Anda di halaman 1dari 3

T Freeport-Rio Tinto: Lambang Kejahatan Kemanusiaan atas Papua Barat adat telah dirampas dan kemakmuran rakyat disedot.

telah dirampas dan kemakmuran rakyat disedot. Rakyat Papua sungguh tidak memiliki hak hukum, politik,
Sejarah masuknya Freeport di Papua Barat adalah sejarah kelam atas Manipulasi Politik terhadap PEPERA yang dan sumber daya ekonomi atas penyingkiran itu. Pembangunan ekonomi dan integrasi nasional telah membuat
tidak adil, Pencurian Sumber Daya Alam Papua, Perampasan Hak Adat, Pelanggaran HAM, Perusakan Papua seperti daerah jajahan atau pendudukan bagi aparat dan segelintir elit di Indonesia, menjadi miskin dan
Lingkungan dan Pembunuhan Nilai-nilai Demokrasi yang merupakan bentuk nyata dari sebuah PENJAJAHAN!!! minoritas yang lemah di atas Tanah Papua sendiri.
-----------------------------------------------------
Freeport-Rio Tinto dan Pelanggaran HAM rakyat Papua. Setiap pengembangan pertambangan Freeport Indonesia, terjadi gangguan lebih jauh terhadap kehidupan rakyat
Papua, khususnya Amungme dan tujuh suku lainnya diseputar areal pertambangan PT.Freeport Indonesia.
Manipulasi politik yang terjadi antara Multi National Coorparaion (MNC) terhadap negara-negara dunia ketiga Contoh, pada tahun 1980, pemerintah Indonesia dan Freeport menempatkan beberapa warga Amungme di
menjadi sebuah kenyataan sejarah yang saat ini telah menunjukan betapa buruknya peran enonomi kapitalistik sebuah dataran rendah dan mendorong mereka melakukan budi daya tanam yang jauh dari daerah asal. Hanya
terhadap situasi politik, situasi social-budaya, perusakan lingkungan hidup dan situasi pelanggaran Hak Azasi beberapa tahun setelah penempatan itu, 20% dari anak-anak Amungme meninggal karena penyakit malaria.
Manusia terhadap rakyat di negara-negara tersebut. MNC memiliki peran dalam hal mempengaruhi kebijakan Sebabnya, sebagai penghuni dataran tinggi, mereka memiliki kerentanan terhadap penyakit yang ada di dataran
sebuah regime yang berkuasa dan bahkan mendikte kehendak-kehendak ekonomi-politiknya kepada negara-negara rendah. Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan Amungme tidak pernah dimonitor dan ditelaah.
tersebut. Adalah AS dan Uni Eropa yang secara ekonomi dan politik saat ini sedang merajai pasar modal
internasional dengan konsepsi pasar modal atau yang lebih sering disebut sebagai jamannya Neo-Liberalisme. Keterlibatan PT. Freeport-Rio Tinto dalam menyediakan fasilitas bagi pelaku pelanggaran HAM di Mimika,
Oleh karena itu, sebagai salah satu Multi National Coorporation (MNC) yang ada di Indonesia, PT.Freeport-Rio telah dibuka oleh Uskup Muninghof tahun 1995. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
Tinto juga hadir dengan membawa semua petaka politik, ekonomi dan HAM bagi rakyat Papua. segera membentuk tim untuk meneliti kebenaran laporan itu. Tapi, negara tidak pernah menggunakan
kekuasaanya untuk memberi sanksi pada pelaku pelanggaran HAM termasuk PT. Freeport-Rio Tinto yang
Sejak 1962, melalui New York Agreement, sudah jelas terlihat kepentingan ekonomi-politik Barat (AS) sangat menyediakan sarananya.
berperan secara politis terhadap upaya memasukan Papua ke wilayah Indonesia dengan jaminan terhadap
pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua yang kaya mineral, pertambangan, energi dan kehutanan serta Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tatanan adat, perusakan dan penghancuran ibu bumi,
perikanan. Melimpahnya cadangan tembaga, emas, gas alam dan uranium, menjadikan negara-negara dunia perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang
pertama (AS dan UE) memiliki kepengtingan langsung terhadap wilayah-wilayah tertentu yang memiliki Sumber Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua, dimana operasi tambang Freeport
Daya Alam melimpah, dalam konteks ini Papua memiliki makna ekonomi dan politik yang kemudian harus berlangsung. Tidak heran jika frekuensi protes terus dilakukan rakyat Papua untuk menentang ketidakadilan
menjadi korban keserakahan negara-negara barat dengan pemerintah Indonesia sebagai komprador nomor wahid. yang rakyat Papua rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu kontributor menguatnya tuntutan merdeka rakyat
Papua dari Republik Indonesia adalah akumulasi kemarahan rakyat Papua terhadap kehadiran Freeport serta
Sejak tahun 1967 PT Freeport Indonesia telah menambang di Tembagapura, sudah 40 tahun lebih proses pencurian sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan itu.
hak rakyat Papua terjadi. Sejak tahun 1977 terjadi pelanggaran HAM secara sistematis yang dilakukan secara sadar
oleh pemerintah Indonesia (baca TNI) dengan dukungan penuh PT Freeport Indonesia. Untuk mendukung hal Freeport-Rio Tinto dan Bisnis Militer (TNI)
tersebut, pemerintah Indonesia lalu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, sejak tahun 1978 – 5
Oktober 1998, walau secara resmi DOM telah dicabut pada tahun 1998 tetapi kenyataan berbicara lain, TNI sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa, telah menjadi kaki tangan
penambahan pasukan, pembukaan lembaga-lembaga ekstra-teritorial baru di Papua dan pembunuhan terhadap regime bagi kepetingan kekuasaan. Jendral Soeharto memakai TNI dalam kekuasaan selama 32 tahun yang
tokoh Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay pada tahun 2001 adalah bukti nyata dimana represifitas TNI atas rakyat kemudian diakhiri dengan kebangkitan gerakan rakyat Indonesia pada tahun 1998, melalui proses reformasi,
Papua bukannya menyurut bahkan sebaliknya semakin meningkat intensitasnya. yang antara lain menuntut dikuranginya peran politik militer Indonesia atas sipil, pelanggaran HAM diberbagai
wilayah dan kebiasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada birokrasi pemerintahan. Sebagai instutusi
Hanya segelintir rakyat Papua yang diuntungkan. Lainnya hanya mendapat manfaat yang sedikit selama yang paling berpengaruh, TNI juga memiliki kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak-pihak
pembangunan konstruksi pada tahap awal. Akibatnya rakyat Papua, khususnya Amungme dan enam suku lainnya pemilik modal.
diseputar Freeport, melakukan pemberontakan karena frustasi pada tahun 1977 dan meledakkan jalur pipa,
pasukan keamanan melakukan penyerangan balik. Kebun-kebun dan rumah-rumah dihancurkan, beberapa orang Menurut PT Freeport-Rio Tinto, Freeport-McMoran Copper and Gold Inc., mencantumkan dalam laporannya,
Amungme dibantai dan dibunuh, berbagai kejadian ini hanya untuk mengenang sebuah peristiwa tahun 1977 di TNI/Polri maupun Pemerintah Indonesia selalu meminta perusahaan yang berada di wilayah Timika tersebut,
sekitar lokasi Freeport. Secara resmi pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa jumlah orang yang meninggal menyediakan dukungan logistik dan infrastruktur mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan pembangunan di
pada peristiwa 1977 di Tembagapura adalah sebanyak 900 jiwa, tetapi angka dilapangan menunjukan data dua kali Papua. Tahun lalu, dana yang telah disetor PT Freeport-Rio Tinto untuk TNI mencapai Rp 50 milyar. Tahun
lipat lebih banyak dari angka-angka resmi pemerintah Indonesia tersebut. 2001, mencapai Rp 41 milyar untuk 2300 personel. (Baca Harian Kompas: Jumat, 14 Maret 2003, 12:05 WIB).
Belakangan diperoleh informasi terbaru bahwa pada tahun 2003, TNI sebagai institusi, menerima dana
Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dan Freeport soal kejadian tahun 1977 itu? Retorika mereka tetap operasional bagi pengamanan PT. Freeport-Rio Tinto sebanyak Rp. 50 Milyar. Sebuah nilai uang yang
saja sama, yakni dengan menekankan pentingnya integrasi nasional dan pembangunan ekonomi di Papua. Integrasi fantastis.(1)
nasional? Arti sebenarnya dari itu adalah sebuah invasi dan dominasi orang kuat dari luar di Papua. Ekonomi
pembangunan? Artinya itu adalah pendudukan, pemaksaan dan pencurian sumber daya rakyat Papua yang PT Freeport-Rio Tinto (PTFI), tahun 2002, mengeluarkan biaya sebesar 7 juta dollar AS untuk dukungan
kemudian dimanifestasikan dengan pelanggaran-pelanggaran HAM rakyat Papua yang berada diseputar daerah penyelenggaraan keamanan di perusahaan pertambangan itu. Tahun sebelumnya, mereka mengeluarkan biaya
konsesi Freeport Indonesia. sebesar 5,8 juta dollar AS. Anggaran itu dialokasikan untuk prasarana, pengadaan pangan dan kantin,
perumahan, bahan bakar, perjalanan, perbaikan kendaraan, tunjangan untuk menutup biaya-biaya insidentil dan
Ekonomi pembangunan dan integrasi nasional adalah bungkus dari program pengayaan dan penguatan aparat administrasi, serta program bantuan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh TNI dan Polri. Kepala Dinas
keamanan dan perusahaan transnasional seperti Freeport. Hasil dari program itu adalah kemakmuran luar biasa Penerangan Umum Puspen TNI Letkol (Inf) DJ Nachrowi menyatakan bahwa dana sebesar 7 Juta Dolar AS
pihak luar, yang di sisi lain adalah juga kemiskinan luar biasa bagi rakyat Papua dan tentu saja pemerkosaan yang disebutkan oleh manajemen PT.Freeport-Rio Tinto itu belum termasuk uang saku yang diberikan kepada
terhadap hak-hak rakyat Papua oleh TNI sebagai alat Negara Indonesia yang difasilitasi secara utuh oleh PT. setiap petugas keamanan sebesar Rp 350.000 per bulan. Untuk pengamanan PTFreeport-Rio Tinto, TNI
Freeport-Rio Tinto. menugaskan satu batalyon (sekitar 700-800 personel) prajuritnya, belum ditambah satuan-satuan an organik
dari TNI yang ditempatkan disana, secara keseluruhan jumlah personil TNI yang berada di Tembagapura
Yang kehilangan adalah penduduk asli Melanesia di Papua, termasuk warga Amungme. Lahan-lahan hak ulayat (seputar daerah Konsesi PT.Freeport-Rio Tinto) adalah sebanyak 3000 personil.
Freeport-Rio Tinto dan Perusakan Lingkungan Tiga bulan setelah diundangkannya UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah serta
merta bertindak sebagai badan hukum privat menandatangani Kontrak Karya pertambangan dengan Freeport
PT. Freeport-Rio Tinto telah merubah bentang alam. Gunung Yet Segel Ongop Segel (Grasberg) jadi lubang Indonesia Incorporated, suatu perusahaan asing yang didirikan dibawah ketentuaan hukum negara bagian
raksasa sedalam 700 m, padahal gunung ini dikiaskan sebagai kepala ibu bagi Suku Amungme, yang sangat Delaware, Amerika Serikat. Kontrak Karya yang ditandatangani pada bulan April 1967 ini yang kemudian
menghormati wilayah keramat itu. Danau Wanagon, sebagai danau suci orang Amungme juga hancur, karena dikenal dengan sebutan Kontrak Karya Generasi ke I.
dijadikan tumpukan batuan limbah (overburden) yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga
badan sungai utama di wilayah Mimika, yaitu Sungai Aghawagon, Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa sebagai Kontrak Karya tersebut dibuat sebelum penentuan pendapat rakyat Papua untuk bergabung dengan Indonesia
tempat pembuangan tailing (limbah pasir dan hasil produksi). Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap (PEPERA). Kontrak Karya juga dibuat sebelum dunia internasional mengakui Papua Barat menjadi bagian dari
harinya ke Sungai Aghawagon, yang kemudian akan mengalir memasuki Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa. Indonesia. Terlepas dari polemik sah tidaknya PEPERA dan proses penggabungan Papua ke wilayah Indonesia,
Partikel tailing yang tidak mengendap di kemudian ikut mengalir sampai ke Laut Arafura. Dari sebuah studi tetapi fakta di Papua hingga saat ini sebagian besar rakyat Papua tidak mengakui intergrasi Papua ke wilayah
menggunakan citra satelit Landsat-TM ditemukan bahwa pada tahun 2000, tailing dari operasi pertambangan Indonesia dan masih terus melakukan perlawanan terhadap pengoperasian PT. Freeport-RioTinto.
tersebut telah mengkontaminasi wilayah daratan seluas 35.820 hektar, sementara Laut Arafura telah
terkontaminasi seluas 84.158 hektar. Pengiriman Team 100 dibawah pimpinan Thom Beanal pada awal Tahun 1999 untuk meminta kemerdekaan
Papua kepada Presiden BJ Habibie, Musyawarah Besar (Mubes) Tahun 2000 yang diorganisir oleh Lembaga
Pada tanggal 4 Mei 2000 terjadi longsoran tumpukan batuan limbah di tempat pembuangan di Danau Wanagon Musyarah Adat (LMA) Papua sampai pada pelaksanaan Kongres Nasional Papua Ke-II pada Tgl 29 Mei – 4
yang menewaskan 4 pekerja sub-kontraktor Freeport. Kejadian jebolnya Danau Wanagon ini adalah yang ketiga Juni 2000 di Jayapura dimana semua komponen rakyat Papua bersatu dan menyatakan sikap politiknya dan
kalinya, sejak kejadian Juni 1998 dan luapan lumpur akibat gempa tanggal 20-21 Maret 2000. Penggunaan Danau beberapa hasil-hasil resolusinya adalah bukti dimana rakyat Papua telah muak dengan neo-kolonialisme di
Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah batuan sejak awal memang tidak memenuhi syarat, karena daya bawah todongan senjata dan juga keserakahan multi national coorporation Freeport-RioTinto yang terus
dukungnya yang tidak mampu menerima tumpukan limbah batuan dari produksi harian PTFI yang berskala lebih mencengkeram dan menggerogoti isi bumi Papua Barat diatas penderitaan rakyat Papua sebagai pemilik
dari 200.000 ton per hari, bahkan akan ditingkatkan sampai 300.000 ton per hari. Kerentanan daerah tersebut juga sahnya.
sangat tinggi yang disebabkan oleh aktivitas seismic serta curah hujan yang mencapai 3-6 meter per tahun. Resiko
lingkungan yang begitu besar ini sesungguhnya sudah diketahui PTFI sebagaimana tercantum dalam dokumen Dengan demikian, sejak awal hingga saat ini, rakyat Papua tetap berpendirian bahwa Kontrak Karya
AMDAL, namun hal ini seolah diabaikan dengan menerapkan pengelolaan lingkungan yang tidak memadai. pertambangan Freeport-RioTinto tidak sah karena dibuat oleh PIHAK YANG TIDAK BERDAULAT ATAS
WILAYAH YANG DIPERSENGKETAKAN. Selain itu Kontrak Karya penambangan Freeport-RioTinto juga
Selain memiliki resiko lingkungan yang begitu tinggi, danau yang tadinya begitu cantik dan sangat khas ini, dibuat tanpa ada keterlibatan sedikitpun rakyat Papua. Tidak ada diskusi, pelibatan/peranserta, bahkan tidak ada
sesungguhnya juga memiliki nilai keramat bagi suku Amungme. Danau Wanagon bagi masyarakat Amungme konsultasi untuk mendengar pendapat rakyat Papua atas rencana kegiatan penambangan PT. Freeport-RioTinto
merupakan isorei (rumah laki-laki), yaitu tempat bersemayamnya arwah-arwah suku Amungme yang sudah yang akan beroperasi diatas Tanah Papua tersebut.
meninggal dunia. Sehingga apabila danau tersebut dirusak secara otomatis merusak dan membunuh manusia yang
berada di situ. Mereka meyakini pula bahwa selama ini isorei pula yang memberkahi mereka hingga selalu Dalam konsideran salinan Keputusan Presidium Kabinet No. 82/EK/KEP/4/1967 pada diktum mengingat
memperoleh rejeki atau keberuntungan. Sehingga dengan dijadikannya tempat pembuangan limbah batuan, terlihat bahwa landasan utama pembuatan Kontrak Karya penambangan Freeport Indonesia adalah UU No. 1
otomatis nilai keramat tersebut akan tercemar. Dengan demikian penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan bukan ketentuan tentang pertambangan yang saat itu berlaku
penimbunan limbah batuan telah melanggar Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di di Indonesia. Padahal masa itu ada ketentuan pertambangan yang seharusnya dihormati oleh pemerintah. Dan
Negara-negara Merdeka. dalam ketentuan pertambangan saat itu, Indonesia tertutup bagi investasi pertambangan asing.

Insiden serupa terjadi pada tanggal 9 Oktober 2003 yang lalu, dimana kali ini longsor terjadi di daerah tambang Pada bulan Desember 1967 diundangkan UU No 11 tahun 1967 tentang pertambangan yang salah satu pasalnya
terbuka Grasberg. Pada insiden ini 8 orang pekerja harus kehilangan nyawa. Insiden-insiden tersebut seharusnya mengatur tentang investasi asing dalam bidang pertambangan. Namun pemerintah dan PT Freeport-Rio Tinto
merupakan dasar bagi pemerintah untuk memberikan sanksi berat bagi PTFI atas kelalaian yang telah tidak segera melakukan perbaikan kontrak karya yang merujuk pada ketentuan baru yang seharusnya dihormati
menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Pernyataan PTFI yang ‘menyalahkan’ kondisi cuaca tidak dapat oleh kedua belah pihak.
dijadikan dasar alasan PTFI untuk menghindari sanksi tindak pidana lingkungan, karena sesungguhnya kondisi
alam tersebut sudah diketahui oleh PTFI. Kewajiban mutlak yang tidak dicantumkan dalam Kontrak Karya penambangan PT Freeport-Rio Tinto antara
lain: kewajiban FI mengelola dan memelihara lingkungan hidup sesuai standard internasional; tidak ada
Dari sudut pandang lain, kapasitas produksi PTFI yang luar biasa besar juga menjadi penyebab semakin buruknya penghitungan dan pengenaan nilai harga atas mineral yang seharusnya menjadi asset penduduk lokal; tidak ada
kualitas lingkungan karena daya dukung lingkungan setempat tidak mampu menenggang beban pencemaran yang kewajiban membayar royalti; tidak ada kewajiban untuk membayar pajak lingkungan; tidak ada ketentuan mine
disebabkan oleh operasi PTFI. closure; tidak ada kewajiban untuk bekerja sama dengan penduduk lokal. Secara sadar pemerintah telah
menempatkan posisi yang lebih rendah dari PT Freeport-Rio Tinto dalam Kontrak Karya yang ditandatangani.
Kontrak Karya (Contract of Work) yang Tidak Adil
Dari berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia, terutama UU Penanaman Modal Asing
Sejak awal, pemerintah Indonesia bersikap oportunis dan bahkan mendukung Kontrak Karya Freeport-Rio Tinto (PMA) dan pemulusan Kontrak Karya bagi PT. Freeport Indonesia, terlihat bahwa praktek neo-kolonialisme
atas daerah konsesi penambangan di Papua yang masih menjadi wilayah sengketa. Sengketa Rakyat Papua dengan menjadi nyata dan watak-watak penjajahan atas nama perang terhadap imperialisme barat menjadi sebuah
Freeport-RioTinto terjadi sejak awal penandatanganan Kontrak Karya tahun 1967, Pemerintah Indonesia (orde logika sejarah terbalik dari orde lama dan diteruskan oleh pemerintah orde baru.
baru) sebagai komprador Amerika Serikat sepenuhnya mendukung upaya ini. Sebagaimana diketahui,
penambangan emas dan tembaga di perut bumi Papua adalah kegiatan pertambangan mineral pertama di Indonesia Enam tahun sebelum masa Kontrak Karya penambangan PT Freeport-Rio Tinto berakhir, pemerintah dan PT
di masa kekuasaan rejim Orde Baru. Jenderal Soeharto sebagai presiden RI, menempuh langkah-langkah spekulasi Freeport-Rio Tinto sebenarnya telah memperbaharui Kontrak Karya yang kemudian ditandatangani pada bulan
dalam bidang hukum dan politik, untuk mendukung investasi asing di tanah Papua yang pada akhirnya menjadikan Desember 1991 (selanjutnya disebut Kontrak Karya 91). Dari proses dan substansi yang dituangkan dalam
Papua sebagai korban sejarah kepentingan politik dan ekonomi AS maupun pemerintah Indonesia yang mendapat klausula-klausula kontrak, Kontrak Karya 91 juga memiliki masalah serius bagi kepentingan rakyat Papua,
untung dari situasi politik ini. lingkungan hidup dan Hak Asazi Manusia.
Berbagai kelemahan Kontrak Karya 91 adalah sebagai berikut:
© Copyright 2003-2005 by WatchPAPUA
Kontrak Karya 91 dibuat disaat secara de-facto PT Freeport-Rio Tinto telah melakukan penambangan emas yang
tidak sesuai atau setidak-tidaknya tidak diatur dalam Kontrak Karya penambangan FI tahun 1967. Bahkan Kontrak
Karya 91 dibuat 6 tahun sebelum masa Kontrak Karya 67 berakhir, sehingga patut diragukan seluruh proses
kelahirannya. Nuansa Kontrak Karya dalam Kontrak Karya PT Freeport-Rio Tinto telah ramai dibincangkan
orang, termasuk tentang komposisi dan kepemilikan sahamnya. Seharusnya pemerintah segera mengusut hal ini.

Seperti Kontrak Karya 67, Kontrak Karya PT FI 91 juga tidak melibatkan rakyat Papua dalam proses
pembuatannya, sehingga tidak ada kewajiban rakyat Papua untuk menghormati Kontrak Karya yang tidak dibuat
dan ketahui oleh rakyat Papua. Dari kepentingan lingkungan hidup, Kontrak Karya PT FI 91 tidak mencantumkan
tentang kewajiban pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan PT Freeport-Rio Tinto,
serta tidak mencantumkan kewajiban-kewajiban penutupan tambang, penghormatan kedaulatan masyarakat adat,
dan tidak mencantumkan kepentingan penduduk lokal yang harus dihargai baik oleh PT Freeport-Rio Tinto
maupun pemerintah Indonesia.

Derita yang menimpa rakyat Papua oleh kehadiran penambangan PT Freeport-Rio Tinto serta resistensi rakyat
Papua terhadap kehadiran PT Freeport-Rio Tinto yang disokong pemerintah, tidak akan pernah berakhir meski
dipaksakan mati. Penyebabnya adalah, tidak ada keterlibatan rakyat Papua dalam penyelesaian konflik. Selama ini
yang dilakukan pemerintah maupun PT Freeport-Rio Tinto justru menimbulkan guncangan baru dan menambah
kemarahan komunal. Pembungkaman suara rakyat Papua dengan kekerasan, pengucuran dana 1%, praktik politik
uang dan community development yang dilakukan Freeport ternyata tidak dapat meredam suara kritis rakyat
Papua. Malah menimbulkan masalah seperti pelanggaran HAM, konflik horisontal dan terjadinya gegar budaya
serta meningkatnya budaya kekerasan terhadap perempuan.

Selain kepentingan langsung rakyat Papua, Kontrak Karya penambangan PT Freeport-Rio Tinto baik tahun 1967
maupun 1991 telah nyata-nyata cacat baik dari segi politik maupun hukum. Dengan demikian seluruh kegiatan
penambangan PT Freeport-Rio Tinto dan pendapatan negara dari kegiatan itu, menjadi tidak absah, baik dari segi
hukum, maupun kepentingan rakyat Papua. Dengan demikian perlu dilakukan suatu perubahan yang fundamental,
yaitu melalui renegosiasi dan perubahan perijinan pertambangan.

Catatan Penutup

Pertambangan Freeport selain telah masuk di teritori Amungme juga saat ini telah masuk pada hak-hak ulayat
masyarakat Adat lainnya diseputar daerah konsesi tersebut, yang merupakan lokasi cadangan emas terbesar di
dunia dan ketiga terbesar di dunia untuk tambang tembaga. Dengan cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons
emas dan 70 juta ons perak, nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport diberikan
jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun. Lagi, jika menemukan tambahan kekayaan
mineral di atas 2,6 juta hektar tanah sekitarnya akan menjadi hak eksklusif PT Freeport-Rio Tinto.

Inilah sebuah kenyataan dari keserakahan multi national coorporation seperti PT Freeport-Rio Tinto yang secara
sadar melakukannya di atas tanah Papua. Dengan kekuatan modal yang dimilkinya, PT Freeport-Rio Tinto mampu
memfasilitasi pemerintah RI dan alatnya yaitu TNI untuk semakin merepresi rakyat Papua, selain itu kebijakan
pemerintah yang berpihak kepada PT Freeport-Rio Tinto menunjukan bahwa rakyat Papua tidak dihargai sama
sekali hak-hak politiknya atau dengan kata lain pemerintah RI tidak menganggap rakyat Papua sebagai bagian
integral dari Indonesia yang tidak perlu dilindungi hak-haknya, yang diperlukan oleh pemerintah Indonesia adalah
kekayaan alam rakyat Papua saja, bukan rakyat Papua, sekali lagi, bukan Rakyat Papua. Inilah realitas sejarah dan
politik yang hari ini terjadi.[end]

Catatan akhir:
(1) Bandingkan dengan apa yang didapat rakyat Papua dari dana royalti PT Freeport-Rio Tinto yang hanya sebesar
1% dari total produksi PT Freeport-Rio Tinto per tahun. Sejak tahun 1996, PT Freeport-Rio Tinto hanya
menganggarkan dana bagi pembangunan Papua sebesar 62 Juta Dolar AS, dana inilah yang diberikan dalam
bentuk pemberian 1% PT Freeport-Rio Tinto bagi rakyat Papua, sejak tahun 1996 sampai sekarang.*** Semoga...

Anda mungkin juga menyukai