Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN CF NEDS FEMUR (S)

PRAKTEK KLINIS II
DI RUANGAN IBST RSUD KAB. BULELENG

OLEH:
WINDA PRABAWATI DAKUNDE
NIM 18D10111
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
FAKULTAS KESEHATAN
D – IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
2020/2021

A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Fraktur adalah
rupturnya kontinuitas struktur dari tulang atau kartilago dengan  tanpa disertai
subluksasi fragmen yang terjadi karena trauma atau aktivitas fisik dengan
tekanan yang berlebihan (Ningsih, 2011). Sedangkan menurut Linda Juall C.
dalam buku Nursing Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini
sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang
(Price 1985). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
(Purnawan junadi 1982). Fraktur tulang adalah patah pada tulang. Istilah yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai jenis fraktur tulang antara lain fraktur
inkomplit, fraktur simple dan fraktur compound ( Elizabet J. Crowin, Phd,
MSN, CNP, 2008).
2. Etiologi
Menurut corwin (2000) penyebab fraktur dapat terjadi karena tulang
mengalami trauma, kelainan pathologis dan kelelahan / stress. Fraktur
pathologis terjadi pada orang tua yang mengidap osteoporosis / infeksi Fraktur
stress terjadi pada tualang normal akibat stress tingkat rendah yang
berkepanjangan atau berulang. a) Trauma langsung/ direct trauma, yaitu
apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
(misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang). b) Trauma
yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan. c)
Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur
patologis.
3. Tanda dan Gejala
a. Deformitas
b. Krepitasi
c. Fals movement ( gerakan palsu )
d. Bengkak
e. Nyeri
f. Hilangnya fungsi
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
A. Pemeriksaan Radiologi
1) X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray: Bayangan jaringan lunak. Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. Sela sendi
serta bentuknya arsitektur sendi.
2) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
3) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
4) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
5) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
C. Pemeriksaan Lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
1) Pereda Nyeri :
Jenis obat analgesic : morfin (), fentanyl (), tramadol (), ketorolac (),
2) Obat antiinflamasi nonsteroid
Obat anti radang jenis OAINS : dexametason (), ibuprofen (),
meloxicam (), cataflam ()
3) Antibiotic
4) Vaksin Tetanus
b. Penatalaksanaan Operatif
Prinsip penanganan fraktur secara umum, menurut Brunner and
Sudarth (2002) :
1) Imobilisasi : pemasangan spalk/pembidaian untuk mengurangi
pergerakan daerah fraktur
2) Reposisi : mengembalikan posisi tulang sesuai dengan anatomi dengan
fiksasi interna seperti pasang plat screw dan fiksasi eksterna seperti
pemaangan gips
3) Rehabilisasi : mengembalikan fungsi dari tulang yang patah dengan
fisioterapi.
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari Bahasa Yunani an "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangka kesadaran. Pada operasi operasi daerah tertentu seperti perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot
yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar (Ibrahim, 2000).
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit,
namun obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan
tetapi juga menghilangka kesadaran. Pada operasi operasi daerah tertentu
seperti perut, maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan
juga relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar
(Ibrahim, 2000).
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu
suatu keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang
bersifat reversibel, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan
sehingga lebih mirip dengan keadaan pinsan. Anestesi digunakan pada
pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi
rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap
manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi).
Anestesi umum yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara
keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan
kombinasi hipnotika, analgetika, dan relaksasi otot (Kartika Sari, 2013).
b. Regional Anestesi
Anestesi lokal adalah obat yang merintangi secara reversibel penerusan
impuls saraf ke sistem saraf pusat pada kegunaan lokal dengan demikian
dapat menghilangkan rasa nyeri, gatal-gatal, panas atau dingin (Kartika
Sari, 2013).
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan (misalnya, adanya sel tumbuh pada kulit atau kornea mata).
Obat anestesi (misalnya, lidokain) menghambat konduksi saraf sampai
obat terdifusi ke dalam sirkulasi. Klien akan kehilangan rasa nyeri dan
sentuhan, aktivitas motorik, dan otonom (misalnya, penggosongan
kandung kemih). Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari. Untuk menghilangkan rasa nyeri
pascaoperatif, dokter dapat memberi anestesi lokal pada area pembedahan.
3. Teknik Anestesi
a. General Anestesi
1) Anestesi Inhalasi
Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh
hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi.
Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu :
a) Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran
b) Anestesia : pasien bebas nyeri
c) Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
2) Anestesi Volatile
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar
yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sfat
anestetik kuat pada kadar rendah dan relatif mudah larut dalam lemak,
darah dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan
dapat memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlawatinya
induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar lebih tinggi dari kadar
yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah tercapai kadar
disesuaikan untuk mempertahankan stadium tersebut. Untuk
mempercepat induksi dapat diberika zat anestetik lain yang kerjanya
cepat kemudian baru diberikan anestetik yang menguap.
3) Anestesi Intravena
Anestesia intrvena adalah teknik anestesia dimana obat-obat anestesia
diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik
atau analgetik maupun pelumpuh otot (Ting, 2007).
Indikasi Anestesi Intravena
a) Obat induksi anesthesia umum
b) Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
c) Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
d) Obat tambahan anestesi regional
e) Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP
sedasi)

Beberapa variasi anestesia intravena (Ratna dan Chandra, 2012).

a) Anestesia intravena klasik


Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif
contoh: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol.
Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah
hipnotik dan anestesia.
b) Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat
hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen
trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot.
c) Anestesia-analgesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat
secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya
adalah sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi
lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak
terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin
b. Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi motoric dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
1) Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural,
dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2) Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, dan analgesia regional intravena.
c. Anestesi Lokal
Anestesi lokal atau zat penghilang rasa setempat merupakan obat yang
pada penggunaan lokal merintangi secara reversible penerusan impuls
saraf ke system saraf pusat dan dengan demikian menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri, gatal gatal, rasa panas atau dingin.
Anestesi lokal adalah Teknik untuk menghilangkan atau mengurangi
sensasi di bagian tubuh tertentu. Jenis anestesi lokaldalam bentuk
parenteral yang paling banyak digunakan adalah :
1) Anestesi Blok
Jenis anestesi blok adalah anestesi yang dilakukan dengan
mendeposisikan larutan anestesi berdekatan pada badan saraf utama.
Deposit pada Teknik ini akan menyebabkan penghambat impuls saraf
dari lokasiinjeksi hingga ke distal sehingga memblok sensasi yang
datang dari susunan saraf pusat. Injeksi blok saraf ini perlu berhati-hati
karena pembuluh vena dan arteri yang berdekatan dengan saraf ini
dapat terjadi cedera (Pasaribu, 2008;Malamed, 2013)
2) Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu cara memasukkan obat anestesi lokal ke
ruang intratekaluntuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya
sensasi dan bok fungsi motoric. Anestesi ini dilakukan pada
subarachnoid di antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4- L5.
4. Rumatan Anestesi
a. General Anestesi
1) Inhalasi
a) NitrousOxide (N2O)
Disebut juga gas gelak, N2O merupakan satusatunya gas anorganik
yang dipergunakan sebagai anastetikum. Gas ini memiliki bau dan
rasa manis, densitasnya lebih besar dari pada udara, tidak
berwarna, tidak mengiritasi dan tidak mudah terbakar. Bila
dikombinasikan dengan anestetikum yang mudah terbakar akan
memudahkan terjadinya ledakan, misalnya campuran eter dan
nitrogen oksida
b) Holotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.
Aaunya yang enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anestesikombinasi dengan N2O.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supayatidak
dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi,
asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena
relaksasi otot cukup baik.
Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada
napas kendali sektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan
teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah
otak.
c) Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat
populer setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan
pada pengguanan berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda
epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada
yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dipakai pada kasus
dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3
kali dibanding halotan.
Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi
produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya
dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari
anestesia lebih cepat dibanding halotan. vasodlatasi serebral antara
halotan dan isofluran.
d) Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau sub anestetik menurunkan laju metabolisme otak
terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi >1%
terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsif
jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan
perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi
sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
e) Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun
dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralyme), tetapi belum ada
laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.
2) Anestesi Intravena
a) Barbiturat
- Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
- Hambat pernapasan di medula oblongata
- Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan sensitisasi
jantung terhadapketekolamin
- Dosis anestesi : rangsang SSP ; dosis >= depresi SSP
- Dosis induksi : 2 mg/kgBB (iv) dalam 60 detik; maintenance=
½ dosis induksi
b) Thiopental
- Dewasa : 2-4ml larutan 2,5% secara intermitten tiap 30-60
detik
c) Ketamin
- Sifat analgesik, anestetik, kataleptik dengan kerja singkat
- Analgesik kuat untuk sistem somatik, lemah untuk sistem
visceral
- relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggi
- tingkatkan TD, nadi, curah jantung
- Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk.
- Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis
0,1mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan
sulfas atropin 0.001mg/kg.
- Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg.
d) Fentanil
- Analgesik dan anestesi neuroleptik
- Kombinasi tetap
- Aman diberikan pada yang mengalami hiperpireksia dan
anestesi umum lain
- Fentanil : masa kerja pendek, mula kerja cepat
- Droperidol : masa kerja lama dan mula kerja lambat
e) Propofol
- Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10mg)
- Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena
- Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2mg/kg.
- Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%
- Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak
f) Diazepam
- Analgesik (-)
- Sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dental
prosedure, induksi anestesia pd pasien kardiovaskuler
- Efek anestesia < ok mula kerja lambat, masa pemulihan lama
- Untuk premedikasi (neurolepanalgesia) dan atasi konvulsi ok
anestesi lokal.
- ESO : henti napas,flebitis dan trombosis (+) rute IV - Dosis :
induksi 0,1-0,5 mg/kgBB
b. Anestesi Lokal dan Regional
1) Lidokaine (xylocaine,lignokain) 2%
Dosis 20-100 mg (2-5ml)
2) Lidokaine (xylocaine,lignokain)
Dosis 20-50 mg (1-2ml)
3) Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam air
Dosis 5-20 mg (1-4 ml)
4) Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam dextrose
Dosis 5-15 mg(1-3 ml)
5. Resiko
a. Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab
yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi
(penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat menyebabkan apnea.
b. Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup
diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam
sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
c. Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
d. Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi
ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen,
pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat
juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu mekanisme
fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk
respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
e. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja
anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi
lambat dikeluarkan dari dalam darah.
C. Web Of Caution (WOC)

Trauma langsung (jatuh di wc)

Fraktur pada Femur (s)

Terputusnya kontiniutas jaringan tulang dan kulit

Merangsang pengeluaran mediator kimia


Port de entry
(bradikinin, histamin, serotonin, prostaglandin

Organism
masuk ke Serat C
dalam tubuh (nyeri diraskan terus menerus dan lama)

MK: Risiko infeksi Spinal cord


Anterolateral spinotalamikus

Korteks serebral

Persepsi nyeri Merangsang activator


saraf simpatis

Efek pada GIT


MK: Gg. Rasa nyaman

Reflek regang lambung

Mual, muntah, anoreksia

MK: Gg. Pemenuhan


kebutuhan nutrisi
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
- Klien mengeluh nyeri pada daerah trauma, bila digerakkan terasa
sangat nyeri setelah mengalami jatuh benturan terhadap benda
- Klien mengatakan skala nyeri 3 setelah dilakukan pengukuran NRS
(Numeric Rating Scale)
b. Data Objektif
- Klien tampak meringis, kesakitan, bengkak pada daerah trauma dan
pada hasil Ro terlihat ada perubahan posisi anatomis tulang
- Terdengar suara krepitasi pada daerah nyeri yang dirasakan pasien
- Tanda – tanda vital pasien dominan meningkat
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a. Ansietas
b. Nyeri akut
c. Resiko infeksi
d. Resiko syok hipovolemik
e. Gangguan pertukaran gas
f. Hambatan mobilitas fisik
3. Rencana Intervensi

No Masalah Tujuan dan Kriteria Rencana Intervensi


Anestesi Hasil

1 Ansietas Setelah dilakukan 1. Observasi TTV klien


tindakan anestesi 2. Kaji tingkat pemahaman
selama 1 x 30 menit klien dan orang terdekat
diharapkan cemas tentang diagnosa/penyakit
berkurang dengan 3. Dorong klien untuk
kriteria hasil : mengungkapkan ansietas
- Klien tampak tenang dan mengekspresikan
- Klien mengatakan perasaannya
rasa takutnya - Klien mengatakan
berkurang rasa takutnya
- Klien mengatakan berkurang
siap untuk dilakukan - Klien mengatakan
operasi siap untuk dilakukan
- TTV klien kembali operasi
batas normal - TTV klien kembali
batas normal
4. Berikan kesempatan klien
untuk bertanya dan
menjawab tentang peyakit
dengan jujur
5. Berikan penguatan atau
semangat dalam
penyembuhan klien baik
dari keluarga maupun para
petugas kesehatan

2 Nyeri Akut Setelah dilakukan 1. Pertahankan imobilasasi


tindakan anestesi bagian yang sakit dengan tirah
selama 1 x 30 menit baring, gips, bebat dan atau
diharapkan nyeri pasien traksi
berkurang dengan 2. Tinggikan posisi
kriteria hasil : ekstremitas yang terkena.
- Klien mengataka nyeri 3. Lakukan dan awasi latihan
berkurang atau hilang gerak pasif/aktif.
dengan menunjukkan 4. Lakukan tindakan untuk
tindakan santai, meningkatkan kenyamanan
mampu berpartisipasi (masase, perubahan posisi)
dalam beraktivitas, 5. Ajarkan penggunaan teknik
tidur, istirahat dengan manajemen nyeri (latihan
tepat, menunjukkan napas
penggunaan dalam, imajinasi visual,
keterampilan relaksasi aktivitas dipersional)
dan aktivitas trapeutik 6. Lakukan kompres dingin
sesuai indikasi untuk Selama fase akut (24-48 jam
situasi individual pertama) sesuai keperluan.
7. Delegasi pemberian
analgetik
sesuai indikasi.(fentanyl 1-2
mcg/kgBB)

3 Resiko Setelah dilakukan 1. Lakukan perawatan pen


Infeksi tindakan anestesi Steril dan perawatan luka sesuai
selama 1 x 30 menit protokol
diharapkan tidak ada 2. Ajarkan klien untuk
tanda-tanda infeksi mempertahankan sterilitas
dengan kriteria hasil : insersi pen.
Klien mencapai 3. Kolaborasi pemberian
penyembuhan luka antibiotika dan toksoid tetanus
sesuai waktu, bebas sesuai indikasi.
drainase purulen atau 4. Analisa hasil pemeriksaan
eritema dan demam laboratorium (Hitung darah
lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/serum/tulang)
5. Observasi tanda-tanda vital
dan tanda-tanda peradangan
lokal pada luka.

4 Resiko syok Setelah dilakukan 1. Kaji tanda tanda vital


hipovolemik tindakan keperawatan 2. Pantau status cairan
1. Kaji tanda tanda vital 3. Pantau area pembedahan
2. Pantau status cairan Kolaborasi
anestesi 1x30 menit 4. Kolaborasi pemberian
diharapkan kondisi cairan NaCl 0,9%
pasien kembali normal
dengan kriteria hasil :
1. TTV dalam batas
normal
TD : 120/80 mmHg
N : 60-100 x/mnt
RR : 12-20 x/mnt
S 36,5-37,5C
2. Status cairan
normal
3. Tidak adanya
edema

5 Gangguan Setelah dilakukan 1. Instruksikan/bantu latihan


pertukaran tindakan anestesi napas dalam dan latihan batuk
gas selama 1 x 30 menit efektif.
diharapkan tidak terjadi 2. Lakukan dan ajarkan
gangguan pertukaran perubahan posisi yang aman
gas dengan kriteria hasil sesuai keadaan klien.
: 3. Kolaborasi pemberian obat
Klien akan antikoagulan (warvarin,
menunjukkan heparin) dan kortikosteroid
kebutuhan oksigenasi sesuai indikasi.
terpenuhi dengan 4. Analisa pemeriksaan gas
kriteria klien darah,
tidak sesak nafas, tidak Hb, kalsium, LED, lemak dan
cyanosis analisa gas trombosit
darah dalam batas 5. Evaluasi frekuensi
normal Pernapasan dan upaya bernapas,
perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot aksesori
pernapasan, retraksi sela iga
dan sianosis sentral.

6 Hambatan Setelah dilakukan 1. Pertahankan pelaksanaan


mobilitas tindakan anestesi aktivitas rekreasi terapeutik
fisik selama 1 x 30 menit (radio, koran, kunjungan
diharapkan tidak ada teman/keluarga) sesuai
hambatan mobilitas keadaan klien.
dengan kriteria hasil :
Klien dapat 2. Bantu latihan rentang gerak
meningkatkan/memper pasif aktif pada ekstremitas
t yang sakit maupun yang sehat
ahankan mobilitas sesuai keadaan klien.
pada tingkat paling 3. Berikan papan penyangga
tinggi yang mungkin kaki,
dapat gulungan trokanter/tangan
mempertahankan posisi sesuai indikasi.
fungsional 4. Bantu dan dorong
meningkatkan perawatan
kekuatan/fungsi yang diri (kebersihan/eliminasi)
sakit dan sesuai keadaan klien.
mengkompensasi 5. Ubah posisi secara periodik
bagian sesuai keadaan klien.
tubuh menunjukkan
tekhnik yang
memampukan
melakukan aktivitas

4. Evaluasi

No Problem Evaluasi

1 Ansietas a. TTV klien dalam batas normal


b. Wajah pasien tampak tenang
c. Klien memahami tentanng diagnosa/penyakit
d. Klien mudah untuk mengungkapkan ansietas
dan
mengekspresikan perasaannya
e. Klien memahami tindakan/prosedur yang akan
dilakukan

2 Nyeri Akut a. Wajah pasien tampak tenang


b. TTV pasien dalam batas
normal
c. Skala nyeri pasien berkurang
d. Pasien dapat melakukan
latihan gerak pasif/aktif.
e. Pasien dapat melakukan teknik
manajemen nyeri (latihan
napas dalam, imajinasi visual,
aktivitas dipersional)

3 Resiko Infeksi a. TTV dalam batas normal


b. Tidak ada tanda-tanda infeksi

4 Resiko syok a. TTV dalam batas normal


hipovolemik b. Perdarahan minimal <15%
c. Akral hangat
d. CRT <3detik

5 Gangguan a. TTV dalam batas normal


pertukaran gas b. Tidak menggunakan otot bantu
pernapasan
c. Pasien bisa melakukan latihan
napas dalam dan latihan batuk
efektif.

6 Hambatan a. Pasien dapat melakukan


mobilitas fisik latihan rentang gerak pasif
aktif pada ekstremitas yang
sakit maupun yang sehat.
b. Pasien dapat melakukan
perawatan diri
(kebersihan/eliminasi)

DAFTAR PUSTAKA
Soerasdi E.,Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia
Sehari-hari. Bandung, 2010
Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editors. Anestesiologi. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 1989.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. JakartaBagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.
Zulhijah,diana,dkk."Asuhan Keperawatan Dengan Fraktur". Didalam
https://www.academia.edu/37578096/ASUHAN_KEPERAWATAN_KLIEN_
DENG
AN_FRAKTUR. Di unduh 06 Januari 2020.

Anda mungkin juga menyukai