Anda di halaman 1dari 4

Jika Kamu Hanya Angan Semata

Sudah satu minggu sejak kejadian itu, aku masih ingat bentuk awan, senja kala
itu. Aku yang sudah lama memendam rasa padamu mencoba memberanikan diri untuk
mengutarakannya. Kamu malah sibuk dengan memandangi langit tanpa menghiraukanku.

“Bebe lihat deh, langitnya cantik banget kan,” kata kamu tanpa melihatku.

“Iya cantik namun tidak bisa digapai,” Aku malah melihat kearahmu. Seketika kamu
menoleh beberapa detik mata kita bertemu. Aku melihat mata itu sangat indah.

“Maksud kamu Be?”

Aku berdehem. “Itu langitnya cantik sulit untuk digapai, tinggi bukan?” jawabku sambil
menunjuk kearah langit.

Ada rasa sesal didadaku, aku menyesal terlalu pengecut didepanmu. Padahal satu
minggu sebelum kita bertemu aku sudah berlatih tiap hari didepan cermin untuk
mengutarakan rasa yang sudah lama aku pendam. Sejak kejadian itu kini kita jarang
berkomunikasi, atau hanya sekedar menanyakan kabar lewat pesan singkat. Aku hanya
berpikir positif, mungkin kamu lagi sibuk kuliah.

Hari minggu aku hanya uring-uringan di kamar sesekali menatap kearah jendela
sambil menerawang tanpa arah. Hari ini hujan cukup deras aku malah membiarkan
jendela kamarku terbuka lebar. Entahlah, aku hanya menginginkan nuansa dinginya air
hujan masuk ke kamarku. Bagiku hujan kali ini adalah hujan penyesalan. Menyesal
karena aku terlalu pengecut, sebab aku terlalu takut akan kehilangannya.

Ku hempaskan badanku diatas kamar masih membiarkan jendela kamarku


terbuka lebar. Mataku tertuju pada tumbukan buku tugas yang belum ku lirik sama sekali.
Aku menghela nafas kasar. Sepertinya aku harus mengesampingkan cinta terlebih dahulu
untuk cita-cita. Dengan seegala kekuatan yang masih aku miliki ku kerahkan tenaga
memulai mengerjakan tumpukan tugas satu-persatu berharap akan selesai.

Belum beberapa minit aku mengerjakan tugas ponselku berdering. Tertera


dengan nama Raina. Aku berpikir sejenak, satu minggu tanpa kabar darinya. Ini pertanda
apa batinku.

“Hallo, Be” terdengar suara sayup isak tangis diseberang. Seperti terdengar suara hujan.
“Iya, kamu kenapa Na?” tanyaku yang mati akan penasaran. Apa wanita itu baik-baik
saja, pikirku semakin kalut. Isak tangisnya semakin jelas terdengar, ini sungguh
membuatku khawatir.

“Aaa... ku taa... kut Be”

“Raina, halooo Raina kamu dimana sekarang” Raina berhasil membuatku panik, aku
takut ada hal buruk terjadi padanya. Jika ini hanya prank semata sumpah aku akan benar-
benar marah. Pikiranku semakin kalut, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Aaa... ku di halte dekat kampus Be, kamu cepat kesini aku takut, ahhhhhh” suara
teriakan ketakutan terdengar dari seberang sana.

“Iya aku kesana sekarang kamu akan baik-baik saja, tunggu aku” tanpa berpikir panjang
lagi aku menutup leptopku secara kasar dan mengambil jeket yang tergantung di balik
pintu kamar.

“Beee mau kemana hujan lebat gini?” tanya salah satu teman kosku aku tidak
menggubrisnya sedikitpun. Kunyalakan motor metik dan ku gas sekencang mungkin.
Hujan saat ini benar-benar tidak bersahabat, seakan ia menumpahkan segala bebannya.
Belum beberapa menit aku pergi seluruh pakaianku sudah basah kuyup.

Aku melihat Raina yang duduk termenung menatap air hujan yang berjatuhan.

Aku memberhentikan motorku tepat didepannya.

“Kamu kenapa Na?” tanyaku sembari bangkit dari atas motorku dan menuju
ketempatnya. Tanpa ada jawaban, Raina langsung memeluk tubukku yang basah kuyup.
Sontak perlakuannya ini membuat detak jantungku berpacu dua kali lipat. Aku bingung
harus bersikap seperti apa, akhirnya dengan segala kekuatan aku beranikan membalas
pelukannya. Kini dingin seketika hilang, ada rasa hangat yang menjalar keseluruh
tubuhku.

“Aku takut, aku takut Be”

“Hust” ucapku sambil mengelus rambutnya. “Sudah ada aku disini, kamu sekarang
aman” lanjutku.

“Kamu ngapain disini sendirian?” tanyaku, setelah Raina merasa aman.


“Aku menanti bus, tapi gak ada yang lewat” tatapannya masih kosong. Aku
menggosokkan kedua telapak tangangu dan menghembuskannya. Tiba-tiba saja Raina
menarik tanganku menggenggamnya kuat.

“Maaf aku memintamu datang kesini hujan-hujanan” Dia menatapku.

“Gak papa kok Na” kataku sambil memegang tangannya dengan tanganku yang satunya.

“Kamu kenapa tadi berteriak?”

“Aku takut sendirian, aku takut hujan tadi ada gemuruh”

“Gak usah takut” aku kembali mengelus rambutnya. “Langian kamu aneh deh, kok takut
sama hujan?” tanyaku.

“Aku takut hujan nanti ada petir dan gemuruh”. Aku tersenyum padanya seolah
mengisyaratkan semuanya akan baik-baik saja.

“Dingin ya?”

“Awalnya sih iya dingin, tapi selepas kamu peluk rasanya hangattt, ck” ucapku berhasil
membuat pipi Raina bersemu kemerahan.

“Aww sakit” Pekikku saat Raina mencubit perutku.

“Aku mau kok”

“Mau? Kamu mau apa Na?”

“Aku mau jadi pacar kamu” aku tertegun mendengar ucapan Raina barusan, berasa
nyawaku hilang seketika.

“Aku tau kok Be kamu selama ini menyimpan rasa, aku juga tau kamu malu buat
ngungkapinnya, kamu pasti berpikir aku akan menolak kan? Ada jeda sedikit. “Maaf ya
Be akhir-akhir ini aku menghindar dari kamu, aku hanya ingin memastikan bahwa apa
yang aku rasa benar adanya”

Aku menariknya naik keatas motorku. Membiarkan air hujan membasahi kami
berdua. menelusuri jalanan sepi menikmati setiap tetes air hujan yang berjatuhan. Hujan
kali ini bukanlah penyesalan melainkan menjadi saksi bahwa kamu telah menjadi milikku
seutuhnya. Aku kira selama ini kamu hanya angan semata ternyata kamu benar nyata.

“Rainaaaa pengangan yang kuat yaa”

“Okeee”
Bionarasi

Afrila Fauza, 15 April 2001. Saat ini bertempat tinggal di Sumatera Barat,
Padang, Pasaman Barat, Simpang Empat, Sungai Beremas, Air Bangis, Silawai Tengah.
Hobi sehari-hari rebahan sambil mikirin masa depan. Hobi dikala gabut, membaca dan
menulis. Kesibukan sehari-hari, sibuk bernafas.

Anda mungkin juga menyukai