Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TUTORIAL II

Nama : Yogi Afrian


NIM : 041603405
Kode/Mata Kuliah : HKUM4208 / HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Smt/Kls/Prodi : 5/A/S1-Ilmu Hukum
Tutor : Kurnisar, S.Pd.,MH

Soal dan jawaban :


1. Jelaskan yang dimaksud dengan? (20)
A. Poligami dan Poliandri?
Makna poligami dari pandangan etimologis, berasal dari kata yaitu Polus yang
berarti banyak dan gamos yang berarti kawin. Sementara terdapat istilah lain
yaitu poligini yang berasal dari kata Polus yang berarti banyak dan gene yang
berarti perempuan. Baik poligami maupun poligini dapat diartikan secara
etimologis sebagai suatu sistem perkawinan dimana cirinya adalah salah satu
pihak (suami) mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang
bersamaan. Selain poligami dikenal juga istilah poliandri. Poliandri adalah
suatu bentuk sistem perkawinan dengan ciri salah satu pihak (istri) memiliki
lebih dari seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Dalam praktiknya
poliandri hanya ditemukan pada suku bangsa tertentu seperti pada suku Tuda
dan beberapa suku dalam masyarakat Tibet. Dibandingkan dengan poliandri,
poligami lebih banyak dipraktikan dalam kehidupan masyarakat

B. Asas Equality Before the Law?


Dalam instrumen internasional, ketentuan tentang asas equality before the law
disebutkan di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 DUHAM, serta Pasal 14 ayat (1) dan
16 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Berdasarkan Pasal 6 DUHAM,
seseorang berhak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di mana pun ia
berada. Hal ini ditegaskan dan dilengkapi dalam Pasal 7 DUHAM yang
menyatakan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Semua orang
berhak untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk
diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala
hasutan untuk melakukan diskriminasi tersebut. Selain mengakui bahwa hak
persamaan di depan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia (tanpa
terkecuali dan tanpa diskriminasi), DUHAM juga melarang secara tegas
tindakan diskriminasi bagi perlindungan dan pemenuhan hak lain yang diatur
di dalam DUHAM. Dua ketentuan dalam DUHAM terscbut juga dinyatakan
kembali di Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyebutkan
bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan
pengadilan dan badan peradilan, sebagai pribadi di hadapan hukum di
manapun dia berada. Untuk menjamin kedudukan yang sama dalam mencapai
keadilan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk
umum, kecuali ada atasan lain yang harus diperhatikan dan memberikan
dampak lebih negatif jika dilakukan pemeriksaan secara terbuka, misalnya
atasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
masyarakat yang demokrati s, atau apabila dituntut oleh kepentingan
kehidupan pribadi para pihak, atau apabila benar-benar diperlukan menurut
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan
merugikan kepentingan keadilan sendiri. Meskipun pers idangan dilakukan
secara tertutup, setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun
perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana
kepentingan anak anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan
tersebut berkenan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.

C. Kekebalan Hukum (Impunity)?


Kata “impunity” yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan
padanannya dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa
kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia (HAM) menggunakan
kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini sendiri
juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari.
Kata “impunity” sendiri berasal dari bahasa Latin “impunitas” yang berasal dari
akar kata “impune” yang artinya ‘tanpa hukuman’. Seiring dengan kemajuan
sistem hukum dan tata negara, definisi “impunity” dalam kerangka hukum
internasional di sini adalah “ketidakmungkinan -de jure atau de facto- untuk
membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan
kriminal, sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan
objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan,
penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan
hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban
mereka”.

D. Asas legalitas (principles of Legality)?


Salah satu prinsip fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas
(principles of legality), yakni adanya ketentuan undang-undang yang
merumuskan bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan kejahatan yang
menimbulkan sanksi pidana bagi orang yang melakukannya untuk dapat
menindak secara hukum tindakan yang telah dilakukan tersebut. Untuk dapat
dikatakan sebagai perbuatan kejahatan, perbuatan tersebut harus dirumuskan
dengan jelas dan cermat dalam ketentuan undang-undang. Tanpa adanya
perumusan yang menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu
perbuatan kejahatan, maka perbuatan yang dilakukan tidak dapat dikatakan
sebagai kejahatan dan oleh karena itu pula, pelaku perbuatan tersebut tidak
dapat dikenakan sanksi pidana.

2. Jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya Pernikahan dini di


Indonesia? (20)
Faktor yang pendorong praktik pemicu perkawinan anak di Indonesia.
a. Sosial
Faktor sosial (28,5 persen) menjadi yang paling menonjol sebagai pendorong
kasus perkawinan anak, karena beberapa pengaruh berikut ini. Adanya
pengaruh lingkungan Perilaku berpacaran yang berisiko Tekanan orang tua
untuk mendapatkan cucu atau menantu Adanya desakan masyarakat sekitar
Mengikuti teman yang sudah menikah Hubungan tidak mendapatkan restu
orang tua Keinginan kuat dari anak sendiri untuk menikah Lingkungan sosial
dan kondisi geografis suatu wilayah seringkali berhubungan erat dengan
perkawinan anak. Di perdesaan, yang memiliki keterbatasan aksesibilitas
informasi, pendidikan, dan transportasi, banyak ditemukan kasus perkawinan
anak.
b. Kesehatan
Faktor kedua yang paling banyak menjadi pendorong meningkatnya kasus
perkawinan anak ini adalah faktor kesehatan. Faktor kesehatan ini dipicu oleh
kehamilan remaja, kondisi emosional dan mental remaja yang belum stabil,
pengetahuan yang terbatas tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas,
serta pola berpacaran remaja yang berisiko. Semua ini memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap perkawinan anak. Hal itu dilakukan sebagai
bentuk permintaan atau pertanggungjawaban moral dari pasangan anak
tersebut, sekaligus menyelamatkan martabat dan harga diri keluarga.
c. Pola asuh keluarga
Faktor berikutnya yang mendorong kasus perkawinan anak adalah pola asuh
keluarga. Pola asuh dalam keluarga erat kaitannya dengan kejiwaan anak
yang dapat berdampaknya pada keputusan anak terhadap hidupnya. Anak
korban perceraian orang tuanya berpotensi mengalami gangguan kejiwaan.
Dalam situasi seperti ini, anak kemudian mencoba mencari tempat nyaman di
luar rumah, seperti di rumah teman, di rumah pacar hingga akhirnya
memutuskan menikah. Anak yatim atau yang tidak tinggal dengan keluarga
dekat atau walinya sehingga kurang mendapat perhatian dan pengasuhan
layak, sehingga rentan melakukan tindakan beresiko termasuk perkawinan
anak. Anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya, termasuk sikap orang tua yang acuh terhadap perkembangan
anaknya sehingga mengakibatkan anak kurang memiliki motivasi untuk
melakukan hal-hal yang positif dalam kehidupannya. Anak dengan orang tua
yang memiliki pola pikir dan pengasuhan yang terlalu kaku dan mempunyai
kekhawatiran yang berlebihan terhadap pergaulan anak. Pola pikir orang tua
seperti ini kemudian cenderung mendorong anak melakukan praktik
perkawinan anak demi menghindari potensi dampak negatif dari pergaulan
anaknya.
d. Ekonomi
Faktor ekonomi dapat mendorong orang tua atau keluarga untuk
mengawinkan anaknya di usia dini. Sebagian orang tua terobsesi untuk
memperbaiki perekonomian rumah tangga dengan menjodohkan anak saat
masih berusia di bawah 19 tahun dengan harapan untuk mengurangi beban
pengeluaran ekonomi keluarga.
e. Kemudahan akses informasi
Faktor lainnya adalah peningkatan penggunaan internet dan media sosial
(medsos) yang semakin pesar, terutama di kalangan anak dan remaja, telah
menyebabkan perubahan gaya komunikasi dan interaksi sosial di antara anak
dan remaja.
f. Adat dan budaya
Adat dan budaya dapat disalahartikan di suatu komunitas yang kemudian
membentuk semacam stigma, nilai, dan kepercayaan dan pelabelan sosial
bagi anak yang belum menikah. Sehingga, ada tekanan kepada anak
perempuan dengan berbagai label seperti "perawan tua"atau "perempuan
tidak laku" yang mendorong keluarga besar untuk segera mengawinkan anak
meraka di usia dini (anak). Selain itu, adanya berbagai perspektif salah
satunya seperti "lebih baik menikah muda kemudian bercerai daripada tidak
laku" ini juga mendorong orang tua segera menikahkan anak mereka yang
masih dini.
g. Pendidikan
Seperti yang telah disebutkan dalam beberapa faktor-faktor pemicu
perkawinan anak di atas, pengaruh utama yang banyak berkaitan adalah
mengenai edukasi atau pendidikan. Nah, faktor pendidikan sendiri juga dapat
menjadi penyebab meningkatnya risiko terjadinya perkawinan anak.
Pendidikan memengaruhi pengetahuan, informasi, edukasi, dan komunikasi
terkait dampak perkawinan anak baik dari sisi orang tua maupun anak. Orang
tua dengan pendidikan terbatas, cenderung memiliki pengetahuan yang
rendah pula terhadap dampak perkawinan anak.
h. Agama
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dimana memiliki nilai,
keyakinan, dan panduan mengenai tata cara perkawinan. Perkawinan dapat
dilakukan apabila seorang muslim (lakilaki maupun perempuan) telah
memasuki usia remaja yang ditandai dengan perubahan fisik yang disebut
dengan istilah “akhil baliq”

3. Jelaskan pengertian masing-masing sub hak dalam hak atas keadilan? (25)
a. HAK UNTUK MEMPEROLEH KEADILAN TANPA DISKRIMINASI
Asas fundamental yang dimiliki oleh seseorang saat berhadapan dengan
hukum atau pengadilan adalah persamaan kedudukan di depan hukum
(Equality Before the Law). Tanpa melihat latar belakang, kedudukan, ras,
agama, dan golongan tertentu, semua mendapat hak dan kesempatan yang
sama dalam meminta perlindungan hukum dan memperoleh keadilan. Secara
tegas perlindungan atas hak ini dinyatakan kembali dalam beberapa undang-
undang di Indonesia seperti Pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang menyebutkan bahwa "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang" atau Penjelasan Umum KUHAP yang
mencantumkan bahwa perlakuan yang sama terhadap setiap orang di muka
hukum dengan tidak membedakan perlakuan, sebagai salah satu asas yang
dianut.
b. HAK UNTUK TIDAK DIANGGAP BERSALAH, SAMPAI ADA PUTUSAN
PENGADILAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP (BHT)
Hak untuk dianggap tidak bersalah atau dikenal juga sebagai asas
"presumption of innocence", adalah suatu prinsip yang penting dalam hukum
acara pidana, yang timbul dari pengakuan terhadap prinsip legalitas dan yang
menyatakan bahwa seorang tertuduh harus dipandang tidak bersalah sampai
ada bukti tentang kesalahannya. Asas ini megandung unsur kepercayaan
terhadap proses hukum dalam negara hukum, dan merupakan suatu
perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dalam suatu
negara, yang berpendapat bahwa setiap orang itu dipandang salah, hingga
terbukti bahwa ia tidak bersalah.
c. HAK UNTUK TIDAK DITUNTUT ATAS DASAR HUKUM YANG BERLAKU SURUT
Salah satu prinsip fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas
(principles of legality), yakni adanya ketentuan undang-undang yang
merumuskan bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan kejahatan yang
menimbulkan sanksi pidana bagi orang yang melakukannya untuk dapat
menindak secara hukum tindakan yang telah dilakukan tersebut. Untuk dapat
dikatakan sebagai perbuatan kejahatan, perbuatan tersebut harus
dirumuskan dengan jelas dan cermat dalam ketentuan undang-undang.
Tanpa adanya perumusan yang menentukan bahwa perbuatan tersebut
adalah suatu perbuatan kejahatan, maka perbuatan yang dilakukan tidak
dapat dikatakan sebagai kejahatan dan oleh karena itu pula, pelaku
perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana.

d. HAK UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM


Walaupun tidak setiap warga masyarakat berscntuhan langsung dengan
sistem peradilan, tetapi mereka perlu diberi pengetahuan bahwa hukum dan
kelembagaannya menghargai hak-hak mereka dan seluruh lembaga itu dapat
bertanggung jawab kepada masyarakal. Ketentuan ini tidak perlu terhambat
karena mahalnya biaya dan kerumitan sistem arau faktor Lain. Keadilan dan
kemampuan untuk memberdayakan masyarakat harus tersedia untuk warga
masyarakal tanpa adanya diskriminasi. Secara umum pengertian bantuan
hukum adalah seseorang yang mewakili orang lain di depan hukum, memberi
nasihat dan bantuan, biasanya dilakukan oleh penasihat hukum, atau
pengacara. Pengertian yang lebih khusus di samping mewakili maka ia
menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan di depan hukum. Dalam keadaan
tertentu warga masyarakat dapat menuntut Pemerintah untuk membayar ahli
hukum yang mewakilinya di pengadilan. Di beberapa negara, bantuan hukum
selalu tersedia bagi penggugat yang tidak mampu secara finansial.
e. HAK UNTUK TIDAK DITUNTUT KEDUA KALINYA DALAM PERKARA YANG
SAMA
Asas ini dikenal juga dengan nama "ne bis in idem" yang berarti seseorang
tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam hal yang sama. Dengan kata
lain, proses hukum yang ditempuh untuk seseorang dalam suatu kasus,
hanya berlaku satu kali. Dengan demikian, apapun putusan hakim untuk
kasus tersebut harus diterima sebagai suatu putusan terakhir yang telah
memiliki kekuatan mengikat. Ketidakpuasan salah satu pihak, tidak dapat
'disembuhkan' dengan cara menuntut kembali orang tersebut dalam kasus
yang sama. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 76 KUHP, asas "ne bis in
idem" ini memiliki kriteria sebagai berikut:
- Orang yang dituntut haruslah orang yang sama;
- Perbuatan pidana yang dilakukan adalah perbuatan yang sama;
- Terhadap perbuatan yang sama tersebut telah dijatuhi putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
f. HAK DAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI
Saksi memegang peranan penting dalam hal pembuktian di sistem peradilan
-terutama peradilan pidana, keberadaannya sangat diperlukan. Selain dapat
menjelaskan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan bidang keilmuan
yang dimiliki, keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan dapat
memperjelas kedudukan suatu perkara atau memberi petunjuk kepada hakim
untuk memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu, keberadaan saksi sangat
diperlukan dalam menyelesaikan suatu perkara.
4. Jelaskan kasus terhadap tewasnya seorang tersangka kasus JIS di tinjau dari
hak atas rasa aman dan pihak manakah yang dianggap melakukan pelanggaran
HAM dalam kasus tersebut? (35)

Dari kasus pelecahan yang terjadi di JIS (Jakarta International School) ini jelas
para pelaku melanggar hak atas rasa aman dan melanggar HAM seperti
dijelaskan dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memuat
hak atas kebebasan pribadi ini yang terangkum dalam Pasal 28A-28J tentang Hak
Asasi Manusia. Sebelum hak ini menjadi bagian Amandemen UUD 1945, Pasal 4
Undang-Undang HAM merumuskan bahwa hak kebebasan pribadi meliputi hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kcbebasan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Undang-Undang HAM mengelompokkan penjabaran hak atas
kebebasan pribadi secara jelas dan sistematis mulai dari Pasal 20-27 sebagai:
- Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20);
- Hak atas keutuhan pribadi (Pasal 21 );
- Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22);
- Kebcbasan atas keyak:inan politik dan mengeluarkan pendapat termasuk
hak mogok (Pasal 23-25);
- Hak atas status kewamegaraan dan kebebasan untuk masuk dan
meninggalkan Indonesia (Pasal 26-27).

Selain pengelompokkan di atas, hak atas kebebasan pribadi juga dapat


diklasifikasikan ke dalam dua macam hak, yaitu:
1) Hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogabte rights), terdiri dari:
a. Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20);
b. Hak atas keutuhan pribadi (Pasal 21 );
c. Hak untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22);
d. Hak atas keyakinan politik (Pasal 23 ayat (l) dan Pasal 24 ayat (1)
2) Hak yang dalam keadaan atau situasi khusus dapat dikesampingkan/tidak
perlu dipenuhi (derograble rights), terdiri dari:
a. Hak mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat (Pasal 23
ayat (2));
b. Hak untuk mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau
organisasi lainnya, hak menyampaikan pendapat di muka umum termasuk hak
mogok (Pasal 25);
c. Hak kewarganegaraan dan hak untuk berpindah keluar dan masuk Indonesia
(Pasal 26 dan Pasal 27). Kelompok hak yang pertama, yakni nonderagable rights,
merupakan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun. Negara dilarang untuk membuat ketentuan atau perbuatan yang dapat
menyebabkan distorsi pemenuhan hak-hak dimaksud. Karena itu hak hak ini
biasa juga disebut negative rights (walaupun penggunaan istilah ini tidak
sepenuhnya benar). Alasan utama penyebutan istilah tersebut adalah untuk
menghormati hak-hak dimaksud, dalam hal ini negara berkewajiban untuk
berbuat sesuatu bagi pemenuhan atas hak-hak tersebut yang dituangkan dalam
berbagai kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga formal negara. Hak-hak
yang masuk ke dalam kategori kedua tidak sepenuhnya non-derogable karena
negara berwenang untuk menentukan batasan-batasan pemenuhan hak tersebut
melalui berbagai kebijakan yang tertuang dalam perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai