Anda di halaman 1dari 36

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA

Disusun Oleh :

Alex Candra Aditama 2019.C.11a.1036


Ari Yulinda 2019.C.11a.1038
Fitri Andriani 2019.C.11a.1044
Ledy Anggare Larasati Damek 2019.C.11a.1048
Liyana Puspa Cristiana 2019.C.11a.1049
Nadia 2019.C.11a.1052
Ocviriosa Aliana Putri 2019.C.11a.1055
Sentiani 2019.C.11a.1061
Sri Devi 2019.C.11a.1064
Viorado Yolandri 2019.C.11a.1068
Yessi 2019.C.11a.1071
Yulia Sari 2019.C.11a.1073

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas anugerah-Nya
lah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
“Manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media” ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Keperawatan Medikal Bedah III” yang diampu oleh Bapak Hermanto
Suhin,Ners.,M.Kep.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bag para pembaca dan dapat digunakan sebagaisalah satu pedoman dalam proses
pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan maupun pembahasan pada makalah yang telah kami susun ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Palangka Raya, 06 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Konsep Penyakit Otitis Media....................................................................4
2.1.1 Definisi Otitis Media Akut.........................................................................4
2.1.2 Etiologi Otitis Media Akut.........................................................................4
2.1.3 Faktor Resiko Otitis Media Akut...............................................................9
2.1.4 Tanda Dan Gejala Otitis Media Akut.........................................................13
2.1.5 Patofisiologi Otitis Media Akut.................................................................17
2.1.6 Penatalaksanaan Otitis Media Akut...........................................................21
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan........................................................................23
2.2.1 Pengkajian.................................................................................................23
2.2.2 Diagnosa Keperawatan..............................................................................25
2.2.3 Intervensi...................................................................................................26
2.2.4 Implementai...............................................................................................30
2.2.5 Evaluasi ....................................................................................................30
BAB III PENUTUP..................................................................................................31
3.1 Kesimpulan.................................................................................................31
3.2 Saran...........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan
peradangan (kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di
belakang gendang telinga (Haryono, 2019). Otitis media dapat terjadi akibat
terganggunya tuba eusthacius, dimana paling sering disebabkan oleh infeksi
virus pada saluran pernapasan atas dan diperparah oleh infeksi sekunder oleh
bakteri (Shaikh & Hoberman, 2010). Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia,
demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi
perforasi membran timpani tengah (Buchman, 2003).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit
ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak - anak.
Diperkirakan 70% anak mengalami satu atau lebih episode otitis media
menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari baru
lahir sampai umur sekitar 7 tahun (Healy & Rosbe, 2003).
Berdasarkan data World Health Organization (2012) terdapat 5,3% atau
360 juta penduduk di dunia yang mengalami gangguan pendengaran, 91%
atau 328 juta diantaranya orang dewasa dan 9% atau 32 juta adalah anak-
anak. Prevalensi gangguan pendengaran akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Menurut Samuel dkk (2014) di Asia Tenggara, Indonesia
termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan telinga tertinggi yaitu
4,6%.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2013) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5
tahun keatas 2,6 % mengalami gangguan pendengaran, 0,09 % mengalami
ketulian, 18,8 % ada sumbatan serumen dan 2,4 % ada sekret diliang telinga.
Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan pendengaran masih menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat.
Prevalensi gangguan pendengaran nasional didapatkan sebesar 2,6 %,
dimana angka tertinggi didapatkan di Nusa Tenggara Timur (3,7%) dan

1
terendah di Banten (1,6%). Data prevalensi gangguan pendengaran penduduk
usia diatas lima tahun di provinsi Sumatera Barat didapatkan sebesar 2,5 %
(KemenKes, 2013).
Berdasarkan data dari RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2019 didapatkan 192 pasien OMA dengan kejadian tertinggi, pada musim
hujan (65,6%), usia 6-12 tahun (30,7%), laki - laki (56,3%), keluhan otalgia
(57,3%), stadium hiperemis (unilateral) (46,7%) dan hiperemis – hiperemis
(bilateral, sinistra-dextra) (36,8%), serta riwayat infeksi saluran napas atan
(85,9%).
Otitis Media sering terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan
saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau bakteri. Dalam banyak
kasus Otitis Media merespon antibiotik, namun infeksi berulang biasanya
memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang
telinga untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga tengah
(David, 2012). Biasanya setelah dilakukan operasi akan ditemukan keluhan
seperti demam, nyeri telinga, iritabilitas, muntah, resiko infeksi, dan juga
gejala saluran pernapasan akut lainnya (Lieberthal et al., 2013).
Pada umumnya anak – anak sangat rentan untuk memegang dan menekan
area luka, bahkan saat tidur tanpa sengaja mengenai luka. Hal ini
menyebabkan resiko infeksi menjadi masalah yang sering ditemui setelah
post operasi. Anak-anak yang mengalami infeksi akan menimbulkan
penyembuhan luka lambat. Beberapa faktor penyebab infeksi adalah lamanya
waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma kulit sekitar, kontaminasi
bakteri, adanya benda asing dan pencucian yang tidak adekuat (Arisanty,
2013). Untuk itu agar angka infeksi tidak meningkat, maka diperlukan
perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi silang (Yusra & Aprilani,
2015).
Perawatan luka bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi jaringan yang menunjang proses penyembuhan luka (Tarigan, 2007).
Saat ini teknik perawatan luka yang berkembang adalah perawatan luka
konvensional dan modern (Fata dkk, 2016).
Perawatan luka konvensional saat ini masih cenderung menggunakan
bahan-bahan perawatan yang konvensional atau wet dry dan tidak
mendukung penyembuhan luka, seperti penggunaan povidone iodine, alkohol
2
70%. Cairan antiseptik ini akan menyebabkan luka mengering serta
menggunakan kasa lembab. Ketika kasa lembab menjadi kering, akan
menekan permukaan jaringan, yang berarti segera harus diganti dengan
balutan kering berikutnya. Hal ini mengakibatkan tidak hanya pertumbuhan
jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan rasa nyeri yang
berlebihan. Luka dianggap telah sembuh walau akhirnya malah menimbulkan
bekas menghitam dan jaringan parut. Anggapan bahwa luka yang telah
mengering adalah kondisi luka yang telah sembuh inilah yang harus dirubah
karena tidak sesuai dengan prinsip penyembuhan luka (Baroroh, 2011 dalam
Naralia dan Ariani, 2018).
Banyak teknik yang bisa dilakukan untuk perawatan luka salah satunya
perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing.
Modern wound dressing merupakan salah satu metode perawatan luka
dengan cara tertutup dan lembab yang difokuskan untuk menjaga luka dari
dehidrasi dan meningkatkan proses penyembuhan luka (Dhivya, Padma, &
Santhini, 2015). Luka dengan suasana lembab dapat mempercepat
fibrinolisis, angiogenesis, menurunkan resiko infeksi, pembentukan growth
factor, dan pembentukan sel aktif (Handayani, 2016).
Gito dan Rochmawati (2018) menuliskan bahwa modern dressing dapat
mempercepat penyembuhan luka karena dalam beberapa jenis modern
dressing, mengandung antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif dan gram negatif. Modern dressing dinilai efektif dan
efisien dalam proses penyembuhan luka klien dari segi biaya, waktu, dan
pencegahan infeksi. Oleh karena ini, hal ini penting untuk diketahui perawat
yang bertanggung jawab terhadap klien dalam masa proses penyembuhan
lukanya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaiamana Konsep Dasar Otitis Media
1.2.2 Bagaimana Manajemen Keperawatan Otitis Media
1.3 Tujuan
Tujuan Penulisan ini yaitu untuk pembaca dapat memahami Konsep Dasar
Maningitis dan manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media

3
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan Dapat mengetahui Konsep Dasar Maningitis dan
Manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media
1.4.2 Instansi Kesehatan
Sebagai sumber bacaan tentang Konsep Dasar Maningitis dan
manajemen Asuhan Keperawatan Otitis Media
1.4.3 Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Otitis Media Akut


2.1.1 Definisi Otitis Media Akut
Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah yang
gejalanya berlangsung cepat seperti tanda-tanda dari efusi telinga
tengah dan tanda inflamasi pada telinga tengah. Otalgia dan demam
adalah tanda paling klasik dari otitis media akut yang telah terjadi
pernanahan. Penemuan spesifik dari pemeriksaan otoskop adalah
hilangnya reflek cahaya, hilangnya bentuk normal membran timpani,
dan pembengkakan pada membran timpani (Toll & Nunez, 2012).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah
dengan gejala dan tanda - tanda yang bersifat cepat dan singkat.
Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara
lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga
tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau
inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran
timpani atau bulging, mobilitas yang terhadap pada membran timpani,
terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner,
2007).

2.1.2 Anatomi Fisiologi


1. Anatomi Telinga
Telinga tengah adalah suatu rongga yang terletak di tulang
tengkorak dan terdiri dari membran timpani, kavum timpani,
antrum mastoid dan tuba eustakhius (Ghanie, 2010).
Gambar 2.1. Anatomi telinga tengah
th

(Sumber : tortora 13 edition 2011)

a. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars
tensa (membran sharpnell) yang terletak dibagian atas dan
pars tensa (membran propria) yang terletak dibagian bawah
(Luklukaningsih, 2014). Pars tensa merupakan bagian paling
besar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar disebut lapisan
kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis
semu halus yang normalnya mereflesikan cahaya. Lapisan
dalam disebut lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan
lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan
yang terletak diantara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua
lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin
fibrokartilago yang mengelilingi membran timpani. Pars
flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa, sehingga bagian inilah
yang pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan
negatif dalam telinga (Shaikh & Hoberman, 2010).
b. Kavum Timpani

Kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian yang


berhubungan dengan lempeng membran timpani, yaitu
epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum (Ghanie,
2010).
1) Epitimpanum, dibatasi oleh suatu penonjolan tipis, yaitu
tegmen timpani. Bagian anterior epitimpanum terdapat
ampula kanalis superior. Pada bagian anterior ampula
kanalis superior terdapat ganglion genikulatum yang
merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Atik pada
bagian posterior menyempit menjadi jalan masuk ke
antrum mastoid yaitu aditus ad antrum (Budiyono, 2011).
2) Mesotimpanum, pada bagian medial dibatasi oleh kapsul
otik yang terletak lebih rendah daripada n.Fasialis pars
timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang membentuk
pleksus timpanikus. Promotorium pada bagian
posterosuperior terdapat foramen ovale (vestibuler), dan pada
bagian posteroinferior terdapat foramen rotundum (koklear).
Orificium timpani tuba eustakhius terletak pada anterosuperior
mesotimpanum (Luklukaningsih, 2014).
Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang
terletak lebih rendah dari membran timpani.
Hipotimpanum membentang dari kanalis semisirkularis
lateralis sampai kanalis semisirkularis posterior disebelah
anteromedial sinus sigmoid. Sudut ini akan ditemukan
dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi
mastoid diantara kanalis semisirkularis lateral dengan
sudut sinodura. Segitiga trautman adalah daerah yang
terletak dibalik antrum yang dibatasi oleh sinus sigmoid,
sinus lateral dan tulang labirin. Batas medialnya adalah
lempeng dura fossa posterior (Koksal & Reisli, 2002).
c. Tuba Eustakhius
Tuba eustakhius menghubungkan telinga tengah dengan
nasofaring. Panjang tuba eustakhius dewasa bervariasi antara
31 - 38 mm. Pada bayi dan anak-anak ukurannya lebih pendek
dan lebih horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih
mudah masuk ke telinga tengah. Dua pertiga bagian
anteromedial tuba (arah nasofaring) berdinding tulang rawan,
sedangkan sisanya (arah cavum timpani) berdinding tulang.
Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan
lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan
M. Tensor dan levator velli palatini. Tuba eustakhius akan
terus berkembang bertambah panjang dan akan membentuk
sudut yang lebih besar dari bidang horisontal pada usia 5-7
tahun (Budiyono, 2011).
2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi
oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui
udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran Proses
mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara
atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di
amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan
ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis (Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2012).
2.1.3 Klasifikasi Otitis Media Akut

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,


bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu
stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-
supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi
(Djaafar, 2007).

Gambar 2.2. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang
ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi
malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium
ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada
stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di
membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani
mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh
mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga
tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung
dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat
tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala
berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.3. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan
baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat
timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga
tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan
insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari
telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada
membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila
terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani
sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi
lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret


atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan
ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan
tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai
dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif
kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.5. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali


dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi
ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan
berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut
menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini
berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
2.1.4 Etiologi Otitis Media Akut
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus
influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-
kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di
rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak
balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa
juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner,
2007).
Sekitar 70% pasien dengan otitis media akut, bakteri
ditemukan pada kultur pada telinga tengah. Spesies yang paling
sering adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae. Kultur pada nasofaring dapat memberikan informasi

berguna dalam keterlibatan bakteri pada otitis media akut.


Heikkinen dkk menemukan pada 25% dari pasiennya disebabkan
oleh steptococcus penumoniae, haemophilus influenzae pada 23%,
moraxella catarrhalis sekitar 15%. Telah didemostrasikan bahwa
kekambuhan dari otitis media akut memiliki hubungan positif
dengan hasil kultur bakteri yang positif pada nasofaring (Corbeel,
2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.
Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai
parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan
membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu
mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus
specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-
virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Kebanyakan anak-anak terinfeksi oleh respiratory syncytial
virus (RSV) pada awal tahun kehidupan. Prevalensi virus saluran

pernafasan pada cairan pada telinga tengah dari 456 anak berumur
tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media akut adalah
41%. RSV adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan
parainfluenza, influenza, enterovirus dan adenovirus. Penemuan
ini dikonfirmasi dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa
virus ke dalam daftar seperti rhinovirus, coronavirus,
metapheumovirus (Corbeel, 2007).
2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media

Faktor risiko dari otitis media pada populasi anak-anak (pediatric)


tergantung pada banyak faktor seperti faktor inang dan faktor
lingkungan. Faktor risiko ini adalah usia, kolonisasi bakteri,
menyusui, dan merokok pasif (Bardy dkk., 2014).
1. Usia
Puncak insiden dari otitis media akut adalah pada dua tahun
pertama kehidupan, khususnya pada 6-12 bulan. Peningkatan
kerentanan terhadap otitis media akut dapat dikaitkan dengan
keadaan anatomi, dimana tuba Eusthacius lebih pendek dan lebih
horizontal dibandingkan dengan dewasa dan juga karena faktor
imunitas (Shaikh & Hoberman, 2010).
2. Kolonisasi bakteri
Kolonisasi pada nasofaring oleh otopathogen memprediksi
onset awal dan frekuensi dari otitis media pada semua anak-anak.
Penelitian pada kelompok pribumi menunjukan bahwa kolonisasi

otopathogen ini lebih sering pada usia muda dan dengan jumlah
bakteri yang terkandung lebih tinggi (Bardy dkk., 2014).
3. Kondisi lingkungan
Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak
dengan anak lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang
melebihi seharusnya, kumuh, dan interaksi dengan individual
dengan otitis media akut. Beberapa studi meneliti antara kondisi
lingkungan yang tidak baik dengan risiko otitis media pada
komunitas pribumi. Lingkungan yang padat sudah dipastikan
sebagai masalah utama pada komunitas pribumi (Bardy dkk.,
2014).
4. ASI

Literatur internasional menyatakan bahwa kekurangan ASI


ekslusif pada enam bulan pertama kehidupan meningkatkan risiko
otitis media akut pada bayi di bawah satu tahun, tetapi pada
penilitan 280 anak - anak pribumi menunjukan bahwa kurangnya
ASI ekslusif tidak meningkatkan risiko otitis media pada enam
bulan awal kehidupan (Bardy dkk, 2014).
5. Merokok

Merokok pasif merupakan resiko yang penting terjadinya otitis


media pada anak-anak (Bardy dkk, 2014).
2.1.6 Tanda dan Gejala Otitis Media Akut
Menurut Smeltzer & Bare (2001) Gejala otitis media akut dapat
bervariasi antara lain : Nyeri telinga (otalgia), keluarnya cairan dari
telinga, demam, kehilangan pendengaran, tinitus, membran timpani
tampak merah dan menggelembung.
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur
pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu
tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau
ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran
temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan
menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan
dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari
(2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 2.1. Skor OMA


Skor Suhu Gelisah Tarik Kemerahan Bengkak pada
(ºC) telinga pada membran membran timpani
timpani (bulging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan
angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti
OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat
otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau
39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam
kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).
2.1.7 Patofisiologi Otitis Media Akut
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting
pada otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang
menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring, yang
terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan
baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau
pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba
dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi
perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20
sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi
penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi
berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung
telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret
atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan
untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring
(Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi
kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk
nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada
tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan
dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan
mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke
dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi
lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi
(Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana
proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta
akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba
terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid
(Kerschner, 2007).
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding
dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih
pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba
orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah
menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan
pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini
meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu
drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media
pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah
berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat,
sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem
pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA
lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ
di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh.
Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi
adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar
ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 2.6. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan


Orang Dewasa
WOC Otitis Media
Bakteri Streptococcus pneumoniae, haemophilus influenzae dan moraxella Usia, kolonisasi bakteri, kondisi lingkungan, ASI,
catarhalis serta respiratory syncytial virus, influenza virus atau adenovirus. merokok.

Invasi bakteri

Infeksi virus ini akan menyebabkan pembengkakan dan menghasilkan penumpukan sekresi mukosa.

Akumulasi sputum di belakang gendang telinga

Otitis
Media
Tekanan udara pada telinga Tindakan pembedahan
tengah Luka terbuka
Proses peradangan pada telinga
Kuman melepaskan endotoksin tengah
Terputusnya kontinuitas
Perubahan status kesehatan
Merangsang tubuh mengeluarkan zat jaringan
pirogen oleh leukosit
Kurang Mengaktivasi reseptor nyeri Retraksi membran
informasi timpani
Hantaran suara / udara Infasi bakteri
Defisit pengetahuan Melalui sistem
Suhu tubuh meningkat yang diterima menurun
saraf ascenden
Gg komunikasi verbal
Merangsang thalamus & Resiko infeksi
korteks serebri
Hipertermia

27
Muncul sensasi nyeri

Sumber : Corbeel, 2007


Nyeri akut

27
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media Akut
1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila
pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam
empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien


harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,
kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga
(ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai
dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal

22
kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak
terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat
menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa
membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan

secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga


membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi
yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar,
2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah
nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus
fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada
satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon
kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,
2007).
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005),
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi
antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
23
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,

gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan


plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial
yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi
otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang
pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada
anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului
dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali
jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2007).

2.2 Asuhan Keperawatan Teoritis


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Kaji Data klien secara lengkap yang mencakup ; nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM / CM, tanggal
masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien dirawat.
Data penanggung jawab mencakup nama, umur, jenis kelamin,
agama, pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan
alamat.
2. Keluhan
Klien dengan Otitis Media Akut datang dengan keluhan nyeri
pada telinga bagian tengah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di
anamnesa, seperti penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri
yang dirasakan. Biasanya alasan klien Otitis Media Akut datang

24
memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu adanya nyeri pada telinga
tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita
gangguan pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang
dilakukan, bagaimana kebiasaan membersihkan telinga, keadaan
lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi).

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran
nafas atas yang berulang dan riwayat alergi pada keluarga.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
- Telinga : Lakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan di daerah
telinga dengan menggunakan senter ataupun alat-alat lain
nya apakah ada cairan yang keluar dari telinga, bagaimana
warna, bau, dan jumlahnya. Apakah ada tanda-tanda
radang.
- Kaji adanya nyeri pada telinga
- Leher : Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah
leher
- Dada / thorak, jantung, perut / abdomen, genitourinaria,
ekstremitas, sistem integumen, sistem neurologi.
b. Data pola kebiasaan sehari-hari
- Nutrisi
Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat
dan sakit,apakah ada perbedaan konsumsi diit nya.
- Eliminasi
Kaji miksi,dan defekasi klien
Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri
Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini, agak
susah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena ada
gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar
/ kurang nyambung tentang apa yang di bicarakan orang
25
lain.
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Otoskopi
- Perhatikan adanya lesi pada telinga luar
- Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa
adanya pus dan ruptur pada membran tympani
- Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada
membran tympani
b. Tes bisik
- Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi,
kemudian dilakukan tes bisik, pada klien dengan OMA
dapat terjadi penurunan pendengaran pada sisi telinga
yang sakit.
c. Tes garpu tala
d. Tes Rinne didapatkan hasil negatif
e. Tes Weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga yang sakit
f. Tes Audiometri : AC menurun
g. Xray : terhadap kondisi patologi

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada pasien Otitis Media yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa
hangat.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
pendengaran dibuktikan dengan tidak mampu mendengar,
menunjukkan respon tidak sesuai, sulit memahami komunikasi.
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi dibuktikan dengan menunjukkan perilaku tidak sesuai
anjuran.
5. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

26
2.2.3 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri
berhubungan selama 3 x 24 jam Observasi :
dengan agen diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
pencedera menurun dengan kriteria nyeri.
fisik hasil : 2. Identifikasi skala nyeri.
dibuktikan - Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal.
dengan - Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
mengeluh - Sikap protektif menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
nyeri, - Gelisah menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
meringis, - Kesulitan tidur menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
gelisah, sulit 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
tidur, 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik.
diaforesis. Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.

27
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dengan jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
proses termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh.
penyakit dengan kriteria hasil: 3. Monitor kadar elektrolit.
dibuktikan - Suhu tubuh membaik 4. Monitor haluaran urine.
dengan suhu - Suhu kulit membaik 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
tubuh diatas - Kadar glukosa darah Terapeutik :
batas membaik 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
normal, kulit - Pengisian kapiler 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
merah, kulit membaik 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
terasa - Ventilasi membaik 4. Berikan cairan oral.
hangat. - Tekanan darah membaik 5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis.
6. Lakukan pendinginan eksternal.
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.
8. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : defisit pendengaran
komunikasi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
verbal jam diharapkan komunikasi 1. Periksa kemampuan pendengaran.
berhubungan verbal meningkat dengan 2. Monitor akumulasi serumen berlebihan.
dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
gangguan - Kemampuan berbicara Terapeutik :
pendengaran meningkat 1. Gunakan bahasa sederhana.
dibuktikan - Kemampuan mendengar 2. Gunakan bahasa isyarat, jika perlu.
dengan tidak - Kesesuaian ekspresi wajah 3. Verifikasi apa yang dikatakan atau ditulis pasien.
mampu / tubuh meningkat 4. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar.
mendengar, - Kontak mata meningkat 5. Berhadapan dengan pasien secara langsung selama berkomunikasi.
menunjukka 6. Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi.
n respon 7. Hindari merokok, mengunyah makanan atau permen karet dan menutup
tidak sesuai, mulut saat berbicara.
sulit 8. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
memahami 9. Hindari berkomunikasi lebih dari 1meter dari pasien.
komunikasi. 10. Lakukan irigasi telinga, jika perlu.
11. Pertahankan kebersihan telinga.
Edukasi :
1. Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat.
2. Ajarkan cara membersihkan serumen dengan tepat.
4. Defisit Setelah dilakukan tindakan Edukasi kesehatan
pengetahuan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
berhubungan jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
dengan pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
kurang dengan kriteria hasil: motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.
terpapar - Perilaku sesuai anjuran Terapeutik :
informasi meningkat 1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
dibuktikan - Verbalisasi minat dalam 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
dengan belajar meningkat 3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
menunjukka - Perilaku sesuai dengan Edukasi :
n perilaku pengetahuan meningkat 1. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan.
tidak sesuai 2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
anjuran. 3. Anjarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.
5. Resiko Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
infeksi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dibuktikan jam diharapkan tingkat 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
dengan efek infeksi menurun dengan dehisen atau eviserasi.
prosedur kriteria hasil: 2. Identifikasi karakteristik drainase.
invasif. - Demam menurun 3. Monitor proses penyembuhan area insisi.
- Kemerahan menurun 4. Monitor tanda dan gejala infeksi.
- Nyeri menurun Terapeutik :
- Bengkak menurun 1. Bersihkan area insisi dengan pembersih yang tepat.
2. Usap area insisi dari area yang bersih menuju area yang kurang bersih.
3. Bersihkan area disekitar tempat pembuangan atau tabung drainase.
4. Pertahankan posisi tabung drainase.
5. Berikan salep antiseptik, bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.
2.2.4 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan pengumpulan data
dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan pasien
(Nursalam, 2008).

2.2.5 Evaluasi
Evalusi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya,
klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008).

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Otitis media adalah infeksi pada rongga telinga tengah akibat disfungsi tuba
eustachius (TE). Disfungsi gerakan mukosiliar, pembukaan, atau penutupan TE
menimbulkan perubahan patologis di ruang telinga tengah yang dapat menyebabkan
otitis media.

Otitis media berawal dari terjadinya kongesti/edema pada mukosa nasal,


nasofaring, dan tuba eustachius yang disebabkan oleh berbagai etiologi seperti infeksi
saluran napas atas (ISPA), reaksi alergi, atau paparan terhadap asap rokok. Hal ini
menyebabkan terganggunya fungsi normal TE, sehingga cairan telinga tengah stasis di
dalam rongga telinga tengah (otitis media efusi/OME), cairan ini merupakan media
yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, jika terjadi infeksi sekunder maka
terjadilah otitis media akut (OMA).

Otitis media dibagi lagi menjadi beberapa kelompok diagnosis, yaitu otitis media
akut (OMA), otitis media akut rekuren, otitis media persisten, otitis media efusi (OME),
otitis media efusi kronis, otitis media supuratif kronis (OMSK) benigna, dan OMSK
maligna. Masing-masing diagnosis otitis media memiliki manajemen terapi yang
berbeda

3.2 Saran

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat di pertanggung jawabkan. Semoga
makalah ini bermanfaat untuk semua kalangan terutama bagi kami sendiri serta untuk
lebih menambah wawasan sehingga bermanfaat di masa yang akan datang.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofar. (2012). Pedoman lengkap keterampilan perawatan klinik.


Yogyakarta: Mitramedia

Andarmoyo . 2017. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: AR-


RUZZ MEDIA
Anonim . 2014. Clinical Practice Guideline : The Diagnosis and Management of
Acute Otitis Media. The American Academy of Pediatric.
Arisanty, Irma P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta :
EGC. Jakarta
Brunner, & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Budiyono, Setiadi. 2011. Anatomi Tubuh Manusia. Bekasi : Laskar Aksara

Handayani, L. T. (2016). Studi Meta Analisis Perawatan Luka Kaki Diabetes


Dengan Modern Dressing. The Indonesian Journal Of Health Science,
6(2).
Haryono, R. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogjakarta: Pustaka Baru
Press.

Luklukaningsih, Zuyina. 2014. Anatomi Fisiologi dan Fisioterapi. Yogyakarta:


Nuha Medika.
Nurarif A.H & Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc ed 1. Jogjakarta : Penerbit
Mediaction
Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
World Health Organization. 2012. Situation Review and Update on Deafnes,
Hearing Loss dan Intervention Program. Geneva: Regional Office for
Geneva.
Yusra, S & Aprilani, I. 2015. Perawatan Luka Kaki Diabetik Pada Pasien
Diabetes

33

Anda mungkin juga menyukai