Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PENGATURAN POLA TANAM DENGAN


WANATANI/HUTAN TANI/AGROFORESTRY
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pertanian Organik
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Hj. Denah Suswati, MP

Disusun Oleh :
Yogi Irawan (C1051181049)

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai eksternalitas
lingkungan. Apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara hati-hati maka akan
menimbulkan kerusakan lingkungan. Usaha untuk mengelolah hutan dan mengembangkanya
saat ini mendapat tantangan sejalan dengan tuntutan dunia internasional dan perubahan
paradigma masyarakat.Salah satu tantangan tersebut adalah efesiensi pengelolaan hutan dan
lahan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.Efisiensi pengelolaan hutan
merupakan usaha pemanfaatan hutan agar secara ekonomis menguntungkan sementara
kelestariannya tetap terjaga.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Dalam
pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat diperlukan peran serta masyarakat di dalam dan
di luar kawasan hutan. Untuk itu keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan
oleh keberhasilan pembangunan masyarakat sekitar terutama untuk peningkatan
kesejahteraan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan
kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.
Di daerah Sumberjaya, masyarakat telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal
perkebunan kopi sebagai mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60% daerah ini
masih dalam keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya sekitar 15% hutan
yang masih tertinggal (Agus et al., 2002). Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian
disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan
flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini
bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang
dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan
lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh peran agroforestri terhadap
produktivitas dan perlindungan tanah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau
agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut
De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks,.
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam
secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam
sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-
jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya
kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang
bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim
biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang- kacangan,
ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Bentuk agroforestri
sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini, dalam versi
Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan
dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan
tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda.
Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang
atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon
telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya
masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu
bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem
tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa
dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya,
bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan
karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara
tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera. Perpaduan pohon dengan
tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti pohon-pohon
randu yang ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa
Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep–Madura (Gambar 2). Contoh lain,
tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu
di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium).
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan
banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh
secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem
menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman
perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.
Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest (ICRAF, 1996).
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan
menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di
sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari
tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat
atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Nair (1989) menyebutkan bahwa agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-
sistem penggunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,
perdu, jenis-jenis palma, bambu dan sebagainya) ditanam secara bersamaan dengan tanaman
pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan
spasial atau urutan temporal, dan didalamya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi diantara
komponen yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, pemanfaatan luas lahan yang terbatas memberikan inovasi-inovasi pola
yang secara bebas memberikan ruang pilihan kepada petani. Pola agroforestri-tumpangsari
menggunakan jenis-jenis yang mempunyai prospek pasar yang menjanjikan (Sabarnurdin et
al. 2011) petani memiliki tujuan menanam, yaitu: petani memperoleh manfaat sosial dari
tumpangsari tanaman semusim seperti jagung, singkong, pisang, serta rumput gajah bagi
petani yang memelihara ternak; manfaat ekonomi berupa hasil kayu untuk industri dengan
pemasaran lokal maupun ekspor. Salah satu alternatif sistem penggunaan lahan untuk tujuan
produksi dan konservasi adalah sistem agroforestri, yaitu pengelolaan komoditas pertanian,
peternakan dan atau perikanan dengan komoditas kehutanan berupa pohon-pohonan.
Pemanfaatan lahan yang terbatas memberikan inovasi-inovasi pola yang secara bebas
membentuk ruang pilihan kepada petani. Pola agroforestry merupakan jenis yang mempunyai
prospek besar dan sangat menjanjikan petani untuk mencapai tujuan (Sabarnurdin dkk 2011).
Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan untuk
mengurangi kegiatan perusakan/perambahan hutan sekaligus meningkatkan penghasilan
petani secara berkelanjutan (Hairiah et al., 2000; de Foresta et el., 2000).
Menurut (Sabarnurdin, 2002) Peluang bagi digunakannya sistem agroforestry dalam
pengelolaan lahan juga disebabkan karena: 1. Agroforestry adalah metode biologis untuk
konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan
menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air. 2. Dengan agroforestry yang
produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan
tindakan pencegahan erosi. 3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar
kemungkinan diterimanya konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri.
Digunakannya tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara
partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.

BAB III
PEMBAHASAN

Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis. Banyak para
ahli yang mendiskripsi hutan hujan tropis sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat
berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang
utuh.
Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu
yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis
yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Penanaman berbagai macam
pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama
dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan
di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di
daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi
hutan alam menjadi lahan pertanian ini, disadari menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan
perubahan lingkungan global.
Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal
hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu
cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya
mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan
petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu.
Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-
komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi
matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi
penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi. Dengan demikian mempertahankan
manfaat-manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara
dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan
yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya. Salah satu keuntungan
yang paling banyak diakui agroforestri adalah potensinya untuk melestarikan dan memelihara
kesuburan tanah dan produktivitas. Hal ini sangat relevan terjadi di daerah tropis karena laju
dekomposisi bahan organiknya tinggi dan secara umum kesuburannya rendah.
Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan terhadap tanah yang
diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah: (1) memperbaiki kesuburan
tanah, (2) menekan terjadinya erosi (3) mencegah perkembangan hama dan penyakit, (4)
menekan populasi gulma. Peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah,
antara lain melalui empat mekanisme: (1) mempertahankan kandungan bahan organik tanah,
(2) mengurangi kehilangan hara ke lapisan tanah bawah, (3) menambah N dari hasil
penambatan N bebas dari udara, (4) memperbaiki sifat fisik tanah, Tanah bervariasi di alam
baik menurut sifat maupun jenisnya. Sehingga pemahaman mengenai klasifikasi tanah
penting untuk studi aspek tanah agroforestri. Sistem klasifikasi tanah sebelumnya didasarkan
pada konsep “zonality” yaitu sifat-sifat tanah yang ditentukan oleh iklim, vegetasi, topografi,
bahan induk, dan usia. Pengklasifikasian tanah ini sangatlah berguna untuk menentukan
produktivitas tanah. Untuk menilai produktivitas tanah maka ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu pola hujan, intensitas hujan, potensi evaporasi, suhu, dan angin.
Dan agroforestri telah diyakini mempunyai potensi besar sebagai alternatif penggunaan
lahan utama, konsevasi tanah dan juga pemeliharaan kesuburan serta produktivitas lahan di
daerah tropis. Teknik konservasi tanah dan air pada daerah berlereng dilakukan dengan
pembuatan terasering atau melakukan penanaman mengikuti garis kontur di dalam lorong
dengan menggunakan tanaman penyangga berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan,
buah-buahan, polong-polongan dan tanaman industri) sayuran dan rumput untuk pakan
ternak.
Penggunaan mulsa lamtoro (Leucaena leucocephala) dapat meningkatkan kesuburan tanah
dan pendapatan petani, sedangkan bahaya erosi dapat diperkecil. Pendapatan para petani
dapat meningkat dua kali setelah mengikuti semua aturan yang ditentukan selama empat
tahun.Teknologi Lahan Pertanian Miring (TLPM) merupakan suatu pola agroforestry. TLPM
merupakan paket teknologi konservasi tanah dan produksi pangan dengan cara berbagai
macam konservasi tanah yang berbeda secara terpadu pada suatu lahan. Hal ini dapat dilihat
dari suatu pola tanam campuran yang dapat dianggap sebagai bentuk agroforestry yang di
dalamnya terdapat jalur-jalur tanam yang ditanami tanaman buah-buahan, kacang-kacangan,
atau tanaman pangan lainnya. Secara umum agroforestri berfungsi protektif (yang lebih
mengarah kepada manfaat biofisik) dan produktif (yang lebih mengarah kepada manfaat
ekonomis). Manfaat agroforestri secara biofisik ini dibagi menjadi dua level yaitu level
bentang lahan atau global dan level plot. Pada level global meliputi fungsi agroforestri dalam
konservasi tanah dan air, cadangan karbon (C stock) di daratan, mempertahankan
keanekaragaman hayati.
Di Indonesia agroforestri sering juga ditawarkan sebagai salah satu sistem pertanian yang
berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya tidak jarang mengalami kegagalan, karena
pengelolaannya yang kurang tepat. Guna meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
mengelola agroforestri, diperlukan paling tidak tiga ketrampilan utama yaitu: (a) mampu
menganalisis permasalahan yang terjadi, (b) merencanakan dan melaksanakan kegiatan
agroforestri, (c) monitoring dan evaluasi kegiatan agroforestri. Namun prakteknya, dengan
hanya memiliki ketiga ketrampilan tersebut di atas masih belum cukup karena kompleksnya
proses yang terjadi dalam sistem agroforestri. Sebelum lebih jauh melakukan inovasi
teknologi mahasiswa perlu memahami potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh praktek
agroforestri (diagnosis).
Menurut (Zulrasdi et,al. 2005) usaha pokok dalam pengawetan tanah dan air meliputi: 1.
Pengelolaan lahan. - Sesuai kemampuan lahan - Mengembalikan sisa-sisa tanaman kedalam
tanah - Melindungi lahan dari ancaman erosi dengan menanam tanaman penutup tanah -
Penggunaan mulsa 2. Pengelolaan air Pengelolaan air adalah usaha-usaha pengembangan
sumberdaya air dalam hal : Jumlah air yang memadai Kualitas air Tersedia air sepanjang
tahun 3. Pengelolaan vegetasi Pengelolaan vegetasi pada hutan tangkapan air maupun
pemeliharaan vegetasi sepanjang aliran sungai, dapat ditempuh dengan cara : Penanaman
dengan tanaman berakar serabut seperti bambu yang sangat dianjurkan dipinggiran sungai,
kemudian diikuti dengan rumput makanan ternak seperti rumput gajah, rumput setaria,
rumput raja dll. Penanaman ini dimaksudkan untuk enghalang terjadinya erosi pada tanah.
Penanaman tanaman semusim untuk lahan yang tidak memiliki kemiringan. Pembuatan
teras. Bila pada lahan tersebut terdapat kemiringan maka perlu dibuat teras. 4. Usaha tani
konservasi. Usaha tani konservasi adalah penanaman lahan dengan tanaman pangan serta
tanaman yang berfungsi untuk mengurangi erosi ( aliran permukaan) dan mempertahankan
kesuburan tanah. Prinsip usaha tani konservasi : - Mengurangi sekecil mungkin aliran air
pemukaan dan meresapkan airnya sebesar mungkin kedalam tanah. - Memperkecil pengaruh
negativ air hujan yang jatuh pada permukaan tanah. - Memanfaatkan semaksimal sumber
daya alam dengan memperhatikan kelestarian.

BAB IV
KKESIMPULAN
Dari makalah agroforestri ini dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri
sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu
atau lebih jenis tanaman semusim. Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem
pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon)
baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan.
2. Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan
untuk mengurangi kegiatan perusakan/perambahan hutan sekaligus meningkatkan
penghasilan petani secara berkelanjutan.
3. Agroforestri memberikan dua manfaat sekaligus kepada petani yaitu dapat memanen
tanaman kehutanan dan pertanian dalam satu lahan.

DAFTAR PUSTAKA

de Foresta ,H. A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika kebun berupa
hutan: Agroforest kahas Indonesia, sebuah sumbangan masyarakat. ICRAF, Bogor.
Hairiah K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, S.M. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, R.
Mulia, M. van Noordwijk and G. Cadish. 2000. Agroforestry on acid soils in humid tropics:
managing tree-soil-crop interactions. ICRAF, Bogor.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. The Netherlands : Kluwer Academic
Publisher.
Sabarnurdin, M. Sambas. 2002. Agroforestry : Konsep, Prospek Dan TantanganPresentasi
Workshop Agroforestry 2002, Fakultas Kehutanan, UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta
Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk. 2003. Peran
Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan
atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF),
Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia

Zulrasdi. Noer, Sjofjendi, 2005. Pertanian di Daerah aliran Sungai Lembaga Informasi
Pertanian. BPPT Sumatra Barat

Anda mungkin juga menyukai