Anda di halaman 1dari 30

MPULAN DIKLAT KEMAHIRAN HUKUM

NAMA : Anida Fitri

NIM : 1319094

MATA KULIAH : DIKLAT KEMAHIRAN HUKUM

FAKULTAS/JURUSAN : HUKUM TATA NEGARA

SEMESTER :6

BAB I

Dasar Hukum, Susunan, dan Kekuasaan Pengadilan

1. DASAR HUKUM

A. Dasar Hukum

Ada tiga dasar hukum yaitu:

 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 : menegasakan bahwa kekuasaan negara dijalankan atas dasar
hukum yang baik dan adil

 Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 : menegaskan bahwa kekuasaan hakim harus bebas dari
kekuasaan lainnya

 Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 : menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
mahkamah agung dan peradilan yanh ada dibawahnya

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkatan antara
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
yang kemudian akan diatur dalam undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman
yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(“UU No. 48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU No.
48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu agar
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam Pasal 20 s.d.
Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009,
terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d. ayat (5) UU No. 48/2009
menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang kemudian diatur lebih lanjut
melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum
dapat ditemukan ketentuannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun
2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU No.
48/2009 menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan diperlukan untuk
mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim pada tingkatan sebelumnya dan
memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama,
pengadilan dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam
sistem peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C UUD 1945 jo.
Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk hal: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-
undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.

B. Macam-macam Pengadilan

 Pengadian Umum

 Pengadilan Tata Usaha Negara

 Pengadilan Agama

 Pengadilan Militer

 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

C. Susunan Badan Pengadilan


D. Kewenangan Pengadilan

Kewenangan/Kompetensi Relatif

Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang
sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht), terutama
tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif ini diatur pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini
menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri
tempat tinggal Tergugat.

Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, jika pihak Tergugat tidak mengajukan jawaban yang berisi
eksepsi mengenai kewenangan/kompetensi relatif terhadap perkara yang sedang diadili, maka perkara
tersebut dapat dilanjutkan pemeriksaannya hingga majelis hakim menjatuhkan putusan akhir.

Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, apabila Tergugat tidak mengajukan jawaban yaitu eksepsi
mengenai kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak
menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan seharusnya. Contoh terhadap
kewenangan/kompetensi relatif, yaitu Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut
tidak sesuai dengan asas actor sequitor forum rei.

Kewenangan/Kompetensi Absolut
Kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut pembagian
kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi kewenangan absolut atas
perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis hakim tetap harus memeriksa terkait
kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Apabila terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan yang
bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan pemeriksaan.

E. Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1)Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten.

(2)Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Propinsi.

F. Susunan Pejabat

Pasal 10

(1)Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan, Hakirn Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.

(2)Susunan Pengadilan Tinggi terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 11

(1)Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

(2)Pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

(3)Hakim Anggota Pengadilan Tinggi adalah Hakim Tinggi.

BAB II

Para Pihak Yang Berperkara Dalam Perdata

a. Pihak Yang Berperkara/Bersengketa

Dalam perkara perdata setidaknya ada 2 (dua) pihak, yakni pihak Penggugat dan pihak Tergugat. Tetapi
dalam hal-hal tertentu secara kasuistis ada pihak Turut Tergugat. Penggugat adalah orang atau pihak
yang merasa dirugikan haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat). Tergugat adalah orang atau pihak
yang dianggap telah merugikan hak orang atau pihak lain (Penggugat), sedangkan Turut Tergugat adalah
orang atau pihak yang tidak berkepentingan langsung dalam perkara tersebut, tetapi ada sangkut
pautnya dengan pihak atau obyek perkara yang bersangkutan.

Selain pihak Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat dalam hal-hal tertentu secara kasuistis terdapat
pihak ketiga yang berkepentingan yang turut campur atau mencampuri (intervensi) ke dalam sengketa
yang sedang berlangsung antara Penggugat dan Tergugat, dalam bentuk voeging (menyertai),
tussenkomst (menengahi) dan vrijwaring/garantie (penanggungan/pembebasan).

Baik Penggugat, Tergugat, Turut Tergugat maupun Pihak Ketiga yang berkepentingan, kesemuanya
merupakan subyek hukum yang terdiri dari orang perseorangan (natuurlijk persoon) dan badan hukum
(rechtspersoon).

b. Pembuatan atau Penyusunan Surat Gugatan

Surat gugatan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata,
oleh karena itu surat gugatan tidak boleh cacat hukum, atau dengan kata lain surat gugatan haruslah
sempurna. Surat gugatan yang tidak sempurna berakibat tidak menguntungkan bagi pihak Penggugat,
karena hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaard).

HIR maupun R.Bg hanya mengatur tentang cara mengajukan gugatan, sedangkan tentang persyaratan
mengenai isi gugatan tidak mengaturnya. Persyaratan mengenai isi gugatan dapat

diketemukan dalam Pasal 8 No.3 Rv yang pada pokoknya berisikan :

Identitas Para Pihak

Di dalam surat gugatan harus diuraikan secara jelas, tegas dan lengkap identitas dari masing-masing
pihak, baik Penggugat, Tergugat maupun Turut Tergugat, yang menyangkut tentang nama lengkap, jenis
kelamin, usia, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal (domicili). Kesalahan dalam menentukan
identitas pihak dapat berakibat gugatan salah alamat (error in subjecto).

Posita/Fundamentum Petendi

Posita atau fundamentum petendi adalah uraian-uraian yang menjadi dasar dan alasan diajukannya
gugatan maupun tuntutan. Penggugat dalam menyusun gugatan harus menguraikan secara jelas tentang
obyek sengketa, hubungan hukum (korelasi yuridis) antara subyek dan obyek sengketa, alas hak yang
dijadikan dasar dan alasan untuk menuntut obyek sengketa, kerugian-kerugian yang timbul (bila ada)
harus diperinci. Surat gugatan yang disusun secara tidak jelas atau kabur (obscuur libel), berakibat hakim
akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima

Tuntutan (Petitum)
Tuntutan atau petitum adalah segala sesuatu yang oleh Penggugat diminta (dituntut) dan diharapkan
akan dikabulkan dalam putusan hakim. Oleh karena itu tuntutan yang diajukan oleh Penggugat harus
jelas dan tegas dengan mendasarkan pada posita yang ada. Berdasarkan Pasal 178 HIR, hakim dalam
putusannya dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut oleh Penggugat (Asas Ultra Petita).

c. Penandatanganan Surat Gugatan

Surat gugatan yang telah dibuat dan disusun oleh Penggugat harus ditandatangani sendiri oleh
Penggugat atau Kuasa Hukumnya, apabila Penggugat bermaksud mewakilkan kepada orang lain. Surat
gugatan tidak perlu dibubuhi meterai, oleh karena berdasarkan Pasal 164 HIR, surat gugatan bukan
merupakan alat bukti, tetapi justru nantinya yang harus dibuktikan di persidangan. Meterai diperlukan
untuk pengajuan alat bukti tertulis (surat), artinya terhadap alat bukti tertulis (surat) yang akan diajukan
sebagai alat bukti di persidangan, harus difoto copy kemudian ditempeli meterai 6000 dan
ditandatangani oleh pejabat pos yang berwenang untuk itu (nachzegelen).

Apabila Penggugat bermaksud mewakilkan kepada orang lain, maka pembuatan atau penyusunan dan
penandatanganan surat gugatan dapat dilakukan oleh orang lain yang ditunjuk atas dasar pemberian
kuasa. Surat yang dipakai dasar bagi Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat untuk mewakilkan kepada
orang lain yang ditunjuk dalam penanganan perkara perdata disebut surat kuasa khusus.

d. Biaya Perkara

Berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya perkara, kecuali bagi mereka yang termasuk
golongan tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang
berwenang untuk itu (Kepala Desa/Lurah dan direkomendasi oleh Camat) dapat berperkara secara
Cuma-Cuma (prodeo).

III. Tahap Persidangan :

Ketua Pengadilan Negeri setelah membaca surat gugatan dan kelengkapan berkas lainnya, menunjuk
dan menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
bersangkutan. Kemudian Panitera Kepala menunjuk dan menetapakan Panitera Pengganti dalam
perkara yang bersangkutan yang bertugas mencatat semua fakta persidangan dalam Berita Acara
Sidang.

Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari sidang
pertama dan memerintahkan Panitera Kepala untuk memanggil pihak-pihak dalam perkara tersebut

Panitera Kepala memerintahkan Jurusita Pengganti untuk melakukan pemanggilan terhadap para pihak
dalam perkara tersebut (Penggugat, Tergugat/Turut Tergugat) agar hadir pada hari, tanggal dan waktu
sebagaimana yang terurai dalam Surat Panggilan (Relaas) tersebut.

Jurusita Pengganti menyampaikan Surat Panggilan Sidang kepada Penggugat atau Kuasa Hukumnya dan
Tergugat maupun Turut Tergugat dengan disertai surat gugatan. Surat Panggilan tersebut dapat
disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah setempat, bila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat,
dengan permintaan agar Kepala desa atau Lurah tersebut meneruskan dan menyampaikan Surat
Panggilan tersebut kepada pihak yang tidak ada di tempat tersebut.

Pada hari, tanggal dan waktu sebagaimana terurai dalam Surat Panggilan yang telah diterima oleh para
pihak, Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri membuka sidang
dan mempersilahkan para pihak memasuki ruang sidang. Apabila ada pihak yang belum hadir, maka
melalui Panitera Pengganti memerintahkan Jurusita Pengganti untuk memanggil lagi pihak yang tidak
hadir. Pada sidang berikutnya setelah para pihak dalam perkara tersebut hadir semua (lengkap),
ataupun ada pihak yang tidak hadir tanpa dasar dan alasan yang sah, walaupun telah dipanggil secara
patut, layak dan cukup, maka para pihak melalui majelis hakim tersebut sepakat untuk memilih dan
menentukan mediator untuk melakukan mediasi.

Sidang Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2008 yang
mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada saat sidang pertama yang dihadiri
kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya damai melalui mediator.

Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui mediator selama 40 hari dan dapat
diperpanjang selama 14 hari atas permintaan para pihak . Mediator dapat dipilih oleh para pihak dari
daftar mediator yang telah bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar gedung Pengadilan
Negeri sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator bersertifikasi di luar
Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan Negeri yang telah ditunjuk dan
sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat dipilih salah satu Hakim Anggota Majelis sesuai
kesepakatan para pihak.

Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat mengajukan rancangan draf
perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda tangani kedua belah pihak untuk dibuatkan Akta
Perdamaian yang mengikat kedua belah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya. Jika dalam
proses mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah pihak berakhir dengan
perdamaian.

Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi kedua belah pihak, maka
dengan disertai Berita Acara tentang tidak tercapainya perdamaian, mediator melalui Panitera
Pengganti mengembalikan dan menyerahkan kembali Berkas Perkara tersebut kepada Majelis Hakim.
Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan para pihak atau Kuasa Hukumnya untuk hadir pada sidang
berikutnya guna dilanjutkan pemeriksaan terhadap perkara yang bersangkutan dengan membacakan
gugatan, jawaban, replik duplik, pembuktian, pemeriksaan obyek sengketa (pemeriksaan setempat)
bilamana obyek sengketanya benda tetap dan dipandang perlu, kesimpulan dan putusan. Walaupun
mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak, dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya
Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara
damai sesuai ketentuan pasal 130 HIR.
Sidang Lanjutan Dalam Hal Perdamaian Tidak Tercapai

Persidangan Tanpa Kehadiran Tergugat

Pada hari persidangan yang telah ditetapkan ternyata Tergugat atau Para Tergugat tidak hadir tanpa
alasan yang sah meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah, tidak juga menunjuk seorang kuasa
untuk hadir mewakilinya, maka sidang dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan tanpa kehadiran
Tergugat dengan terlebih dahulu menanyakan kepada penggugat apakah ada perubahan terhadap
gugatannya atau tetap pada gugatan yang telah diajukannya tersebut.

Pembuktian Pihak Penggugat

Karena Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah maka
Tergugat dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menjawab atau membantah semua dalil-dalil
gugatan Penggugat, sehingga proses penyelesaian perkara berjalan sepihak (contradictoir), tidak ada
jawab menjawab, replik, duplik, dan pemeriksaan langsung dilanjutkan dengan acara pembuktian,
berupa pengajuan alat bukti, yakni bukti-bukti tertulis atau surat berupa foto copy dicocokkan dengan
aslinya, dibubuhi meterai cukup diberi tanda sesuai jumlah surat bukti yang diajukan misalnya P.1 s/d
P.10. Selain bukti berupa surat tersebut, dapat diajukan pula bukti saksi dan ahli sesuai kebutuhan untuk
membuktikan posita gugatan Penggugat.

Putusan Verstek

Pasal 125 HIR/149 R.Bg, menentukan bahwa apabila pada hari sidang yang telah ditentukan, Tergugat
tidak hadir dan lagi pula tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah
dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan di luar hadirnya Tergugat (verstek),
kecuali kalau ternyata Pengadilan Negeri berpendapat bahwa gugatan Penggugat tersebut bersifat
melawan hak atau tidak beralasan hukum.

Apabila gugatan Penggugat diterima dan dikabulkan, maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
diberitahukan isi putusan itu kepada Tergugat yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa
Tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah menerima
pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, perlawanan masih
diterima sampai pada hari ke 8 sesudah peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196
HIR/207 R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari ke 14 (R.Bg)
dan hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika
telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlawanan selanjutnya yang diajukan oleh
Tergugat tidak dapat diterima.

Persidangan Dengan Dihadiri Oleh Para Pihak

Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan
gugatan dan Tergugat ataupun Turut tergugat mengajukan Jawaban yang isinya dapat berupa:

Tuntutan Provisionil
Eksepsi atau tangkisan

Jawaban mengenai pokok perkara d. Gugatan Balik (Rekonpensi)

Permohonan petitum putusan.

Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi (kewenangan) relatif harus diajukan segera pada
permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau Tergugat telah menjawab pokok perkaranya.
Untuk eksepsi kompetensi (kewenangan) absolute dapat diajukan setiap saat dalam pemeriksaan
perkara itu dan hakim karena jabatannya secara ex officio harus pula menyatakan bahwa tidak
berwenang mengadili perkara tersebut.

Setelah Tergugat mengajukan jawabannya dan selanjutnya pengajuan Replik oleh Penggugat dan Duplik
oleh Tergugat, hakim akan meneliti secara seksama apabila diajukan eksepsi tentang kewenangan
mengadili yang bersifat relatif atau absolut, akan terlebih dahulu diputus dengan putusan sela, sebelum
memeriksa pokok perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum dan Pengadilan Negeri
menyatakan tidak berwenang mengadili maka pemeriksaan pokok perkaranya tidak dilanjutkan dan
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, sebaliknya jika eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak
maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dengan pembuktian dari Pihak Penggugat dan Tergugat
maupun Turut Tergugat, baik berupa bukti tertulis (surat) maupun bukti saksi, ahli dan bilamana
dipandang perlu dilakukan pemeriksaan terhadap obyek sengketa (Pemeriksaan setempat), apabila
obyek sengketanya berupa benda tidak bergerak atau benda tetap.

Apabila dari serangkaian tahapan atau proses jawab- menjawab, Replik, Duplik dan pembuktian dari
masing- mamsing pihak telah selesai, maka para pihak mengajukan dapat mengajukan kesimpulan dan
pada akhirnya mohon putusan.

Apabila Penggugat mampu membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya maka gugatan Penggugat akan
dikabulkan seluruhnya dan apabila terbukti sebagian, maka gugatan Penggugat akan dikabulkan
sebagian serta menolak gugatan selain dan selebihnya. Sebaliknya apabila Tergugat mampu
mematahkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka gugatan Penggugat akan ditolak seluruhnya. Demikian
pula apabila gugatan Penggugat kabur dan secara formil tidak memenuhi syarat, maka gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

BAB III

Pihak Ynag Berperkara Ynag berhak Menghadiri atau Menwakili Persidangan Perdata di Pengadilan

A. Para Pihak Sendiri

Tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pihak mana yang harus disebut
pertama kali dalam perjanjian atau menjadi Pihak I dan pihak pihak mana yang disebut setelahnya atau
menjadi Pihak II dalam suatu perjanjian. Yang menentukan siapa yang menjadi pihak I dan pihak II
adalah kesepakatan dari para pihak sendiri. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang
dianut dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), di mana para pihak bebas
untuk menentukan isi dan bentuk dari perjanjian yang hendak mereka buat, termasuk menentukan
pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

Kedua, penyebutan para pihak di dalam perjanjian tidak harus menggunakan sebutan/nama “Pihak I”
dan “Pihak II”, tapi juga sebutan/nama lain yang disepakati para pihak. Yang harus diperhatikan adalah
konsistensi dalam penggunaan sebutan/nama yang telah dipilih dalam suatu perjanjian.

Sementara itu, di dalam praktik pada umumnya adalah pihak yang membuat perjanjian yang ditulis lebih
dahulu atau menjadi pihak I dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian hutang piutang misalnya, yang
disebut lebih dahulu/menjadi pihak I biasanya adalah Kreditur dan setelah itu barulah si Debitur. Atau
contoh lainnya adalah dalam perjanjian kerja, pihak pemberi kerja (perusahaan) umumnya disebut lebih
dahulu, baru kemudian si pekerja (karyawan).

B. Kuasa Insidentil

Surat Kuasa Insidentil adalah pemberian kuasa kepada penerima kuasa yang masih merupakan kerabat
pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa beracara di Pengadilan. Syarat sahnya surat kuasa
insidentil di antaranya adalah : Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai advokat/pengacara. Penerima
Kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan pemberi kuasa
sampai derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan hubungan keluarga yang dikeluarkan
oleh Lurah/Kepala Desa. Pengertian ”derajat ketiga” mencakup hubungan garis lurus ke atas, ke bawah,
dan ke samping. Tidak menerima imbalan jasa atau upah. Sepanjang tahun berjalan belum pernah
bertindak sebagai kuasa insidentil pada perkara yang lain. Hanya berlaku untuk beracara di Pengadilan
tempat surat kuasa tersebut didaftarkan dan juga hanya pada perkara yang ditunjuk.

DASAR HUKUM KUASA INSIDENTIL Sebenarnya baik dalam HIR, RBg, Rv maupun KUHPerdata, istilah
Kuasa Insidentil tidak dikenal sebagai salah satu jenis pemberian kuasa. Surat kuasa insidentil diatur
dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus,
bahwa yang dapat menerima kuasa untuk menghadap di Pengadilan adalah : Advokat. Jaksa dengan
kuasa Khusus mewakili negara atau pemerintah. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI. Direksi atau
karyawan yang ditunjuk oleh suatu badan hukum. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan.

PROSEDUR PEMBUATAN SURAT KUASA INSIDENTIL Boleh dibilang bahwa surat kuasa insidentil ini
hampir sama dengan surat kuasa Istimewa karena sama-sama dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang. Bedanya, jika surat kuasa istimewa hanya pada tindakan hukum yang istimewa dan dibuat
dihadapan notaris, sedangkan kuasa insidentil ini termasuk juga tindakan hukum yang tidak istimewa
serta dibuat dihadapan dan atas seizin Ketua Pengadilan tempat pemberi kuasa mengajukan gugatan.
Dengan demikian, jika melihat dari uraian di atas, maka prosedur pembuatan surat kuasa insidentil
adalah sebagai berikut: Pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan membawa surat keterangan
hubungan keluarga dari kelurahan datang ke Pengadilan tempat pemberi kuasa akan berperkara; Lalu
setelah sampai melapor kepada petugas pengadilan agar diizinkan menghadap kepada Ketua Pengadilan
untuk kepentingan permohonan izin membuat surat kuasa insidentil. diizinkan, maka ketua pengadilan
akan membuat penetapan yang intinya memberikan izin kepada pihak yang berperkara untuk
menguasakan atau mewakilkan perkaranya kepada penerima kuasa; Atas dasar itulah, pemberi dan
penerima kuasa insidentil membuat surat kuasa insidentil. Jadi intinya surat insidentil dibuat dihadapan
dan atas seizin Ketua Pengadilan tempat pemberi kuasa mengajukan gugatan.

C. Kuasa Hukum/Pengacara/Advokat

Dalam profesi hukum, dikenal istilah beracara yang terkait dengan pengaturan hukum acara dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. Istilah pengacara
dibedakan dengan istilah Konsultan Hukum yang kegiatannya lebih ke penyediaan jasa konsultasi hukum
secara umum.

Pembelaan dilakukan oleh pengacara terhadap institusi formal (peradilan) maupun informal (diskursus),
atau orang yang mendapat sertifikasi untuk memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Di Indonesia, untuk dapat menjadi seorang pengacara, seorang sarjana yang berlatar
belakang Perguruan Tinggi hukum harus mengikuti pendidikan khusus dan lulus ujian profesi yang
dilaksanakan oleh suatu organisasi pengacara.

BAB IV

Menyusun Surat Gugatan

a. Identitas para pihak

Yang dimaksud dengan identitas ialah ciri dari penggugat dan tergugat yaitu, nama lengkap, tempat dan
tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal, kewarganegaraan (kalau perlu). Pihak-pihak yang
ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas mengenai kapasitas dan
kedudukannya apakah sebagai penggugat, tergugat, pelawan, terlawan, pemohon dan termohon;

b. Alasan-alasan gugatan (fundamentum petendi atau posita) yang terdiri dari dua bagian:

1) Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (fetelijkegronden);

2) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden);

c. Tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke ed bepaalde conclusie) atau petitum

1) Tuntutan pokok atau tuntutan primer yang merupakan tuntutan sebenarnya atau apa yang
diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita;

2) Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok
perkara yang merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, tuntutan tambahan
berwujud:

 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara;

 Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu
meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi. Di dalam praktik, permohonan uitvoerbaar bij
voorraad sering dikabulkan, namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim
jangan secara mudah mengabulkan (permohonan tersebut, editor);

 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang
dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.

 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman
itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan.

 Dalam hal putusan cerai sering disebut juga tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 ayat [2], Pasal
62, Pasal 65 Huwelijks Ordonantie voor Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74, S. 1936 No. 607
[HOCI] atau Ordonansi Perkawinan Kristen, Pasal 213, Pasal 229 KUHPerdata/Burgerlijk
Wetboek) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 KUHPerdata).

BAB V

Contoh Surat Gugatan dan Tata Cara Pengajuan Gugatan Di Pengadilan

PROSEDUR PENGAJUAN PERKARA PERDATA

 Untuk Gugatan/Permohonan

Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatan atau permohonan.

Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau
permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.

Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara
yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR.

Catatan :

Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan
tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang
dilegalisasi oleh Camat.

Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR.

Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara
prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan
perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon
untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara
disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).

Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut
dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai
dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.

Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara.
Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti
nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang
telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.

Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak
berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada pemegang kas.

Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak berperkara.
Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan
menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.

Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak
jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).

Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan
serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor
pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.

Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah
diberi nomor register kepada pihak berperkara.

 PENDAFTARAN SELESAI

Pihak/ pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/ jurusita pengganti untuk menghadap ke
persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya
(PHS).

PROSEDUR PENGAJUAN PERKARA PIDANA

MEJA PERTAMA
 Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang
berhubungan dengan perkara tersebut. Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa
tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan.

 Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang¬-barang bukti yang akan diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang
kemudian diajukan ke depan persidangan. Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam
register barang bukti.

 Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan


berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana.

 Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada
Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister.

 Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor
perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut.

 Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama.

 Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus
oleh pengadilan.

 Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan
yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang
bersangkutan.

 Pelaksanaan tugas pada Meja Pertama, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada
langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.

MEJA KEDUA

 Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi/ remisi.

 Menerima dan memberikan tanda terima atas:

 Memori banding;

 Kontra memori banding;

 Memori kasasi;

 Kontra memori kasasi;

 Alasan peninjauan kembali;

 Jawaban/tanggapan peninjauan kembali;


 Permohonan grasi/remisi;

 Penangguhan pelaksanaan putusan.

PROSEDUR PENGAJUAN BANDING PERKARA PIDANA

Meja 2 membuat :

 Akta permohonan pikir-pikir bagi terdakwa.

 permintaan banding.

 Akta terlambat mengajukan permintaan banding.

 Akta pencabutan banding.

 Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register
banding oleh masing-masing petugas register.

 Permintaan banding diajukan selambat-¬lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan
dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir
dalam pengucapan putusan.

 Permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat
diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan Panitera bahwa permintaan banding
telah lewat tenggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.

 Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai
alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.

 Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang
lain.

 Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dicatat dalam register dan salinan
memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain, dengan relaas
pemberitahuan.

 Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah
dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi,
sedangkan salinannya disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.

 Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan Tinggi, pemohon
wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri.

 Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi,
maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri.
 Berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari
sejak permintaan banding diajukan sesuai dengan pasal 236 ayat 1 KUHAP, harus sudah dikirim
ke Pengadilan Tinggi.

 Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat
dicabut sewaktu-waktu, untuk itu Panitera membuat Akta pencabutan banding yang
ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Akta tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi.

 Salinan putusan Pengadilan Tinggi yang telah diterima oleh Pengadilan Negeri, harus
diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat Akta Pemberitahuan
Putusan.

 Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara banding, dan
pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.

 Pelaksanaan tugas pada Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung
dibawah koordinasi Wakil Panitera.

BAB VI

Jalannya Persidangan

jika pengugat tidak datang setelah dipanggil secara patut dan sah, maka gugat nya gugur, sebaliknya
jika tergugat tdk hadir satupun (jika tggt nya lebih dr satu), maka diputus dengan putusan verstek, tetapi
jika ada 1 orang tergugatt hadir tidak bisa dijatuhkan verstek, pemeriksaan perkara lanjut.

Majelis Hakim yang memeriksa perkara terlebih dahulu harus mengupayakan perdamaian
melalui proses mediasi. Kemudian segala sesuatu yang terjadi di persidangan pengadilan tingkat
pertama dituangkan dalam berita acara sidang, sedangkan di pengadilan tingkat banding cukup
dibuat catatan sidang. Ketua Majelis bertanggung jawab atas perbuatan dan penandatanganan
berita acara dibantu oleh panitera.

Rapat permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia. Jika dipandang perlu dan mendapat
persetujuan Majelis Hakim, Panitera sidang dapat mengikuti rapat permusyaratan Majelis
Hakim. Dalam penyelesaian putusan, pada waktu diucapkan harus sudah jadi dan setelah itu
langsung ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti.

Jika yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, maka Panitera / Jurusita
Pengganti harus memberitahukan isi putusan kepada para pihak yang tidak hadir. Kemudian
Panitera juga menyampaikan salinan putusan selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
putusan BHT kepada pegawai pencatat nikah
BAB VII

Jalannya Persidangan

Tahap-tahap dan tata cara sidang perkara pidana di pengadilan negeri

Tahap-tahap dan tata cara persidanganperkara pidana di pengadilan negeri secara umum di atur dalam
KUHAP(UU.No. 8 tahaun 1981).

Dalam garis besarnya dalam proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di pengadilan
Negri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari empat tahap sebagai berikut:

1.Sidang pertama :

Pada hari sidang yang telah di tetapkan oleh hakim/majelis hakim,siding pemeriksaan perkara pidana di
buka,adapun tata caranya adalah sebagai berikut :

HAKIM/MAJELIS HAKIM MEMASUKI RUANGAN SIDANG

1) Yang pertama-tama memasuki ruangan adalah panitera pengganti,jaksa penuntut


umum,penasehat hukum dan pengunjung sidang.

2) Pejabat yang bertugas sebagai protocol (karena kurangnya tersedianya personel,dalam praktek
biasanya tugas ini dilakukan oleh panitera pengganti)mengumumkan bahwa hakim/majlis hakim akan
memasuki ruang sidang dengan kata-kata(kurang lebih)sebagai berikut:”hakim/majelis hakim memasuki
uang sidang ,hadirin dimohon untuk berdiri”

3) Semua yang hadir dalam ruangan sidang tersebut,termasuk jaksa penuntut umumdan penasehat
hukum brdiri.

4) hakim/majelis hakim memasuki ruangan sidang melalui pintu khusus,kemudian hakim uduk di
tempat duduknya masing masing.

5) Panitera pengganti mempersilahkan hadirin duduk kembali.

6) Hakim ketua membuka sidang dengan kata kata kurang lebih sebagai berikut “sidang pengadilan
negeri......(kota tempat pengadilan berada),yang memeriksa perkara pidana nomor....(no perkara)atas
nama........pada hari.....tanggal.....dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.di ikuti dengan ketokan
palu sebanyak tiga kali

PEMANGGILAN TERDAKWA SUPAYA MASUK KE RUANG SIDANG:


1) Hakim ketua kepada penunut umum apakah terdakwa sudah siap di hadirkan pada sidang hari
ini,jika penuntut umum tidak dapat meng hadirkan pada sidang hari ini maka hakim harus menunda
persidangan pada hari yang akan di tetapkan dengan perintah ke penuntut umum supay a memanggil
dan menghadap terdakwa.

2) Jika penuntut umum sudah siap menghadirkan terdakwa maka hakim ketua memerintahkan
supaya terdakwa di pnggil masuk.

3) Petugasmembawa terdakwa ke ruang sidang dan mempersilahkan terdakwa duduk di kursi


pemeriksaan.

4) Hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

a) Apakah terdakwa dalam keadaan sehatdan siap mengikuti persidangan.

b) Identitas terdakwa (nama,umur,alamat,pekerjaan dll)

Selanjutnya hakim mengingatka pada terdakwa agar memperhatikan segala sesuatu yang di dengar
dandilihatnya dalam sidang ini.

5) Hakim bertanya apakah terdakwa didampingi oleh penasehat hukum.

a) Jika terdakwa tidakdidampingi penasehat hukum,maka hakim menegaskan hak terdakwa untuk di
dampingi penasehat hukum,selanjutnya hakim member I kesempatan kepada terdakwa untuk
mengambil beberapa sikap sebagai berikut :

Ø Menyatakan tidak akan didampingi penasehat hukum (maju sendiri).

Ø Mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum agar mendampinginya secara
Cuma-Cuma.

Ø Meminta waktu kepada majelis hakim agar mencari/menunjuk penasehaat hukumnya sendiri.

b) Jika terdakwa didampingi oleh penasehat hukum,maka proses selanjutnya adalah:

Ø Hakim menanyakan kepada penasehat hukum apakah benar dalam sidang ini ia bertindak sebagai
penasehat hukum terdakwa.

Ø Hakim memita penasehat hukum untuk menunjukkan surat kuasa khusus dan kartu ijin praktek
pengacara/advokat.

Ø Setelah hakim ketua mengamati surat kuasa dan karrtu ijin praktek tersebut lalu hakim ketua
menunjukkan kedua dokumen itu kepada para hakim anggota dan pada penuntut umum.

PEMBACAAN SURAT DAKWAAN

1) Hakim ketua sidang meminta pada terdakwa untuk mendengarkan dengan seksama pembacaan
surat dekwaan dan selanjutnya mempersilahkan jaksa pennuntut mum untuk membacaka surat dakwan.
2) Jaksa membacakan surat dakwaan.berdiri/duduk.boleh bergantian dengan rakan jpu

3) Selanjutnya hakim ketua menayakan kepada ter dakawa apakah ia sudah paham tentang apa ang
didakwaan padanya.apabila terdakwa ternyata tidak mengerti maka penuntut umum atas permintaan
hhakim ketua,wajib memberikan penjelasan seperlunya.

PENGAJUAN EKSEPSI(keberatan)

1) Hakim ketua menanyakan pada terdakwa atau penasehat hukumnya,apakah mengajukan


keberatan(eksepsi) terhadap dakwaan jaksa penuntu umum

2) Eksepsi (keberata) terdakwa/penasehat hukum meliputi:

a) Pengadilan tidak berwenang mengadili (berkitan dengan kompetensi absolute / relative)

b) Dakwaan tidak dapat diterima ( dakwaan dinilai kabur/obscuar libelli)

c) Dakwaan harus di batalkan (karena keliru,kadaluwars/nebis in idem.

3) Tata caranya:pertama tama hakim bertanya kepada terdakwa dan member kesempatan untuk
menanggapi,selanjutnya kesempatan kedua diberrikan kepada penasehat hukum.

4) Apabila terdakwa/penasehat hukumnya tidak membei tanggapan atau tidakmengajukan


eksepsi,maka persidangan dilanjutkan ke tahap pembuktian.

5) Apabila tardakwa/penasehat hukumnya mengajukan eksepsi,maka hakim bertanya apakah,apakah


telah siap unuk mengajukan eksepsi.

6) Apabila terdakwa/penasehathukum belum siap,maka hakim ketua menyatkan sidangdi tunda


untuk member kesempatan pada terdakwa/penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi pada sidang
berikutnya

7) Apabila terdakwa /penasehat hukum telah siap mengajukan eksepsi maka hakim ketua
mempersilahkan untuk mengajukan eksepsi.

8) Pengajuan eksepsi bisa di ajukan secara lisan maupun tertulis.

9) Apabila eksepsi di ajukan secara tertulis,maka setelah dibacakan eksepsi tersebut diserahkan pada
hakim dan salinannya di serahkan pada penuntut umum.

10) Tata cara pennuntut umum membacakan surat dakwaan berlaku pula bagi terdakwa/penasehat
hukum dalam mengajukan eksepsi.

11) Eksepsi dapat di ajukan oleh penasehat hukum saja atau di ajukan oleh terdakwa sendiri ,atau
kedua-duanya mengajukan eksepsinya menurut versinya masing-masing.
12) Apabila terdakwa dan penasehat hukum masing – masing akan mengajukan eksepsi maka
kesempatan pertama akan di berikan kepada terdakwa terrlebih dahulu untuk mengjukan eksepsinya
setelah itu baru penasehat hukumnya.

13) Setelah pengajuan eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum,hakim ketua memberikan kesempatan
pada penuntut umum untuk mengjukan tanggapan atas eksepsi (replik)tersebut.

14) Ata tanggapan trsebut hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakw/penasehathukum
untuk mengajukan tanggapan sekali lagi(duplik)

15) Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut ,selanjutnya hakim ketua meminta waktu untuk
mepertimbangkan dan menyusun putusan sela

16) Apabila hakim/majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk memutuskan permohonan
eksepsi tersebut mudah /sederhana,maka sidang dapat di skors selama beberapa waktu(menit)untuk
menentukan putusan sela.

17) Tata cara skorsing sidang ada dua macam :

I. Majelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk


membahas/mempertimbangkan putusan sela di ruang hakim,sedangkan penuntut
umum,terdakwa/penasehat hukum sera pengunjung sidang tetap tinggal di tempat.

II. Hakim ketua memppersilahkan semua yang hadir di persidangan tersebut


supaya keluar dari ruang sidang,selanjutny petugas menutup pintu ruang sidang dan majelis hakim
merundingkan itusanseladalam ruangan sidang(cara ini yang paling sering di pakai)

18) Apabila hakim /majelis hakim berpendapat bahwa memerlukan waktu yang lebih lama dalam
mempertimbangan putusan sela tersebut,maka sidang dapat di tunda untuk mempersiapkan putusa sela
yang akan di bacakan pada harisidang berikutnya.

PEMBACAAN/PENGUCAPAN PUTUSAN SELA

1) Setelah hakim mencabut skorsing atau membuka sidang kembali,hakim ketua menjelaskan kepad
para pihak yang hdir dipersidangsn bahwa acara selanjutnya pembacaan putusan sela.

2) Model putusan sela ada dua macam:

I. Tidak dibuat secara khusus,biasnya untuk putusan sela pertimbangannya


sederhana,hakim/majelis hakim cukup menjatuhkan putusan sela secara lisan,selanjutnya putusan
tersebut di catat dalam berita acara persidangan dan nantinya akan di muat dalam putusan akhir.

II. Dibua secara khusus dalam suatu naskah putusan.

3) Tata caranya adalah :putusan sela tersebut di bacakan oleh hakim ketua sambil duduk di
kursinya.apabila naskah putusan sela tersebut panjang ,boleh dibaca secara bergantian dengan hakim
anggota.pembacaan amar putusan di akhiri dengan ketokan palu(1 kali)
4) Kemudia hakim ketua menjelaskan seperlunya mengeni garis besar isi putusan sela sekali gus
menyampaikn hak penuntut umum ,terdakwa/penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima
putusan sela tersebut atau akan mengajukan perlawanan.

2.Sidang pembuktian

Apabila hakim/majellis hakim menetapkan bahwa sidang pemeriksaan perkara harus


diteruskan maka acara persidangan memasuki tahap pembuktian yaitu pemeriksaan terhadap alat bukti-
bukti dan barang bukti yang di ajukan.

Sebelum memasuki acara pembuktian, hakim ketua mempersilahkan terdakwa supaya


duduknya berpindah dari kursi pemeriksaan ke kursi terdakwa yang terletak disamping kanan penasehat
hukum,selanjutmya prosedur dan tata cera pembuktian adalah sebagai berikut:

a) Pembuktian oleh jaksa penuntut umum

1) Pengajuan saksi yang memberatkan(saksi A charge)

a. Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah sudah siap menghadirkan saksi-saksi pada
sidang hari ini.

b. Apabila penuntut umum telah siap,maka hakim segera memerintahkan pada jaksa penuntut umum
untuk menghadirkan saksi seorang demi seorang kedaam ruang sidang.

c. Saksi yang pertama kali diperiksa adalah saksi korban setelah itu baru saksi yang lain yyang di
pandang relevan dengan tujuan mengenai tindak piadana yang di dakwakan.

d. Tata cara pemeriksaan saksi:

1. Penuntut umum menyebutkan nama saksi yang akan di periksa.

2. Petugas membawa saksi keruang sidang dan mempersilahkan saksi di kursi pemeriksaan.

3. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang:

· Identitas saksi(nama,umur,alamat,pekerjaan,agama dll)

· Apakah saksi kenal dengan terdakwa,apakah saksi memiliki hubungan darah(sampai derajat
berapa)dengan terdakwa,apakah saksi memiliki hubungan suami istri dengan terdakwa,apakah saksi
memiliki hubungan kerja dengan terdakwaa.

4. Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang saksi dalam keadaan sehat dan
siap di periksa sebagai saksi.

5. Hakim ketua meminta saksi untuk bersedia mengucapkan sumpah atau janji sesua dengan
agamanya
6. Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya,lafal sumpah ipanu oleh hakimdan
pelaksanaan sumpah di bantu oleh peugas juru sumpah

7. Tatacara pelaksanaan sumpah yanglazim dipergunakan di pengadiailan negri adalah:

a. Saksi dipersilahkan agak bediri kedepan

b. Untuk saksi yang beragama islam ,cukup berdiri tegak.pada saat melapalkaan sumpah .petugas
berdiri di belakang saksi dan mengangkat Alquran diatas kepela saksi,untuk saksi yang beragama
Kristen/katolik petugas membawakan injil(alkitab)disebalah kiri saksi pada saat saksi melapalkan
sumpah,tangan kiri saksi diletakkan di atas injil dan tangan kanan saksi di angkat dan jari tengah dan
jari telunjuk membentuk hurup “V” untuk yang beragama Kristen untukmengacungkan jari telunjuk,jari
tegah dan jari manis untuk yang bragama katolik.sedangkan agama lainnya lagi,menyesuakan dengan
tata cara penyumpahan pada agama yang bersangkutan.

c. Hakim meminta agar saksi mengikuti kata-kata(lafal sumpah)yang di ucapkan oleh hakim atau saksi
mengucapkan sendiri lafl sumpahnya ata persetujuan hakim.

d. Lapal sumpah saksi-saksi adalah sebagai berikut:”saya bersumpah(berjanji)bahwa saya akan


menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya.

8. Setelah selesai,hakim haki ketua mempersilahkan duduk kembali dan memngingatkan saksi harus
member keterangan yang sebenarnya sesua dengan apa yang di alaminya,apa yang dilihatnya atau apa
yang di dengarnya sendiri,jika perllu hakim dapat mengingatkan bahwa apbila saksi tidak mengatakan
yang sebenarnya ia dapat di tuntut karena sumpah palsu.hakim ketua mulai memeriksa saksi ddengan
mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang di dakwakan pada
terdakwa.kemudian hakim anggota,penuntut umum,terdakawa dan penasehat hukum juga diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan epada saksi.

9. Pertanyaan yang di ajukan di arahkan untukmengungkap fakta yang sebenarnya sehingga harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Materi pertanyaan di arahkan pada pembuktian unsure-unsur yang didakwakan.

b. Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit bahasa dan pehaman harus dipahami oleh saksi

c. Pertanyaannya tidak boleh bersifat menjerat atau menjabaksaksi.

d. Peranyaan tidak boleh bersifat pengkualifasi delik.

10. Selama menerima saksi hakim dapat menunjukkan barang bukti pada saksi guna memastikan
kebenaran yang berkaitan dengan barang bukti tersebut.

11. Setiap kali saksi selesai memberikan keteranngan,hakim ketua menanyakan kepada
terdakwa,bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut

2) Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukun argumentasi penuntut umum.


a) Hakim ketua menanyakan apakah penuntut umum masih mengajukan bukti-bukti lainnya
seperti:keterangan ahli dan surat serta tambahan barang bukti yang ditemukan selama proses
persidagan.

b) Apabila terdakwa/penasehat hukummengatakan masih.maka tata cara pengajuan bukti-bukti sama


dengan yang dikatakan oleh penunttut umum.

c) Apabila terdakwa/penasehat hukum mengatakan bahwa semua bukti-bukti telah di ajukan,maka


hakim ketua menyatakan bahwa acara selanjutnya adalah pemeriksaan terdakwa.

PEMERIKSAAN TERDAKWA:

1) Hakim ketua memperrsilahkan pada terdakwa agar duduk di kursi pemeriksaan

2) Terdakwa berpindah tempat dari kursi terdakwa menuju ursi pemeriksaan.

3) Hakim bertanya kepada terdakwa apakahterdakwa dalam keadaan sehat dan siap menjalani
pemeriksaan.

4) Hakim mengingatkan pada terdakwa agar menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan tidak
berbelit-beit sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan.

5) Hakim ketua mulai mengajukan pertanyaan-perrtanyaan pada terdakwa di ikuti hakm


anggota,penuntut umu dan penasehat hukum,majelis hakim menunjukkan segala barang bukti dan
menanyakan pada terdakwa apakah ia mengenal benda tersebut.

6) Selanjutnya tata cara pemeriksaan pada terdakwa sama pada tata cara pemeriksaan saksi kecuali
dalam hal sumpah.

7) Apa bila terdakwa lebih dari satu dan di periksa secara brsama sama dlam satu perkara,maka
pemeriksaan dilakukan satu perssatu secara bergiliran.apa bila terdapat ketidak sesuaian jawaban di
antara terdakwa maka hakim dapat meng cross-check-kan antara jawaban terdakwa yang satu dengan
jawaban terdakwa lain.

8) Setelah terdakwa telah selesai dipeiksa maka hakim ketua menyatakan bahwa seluruh rangkaian
sidang pembuktian telah selesai dan selanjutnya hakim ketua member kesempatan pada penuntut
umum untuk mempersiapkan surat tuntutan pidana untuk di ajukan pada hari sidang berikutnya.

3.SIDANG PEMBACAAN TUNTUTAN PIDANA,PEMBELAAN DAN TANGGAPAN TANGGAPAN

a. Pembacaan tuntutan pidana (requisitor)


1) Setelah membuka sidang,hakim ketua menjelaskan bahwa acar sidang hari ini adalah pengajuan
tuntutan pidana.selanjutnya hakim ketua bertanya pada jaksa penuntut umum apakah siap mengajukan
tuntutan pidana pada sidang hari ini.

2) Apabila penuntut umum sudah siap mengajukan tuntutan pidana .maka hhakim ketua
memperilahkannya untuk membacakannya.tata cara pembacaannya sama dengan pembacaan tata cara
pembacaan dakwaan.

3) Stelah selesai,penuntut umum menyerahkan naskah tuntuta pidana(asli)pada hakim ketua dan
salinannya diserahkan pada terdakwa dan penasehat hukum.

4) Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa paham dengan isi tuntutan pidana yang
telah dibacakan oleh penuntut umum tadi.

5) Hakim ketua bertanya pada terdakwa/penasehat hukum apakah akan mengajukan


pembelan(pleidoo)

6) Apabila terdakwa/penasehat hukum menyatakan akan mengajukan pembelaan maka hakim ketua
memberikan kesempatan pada terdakwa/penasehat hukum untuk mempersiapkan pembelaan.

b. Pengajuan/pembacaan nota pembelaan(pleidool)

1) Hakim etua bertanya kepada terdakwa apakah mengajukan pembelaan,jika terdakwa mengajukan
pembelaan terhada dirinya,maka hakim menayakan apakah terdakwa akan mengajukan sendiri atau
telah menyerahkan sepenuhnya kepada penasehat hukumnya.

2) Terdakwa mengajukan pembelaan:

a) Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan maka pada umumnya terdakwa
mengemukakan pembelaan sambil tetap duduk di kursi pemeriksaan dan isi pembelaan tersebut selain
di catat oleh panitera kembali kedalam berita acara pemeriksaan,juga di catat oleh pihak yang
berkepentingan termasuk hakim.

b) Apabila terdakwa mengajukkannya secara tertulis,maka hakim dapat meminta agar terdakwa
membacakannya sambil berdiri di depan kursi pemeriksaan dan setelah selesai dibaca nota pembelaan
diserahkan pada hakim.

3) Setelah terdakwa mengajukan pembalaannya atau jika terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya
masalah pembelaaan terhadap dirinya kepada penasehat hukum,hakim ketua bertanya kepada
penasehat hukum,apakah telah siap dengan nota pembelaannya.

4) Apabila telah siap,maka hakim ketua segera mempersilahkan penasehat hukum untuk
membacakan pembelaannya.caranya sama dengan cara pengajuan eksepsi.

5) Setelah selesai.maka naskah asli diserahkan kepada ketua dan salinannya diserahkan pada
terdakwa dan penuntut umum.
6) Selanjutnya hakim ketua bertanya pada penuntut umum apakah ia akan mengajukan
jawaban(tanggapan)tterhadap pembelaan terdakwa/penasehat hukum(replik)

7) Apabila penuntut umum akan menanggapi pembelaan terdakwa/penasehat hukum mak hakim
ketua memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk mengajukan replik.

c. Pengajuan/pembacaan tanggapa-tanggapan(replik dan dupplik)

1) Apabila penuntut umum telah siap dengan tanggapan terhadap pembelaan maka hakim ketua
mempersilahkannya untuk membacakannya.pembacaannya sama dengan pembacaan requisitor

2) Setelah selesai ,hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa /penasehat hukum untuk
mengajukan tanggapan atas replik tersebut(duplik)

3) Apabila terdakwa/penasehat hukum telah siap dengan dupiknya maka hakim ketua segera
mempersilahkan pada terdakwa/penasehat hukum untuk membacakannya.caranya sama dengan cara
membaca pembelaan

4) Selanjutnya hakim ketua dapat member i kesempatan pada penuntut umum untuk mengajukan
tanggapan sekali lagi(rereplik)dan atass tanggappan tersebut terdakwa dan penasehat hukum juga di
beri kesempatan untuk menagapai.

5) Setelah selesai,hakim ketua bertanya kepad pihak yang hair dalam persidangan tersebu,apakah
hal-hal yang akan di ajukan dalam pemeriksaan.apabila penuntut umum,terdakwa/penasehat hukum
menganggap pemeriksaan telah cukup,maka hakim hakim ketua menyatakan bahwa “pemeriksaan
dinyatakan di tutup”.

6) Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang selanjutnya adalah pembacaan putusan,oleh sebab
itu guna mempersiapkan konsep putusannya hakim meminta agar sidang di tunda beberapa waktu

4.SIDANG PEMBACAAN PUTUSAN

Sebelum menjatuhkan putusan hakim mempertimbangkan berdasarkan atas surat dakwa,segala


sesuatu yang terbukti dipersidangann,tuntutan pidana,pembelaan dan tanggapan-tanggapan.apabila
perkara ditangani oleh majelis haki.maka dasar –dasar pertimbangan tersebut harus dimusywarahkan
oleh majelis haki.setelah naskah putusan siap di bacakan ,maka langkah selanjutnya adalah:

a) Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang hari ini adalah pembcaan putusan,sebelum putusan
dibacakan hakimketua meminta agar para pihak yang hadir supaya memperhatikan isi putusan dengan
seksama..
b) Hakim ketua mulai membaca isi putusan.tata caranya sama dengan pembacaan putusan
sela.apabila naskah putusan terlalu pajang maka bolehh di bacakan ole hakim anggota secara
bergantian.

c) Pada saat hakim akan membaca amar putusan (sebelum memulai membaca/mengucapkan
kata”mengadili”)hakim ketua memerintahkan agar terdakwa berdiri di tempat.

d) Setelah amar putusan dibacakan seluuhny,hakim ketua mengetuk palu(1x)dan mempersilahkan


terdakwa untuk duduk kembali

e) Hakim ketua menjelaskan isi putusan secara singkat terutama yang berkaitan dengan amar
putusan hingga terdakwa paham terhadap putusan yang di jatuhkan padanya.

f) Hakim ketua menjelaskan hak-hak para pihak terhadap putusan tersebut,selanjutnya hakim ketua
menawarkam kepada terdakwa untuk memnentukan sikapnya, apakah akan menyatakan menerima
putusan tersebut,menatakan menerima dan mengajukan grasi,menyatakan naik banding atau
menyatakan pikir-pikir,dalam hal ini terdakwa dapat diberi waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan
penasehat hukumnya atau terdakwa mempercayakan haknya kepada penasehat hukumnya,hal yang
sama juga di tawarkan kepada penuntut umumjika terddakwa/penasehat hukum menyatakan sikap
menerima,maka hakim ketua meminta terdakwa agar segera menanda tangani berita cara pernyataan
menerima putusan yang telah disiapkan oleh panitra pengganti..jika terdakwa menyatakan banding
maka terdakwaa segera diminta untuk menanda tangani akta permohonan banding,jika
terdakwa/penasehat hukum pikir-pikir dulu,maka hakim ketua menjelaskan bahwa masa pikir-pikir
diberika selama tujuh hari,apabila setelah tujuh hari terdakwa tidak menyatakan sikap maka terdakwa di
anggap menerima putusan. Hal sama juga dilakukan terhadap penuntut umum.

g) Apabila tidak da hal-hal yang akan di sampaikan lagi maka hakim ketua menyatakan seluruh
rangkaian acara persidangan perkara pidana yang bersangkutan telah selesai dan menyatakan sidang di
tutup.tata caranya adalah:setelah mengucapkan kata kata “....sidang dinyatakan di tutup”hakim ketua
mengtuk palu sebanyak tiga kali.

h) Panitra penggan ti mengumumkan bahwa majelis hakim akan meninggalkan ruangan sidang
dengan kata-kata(kurang lebih)segai berikut”hakim/majelis hakim akan meninggalkan ruang
sidang,hadirin dimohon untuk berdiri”.

i) Semua yang hadir di ruangan sidang tersebut berdiri terpasuk JPU,terdakwa/penasehat hukum .

j) Hakim/majelis hakim meninggalkan ruang sidang melalui pintu khusus,

k) Para pengunjung sidang ,penuntut umum penasehat hukum dan terdakwa berangsur-angsur
meninggalkan ruang sidang.apabila putusan menyatakan terdakwa tetap di tahan,maka pertama-tama
keluar adalah terdakwadengan dikawal oleh petugas.
BAB VIII

Upaya Hukum

Upaya Hukum

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan
hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak
puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi
rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga
salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.

BAB IX

Sita Jaminan dan Eksekusi

Sita jaminan atau sita revindicatoir yang telah dinyatakan sah dan berharga dalam putusan yang
berkekuatan hukum tetap, maka sita tersebut menjadi sita eksekusi. Dalam melakukan eksekusi dilarang
menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal
197 ayat (8) HIR/211 RBg).

BAB X

Pebedaan Hukum Acara Pedata dan Hukum Acara Pidana

Didalam Tata Hukum Indonesia, dikenal adanya dua hukum acara, yakni: hukum acara pidana dan
hukum acara perdata, kedua hukum acara tersebut adalah untuk memelihara dan mempertahankan
hukum materiil dan untuk melindungi hak-hak para subyek hukum. disamping itu, kedua hukum acara
tersebut memiliki perbedaan yang cukup mendasar yang meliputi 9 hal, yakni:Perbedaan mengadili

Hukum acara perdata mengatur cara-cara mengadili perkara-perkara di muka pengadilan-perdata oleh
hakim perdata.

Hukum acara pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh
hakim pidana.

Perbedaan pelaksanaan:

Pada acara perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan.

Pada acara pidana inisiatifnya itu datang dari penuntut umum (jaksa).

Perbedaan dalam penuntutan:

Dalam acara perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat
berhadapan dengan tergugat. Jadi tidak terdapat penuntut umum atau jaksa.
Dalam acara pidana, jaksa menjadi penuntut terhadap si terdakwa. Jaksa sebagai penuntut
umum mewakili negara, berhadapan dengan terdakwa. Jadi, disni terdapat seorang jaksa.

Perbedaan alat-alat bukti:

Dalam acara perdata sumpah merupakan alat pembuktian (terdapat 5 alat bukti yaitu: tulisan,
saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah)

Dalam acara pidana ada 4 alat bukti (kecuali sumpah).

Perbedaan penarikan kembali suatu perkara.

Dalam acara perdata, sebelum ada putusan hakim, pihak-pihak yang bersangkutan boleh
menarik kembali perkaranya.

Dalam acara pidana, tidak dapat ditarik kembali.

Perbedaan kedudukan para pihak.

Dalam acara perdata, pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim hanya bertindak
sebagai wasit, dan bersikap pasif.Dalam acara pidana, jaksa kedudukannya lebih tinggi dari
terdakwa. Hakim juga turut aktif.

Perbedaan dalam dasar keputusan hakim

Dalam acara perdata, putusan hakim itu cukup dengan mendasarkan diri kepada kebenaran
formal saja (akta tertulis dan lain-lain)

Dalan acara pidana, putusan hakim harus mencari kebenaran materiil (menurut keyakinan,
perasaan keadilan hakim sendiri)

Perbedaan macamnya hukuman

Dalam acara perdata, tergugat yang terbukti kesalahannya dihukum denda, atau hukuman
kurungan sebagai pengganti denda.

acara pidana, terdakwa yang terbukti kesalahannya dipidana mati, penjara, kurungan atau
denda, mungkin ditambah dengan pidana tambahan seperti: dicabut hak-hak tertentu dan lain-
lain.

Perbedaan dalam bandingan

Bandingan perkara perdata dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Appel.

Bandingan perkara pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Revisi.

BAB XI
CIRI-CIRI DAN KARAKTERISTIK PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Sudikno mengatakan bahwa Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam
memutus perkara. Hal itu sesuai dengan kata dasar peradilan, yang terdiri dari kata adil dan
mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan.
Pengadilan di sini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan juga
memiliki pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan.Peradilan Tata Usaha Negara hanya
memiliki kompetensi untuk menguji keabsahan perbuatan tata usaha negara yang dilakukan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang diwujudkan oleh suatu keputusan tata usaha negara (beschikking).
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa ”Peradilan Tata Usaha Negara
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata
Usaha Negara.Obyek gugatan dalam sengketa TUN adalah berupa keputusan TUN. Menurut UU No 59
Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009 golongan keputusan TUN yang dapat digugat.

Dengan cara menerapkan asas keaktifan hakim yang dilandasi oleh pemahaman filosofis, asas keaktifan
hakim (dominus lit is) memiliki peranan yang cukup besar dalam proses penyelesaian sengketa tata
usaha negara oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak,
karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan
hukum perdata. Peranan asas keaktifan hakim dibutuhkan sejak pemeriksaan sengketa tata usaha
negara menjadi kewenangan hakim pada persidangan tahap pra - pembuktian, tahap pembuktian dan
tahap pengambilan putusan oleh Hakim sebagai Proses Judicial Activism. Penerapan asas keaktifan
hakim yang dilandasi oleh pemahaman filosofis secara benar akan membantu hakim untuk dapat
menemukan kebenaran materiil suatu sengketa sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan yang le bih
mencerminkan rasa keadilan.

BAB XII

CIRI-CIRI DAN KARAKTERISTIK PENGADILAN AGAMA

Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah diatur oleh Pasal 24
yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pengadilan agama adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau peneyelesaian perselisihan
hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dalam agama. Pengadilan agama adalah
sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan Negara atau
kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia.
Menurut Montesqiue, Negara memiliki tiga kekuasaan yang antara satu dengan lainnya harus
terpisah. Adapun tiga kekuasaan tersebut adalah kekuasaan Legislatif (Legislative Power),
kekuasaan Eksekutif (execitive power), dan Kekuasaan Yudikatif (yudicative power).
BAB XIII

"PERADILAN KHUSUS”

lembaga atau badan peradilan khusus yang dikembangkan dalam lingkungan peradilan umum,seperti
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak,
Pengadilan Perikanan, dan Pengadilan Niaga.Baru sesudah kita menerima ide pembentukan peradilan
tata usaha kita menambahkan satu pengertian lagi, yaitu peradilan tata usaha negara. Karena itu, pada
mulanya – seperti tercermin dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964, dikenal adanya
tiga macam peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam UU No. 19 Tahun 1964 ini, peradilan agama dianggap termasuk ke dalam pengertian pengadilan
khusus. Pengertian demikian ini dikoreksi pada masa Orde Baru sehingga dengan UU No. 14 Tahun 1970,
peradilan agama itu dianggap merupakan lingkungan peradilan yang tersendiri di samping peradilan
umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani khusus kasus korupsi, yang
bertugas dan berwenang meriksa dan memutuskan tindak pindana korupsi yang penuntutannya
diajukan oleh komisi pemberantas korupsi. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 (dasar hukum)tentang komisis pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pengadilan tindak pidana korupsiterdapat pada pengadilan negri, pengadilan tinggi , dan makhamah
Agung . pengadilan tindak pidana korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negri yang bersangkutan

Pengadilan HAM indonesia dibentuk berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia. Pengadilan ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan
umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota.

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memriksa dan
memutuskan sengketa pajak (pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pajak tidak dapat di
ajukan kasasi kepada Makhamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali
(PK), sebagaimana diatur dlam pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002

Pengadilan Anak merupakan salah satu pengadilan khusus pengyang berada di lingkungan pengadilan
umum yang disahkan pada tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Pengadilan Anak adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara anak.

Anda mungkin juga menyukai