Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas anugerah-Nya
lah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
“Manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media” ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Keperawatan Medikal Bedah III” yang diampu oleh Bapak Hermanto
Suhin,Ners.,M.Kep.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bag para pembaca dan dapat digunakan sebagaisalah satu pedoman dalam proses
pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan maupun pembahasan pada makalah yang telah kami susun ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Konsep Penyakit Otitis Media....................................................................4
2.1.1 Definisi Otitis Media Akut.........................................................................4
2.1.2 Etiologi Otitis Media Akut.........................................................................4
2.1.3 Faktor Resiko Otitis Media Akut...............................................................9
2.1.4 Tanda Dan Gejala Otitis Media Akut.........................................................13
2.1.5 Patofisiologi Otitis Media Akut.................................................................17
2.1.6 Penatalaksanaan Otitis Media Akut...........................................................21
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan........................................................................23
2.2.1 Pengkajian.................................................................................................23
2.2.2 Diagnosa Keperawatan..............................................................................25
2.2.3 Intervensi...................................................................................................26
2.2.4 Implementai...............................................................................................30
2.2.5 Evaluasi ....................................................................................................30
BAB III PENUTUP..................................................................................................31
3.1 Kesimpulan.................................................................................................31
3.2 Saran...........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
terendah di Banten (1,6%). Data prevalensi gangguan pendengaran penduduk
usia diatas lima tahun di provinsi Sumatera Barat didapatkan sebesar 2,5 %
(KemenKes, 2013).
Berdasarkan data dari RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2019 didapatkan 192 pasien OMA dengan kejadian tertinggi, pada musim
hujan (65,6%), usia 6-12 tahun (30,7%), laki - laki (56,3%), keluhan otalgia
(57,3%), stadium hiperemis (unilateral) (46,7%) dan hiperemis – hiperemis
(bilateral, sinistra-dextra) (36,8%), serta riwayat infeksi saluran napas atan
(85,9%).
Otitis Media sering terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan
saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau bakteri. Dalam banyak
kasus Otitis Media merespon antibiotik, namun infeksi berulang biasanya
memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang
telinga untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga tengah
(David, 2012). Biasanya setelah dilakukan operasi akan ditemukan keluhan
seperti demam, nyeri telinga, iritabilitas, muntah, resiko infeksi, dan juga
gejala saluran pernapasan akut lainnya (Lieberthal et al., 2013).
Pada umumnya anak – anak sangat rentan untuk memegang dan menekan
area luka, bahkan saat tidur tanpa sengaja mengenai luka. Hal ini
menyebabkan resiko infeksi menjadi masalah yang sering ditemui setelah
post operasi. Anak-anak yang mengalami infeksi akan menimbulkan
penyembuhan luka lambat. Beberapa faktor penyebab infeksi adalah lamanya
waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma kulit sekitar, kontaminasi
bakteri, adanya benda asing dan pencucian yang tidak adekuat (Arisanty,
2013). Untuk itu agar angka infeksi tidak meningkat, maka diperlukan
perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi silang (Yusra & Aprilani,
2015).
Perawatan luka bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi jaringan yang menunjang proses penyembuhan luka (Tarigan, 2007).
Saat ini teknik perawatan luka yang berkembang adalah perawatan luka
konvensional dan modern (Fata dkk, 2016).
Perawatan luka konvensional saat ini masih cenderung menggunakan
bahan-bahan perawatan yang konvensional atau wet dry dan tidak
mendukung penyembuhan luka, seperti penggunaan povidone iodine, alkohol
2
70%. Cairan antiseptik ini akan menyebabkan luka mengering serta
menggunakan kasa lembab. Ketika kasa lembab menjadi kering, akan
menekan permukaan jaringan, yang berarti segera harus diganti dengan
balutan kering berikutnya. Hal ini mengakibatkan tidak hanya pertumbuhan
jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan rasa nyeri yang
berlebihan. Luka dianggap telah sembuh walau akhirnya malah menimbulkan
bekas menghitam dan jaringan parut. Anggapan bahwa luka yang telah
mengering adalah kondisi luka yang telah sembuh inilah yang harus dirubah
karena tidak sesuai dengan prinsip penyembuhan luka (Baroroh, 2011 dalam
Naralia dan Ariani, 2018).
Banyak teknik yang bisa dilakukan untuk perawatan luka salah satunya
perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing.
Modern wound dressing merupakan salah satu metode perawatan luka
dengan cara tertutup dan lembab yang difokuskan untuk menjaga luka dari
dehidrasi dan meningkatkan proses penyembuhan luka (Dhivya, Padma, &
Santhini, 2015). Luka dengan suasana lembab dapat mempercepat
fibrinolisis, angiogenesis, menurunkan resiko infeksi, pembentukan growth
factor, dan pembentukan sel aktif (Handayani, 2016).
Gito dan Rochmawati (2018) menuliskan bahwa modern dressing dapat
mempercepat penyembuhan luka karena dalam beberapa jenis modern
dressing, mengandung antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif dan gram negatif. Modern dressing dinilai efektif dan
efisien dalam proses penyembuhan luka klien dari segi biaya, waktu, dan
pencegahan infeksi. Oleh karena ini, hal ini penting untuk diketahui perawat
yang bertanggung jawab terhadap klien dalam masa proses penyembuhan
lukanya.
3
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan Dapat mengetahui Konsep Dasar Maningitis dan
Manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media
1.4.2 Instansi Kesehatan
Sebagai sumber bacaan tentang Konsep Dasar Maningitis dan
manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media
1.4.3 Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars
tensa (membran sharpnell) yang terletak dibagian atas dan
pars tensa (membran propria) yang terletak dibagian bawah
(Luklukaningsih, 2014). Pars tensa merupakan bagian paling
besar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar disebut lapisan
kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis
semu halus yang normalnya mereflesikan cahaya. Lapisan
dalam disebut lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan
lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan
yang terletak diantara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua
lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin
fibrokartilago yang mengelilingi membran timpani. Pars
flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa, sehingga bagian inilah
yang pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan
negatif dalam telinga (Shaikh & Hoberman, 2010).
b. Kavum Timpani
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan
baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat
timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga
tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan
insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari
telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada
membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila
terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani
sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi
lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
5. Stadium Resolusi
pernafasan pada cairan pada telinga tengah dari 456 anak berumur
tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media akut adalah
41%. RSV adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan
parainfluenza, influenza, enterovirus dan adenovirus. Penemuan
ini dikonfirmasi dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa
virus ke dalam daftar seperti rhinovirus, coronavirus,
metapheumovirus (Corbeel, 2007).
2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media
otopathogen ini lebih sering pada usia muda dan dengan jumlah
bakteri yang terkandung lebih tinggi (Bardy dkk., 2014).
3. Kondisi lingkungan
Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak
dengan anak lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang
melebihi seharusnya, kumuh, dan interaksi dengan individual
dengan otitis media akut. Beberapa studi meneliti antara kondisi
lingkungan yang tidak baik dengan risiko otitis media pada
komunitas pribumi. Lingkungan yang padat sudah dipastikan
sebagai masalah utama pada komunitas pribumi (Bardy dkk.,
2014).
4. ASI
Invasi bakteri
Infeksi virus ini akan menyebabkan pembengkakan dan menghasilkan penumpukan sekresi mukosa.
Otitis
Media
Tekanan udara pada telinga Tindakan pembedahan
tengah Luka terbuka
Proses peradangan pada telinga
Kuman melepaskan endotoksin tengah
Terputusnya kontinuitas
Perubahan status kesehatan
Merangsang tubuh mengeluarkan zat jaringan
pirogen oleh leukosit
Kurang Mengaktivasi reseptor nyeri Retraksi membran
informasi timpani
Hantaran suara / udara Infasi bakteri
Defisit pengetahuan Melalui sistem
Suhu tubuh meningkat yang diterima menurun
saraf ascenden
Gg komunikasi verbal
Merangsang thalamus & Resiko infeksi
korteks serebri
Hipertermia
27
Muncul sensasi nyeri
27
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media Akut
1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila
pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam
empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
22
kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak
terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat
menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa
membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
24
memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu adanya nyeri pada telinga
tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita
gangguan pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang
dilakukan, bagaimana kebiasaan membersihkan telinga, keadaan
lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi).
26
2.2.3 Intervensi
27
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dengan jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
proses termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh.
penyakit dengan kriteria hasil: 3. Monitor kadar elektrolit.
dibuktikan - Suhu tubuh membaik 4. Monitor haluaran urine.
dengan suhu - Suhu kulit membaik 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
tubuh diatas - Kadar glukosa darah Terapeutik :
batas membaik 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
normal, kulit - Pengisian kapiler 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
merah, kulit membaik 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
terasa - Ventilasi membaik 4. Berikan cairan oral.
hangat. - Tekanan darah membaik 5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis.
6. Lakukan pendinginan eksternal.
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.
8. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : defisit pendengaran
komunikasi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
verbal jam diharapkan komunikasi 1. Periksa kemampuan pendengaran.
berhubungan verbal meningkat dengan 2. Monitor akumulasi serumen berlebihan.
dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
gangguan - Kemampuan berbicara Terapeutik :
pendengaran meningkat 1. Gunakan bahasa sederhana.
dibuktikan - Kemampuan mendengar 2. Gunakan bahasa isyarat, jika perlu.
dengan tidak - Kesesuaian ekspresi wajah 3. Verifikasi apa yang dikatakan atau ditulis pasien.
mampu / tubuh meningkat 4. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar.
mendengar, - Kontak mata meningkat 5. Berhadapan dengan pasien secara langsung selama berkomunikasi.
menunjukka 6. Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi.
n respon 7. Hindari merokok, mengunyah makanan atau permen karet dan menutup
tidak sesuai, mulut saat berbicara.
sulit 8. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
memahami 9. Hindari berkomunikasi lebih dari 1meter dari pasien.
komunikasi. 10. Lakukan irigasi telinga, jika perlu.
11. Pertahankan kebersihan telinga.
Edukasi :
1. Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat.
2. Ajarkan cara membersihkan serumen dengan tepat.
4. Defisit Setelah dilakukan tindakan Edukasi kesehatan
pengetahuan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
berhubungan jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
dengan pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
kurang dengan kriteria hasil: motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.
terpapar - Perilaku sesuai anjuran Terapeutik :
informasi meningkat 1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
dibuktikan - Verbalisasi minat dalam 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
dengan belajar meningkat 3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
menunjukka - Perilaku sesuai dengan Edukasi :
n perilaku pengetahuan meningkat 1. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan.
tidak sesuai 2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
anjuran. 3. Anjarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.
5. Resiko Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
infeksi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dibuktikan jam diharapkan tingkat 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
dengan efek infeksi menurun dengan dehisen atau eviserasi.
prosedur kriteria hasil: 2. Identifikasi karakteristik drainase.
invasif. - Demam menurun 3. Monitor proses penyembuhan area insisi.
- Kemerahan menurun 4. Monitor tanda dan gejala infeksi.
- Nyeri menurun Terapeutik :
- Bengkak menurun 1. Bersihkan area insisi dengan pembersih yang tepat.
2. Usap area insisi dari area yang bersih menuju area yang kurang bersih.
3. Bersihkan area disekitar tempat pembuangan atau tabung drainase.
4. Pertahankan posisi tabung drainase.
5. Berikan salep antiseptik, bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.
2.2.4 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan pengumpulan data
dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan pasien
(Nursalam, 2008).
2.2.5 Evaluasi
Evalusi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya,
klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008).
31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis media adalah infeksi pada rongga telinga tengah akibat disfungsi tuba
eustachius (TE). Disfungsi gerakan mukosiliar, pembukaan, atau penutupan TE
menimbulkan perubahan patologis di ruang telinga tengah yang dapat menyebabkan
otitis media.
Otitis media dibagi lagi menjadi beberapa kelompok diagnosis, yaitu otitis media
akut (OMA), otitis media akut rekuren, otitis media persisten, otitis media efusi (OME),
otitis media efusi kronis, otitis media supuratif kronis (OMSK) benigna, dan OMSK
maligna. Masing-masing diagnosis otitis media memiliki manajemen terapi yang
berbeda
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat di pertanggung jawabkan. Semoga
makalah ini bermanfaat untuk semua kalangan terutama bagi kami sendiri serta untuk
lebih menambah wawasan sehingga bermanfaat di masa yang akan datang.
32
DAFTAR PUSTAKA
33