ID Islam Dan Politik Pemerintahan Pemikiran
ID Islam Dan Politik Pemerintahan Pemikiran
Abstract
Discussing themes or concepts of Islamic government system
seems to be an endles activity as a great number of books written
by muslim intellectuals from time to time continously appear.
the present day. This paper tries to explore ideas and political
thought of one Muslim intellectual , Muhammad Husayn Haykal.
After a thorough scrutinization to his works, this study finds out
that his conception of political thought was based on the Oneness
of Allah (Tauhidiyah). In addition, he also identified three basic
principles of humanism upon which Islamic state should be based,
namely : the principles of human brotherhood, of human equality,
and of human freedom. Haykal also asserted that the form of
constitutional state is preferable as compared to others .
Abstrak
Mendiskusikan tema terkait konsep atau sistem pemerintahan
Islam memang tidak akan pernah selesai. Berbagai buku yang
menawarkan gagasan sistem pemerintahan Islam telah dihadirkan
oleh para intelektual Muslim dari zaman dahulu hingga hari
ini. Tulisan ini mendedah gagasan dan pemikiran politik salah
seorang intelektual Muslim, Muhammad Husein Haikal. Melalui
penelitian kepustakaan terhadap karya-karya Haikal, penulis
menemukan bangunan konsepsi pemikiran politik Haikal bahwa
Negara Islam haruslah dibangun di atas sendi keislaman yang
dasar utamanya adalah tauhidiah. Menurut Haikal, ada tiga prinsip
humanis sebagai dasar Negara Islam, yaitu; Prinsip persaudaraan
sesama manusia, prinsip persamaan antarmanusia, dan kebebasan
manusia. Terkait dengan bentuk negara Islam, ia lebih memilih
bentuk negara konstitusional sebagai bentuk negara Islam yang
berdasar pada hukum.
A. Pendahuluan
Perdebatan mengenai posisi dari relasi antara agama dan
negara di dalam Islam merupakan sesuatu yang telah muncul
semenjak runtuhnya Imperialisme di masyarakat Muslim. Di
seluruh penjuru wilayah, perdebatan tersebut menjadi polemik yang
berkembang pada level aksi perjuangan politik terutama dengan
adanya inisiasi dua kubu, yaitu kalangan Islamis1 (kelompok yang
melihat hubungan antara agama dan negara sebagai sesuatu yang
harus terintegrasi secara total) dan kelompok sekuleris (yaitu
kelompok yang berpendapat bahwa perlu adanya pemisahan secara
tegas antara wilayah agama dan negara).2
Kelompok yang dalam hal ini disebut sebagai Islamis seakan
tidak pernah menyerah dalam merealisasikan apa yang dicita-
citakan yaitu daulah Islamiyyah. Salah satu langkah nyata dari
fakta tersebut adalah dengan berusaha mendirikan negara, dimana
syari`ah Islam ditempatkan sebagai landasan ideal moralnya.3
1
Di antara tokoh-tokoh Islam awal yang meperdebatkannya antara
lain; al-Farabi (258- 339 H / 870-950 M), al-Mawardi (364-450 H/ 975-1059
M), al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), Ibnu Taimiyah (661-728 H 1263-
1329 M) dan Ibnu Khaldun (732-784 H/ 1332-1382 M). tokoh-tokoh pemikir
Islam ini mengajukan berbagai teori tentang Islam dan kekuasaan Negara.
Teori-teori yang ditawarkan tentu saja tidak terlepas dari situasi dan kondisi
di mana mereka berada. Selain tokoh di atas, tokoh-tokoh pemikir Islam abad
kedua puluh hamper sama dengan tokoh bsebelumnya mengenai politik Islam.
Mereka antara lain; Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh
(1849-1905 M), Rasyid Rid}a (1865-1935 M), Ali Abd ar-Ra>ziq (1886-1966 M),
Husein Haikal (1888-1956 M), Hasan al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Qutb
(1906-1966), al-Maududi (1903-1979) dan lainnya. Lihat, Abd Salam Arif,
“Politik Islam Antara Aqidah Dan Kekuasaan”, dalam A. Maftuh Abegebriel
dan A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jogjakarta:
SR-Ins Publishing, 2004), h. 1-2.
2
Soegeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit (E.d.), Membaca Indonesia
(Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), 2005), h. 101-102. Deferensiasi
dalam berbagai kehidupan ini menurut Prof. M. Amin Syukur adalah sebuah
semangat bagi umat Islam untuk menghadirkan kembali ajaran Islam yang lebih
kontributuf dan kontekstual menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditundatunda
lagi (point of no return).lihat, M. Amin Syukur, “kata Pengantar” ‘Dilema;
Dakwah Kultural Versus Struktural’ dalam Muhammad Sulthon, Desain Ilmu
Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. xi.
3
Gerakan keagamaan baik dalam bentuk partai politik atau gerakan
keagamaan murni (dakwah) yang bisa dikategorikan sebagai komunitas yang
menuntut untuk diberlakukannya Syari`at Islam atau berdirinya negara Islam
9
M. Natsir, “Mengasih Islam Bersinggasana dalam Kalbu”, dalam D.P.
Sati Alamin (eds.), Capita Selecta M. Natsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
461.
10
Pada tahun 1924, Mustafa Kemal Pasha menghapuskan kekhalifahan,
sekolah dan pengadilan agama. Ia kemudian memperkenalkan kode hukum
baru yang berdasar pada lode hukum swiss, menekan tarekat Sufi, mengganti
tulisan dengan alfabet latin. Lebih lengkap, lihat Neal Robinson, Pengantar
Islam Komprehensif, terj. Anam Sutopo, et.al. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2001), h. 73.
11
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, cet. ke-5 (Jakarta: UI
Press, 1993), h. 180.
13
M. Yusuf Musa., Politik dan Negara dalam Islam, terj. M. Thalib
(Jakarta: Pustaka LSI, 1991), h. 9.
14
Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali
Audah (Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1990), h. 196-197.
15
Ibid., h. 206
16
Muhammad Husein Haikal, Pemerintahan Islam, terj. M. Adib Bisri
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), h. 21
17
Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 531.
3. Prinsip kebebasan
Kebebasan bagi Haikal adalah sesuatu yang yang essensial
dalam kehidupan manusia. Perbedaan hakiki antara manusia
dengan makhluk lain terletak pada unsur kebebasan. Dengan
kebebasan, manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kemajuan
dalam hidupnya.
Kebebasan ini mencakup pada empat jenis kebebasan,
yaitu kebebasan beragama, berfikir, menyatakan pendapat, dan
kebebasan dari rasa lapar dan takut. Kebebasan di sini bukan
tanpa batas, karena manusia memang diberi kebebasan untuk
melakukan apa saja selama hal itu tidak bertentangan dengan
hukum syara’.
Dalam pemerintahan Islam, seorang kepala negara hanyalah
sebagai wakil umat, karena kepala negara dipilih secara langsung
oleh umat maka umat berhak mengawasi dan meluruskannya
manakala ia menyimpang dari kebenaran.30 Dan umat harus taat
kepadanya dalam batas-batas yang sudah ditentukan.
Menurut Haikal, di dalam pemerintahan Islam, hak-hak
30
Haikal, Pemerintahan Islam, h. 25-26.
31
Ibid.
32
Ibid., h. 44.
33
Ibid.
35
Musdah Mulia, Negara Islam, h. 35.
36
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 104.
37
Abdul Karim Zaiden, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam,
terj. Abdul Aziz (Jakarta: Yayasan al-Amin, 1984), h. 22.
38
Ibid.
39
Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas
Sejarah Pemerintahan Islam, terj. M. al-Baqir, cet. ke-6 (Bandung: Mizan,
1996), h. 93.
40
Sebagaimana pendapat Sayyid Qut}b yang juga menyatakan bahwa
tauhid merupakan dasar utama dari sebuah negara Islam. Lebih lanjut baca
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 150.
dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Pers, 1987), h. 310.
F. Penutup
Merujuk pada uraian deskripsi di atas, maka penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, pemerintahan Islam
atau Negara Islam menurut Husein Haikal adalah negara yang
dibangun di atas sendi keislaman yang mana dasar utamanya adalah
tauhidiah dan didukung oleh sendi-sendi yang sifatnya humanis.
Negara Islam yang ideal menurut Husein Haikal adalah negara
Islam yang mampu menyamai bentuk pada tata kenegaraan yang
diterapkan Nabi Muhammad di Madinah. Menurutnya, ada tiga
prinsip humanis yang dipandang Haikal sebagai dasar Negara Islam,
yaitu; Prinsip persaudaraan sesama manusia, prinsip persamaan
antarmanusia, dan kebebasan manusia.
Kedua, terkait dengan bentuk negara Islam, Haikal
memandang bahwa tidak ada bentuk pasti dari negara Islam. Dalam
arti, tidak ada peraturan bahwa negara Islam harus berbentuk
republik, parlemen, monarkhi atau theokrasi. Dan Haikal sendiri
lebih memilih bentuk negara konstitusional sebagai bentuk negara
Islam yang berdasar pada hukum. Hukum di sini bukan merupakan
hukum karya manusia, namun hukum yang berlaku di sini adalah
hukum Tuhan (syara’).
DAFTAR PUSTAKA