang berpotensi sebagai bahan insektisida nabati salah
satunya yaitu tanaman karet, tanaman jarak pagar dan daun gamal. Bagian dari
ketiga tanaman ini yang digunakan adalah bagian biji dan daunnnya. Biji karet
sendiri mengandung HCN (asam sianida) yang cukup tinggi. Kandungan racun
sianida yang ada pada biji karet sangat tinggi. Biji jarak pagar juga memiliki
beberapa senyawa kimia yang bersifat untuk menganggu system syaraf pada
seranga. Kandungan bahan aktif yang terdapat pada daun gamal adalah tannin,
dan ekstrak daun gamal ini efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.

1.4 Hipotesis
Didapatkan insektisida nabati dari ekstrak biji karet, biji jarak pagar, daun
gamal dan ketiga campuran bahan tersebut untuk mengendalikan larva ulatgrayak
(S. litura F.) di lapangan

1.5 Kontribusi
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam pengendalian hama secara terpadu
kepada para petani dan masyarakat yang membutuhkan tentang penggunaan
insektisida nabati dari ekstrak biji karet dan biji jarak pagar untuk mengendalikan
ulatgrayak sebagai pengganti insektisida sintetik.
6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insektisida Nabati


Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida yang berfungsi
membunuh serangga. Menurut Hardi (2006) penggunaan insektisida sintetik
(kimia) di Indonesia telah memusnahkan 55% jenis hama dan 72% nusuh alami.
Penggunaan pestisida sintetik merupakan metode umum dalam upaya
pengendalian hama dan penyakit yang menyarang tanaman pertanian.
Kebanyakan pestisida sintetik memiliki sifat non spesifik, yaitu tidak hanya
membunuh jasad sasaran tetapi juga membunuh organisme lain. Pestisida sintetik
dianggap sebagai bahan pengendali hama penyakit yang paling praktis, mudah
diperoleh, mudah dikerjakan dan hasilnya cepat terlihat. Padahal penggunaannyaa
sering menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan, keracunan terhadap
manusia dan hewan peliharaan dan dapat mengakibatkan resistensi bagi serangga
hama (Thamrin et al, 2006).
Tahun-tahun terakhir ini, dikembangkan pendekatan baru yang terpadu
untuk pengendalian hama, yang dinamakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
(Louise dan Bosch, 1990). Menurut Sudarmo (1991) menyebutkan bahwa konsep
PHT lahir karena manusai dihadapkan pada masalah besar, yakni pencemaran
lingkungan karena penggunaan pestisida. Problema pertanian semakin
berkembang dan semakin kompleks. Tujuan dari konsep PHT itu sendiri, antara
lain mempertahankan dan memantapkan taraf produksi tinggi, meminimalkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan serta secara ekonomis menguntungkan dan
sekaligus melindungi produsen dan konsumen dari pencemaran. Dengan demikian
PHT bukanlah suatu eradikasi atau pemberantasan hama, melainkan lebih tepat
dikatakan sebagai pembatasan populasi hama.
Penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan dapat merusak lingkungan
dan kesehatan maka itu diperlukan pengganti pestisida yang ramah lingkungan
serta aman bagi kesehatan. Salah satu alternatifnya yaitu penggunaan insektisida
nabati. Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan aktif yang berfungsi sebagai
7

alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Bahan insektisida yang berasal


dari tumbuhan dijamin aman bagi lingkungan karena cepat terurai ditanah dan
tidak membahayakan kesehatan hewan dan manusia atau serangga bukan sasaran
(Sianturi, 2009). Pestisida nabati berfungsi sebagai penolak (repellet), penarik
(attractan), pemandul (antifertilitas) atau pembunuh.
Menurut Setiawati, dkk (2008) bahwa bahan aktif pestisida nabati adalah
produk alam yang berasal dari tanaman ynag mempunyai kelompok metabolit
sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid,
terpenoid, fenolik dan zat-zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut
apabila diaplikasikan ketanaman yang terserang OPT, tidak berpengaruh terhadap
fotosintesis pertumbuhan ataupun aspek fisiologis tanaman lainnyaa, namun
berpengaruh terhadap system saraf otot, keseimbangan hormone, reproduksi,
prilaku berupa penarik, anti makan dan system pernapasan OPT.
Menurut Dadang (1999), cara kerja insektisida nabati sangat spesifik, yaittu :
1. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa
2. Menghambat pergantian kulit
3. Mengganggu komunikasi serangga
4. Menyebabkan serangga menolak makanan
5. Menghambat reproduksi serangga betina
6. Mengurangi nafsu makan
7. Memblokir kemampuan makan serangga
8. Mengusir serangga dan menghambat perkembangan pathogen penyakit.

2.2 Klasifikasi dan Biologi Ulatgrayak


Kalshoven (1981) menguraikan bahwa ulatgrayak diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
8

Genus : Spodoptera
Spesien : Spodotera Litura F.
Sebagai anggota ordo Lepidoptera, S. litura F. mempunyai tipe
metamorphosis sempurna dengan stadia perkembangan telur, larva, pupa dan
imago. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa produksi telur dapat
mencapai 3.000 butir tiap induk betina yang tersusun atas 11 kelompok dengan
rerata 350 butir telur tiap kelompok (Kalshoven, 1981).

2.2.1 Telur
Telur S. litura berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada
daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan
berkelompok masing-masing 25-500 butir telur. Telur diletakkan pada bagian
daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang.
Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal
dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan
(Marwoto dan Suharsono, 2008).
Menurut Pracaya (2007) juga menyebutkan bahwa telur akan menetas
sesudah 3-5 hari. Setelah menetas ulat kecil masih tetap berkumpul untuk
sementara. Beberapa hari kemudian, ulat tersebar mencari pakan.

2.2.2 Larva
Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit)
berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral
dorsal terdapat garis kuning. Larva yang baru menetas berwarna hijau muda,
bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok. Bebearapa
hari setelah menetas (bergantung pada ketersediaan makanan), larva menyebar
dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva
bersembunyi didalam tanah atau tempat lembab dan menyerang tanaman pada
malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat
berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Stadium larva
terdiri atas 5 instar (Marwoto dan Suharsono, 2008).
9

Menurut Natawigena (1990) menyatakan bahwa larva S. litura memiliki


tipe mulut menggigit mengunyah dan dikenal sebagai hama ulatgrayak. Stadia
larva berlangsung sekitar 15 hari kemudian mengalami perubahan bentuk didalam
tanah menjadi pupa.

2.2.3 Pupa
Ulat berkepompong didalam tanah membentuk pupa tanpa rumah pupa
(kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus
hidup berkisar antara 30-60 hari. Lama stadium pupa 8-11 hari (Marwoto dan
Suharsono, 2008).
Menurut Pracaya (2007) setelah cukup dewasa, yaitu lebih kurang berumur dua
minggu, ulat mulai berkepompong didalam tanah.

2.2.4 Imago
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap
belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat
pada malam hari mencapai 5 km (Subiyakto, 1987).
Natawigena (1990) menyebutkan bahwa panjang tubuh ngengat betina
kurang lebih 17 mm, sedangkan jantan kira-kira 14 mm. warna ngengat abu-abu
dengan tanda bintik-bintik pada bagiaan sayapnya. Ngengat S. litura bertelur 2-6
hari. Rata-rata umur ngengat kurang lebih 4 hari.

2.3 Gejala Serangan


Tanaman yang terserang S. litura pada awalnya daun tampak berlubang-
lubang kemudian menjadi robek atau terpotong-potong. Serangan S. litura yang
berat menyebabkan daun tinggal tulang-tulangnya saja. Serangan S. litura terjadi
secara serentak dalam satu tanaman sampai daun tanaman habis kemudian ulat
berpindah ke tanaman lain. S. litura menyerang tanaman pada malam hari
sedangkan pada siang hari ulat bersembunyi didalam tanah (Siswadi, 2006).
S. litura merusak tanaman pada saat stadia larva dengan memakan daun
sehingga menjadi berlbang-lubang. Larva menyerang tanaman secara
bergerombol, karena telur diletakkan mengelompok (Prijono dan Triwidodo,
10

1994). Serangan berat S. litura mampu mengahabiskan seluruh daun tanaman


dalam waktu semalam. Gejala serangan tampak pada daun yang tinggal tulang
daunnya saja. Kerusakan pada daun menyebabkan terganggunya proses
fotosintesis sehingga tanaman tidak dapat melanjutkan proses perkembangannya
untuk mengasilkan bunga, biji dan buah.

2.4 Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)


Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Negara Brazil. Tanaman
ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Banyak tanaman yang
menghasilkan getah mirip dengan lateks, penduduk asli di berbagai tempat seperti
Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan memanfaatkan pohon yang
menghasilkan getah seperti karet jauh sebelum tanaman karet ini dibudidayakan
(Budiman, 2012).
Tanaman karet pertama kali dikenalkan pada tahun 1864 pada saat masa
penjajahan Belanda di Indonesia, yaitu sebagai tanaman koleksi di Kebun Raya
Bogor. Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.
Batang tanaman mengandung getah yang dinamakan lateks. Daun karet berwarna
hijau yang terdiri dari tangkai daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm.
panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan ujungnya bergetah. Biasnaya ada
tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis
memanjang dengan ujung meruncing. Biji karet terdapat pada setiap ruang buah.
Akar tanaman karet merupakan jenis akar tunggang (Anwar, 2006).

2.4.1 Kandungan Biji Karet


Tanaman karet dapat menghasilkan 800 biji karet untuk setiap pohonnya
per tahun. Biji karet selama ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, hanya
dimanfaatkan sebagai benih generatif pohon karet dan selebihya terbuang sia-sia,
padahal biji karet memiliki kandungan minyak nabati yang tinggi (Ly, et at,
2001).
Rahmawan dan Mansyur (2008) mengatakan babhwa kelemahan dari biji
karet ini adalah adanya HCN (asam sianida) yang merupakan racun apabila
dikonsumsi. Menurut (Ly, et al, 2001) kandungan yang terdapat pada biji karet,
11

yaitu protein 27%, lemak 32,3%, karbohidrat 15,9%, air 9,1% dan abu 3,96%,
dengan kandungan mineral per gram daging biji karet 0,85 mg Ca, 0,01 mg Fe
dan 9,29 mg Mg (Eka, et al, 2010).

2.4.2 Asam Sianida (HCN) dalam Biji Karet


Senyawa sianida dalam biji karet merupakan zat yang dapat meracuni dan
dikeanl dengan istilah nama “linamarin”. Linamarin termasuk dalam golongan
glukosida sianorgenik dan biasanya racun ini bersama-sama dengan enzim linase
dapat menghidrolisa senyawa sianida (Atklistiyanti, dkk, 2011). Asam sianida
hanya dilepaskan apabila tanaman terluka.
Menurut Cereda dan Mattos (1996) asam sianida terbentuk secara
enzimatis dari dua senyawa prekusor (bakal racun), yaitu linamarin dan metil
linamarin, kedua senyawa ini kontak dengan enzim linamarase dan oksigen dari
udara yang merombak menjadi glukosa, aseton dan asam sianida tersebut
mempunyai sifat mudah larut dan mudah menguap, sehinggga asam sianida akan
ikut terbuang dengan air.
Tingginya kandungan asam sianida pada biji karet sangat berbahaya bila
dikonsumsi. Asam sianida yang terdapat dalam biji karet bersifat toksik sehingga
akan berdampak negatif jika dijadikan bahan pakan (Wizna, dkk, 2000). Gejala
keracuna HCN pada ternak yaitu pernapasan cepat, menggigil, napas terasa sakit,
kejang-kejang, lemah dan mati. Kematian tersebut karena keracunan ion sianida
yang lepas dari ikatan glukosida sianogenik akibat hidrolisis dalam saluran
pencernaan, kemudaian ion sianida tersebut berikatan dengan cytochrome oksidae
sehingga proses oksidasi tidak bisa berlangsung karena dara tidak bisa mengikat
oksigen (Rahmawan dan Mansyur, 2008).
Asam sianida dapat menyebabkan sakit hingga kematian tergantung
banyaknya jumlah kandungan sianida yang dikonsumsi. Senyawa sianida dalam
keadaan bebas sangat mudah larut dalam air. Senyawa sianida akan terakumulasi
di dalam jaringan, tetapi apabila terdapat pada suatu permukaan senyawa ini akan
cepat mengalami penguapan. Karena sifatnya sangat mudah larut didalam air,
senyawa ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007). Asam sianida
dalam biji karet dapat dipisahkan dari bahan (biji) melalui beberapa cara, salah
12

satunya dengan cara perendaman (Wizna, dkk, 2000). Maksud dari perendaman
adalah supaya terjadi hidrolisa enzimatik pada ikatan sianida untuk
mengihilangkan atau memisahkan asam sianida dari biji karet karena salah satu
sifat dari sianida mudah larut dalam air (Law et al, 1967).
Teknik reduksi HCN pada biji karet dapaat juga melalui bebearapa
metode. Pemanasan merupakan salah satu cara autuk menurunkan kadar HCN
pada biji karet (Salimon,et al, 2012). Akan tetapi menurunkan kandungan asam
sianida dengan cara pemanasan tidak efektif karena kandungan sianida yang akan
digunakan sebagai bahan insektisida nabati ddapat hilang kareana proses
penguapan. Metode penurunan kadar HCN dapat dilakukan yaaitu dengan
pencucian atau peerendaman sehingga HCN larut dan terbuang dengan air
(Karima, 2015). Selain pada biji karet, Nebiyu and Gatachew (2011) melakukan
penelitian reduksi HCN pada ketela pohon, perendeman umbi ketela pohon
selama 24 jam terbukti dapat menurunkan kadar HCN pada umbi tersebut.

2.5 Tanaman Jarak Pagar (J. curcas)


Jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan tumbuhan semak berkayu yang
banyak ditemukan didaerah tropic. Tumbuhan ini dikenal sangat tahan kekeringan
dan mudah diperbanyak dengan menggunakan stek. Tanaman ini sudah ada di
Indonesia sejak zaman penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945. Kemampuan
tumbuhan ini untuk diperbanyak secara klonal menyebabkan keanekaragaman
tumbuhan ini tidak terlalu besar. Tumbuhan ini juga termasuk tumbuhan
penyerbukan silang maka mudah terjadi rekombinasi sifat yang membawa pada
timgkat keragaman yang cukup tinggi. Tanaman jarak pagar mudah beradaptasi
terhadap lingkungan tumbuhnya, dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang
subur asalkan memiliki drainase baik (tidak tergenang) dengan Ph tanah yang
optimal 5.0-6.5. tanaman jarak merupakan tanaman tahunan jika dipelihara
dengan baik maka tanaman ini akaan dapat hidup lebih dari 20 tahun.

2.5.1 Kandungan Biji Jarak Pagar


Biji jarak pagar mengandung senyawa racun phorbolester dan cursin yang
bersifat sangat toksik dalam mematikan sel hidup (Wina et al., 2008). Senyawa
13

phorbolester dapat menghambat enzim protein kinase yang berperan dalam


pertumbuhan sel dan jaringan (Aitken, 1986 dalam Evans, 1986). Sedangkan
senyawa cursin dapat menghambat penyerapan nutrien dan mengurangi nitrogen
endogenous sel (Fasina et al., 2004 dalam Wina et al., 2008). Penelitian Pratama,
dkk. (2014) menyatakan bahwa berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan,
diketahui bahwa ekstrak biji jarak pagar mengandung senyawa fenol, flavonoid,
alkaloid, terpenoid dan saponin yang berpotensi sebagai antimikroba. Makkar et
al. (1998) “dalam” Windarwati (2011) juga melaporkan adanya senyawa toksik
pada biji jarak pagar diantaranya adalah asam sianat, asam palmitat, 12-deoksil-
16-hidroksiforbol (ester forbol), inhibitor tripsin, lektin (curcin) dan saponin.
Setyaningsih, dkk. (2013) menyatakan bahwa ekstrak forbol ester memiliki
kemampuan membunuh serangga, fungi, dan moluska.

2.6 Tanaman Gamal


Gamal (Gliricidia sepium) berasal dari wilayah kawasan Pantai Pasifik
Amerika Tengah yang bermusim kering. Habitat asli gamal adalah hutan gugur
daun tropika, dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga dataran tingggi,
beradaptasi pada beberapa jenis tanah, termasuk jenis tanah yang kurang subur,
tahan kering, juga tahan asam. Gamal (G. sepium) merupakan jenis tumbuhan
yang termasuk dalam pohon. Batang berbentuk lanset, tepi daun rata. Jenis
tumbuhan ini memiliki perbungaan majemuk dengan kelopak daun berbentuk
lonceng, daun mahkota berwarna putih merah jambu atau ungu, Nampak pula
warna kekuningan dibagian dekat pangkal bunga. Buah polong dan agak pipih,
buah ini mengandung4-10 biji dengan bentuk jorong dan berwarna merah
kecoklatan. Memiliki manfaat diantaranya yaitu daun, batang muda dan kulit
batangnya biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

2.6.1 Kandungan Kimia Tumbuhan Gamal


Hasil analisis fitokimia dari ekstrak daun gamal yaitu mengandung senyawa
metabolit yang dapat bersifat tosik sekunder seperti alkaloid, steroid, flavonoid
dan tannin.
14

a. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organic yang terbanyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid yang ditemukan di
alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada
pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam
berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranring, dan kulit batang.
Alkaloid merupakan senyawa yang mengandung nitrogen yang bersifat basa dan
mempunyai aktifitas farmakologis.
b. Steroid
Steroid merupakan hormone pertumbuhan yang mempengaruhi pergantian
kulit dengan adanya penambahan steroid yang berasal dari luar akan berpengaruh
pada penebalan dinding sel kitin pada tubuh serangga, sehingga serangga menjadi
abnormal.
c. Flavonoid
Tanaman gamal memiliki kandungan bahan aktif kumarin. Kumarin
merupakan senyawa golongan flavonoid. Flavonoid merupakan metabolit
sekunder dari tanaman hijau dengan struktur polifenol. Flavonoid pada tumbuhan
umumnya sebagai glikosa yang berperan penting dalam menentukan aktivitas
kerja tumbuhan tersebut. Flavonoid termasuk senyawa fenolik pada tumbuhan
yang potensial sebagai antioksidan.
Adanya kandungan senyawa flovanoid ini diketahui berpotensi sebagai
insektisida, karena kandungan flovanoid ini bersifat racun perut yang bekerja
apabila masuk dalam tubuh serangga maka akan mengganggu system
pencernaanya, flovanoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang bersifat
menghambat nafsu makan serangga.
d. Tanin
Senyawa tannin yang terdapat dalam tanaman secara alami memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan protein dan membentuk protein kompleks,
demikian pula dengan senyawa pati. Tannin berperan sebagai pertahanan tanaman
terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna makanan.
Tannin dpat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tannin akan
15

mengikat protein dalam system pencernaan yang diperlukan serangga untuk


pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein dalam system perncernaan
menjadi terganggu.
16

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan pada September – November 2020 di
Laboratorium Tanaman dan Kebun Praktik Politeknik Negeri Lampung.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan Ohaus, penghalus
biji (blender), ember, saringan halus, gelas ukur, gelas plastik, corong,
handsprayer, toples, kain kasa, kuas kecil, polybag ukuran 17,5 x 40 cm, cangkul,
paranet, tali raffia, bambu dan kurungan serangga.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman tembakau
berumur 2 bulan, tanah top soil, pupuk kandang, larva ulatgrayak instar 3, biji
karet, biji jarak pagar, daun gamal, gula merah, EM4 dan air bersih.

3.3 Rancangan Penelitain


Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Setiap
satuan percobaan terdiri dari 2 tanaman ( 2 polybag ) sehingga berjumlah 48
tanaman. Setiap tanaman perlakuan menggunakan 11 larva ulatgrayak.
Perlakuan yang digunakan untuk penelitian ini, yaitu :
P1= Ekstrak Biji Karet 300 g.l⁻ˡ air
P2= Ekstrak Biji Jarak Pagar 300 g. l⁻ˡ air
P3= Ekstrak Daun Gamal 300 g. l⁻ˡ air
P4 = Campuran ekstrak biji karet, biji jarak pagar dan daun gamal 300 g. l⁻ˡ air
17

K1 K2 K3 K4 K5 K6

P2 P4 P1 P1 P3 P4

P4 P3 P2 P3 P4 P3

P3 P1 P4 P2 P2 P1

P1 P2 P3 P4 P1 P2

Gambar 1. Tata Letak Penelitian


Data hasil pengamatan akan dianalisis dengan sidik ragam. Jika perlakuan
berpengaruh nyata atau berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut
DUNCAN dengan taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian


3.4.1 Persiapan Lahan Penelitian
Sebelum lahan digunakan untuk penelitian, lahan dibersihkan terlebih
dahulu dari gulma yang ada. Kemudian lahan yang akan digunakan diberi
sungkup menggunakan paranet. Setelah itu disiapkan polybag sebanyak 48
polybag kemudian diisi dengan tanah topsoil dan diberi pupuk kandang lalu tanam
benih tembakau yang sudah dipersiapkan. Seterusnya dibuat plot percobaan di
lahan penelitian yang sudah diberi sungkup.

3.4.2 Persiapan Pakan Serangga


Persiapan pakan serangga diawali dengan membuat bedengan yang
dilakukan pada saat persiapan lahan. Bedengan digunakan sebagai media
persemaian benih bayam. Setelah media siap untuk digunakan kemudian benih
bayam disemai dibedengan persemaian tersebut. Lima hari setelah semai, tanaman
akan mulai tampak diatas permukaan tanah. Setelah itu dilakukan pemeliharaan
setiap hari, meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama
18

secara manual dibedengan dan sekitar bedengan. Setelah tanaman bayam berumur
1 bulan daunnya dapat digunakan sebagai pakan larva ulatgrayak.

3.4.3 Persiapan Tanaman Uji


Siapkan tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1,masukkan
kedalam polybag, setiap polybag ditanam satu benih tembakau. Setelah berumur 1
bulan tanaman dilakukan pemeliharaan setiap hari, meliputi penyiraman,
penyiangan gulma dan pengendalian hama secara manual baik didalam polybag
maupun disekitar polybag. Setelah tanaman tembakau berumur 2 bulan, tanaman
dapat digunakan sebagai tanaman uji.

3.4.4 Persiapan Perbanyakan Serangga Uji


Serangga yang diuji adalah larva ulatgrayak (Spodoptera litura F.) instar 3
yang merupakan hasil perbanyakan di laboratorium. Perbanyakan serangga
diawali pada fase telur yang diperoleh dari lahan kampus POLINELA.
Ulatgrayak diberi pakan daun bayam berumur 1 bulan tanpa pestisida
selama perbanyakan dan sebelum dipindah ke lapangan. Pemberian pakan
dilakukan sehari dua kali (pagi hari dan sore hari) dan toples selalu dibersihkan.
Menjelang pembentukan pupa, toples diisi serbuk gergaji sebagai media larva ulat
grayak untuk membentuk pupa. Pupa yang diperoleh dikumpulkan ke dalam gelas
plastik. Setelah 9 hari pupa akan berkembang menjadi imago. Kemudian imago
dipelihara dalam kurungan serangga sampai menghasilkan telur.
Selama di dalam kurungan imago diberi pakan berupa cairan madu yang
diserapkan pada kapas. Meletakkan 3 – 5 helai daun tembakau serta tangkainya
dan dibungkus dengan kapas basah agar menjaga kesegaran daun tembakau
sebagai tempat imago meletakkan telurnya. Kelompokan telur yang ada di daun
tembakau setiap hari dipisahkan dan dimasukkan kedalam toples. Larva yang baru
menetas (instar I) diberi pakan daun bayam tanpa pestisida begitu pula pada
ulatgrayak instar II. Setelah larva memasuki stadium instar III baru dapat
digunakan sebagai serangga uji.
19

3.4.5 Persiapan Bahan Baku Insektisida Nabati


Banyak jenis tanaman yang berpotensi sebagai bahan baku insektisida
nabati. Dalam penelitian ini tanaman yang digunakan adalah biji karet, biji jarak
pagar dan daun gamal.

3.4.6 Pembuatan Ekstrak Insektisida Nabati


Tahapan pembuatan insektisida nabati sebagai berikut :
1. Menyiapkan bahan baku berupa biji karet, biji jarak pagar dan daun gamal
masing-masing 300 gram.
2. Untuk pembuatan larutan ekstrak biji karet, biji karet yang sudah
dibersihkan dari cangkangnya dan hanya menyisakan bagian putihnya saja
dihaluskan menggunakan blender sampai halus, dan tambahkan gula
merah. Setelah halus, pindahkan kedalam wadah penampung dengan
menambahkan air sebanyak 1 liter dan EM4 (diamkan/fermentasi selama 7
hari)
3. Untuk pembuatan larutan ekstrak biji jarak pagar, memisahkan biji jarak
pagar bagian dalam dan luar hingga menyisahkan bagian dalam berwarna
putih, lalu haluskan menggunakan blender dengan ditambahkan sedikit air
dan gula merah. Lalu letakkan didalam wadah penampung dengan
menambahkan air sebanyak 1 liter dan EM4 (diamkan/fermentasi selama 7
hari)
4. Untuk pembuatan larutan ekstrak daun gamal, cuci bersih daun yang sudah
diambil lalu haluskan menggunakan blender dengan menambahkan air
sedikit demi sedikit dan tambahkan gula merah. Setelah halus masukkan
kedalam wadah penampung dengan menambahkan air sebanyak 1 liter dan
EM4 (diamkan/fermentasi selama7 hari)
5. Setelah didiamkan selama 7 hari, ekstrak masing-masing bahan dapat di
gunakan.

3.4.7 Pengujian di Lapangan


Pengujian dilakukan dengan menyiapkan larva ulatgrayak yang telah
mencapai instar III yang sehat sebanyak 11 ekor dan diletakkan didalam toples
20

untuk dibawa ke tanaman uji yang ada di lahan penelitian. Kemudian tanaman
tembakau yang sudah disiapkan di polybag disemprot menggunakan insektisida
nabati dari biji karet, biji jarak pagar dan daun gamal sebamyak 300 g/l air sesuai
dengan perlakuan yang sudah ditentukan untuk masing-masing polybag. Ketika
tanaman sudah kering maka ulatgrayak instar III tersebut ditaruh di tanaman
tembakau yang ada di polybag.

3.4.8 Pengujian di Laboratorium


Pengujian di laboratorium digunakan untuk mengetahui tingkat
kematian(Mortalitas) ulatgrayak. Ulatgrayak yang telah mencapai instar 3
diletakkan dalam wadah dengam masing-masing wadah berjumlah 11 ulatgrayak.
Setelah itu, daun tembakau yang sudah disiapkan, dipotong melingkar lalu
direndam ke dalam ekstrak pestisida yang telah dibuat, dengan masing-masing
menggunakan 3 lembar daun tembakau. Rendam selama kurang lebih 1-3 menit,
lalu keringkan, setelah kering lalu dimasukkan ke dalam wadah yang sudah berisi
ulatgrayak, lalu letakkan ke dalam ruangan atau laboratorium dengan rapi sesuai
dengan plot yang telah tersedia atau sesuai dengan tata letak penelitian agar
memudahkan dalam pengambilan data.

3.4.9 Parameter Pengamatan


1. Intensitas serangan Spodoptera litura
Pengamatan dilakukan satu hari sebelum aplikasi dan 7 hari setelah aplikasi
pada pagi hari. Nilai skala kerusakan dikategorikan sebagai berikut:
Dengan rumus :
I = ∑(ni × vi) × 100%
Z×N
Keterangan:
I = Intensitas serangan
ni = Banyaknya tanaman atau bagian tanaman yang menunjukkan skor ke-i
vi = Skor daun ke i (i: 0-5)
Z = Skor tertinggi (5)
N = Banyaknya tanaman atau bagian tanaman yang diamati
21

Tabel 1. Tingkat kerusakan daun ( % )


Skor Tingkat Kerusakan Daun ( % )
0 0
1 0 – 20
2 20 – 40
3 40 – 60
4 60 – 80
5 <80

2. Persentase Mortalitas Spodoptera litura


Pengamatan dilakukan setiap hari setelah satu hari aplikasi pada pagi
hari,dan sore hari. Pengamatan dilakukan sampai ulatgrayak mengalami
perubahan menjadi pupa, apabila ulatgrayak sudah mati sebelum menjadi pupa,
maka pengamatan dihentikan.
Persentase mortalitas Spodoptera litura dihitung dengan menggunakan
rumus :
n
M= ×100 %
N
Keterangan:
M = Mortalitas larva
n = Jumlah larva yang mati.
N = Jumlah seluruh larva yang diamati.

3.5 Pengamatan
Pengamatan serangga uji dilakukan setelah 24 jam selama 7 hari setelah
aplikasi (HSA) pengaplikasian insektisida nabati biji karet, biji jarak pagar dan
daun gamal, pengamatan ditujukan pada jumlah larva yang mati (mortalitas), lama
pembentukan pupa dan intensitas serangan ulatgrayak. Pengamatan dihentikan
setelah serangga uji memasuki stadium pupa.
22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai efikasi insektisida ekstrak biji karet,


biji jarak pagar dan daun gamal pada ulatgrayak (Spodoptera litura F.) pada
tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum) dapat dilihat sebagai berikut:

4.1 Mortalitas Ulatgrayak

Analisis ragam pengaruh insektisida ekstrak biji karet, biji jarak pagar dan
daun gamal terhadap mortalitas ulatgrayak, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Analisis ragam mortalitas ulatgrayak

Sumber
Db JK KT F Hitung
Keragaman F Tabel
Keragaman         5% 1%
Umum 23 224.56 9.76
Kelompok 5 44.11 8.82
0.77tn 2.90 4.56
Perlakuan 3 24.06 8.02
Galat 15 156.39 10.43
Keterangan : tn : Tidak Berbeda Nyata

Hasil analisis ragam mortalitas ulatgrayak dapat dilihat pada Tabel 2,


menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antar perlakuan ekstrak biji karet (P1),
biji jarak pagar (P2), daun gamal (P3) dan campuran ketiga bahan (P4), karena itu
tidak perlu melakukan uji lanjut karena nilai F Hitung lebih kecil dari pada nilai F
Tabel 5% dan 1%.

Tabel 3. Tingkat mortalitas ulatgrayak pada berbagai perlakuan

Mortalitas
Perlakuan (%)
Biji karet (P1) 1.0
Biji jarak pagar (P2) 10.0
Daun gamal (P3) 10.0
Campuran (P4) 10.0
23

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa data diatas menunjukkan bahwa nilai
diatas tidak berbeda nyata, dengan kata lain ke empat ekstrak yang digunakan
dapat mengakibatkan kematian larva ulatgrayak instar 3. Menurut Sutoyo dan
Wirioadmodjo (1997), tanaman yang berinteraksi dengan serangga menyebabkan
adanya usaha mempertahankan diri sehingga tanaman mampu memproduksi
metabolit sekunder untuk melawan serangga hama. Dengan adanya zat bioaktif
yang dikandung oleh tanaman akan menyebabkan aktivitas larva terhambat,
ditandai dengan gerakan larva laman, tidak memberikan respon gerak, nafsu
makan kurang dan akhirnya mati.

Pada tabel diatas tampak angka kematian mencapai 100% pada perlakuan
Biji Karet (P1), Biji Jarak Pagar (P2), Daun Gamal (P3), dan Campuran ketiga
bahan (P4) ini terjadi karena semakin banyak dan cepatnya zat bioaktif yang
bekerja pada tubuh S. litura. Larva mati dikarenakan racun yang masuk melalui
makanan, kemudian dalam sel tubuh larva akan menghambat metabolisme sel
yaitu menghambat transfer electron dalam mitokondria, sehingga pembentukan
energy dari makanan sebagai sumber energy dalam sel tidak terjadi dan sel tidak
dapat beraktifitas, hal ini yang menyebabkan larva mati (Sa’diyah Purwani dan
Wijayanti, 2013).

4.2 Intensitas Serangan

Hasil pengamatan terhadap intensitas serangan larva S. litura dari 4


perlakuan menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 4, karena nilai F hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai F tabel 5%
atau 1%, dengan demikian tidak diperlukan adanya uji lanjut.

Tabel 4. Analisis sidikragam intensitas serangan

F Tabel
Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung
5% 1%
Umum 23 5.57 0.24
Kelompok 5 1.90 0.38
0.72tn 2.90 4.56
Perlakuan 3 0.47 0.16
Galat 15 3.21 0.21
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata
24

Tabel 5. Tingkat intensitas ulatgrayak pada tiap perlakuan

Perlakuan Rerata Notasi


P1 (Biji Karet 300 g/l) 2.50 a
P2 (Biji jarak pagar 300 g/l) 2.88 a
P3 (Daun gamal 300 g/l) 2.60 a
P4 (Campuran 300 g/l) 2.66 a

Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa data diatas menunjukkan masing-masing


perlakuan efektif mengurangi intensitas serangan S. litura pada daun tembakau.

Berdasarkan hasil data diatas berupa mortalitas an intensitas didapatkan


bahwa kedua data tersebut tidak berpengaruh nyata, Hal ini diduga karena sifat
bahan aktif yang terkandung pada ekstrak biji karet yaitu HCN (asam sianida)
bekerja sebagai racun saraf dan masuk ke dalam tubuh larva ulatgrayak melalui
organ pencemaran, sehingga dapat mengganggu aktifitas ulatgrayak dan
menyebabkan kematian.

Menurut Nurshidiq(2015) menyatakan Hidrogen Sianida pada biji karet


disebut linamarin. Kandungan Linamarin dalam biji karet merupakan salah satu
kelompok alkaloid yang bersifat racun. Kandungan asam sianida yang terdapat
dalam kelompok alkaloid ini diduga memiliki fungsi sebagai pnghambat hormone
perkembangan. Akibatnya, serangga tidak dapat berkembang dengan normal, dan
kemudian siklus hidupnya menjadi tergangggu.

Begitu pula dengan biiji jarak pagar yang memiliki jenis racun yang
bersifat toksik terhadap serangga. Biji jarak pagar mengandung senyawa racun
phorbolester dan cursin yang bersifat sangat toksik dalam mematikan sel hidup
(Wina et al., 2008). Senyawa phorbolester dapat menghambat enzim protein
kinase yang berperan dalam pertumbuhan sel dan jaringan (Aitken, 1986 dalam
Evans, 1986). Senyawa forbol masukkedalam tubuh larva kemudian terakumulasi
dalam tubuh dan dapat mengakibatkan terganggunya proses pencernaan. Selain
dapat menyerang system pencernaan, senyawa ini juga dapat menyerang system
saraf. Sedangkan senyawa cursin dapat menghambat penyerapan nutrien dan
mengurangi nitrogen endogenous sel (Fasina et al., 2004 dalam Wina et al., 2008).
25

Daun gamal memiliki potensi sebagai insektisida alami untuk membunuh


hama ulatgrayak karena mengandung senyawa kimia berupa flavonoid yang
berperan untu mematikan hama ulatgrayak. Kemampuan ekstrak daun gamal
sebagai insektisida disebabkan karena adanya senyawa bioaktif pada ekstrak daun
gamal seperti flavonoid, terpenoid, alkaloid dan tannin. Racun flavonoid ini
bersifat toksik dengan menganggu system pencernaan yang akhirnya mengalami
keracunan perut. Senyawa ini juga dapat bekerja sebagai racun pernafasan.

Senyawa tosik yang masuk ke dalam tubuh serangga akan mempengaruhi


metabolism dalam tubuh. Proses metabolism tersebut membutuhkan energy,
semakin banyak senyawa racun yang masuk kedalam tubuh serangga
menyebabkan energy yang dibutuhkan untuk proses menetralisir racun semakin
besar. Banyaknya energy yang digunakan untuk menetralisir senyawaa racun
menyebabkan penghambatan pada metabolisme yang lain sehingga serangga akan
kekurangan energy dan akhirnya mati.
26

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa pemberian ekstrak biji karet, biji jarak pagar, daun gamal dan campuran
ketiga bahan tidak berbeda nyata dan berpengaruh terhadap mortalitas dan
intensitas ulatgrayak pada tanaman tembakau.
27

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, F., Y. S. Rahayu, dan U. Faizah. 2015. Efektivitas Kombinasi Filtrat Daun
Tembakau dan Filtrat Daun Suren sebagai Pestisida Nabati Walang
Sangit pada Tanaman Padi. Journal Unesa LenteraBio 4(1):25–31.

Ahmed, M. 1996. Pest problems of cotton andtheir management. Papa Bulletin


.
Anwar, C. 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia.
Pusat Penelitian Karet. Medan

Ardra, 2013. Biopestisida, Pestisida Hayati dan Pestisida Organik. (Diakses secara
online melalui http://ardra.biz/sain-teknologi/ pada tanggal 11 November
2017).

Ary, H. S., P. Yuswani, dan Lisnawita. 2015. Pengaruh Beberapa Jenis Termisida
dalam Mengendalikan Rayap (Captotermes curvignathus H.) di
Laboratorium. Jurnal Online Agroteknologi 3 (3) : 876-882

Atklistiyanti, C., R.R. Reza, S.S. Yoga, H. Alifiya, dan Y.S. Budi. 2013. Kajian
Teknik Reduksi Asam Sianida (HCN) pada Tempe Biji Karet dalam
Upaya Peningkatan Diversifikasi Protein Nabati. PKM Penelitian. Institut
Pertanian Bogor.

Budiman, H. 2012. Budidaya Karet Unggul. Penerbit Pustaka Baru Press.

Cereda, M.P., and M.C.Y. Mattos. 1996. Linamarin The Toxic Compound of
Cassava. Journal of Venomous Animal and Toxins.

Dadang. 1999. Sumber Insektisida Alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama


Terpadu. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dewi, I. R. 2007. Prospek Insektisida yang Berasal Dari Tumbuhan untuk


Menanggulangi Organisme Pengganggu Tanaman. Makalah
Pengendalian Hama Tanaman (PHT). Universitas Padjadjaran. Bandung.

Eka, H. D., A.Y. Tajul, and N.W.A. Wan. 2010. Potensial Use Of Malaysian
Rubber (Hevea brasieliensis) Seed As Food, Feed And Biofuel.
International Food Research Journal. 17: 527-534

Evans, F. J. 1986. Naturally occurring phorbolesters. Boca Raton, FL: CRC Press,
hlm: 171-215.

Gapoktan, 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Pestisida Nabati


http://gapoktantanimaju.blogspot.com/2009/01/pestisida-nabati.html
28

diunduh tanggal 29 agustus 2019

Ghotama, A.A.A. dan Soebandridjo. 1985. Hama Tanaman Kapas Di Indonesia.


Malang: BALITTAS

Huque, H. 1972. Cotton Entomology. PCCC. Karachi, Pakistan

Indrarosa, D. 2013. Pestisida Nabati Ramah Lingkungan. . (Diakses secara online


melalui http://bbppbatu.bppsdmp.deptan.go.id pada tanggal 20 september
2019).

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest Of Crops In Indonesia Devised and Translated By


Van Der Land. Jakarta: PT Ichtiar Bara Van Hoeve.

Kannan, M., S. Uthamasamy, and S. Mohan. 2004. Impact of insecticides on


sucking pests and natural enemy complex of transgenic cotton. Current
Science 86(5): 726-729.

Karima, R. (2015) Pengaruh perendaman dan perebusan terhadap Kadar HCN


pada biji karet. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. 7 (1) : 39–44.

Law, T.G., Samsudin, Husaini, and I. Tarwotjo. 1967. Nutritional value of rubber
seed protein. The American Journal of Clinical Nutritional

Louis, M.F. dan Bosch, R.V.D. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta:
Kanisius

Ly, J.C. Ty, and C. Phiny. 2001. Evaluation of nutrients of rubber seed meal in
Mong Cai Pigs. Livestock Research for Rural Development. 13:2

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian


Ulat Grayak (Spodoptera litura F) Pada Tanaman Kedelai. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4).

Morallo and B. Rejesus. 1986. Botanical Insecticides Against the Diamondback


Moth. Department of Entomology. College of Agriculture University of
the Philippines at Los Banos, College, Laguna, Philippines.

Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Bandung: Orba Shakti

Nebiyu A, Getachew E. 2011. Soaking and drying of cassava roots reduced


cyanogenic potential of three cassava varieties at jimma southwest
Ethiopia. African J Biotechnol.

Nurcholis, M dan S. Sumiarsih. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodiesel.


Yogyakarta : Kanisius.

Pambayun, R. 2007. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung.


29

Yogyakarta: Ardana Media

Prabowo, A.Y, 2007. Teknis budidaya Agrokomplek: Budidaya Tembakau.


Diunduh dari http://Agrokomplek / +budi+daya+tembakau (25 September
2019).

Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.

Pracaya. 2007. Hama Dan Penyakit Tanaman Edisi Revisi. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Pratama, D. R. dkk. 2014. Efektivitas Ekstrak daun dan Biji Jarak Pagar
(Jatropha curcas) sebagai Antibakteri Xanthomonas campestris Penyebab
Penyakit Busuk Hitam pada Tanaman Kubis. Lentera Bio, Vol.
4(1):112118. ISSN: 2252-3979.

Prijono, D. dan Triwidodo H. 1993. Pemanfaatan Insektisida Nabati di Tingkat


Petani. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan
Pestisida Nabati. Jakarta : Penebar Swadaya.

PTPN II. 2007. Budidaya Tembakau Deli. Diunduh dari


http://72.14.235.104/searchq=cache:OdkN/Bab16PTPN
%2520II.pdf+budi+daya+tembakau+deli&hl=id&ct=cln&cd=68gl=id (20
september 2019).

Rahmawan, O. dan Mansyur. 2008. Detoksifikasi HCN dari Bungkil Biji Karet
(BBK) Melalui Berbagai Perlakuan Fisik. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan Dan Veteriner. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran:
Bandung.

Salimon, J., B.M. Abdullah, and N. Salih. 2012. Rubber (Hevea brasiliensis) seed
oil toxicity effect and linamarin compound analysis. Lipids Health Dis

Samsudin, 2008. Virus Patogen Serangga: Bio-Insektisida Ramah Lingkungan.


Diunduh dari http:// Lembaga Pertanian Sehat / Develop Useful
Innovation for Farmers Rubrik (20 September 2019).

Setiawan, H.D. dan Andoko. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet.


Agromedia Pustaka. Jakarta.

Setyaningsih, D., Ovi Y.N., Sri, W. 2013. Kajian Aktivitas Antioksidan dan
Antimikroba Ekstrak Biji, Kulit Buah, Batang dan Daun Tanaman Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.). Agritech, Vol. 34(2):126-137.

Sinaga, E. 2010. Jatropha curcas L. Pusat Penelitian dan Pengembangan


Tumbuhan Obat UNAS/P3TO UNAS. Diakses tanggal 18 septrmber
2019
30

Siswadi. 2006. Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Yogyakarta : PT Citra Aji


Parama.

Sudarmo, S. 1991. Tanaman Perkebunan. Yogyakarta: Kanisius.

Subiyakto, S. 1987. Mengenal Serangga Hama Kapas dan Pengendaliannya.


Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Sutoyo dan Wirioadmodjo, B. 1997. Uji Insektisida Botani Daun Nimba, Daun
Pahitan dan Daun Kenikir terhadap Kematian Larva S. litura F. pada
Tanaman Tembakau. Dalam Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi
Indonesia V dan Symposium Entomologi. Universitas Padjajaran,
Bandung.

Syah, A. 2006. Biodiesel Jarak Pagar Bahan Bakar Alternatif yang Ramah
Lingkungan. Jakarta : Agro Media Pustaka.

Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis, dan A. Budiman. 2006. Potensi Ekstrak Flora
Lahan Rawa Sebagai Pestisida Nabati. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawan.

Thamrin, M., S. Asikin., dan M. Willis. 2013. Tumbuhan Kirinyu Chromolaena


odorata (L) (Asteraceae: Asterales) Sebagai Insektisida Nabati untuk
Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 32(3): 112-121.

Tukimin dan Rizal, M. 2002. Pengaruh Ekstrak Daun Gamal (Gliricidia sepium)
Terhadap Mortalitas Kutu Daun Kapas Aphis gossypii Glover. Malang:
BALITTAS.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: UGM


Press.

Widodo, W. dan S. Sumarsih. 2007. Jarak Kepyar Tanaman Penghasil Minyak


Kastor Untuk Berbagai Industri. Yogyakarta: Kanisius.

Wina, E., I. W. R. Susana, dan T. Pasaribu. 2008. Pemanfaatan Bungkil Jarak


Pagar (Jatropha Curcas) dan Kendalanya Sebagai Bahan Pakan Ternak.
Wartazoa. 18(1): 1-8.

Windarwati, S. 2011. Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Tanaman Jarak Pagar


(Jatropha curcas Linn.) Sebagai Zat Antimikroba dan Antioksidan dalam
Sediaan Kosmetik. Bogor: IPB. Skripsi.

Wizna, Mirnawati, N. Jamarun, dan Y. Zuryani. 2000. Pemanfaatan Produk


Fermentasi Biji Karet dengan Rhizopus oligosporus dalam Ransum Ayam
Broiler. Proseding Seminar Nasioal Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor
31

LAMPIRAN
32

Gambar 2. Kotak Rearing (Dokumen pribadi) Gambar 3 : alat semprot (dok. Pribadi)

Anda mungkin juga menyukai