Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Hipertensi yang sudah ada adalah alasan medis yang paling umum untuk
menunda operasi. Hipertensi juga dikenal sebagai faktor risiko kegawatan
kardiovaskular, risiko yang meluas selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan kondisi pasien secara optimal pada saat
pra operasi, saat pasien berada di bawah agen anestesi selama operasi  dan perawatan
pasca operasi. Pasien dengan hipertensi cenderung memiliki ketidakstabilan
hemodinamik dan lebih sensitif terhadap anestesi dan prosedur operasi, sehingga
perlu pengawasan yang lebih ketat terutama untuk mengontrol hemodinamik pasien.

1
BAB II
ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi


Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya
peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang
diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg


Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on


prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi
derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.

2
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil
p e n g u k u r a n T D dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan
waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang
dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan
setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya
riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi
hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali
berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari
nilai itu.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan  darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan
berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotens i meningkatkan resiko
pembedahan, termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi
sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan
penyakit occlusive koroner. Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan
hipertensi.2 Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup empat hal dasar yang harus dicari,
yaitu jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian
ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi,  penilaian
yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita dan penentuan kelayakan
penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan
yang memerlukan teknik hipotensi.3 Selama operasi, pasien dengan dan tanpa
hipertensi memiliki  kemungkinan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah dan
tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor umum hipertensi perioperatif adalah
memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama tekanan darah diastolik lebih besar
dari 110 mm Hg.4 Sedangkan prinsip umum dalam pemberian anestesi pada pasien
hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular selama anestesi dan periode
perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki  resiko perubahan tekanan darah lebih
besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa ketidakstabilan tekanan
darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan  kematian
pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang  tidak terkontrol.
3
Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi untuk
perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama  pada
orang tua).  Menghindari hipotensi (dan normotension pada pasien yang biasanya
memiliki angka tekanan darah yang tinggi dalam kesehariannya), dapat mencegah
komplikasi akibat perfusi yang kurang, terutama untuk mengontrol hemodinamik.
Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 190 mm
Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah operasi,
mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua jantung
dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum  pada periode
pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan resistensi
pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit setelah
operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam. Jika tidak diobati, pasien akan
meningkatkan risiko untuk pendarahan, peristiwa serebrovaskular, dan infark
miokard.5

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa


sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD
110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia
atauoperasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring
dengan p e r t a m b a h a n u m u r , d i m a n a p e r u b a h a n i n i l e b i h d i a n g g a p
sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun
beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler  d i b a n d i n g k a n
hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada
hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya
stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. D a l a m b a n y a k
uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi
a k a n menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai
20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.
Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi
khususnya p a d a p a s i e n d e n g a n k a s u s h i p e r t e n s i y a n g r i n g a n
4
s a m p a i s e d a n g . N a m u n pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai
efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri.
Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan
sebelum operasi. The American H e a r t A s s o c i a t i o n / A m e r i c a n C o l l e g e
o f C a r d i o l o g y ( A H A / A C C ) m e n g e l u a r k a n acuan bahwa TD sistole
180 mmHg dan/atau TD diastole 110 mmHg sebaiknya dikontrol s e b e l u m
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada
keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi
yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Pasien
hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan
baikakan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak
dikontrol dengan baik..

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah


sama p e n t i n g n y a dengan pengontrolan hipertensi pada periode
p r e o p e r a t i f . P a d a hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi  j a n g k a panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi
kekiri kembali ke normal.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai


teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik
yang kita inginkan. Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan p a d a
pasien dengan keadaan hipovolemia.

5
Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif
yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea
harus disingkirkan terlebih dahulu.

Manajemen Post Operatif


Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi
menyebabkan iskemia miokard, d i s r i t m i a  jantung dan CHF.
Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan u l a n g l u k a
operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat
berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka
o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka operasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, o v e r l o a d
cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan
u n t u k memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut
harus d i k o r e k s i d u l u .
Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse
kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah
teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera
dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD
kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk
6
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila
p e n y e b a b n y a k a r e n a overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan
apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-
inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara
l a n g s u n g m a u p u n t i d a k l a n g s u n g d a p a t d i b e r i k a n nitrogliserin
dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi
beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita
sudah bias makan dan minum secara oral sebaiknya
a n t i h i p e r t e n s i s e c a r a o r a l s e g e r a dimulai.

7
BAB III
ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang


subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis
 subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang
epidural  durameter  ruang subarachnoid.

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus).
Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5.6


Indikasi anestesi spinal:6
1.  Bedah ekstremitas bawah

8
2.  Bedah panggul

3.  Tindakan sekitar rektum perineum

4.  Bedah obstetrik-ginekologi

5.  Bedah urologi

6.  Bedah abdomen bawah

7.  Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan


dengan anesthesia umum ringan


Kontra indikasi absolute: 6
1.  Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

2.  Infeksi pada tempat suntikan

3.  Hipovolemia berat, syok

4.  Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.  Tekanan intrakranial meningkat

6.  Fasilitas resusitasi minim

7.  Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.


Kontra indikasi relative: 6

1. Infeksi sistemik 7. Hipovolemia ringan

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

9
8. Nyeri punggung kronik


Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini : 6

1.      Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2.      Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)


Peralatan analgesia spinal6
1.      Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.

2.      Peralatan resusitasi

3.      Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Anastetik lokal untuk analgesia spinal6
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. 
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan: 6

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-


100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)


Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat . 6

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.


Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.


Penyebaran anastetik lokal tergantung6
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal


Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1.  Jenis anestetia lokal

2.  Besarnya dosis
3.  Ada tidaknya vasokonstriktor

4.  Besarnya penyebaran anestetik lokal


Komplikasi tindakan anestesi spinal 6
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai
T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total


Komplikasi pasca tindakan6
1.  Nyeri tempat suntikan

2.  Nyeri punggung

3.  Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.  Retensio urine

5.  Meningitis
BAB IV

HIPOTENSI AKIBAT ANESTESI SPINAL

Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling sering
terjadi. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang mendapat
anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal, mayoritas ( 16 % ) berupa
hipotensi. Carpenter dkk. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi spinal sebesar 33 %.

Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, umur, jenis
kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi.

Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan
arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah
perifer. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya
venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.

Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan pemberian
infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopressor. Banyak penelitian telah dilakukan
baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopressor dengan berbagai macam
cara atau metode dan jenis yang berbeda.

Insiden Hipotensi Pada Anestesi Spinal


Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul pada anestesi spinal sebagai akibat
blok simpatis. Untuk kepentingan klinis praktis, diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada
penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.
Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal sekitar 1/3 dari seluruh kasus. Carpenter
dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya
juga mengalami komplikasi lain dan biasanya terjadi lebih awal dengan insiden 33 %.
Peneliti lain melaporkan dari sekitar 26 % pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi
spinal, 16 % disertai dengan hipotensi.

Patofisiologi
Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan
arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah
perifer.

Penurunan tekanan darah setelah anestesi spinal akan merangsang baroreseptor di arkus
aorta, sinus karotikus, atrium dan ventrikel. Jaras aferen dari baroreseptor melalui N IX dan
N X memproyeksikan ke pusat vasomotor di medulla oblongata. Jaras eferen dari lengkung
refleks terdiri dari serabut parasimpatis menuju ke jantung malaui N X dan serabut simpatis
menuju ke jantung dan pembuluh darah mengakibatkan vasokonttriksi arteri dan vena,
peningkatan laju jantung, peningkatan kontraksi miokardium.

Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan
simpatis. Blokade vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus
arteri, tetapi tidak semuanya hilang dan masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi
arteri tidak merata, bahkan di daerah yang mengalami blokade simpatis. Vasodilatasi daerah
yang di blok membuat kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak di blok.

Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya
venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.
Walaupun terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, volume darah tetap dalam keadaan normal,
sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi
anoksia / hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi
akibat hipovolemia. Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari
perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis,
hipotensi paling sering disebabkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk
penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada
pendapat lain yang mengatakan sistolik 80 mmHg.

Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat anestesi lokal, tingkat
penghambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi.

 Umur
o Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat
dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden
hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10% menjadi
30% pada umur 80 tahun.

 Jenis Kelamin

o Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini mungkin
berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun
jumlah anestesi lokal yang diberikan sama. Perbandingan insiden komplikasi
spinal antara wanita dan pria adalah 32% dan 20%.

 Berat Badan

o Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih
besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI )lebih dari 30%.

 Kondisi fisik

o Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis hingga
pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi atau hanya
hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau hipovolemia atau pasien
dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen (hamil, tumor abdomen ),
blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat.

 Jenis obat anestesi lokal

o Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata – rata
timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering. Bupivakain
hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan
bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit pertama.

 Tingkat penghambatan sensorik


o Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal sangat tergantung dan
berhubungan erat dengan tingginya blok. Pada tingkat T 1 – T 5 25 % pasien
mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat servikal 50
% pasien atau lebih mengalami hipotensi.

 Posisi pasien

o Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal pada
operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga
lebih mudah terjadi hipotensi.

 Manipulasi operasi

o Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi


sehingga sukar untuk mengkompensasi.

Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia
jaringan, yaitu berupa gelisah, ketakutan, tinitus, pusing dan sakit kepala, biasanya juga
disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma
yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian.

Mekanisme Kompensasi Akibat Hipotensi

Hipotensi biasanya terjadi pada 15 – 20 menit pertama setelah penyuntikan


subarachnoid dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu
20 – 25 menit. Setelah tekanan darah mencapai penurunan yang terendah, secara spontan
akan naik kembali sekitar 5 – 10 mmHg setelah 10 – 15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh
karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok dan bukan karena
naiknya curah jantung, yang kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat
anestesi lokal habis.
Kontrol aliran darah oleh sistim saraf otonom berlangsung cepat ( 1 detik ) , komponen
terpenting adalah saraf simpatis. Mekanisme cepat untuk regulasi tekanan darah diatur oleh
refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, refleks atrium, dan refleks iskemik sistem saraf
pusat.

Barorefleks memberikan mekanisme kontrol umpan balik negatif untuk


mempertahankan tekanan darah sistemik pada level relatif konstan. Bila terjadi hipotensi
akibat anestesi spinal harus segera diterapi dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi
jaringan, yaitu dengan meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi
jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah. Jika hipotensi tidak segera
diatasi akan menimbulkan efek yang lebih berat yaitu syok dan kematian

Usaha pencegahan hipotensi


Crichley, Short dan Gin dalam satu penelitiannya mendapatkan bahwa preload NaCl
0,9% 16 ml/kg gagal mempertahankan tekanan darah sistolik pada 5 dari 10 pasien, meskipun
mampu mempertahankan cardiac index, systemic vascular resistance index dan tekanan vena
sentral. McCrae dkk juga menyimpulkan bahwa preload cairan kristaloid 16 ml/kgBB gagal
mempertahankan tekanan darah sistolik yang adekuat pada beberapa pasien yang mendapat
anestesi spinal.
.
Sternio dkk. Menyatakan bahwa pemberian cairan preload kristaloid saja kurang efektif
untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal terutama pada pasien tua dengan kelainan
jantung. Studi kualitatif tahun 1988-2000 disimpulkan bahwa preload kristaloid untuk
mencegah hipotensi tidak konsisten dibandingkan dengan koloid.

Penggunaan preload larutan dextrosa 5% juga kurang efektif mencegah hipotensi pada
seksio sesaria dengan tehnik anestesia regional. Preload Gelatin 4 % (Gelofusine) 15ml/kgBB
juga membutuhkan lebih sedikit metaraminol dibandingkan tanpa preload pada seksio
sesaria.
Sejak Valesco dkk.(1980) pertama kali menguraikan manfaat larutan NaCl hipertonik
7,5% sebagai small volume resuscitation untuk syok hemoragik berat, penelitian tentang
pemakain larutan ini baik secara sendiri maupun sebagai kombinasi dengan koloid terus
berkembang. Larutan NaCl hipertonik 3% memiliki kadar natrium lebih dari 3,3 kali besar
dari laruatan NaCl 0,9% dan memiliki tekanan osmotik 1026 mOsm/l.

Mekanisme cairan NaCl hipertonis dalam melawan perubahan-perubahan hemodinamik


akibat anestesi spinal adalah terutama melalui mobilisasi cairan endogen sepanjang gradien
tekanan osmotik dari intraseluler dan interstisiil ke dalam intravaskuler. Penggunaan preload
1,6 ml/kgBB NaCl hipertonik (7,5%) adalah sama baiknya dengan 13 ml/kg BB NaCl 0,9 %
dalam pencegahan hipotensi karena anestesi spinal. Koloid jarang dipakai oleh karena
pertimbangan biaya dan resiko anafilaktik. Shiv K Sarma juga meneliti preload larutan
hetastrach 6% 500 ml yang ternyata lebih efektif mencegah hipotensi dibandingkan dengan
larutan ringer laktat 1000 ml. Dengan insiden hipotensinya 45% berbanding 80%.

Penggunaan Hydroxyethylstarch (HES) 10% 500 ml juga lebih efektif dibandingkan


larutan Ringer Laktat 1000 ml 25. Insiden hipotensinya 40% berbanding 80%. Pada pasien
tua, derajat hipotensi atau kebutuhan obat vasopresor tidak berhubungan dengan preload
kristaloid atau koloid

Terapi Hipotensi Pada Anestesi Spinal


Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal :
 Posisi head down/ Trendelenberg.
o Tindakan memposisikan pasien head down/ trendelenberg yaitu Kepala pasien
diturunkan sekitar 5 – 8 derajat merupakan tindakan yang sederhana, mudah
dan sangat bermanfaat. Adanya gravitasi dari posisi tersebut akan
meningkatkan venous return dan curah jantung sehingga tekanan darah akan
meningkat. 

o Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70 mmHg
menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini telah dibuktikan
oleh Gordh ( 1945 ). 
o Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi pada 15
menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya penyebaran anestesi
lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi.

 Pemberian oksigen.

o Tujuan pemberian oksigen selama hipotensi untuk meningkatkan kandungan


oksigen darah arteri sehinga dapat mengurangi hipoksia sekaligus mual dan
muntah.

 Pemberian cairan intra vena.


o Hipotensi selama anestesi spinal dapat juga diterapi dengan infus cairan iv
cepat dengan volume cairan yang relatif besar, biasanya 1 – 1,5 liter per 70
kgBB dalam waktu kurang dari 10 menit. Larutan yang sering digunakan
larutan seimbang elektrolit. Pemberian cairan ini akan meningkatkan venous
return dan curah jantung.

o Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan dan


membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan mengganggu
transport oksigen. 

o Pada penderita normovolemik penurunan tekanan darah arteri tidak dapat


dipertahankan hanya dengan infus iv larutan kristaloid, tetapi harus
dikombinasi dengan posisi head down dan penggunaan vasopresor.

 Terapi vasopressor. 

o Obat vasopressor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung pada otot
arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat vasomotor,
stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan meningkatkan curah
jantung dan venous return. 

o Obat-obat vasopressor yang biasa digunakan pada hipotensi selama anestesi


spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin, metaraminol, dopamin
dan dobutamin.
BAB V

KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka


penderitay a n g c u k u p t i n g g i . H i p e r t e n s i s e n d i r i m e r u p a k a n f a k t o r r i s i k o
m a y o r y a n g b i s a menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung,
serebral, ginjald a n v a s k u l e r . M e n g i n g a t t i n g g i n y a a n g k a k e j a d i a n d a n
k o m p l i k a s i y a n g b i s a ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu
adanya pemahaman para ahlianestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif.

Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi


dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi
keadaan penderita sangatp e n t i n g d i l a k u k a n u n t u k m e m i n i m a l k a n t e r j a d i n y a
k o m p l i k a s i , b a i k y a n g t e r j a d i selama intraoperatif maupun yang terjadi pada
pascapembedahan. Goncanganhemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi
maupun berupa hipotensi, yangbisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini
harus diantisipasi denganperlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar,
manajemen cairanperioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik
obat-obatanantihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut
yangadekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-
penderitahipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan
ataumeminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hypertension management. 2009. Available at:


http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/Hypertension%20management
%202009.pdf

2.   Kaplan MN., Perioperative management of hypertension. http://www.uptodate.com

3. Wiryana M., 2008. Manajemen perioperatif pada hipertensi.


http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6_manajemen%20perioperatif%20pd%20hipertensi.pdf

4. Varon J and Marik PE. 2008. Perioperative hypertension management.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2515421/

5.   Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia. http://www.frca.co.uk/article.aspx?


articleid=100656

6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.

7. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editors. Anestesiologi. Jakarta: Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 1989.
8. Rastogi S, Turner J, Nerve damage associated with peripheral nerve block, Royal College
Anaesthetists revised edition 2009

Anda mungkin juga menyukai