A. Pendahuluan
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam; manusia, hewan maupun lingkungan.
Manusia sebagai makhluk yang diberi kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
khalifat fi al-ardl, mestinyalah sebisa mungkin memberi rahmat terhadap semua elemen di
sekitarnya.
Salah satu manifestasi (wujud) rahmat itu, yakni senantiasa menjaga kebersihan dan
kelestarian alam kita.
Masalah kebersihan dan menjaga lingkungan, ini sangat diperhatikan oleh Islam. Bahkan
sebuah ajaran bahwa ‘’kebersihan itu sebagian dari iman’’ sudah sangat kita hafal sejak kecil.
Terkait masalah kebersihan, antara lain ditunjukkan dalam perintah bahwa seorang
Muslim diwajibkan bersih dan suci dari kotoran, baik kotoran yang terdapat dalam diri
manusia maupun lingkungan sekitar.
Dan Islam sebagai agama rahmat, telah memberikan panduan bagi penganutnya dalam hal
ibadah, muamalah, dan lain sebagainya.
Di bawah ini, akan kita ulas ketentuan-ketentuan yang ada dalam Islam terkait bagaimana
mencintai lingkungan, cara bersuci, bersih-bersih menurut aturan yang sudah diajarkan
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Debu
Debu difungsikan sebagai alat bersuci (wudlu dan mandi) lantaran ketiadaan air atau
karena tidak diperbolehkannya air mengenai tubuh menurut dokter.
c. Proses Penyamakan Kulit Bangkai
Kulit bangkai hewan selain babi dan anjing, bisa disucikan dengan cara di-samak.
Yaitu proses menghilangkan lendir, daging yang masih menempel pada kulit bangkai
dengan menggunakan sesuatu yang rasanya pahit.
d. Batu
Dalam bersuci dari kencing dan berak, diperbolehkan menggunakan batu atau benda
padat yang kering dan bisa menghilangkan kotoran seperti tissu kering dan lainnya
yang dianggap mencukupi. Namun begitu, alangkah lebih baik jika setelah itu tetap
dibersihkan dengan air.
3. Cara mensucikan
a) Mughalladhoh
Cara menyucikannya yaitu menghilangkan bentuk najisnya dengan air mutlak,
kemudian disiram sampai 7 kali, salah satunya dicampuri dengan debu.
b) Mukhaffafah
Cara menyucikannya dengan meghilangkan bentuk najisnya, kemudian minimal
menyipratinya dengan air mutlak.
c) Mutawassithah
Cara menyucikannya dengan menghilangkan bentuk najisnya, kemudian
menyiramnya dengan air mutlak.
A. Pendahuluan
Salat adalah ibadah rutin harian, yang wajib didirikan oleh setiap umat Islam, sebagai
bukti ketaatan kepada Allah. Dalam sehari semalam, ada lima waktu salat yang wajib
didirikan; Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isyak, dan Shubuh. Salat lima waktu bagi seorang
Muslim ibarat manusia adalah kepalanya. Seseorang yang tidak mendirikan salat, ibarat ia
hidup tanpa kepala.
Di beberapa literatur dijelaskan, barang siapa salat dengan benar sesuai ketentuan yang ada,
maka ia termasuk hamba yang taat. Selain itu, salat juga –disebutkan- sebagai penjaga diri
manusia agar tidak mudah berbuat keji dan munkar dalam kehidupan sehari-hari. Semoga
kita senantiasa diberi fadlal dan kekuatan oleh Allah agar senantiasa mampu menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amin.
B. Pengertian Salat
Salat adalah perbuatan dan ucapan, yang diawali dengan niat bersamaan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam.
A. Pendahuluan
Setelah salat, puasa adalah ibadah yang setiap tahun dikerjakan bagi seluruh umat
Muslim. Puasa juga sebagai pembuktian ketakwaan dan ketaatan seorang hamba (Muslim)
kepada Allah. Di saat dalam kesibukan yang melelahkan, seorang yang beriman tetap teguh
menahan lapar dan dahaga untuk tetap berpuasa.
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, puasa juga mempunyai aturan yang sudah ditentukan oleh
syariat. Di bawah ini akan sedikit dibahas tentang ketentuan-ketentuan puasa.
B. Pengertian Puasa
1. Shiyam, menurut bahasa berarti menahan. Menurut syara’, adalah menahan diri dari hal
(perkara) yang membatalkan, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan
niat tertentu.
2. Dasar wajib puasa, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
3. Hikmah puasa antara lain menahan hawa nafsu, memberikan pelajaran bagi orang kaya
untuk merasakan lapar sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin,
dan menjaga diri dari maksiat.
C. Ketentuan Puasa
1. Syarat Sah Puasa:
a. Islam.
b. Berakal.
c. Bersih dari haid/ nifas.
d. Mengetahui waktu diperbolehkannya berpuasa.
2. Syarat Wajib Puasa:
a. Islam.
b. Mukallaf.
c. Mampu mengerjakan puasa.
d. Mukim.
3. Rukun Puasa:
a. Niat. Untuk puasa wajib, waktu niat adalah mulai terbenamnya matahari hingga
menjelang terbit fajar. Sedang untuk puasa sunah, niat boleh dilakukan sebelum
matahari tergelincir (sebelum masuk waktu dhuhur), dengan syarat belum melakukan
perkara yang meniadakan puasa (makan, minum, dll).
Niat Puasa Ramadan:
ان َه ِذ ِه ال َّس َن ِة هَّلِل ِ َت َعا َلى
ِ ضَ ض َشه ِْر َر َم
ِ ْص ْو َم َغ ٍد َعنْ اَ َدا ِء َفر ُ َن َوي
َ ْت
Sebagai catatan, niat untuk puasa Ramadan harus dilakukan setiap malam selama
Ramadan. Niat dibaca dalam hati, sedang mengucapkannya dengan lisan hukumnya
sunnah.
b. Menghindari hal (perkara) yang membatalkan puasa, kecuali jika lupa atau dipaksa
atau karena kebodohan yang diampuni oleh syari’at (jahil ma’dzur; baru masuk Islam
atau jauh dari Ulama’).
3. Menelan Ludah
Menelan ludah tidak membatalkan puasa dengan 3 syarat:
a. Murni (tidak tercampur benda lain).
b. Suci.
c. Ludah berada di dalam mulut. Menelan ludah yang sudah berada di bibir luar,
membatalkan puasa.
4. Tidak Wajib Qadla’ dan Tidak Wajib Denda: orang yang kehilangan akal (gila).
Denda yang dimaksud di sini adalah Fidyah. Adapun fidyah yang mesti
dikeluarkan sebesar 1 mud (sekitar 6 ons) per hari, berupa makanan pokok di daerah
setempat.
IV. Mengikuti Sunnah Nabi dan Sahabat
A. Pendahuluan
Semasa Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, jika terjadi
perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin (Sahabat), langsung bisa diselesaikan karena
bisa langsung menanyakan dan meminta solusi kepada Rasulullah.
Tetapi sepeninggal Rasulullah, penyelesaian seperti itu tentu tidak bisa ditemukan lagi.
Perbedaan pendapat, pertentangan dan permusuhan antara satu dengan lainnya, tak dapat
dielakkan.
Namun sesungguhnya, pada mulanya, pertentangan atau persengketaan yang muncul adalah
akibat ‘imamah, bukan persoalan akidah. Dari situ, kemudian merambah ke wilayah agama.
Terutama tentang hukum orang Muslim yang berbuat doa besar dan statusnya ketika ia mati,
apakah mukmin atau kafir.
Dari situ, pembicaraan tentang akidah pada masa berikutnya, meluas pada persoalan Tuhan
dan manusia. Terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Demikian juga
tentang sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, dan kemakhlukan al-Quran.
Terjadinya perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang sangat tajam, lahirlah dua
kelompok moderat yang berusaha mengompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian
dinamakan Ahlus Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja).
Dua kelompok itu adalah:
a. Al-Asy’ari, yang didirikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260
H dan wafat di Baghdad 324 H).
b. Maturidiyah. Didirikan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi (lahir di Samarkand,
wafat 333 H).
B. Berakidah Aswaja