Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi
Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi
PENDAHULUAN
Hipertensi yang sudah ada adalah alasan medis yang paling umum untuk
menunda operasi. Hipertensi juga dikenal sebagai faktor risiko kegawatan
kardiovaskular, risiko yang meluas selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan kondisi pasien secara optimal pada saat
pra operasi, saat pasien berada di bawah agen anestesi selama operasi dan perawatan
pasca operasi. Pasien dengan hipertensi cenderung memiliki ketidakstabilan
hemodinamik dan lebih sensitif terhadap anestesi dan prosedur operasi, sehingga
perlu pengawasan yang lebih ketat terutama untuk mengontrol hemodinamik pasien.
1
BAB II
ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI
2
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil
p e n g u k u r a n T D dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan
waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang
dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan
setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya
riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi
hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali
berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari
nilai itu.
5
Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif
yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea
harus disingkirkan terlebih dahulu.
7
BAB III
ANESTESI SPINAL
Indikasi anestesi spinal:6
1. Bedah ekstremitas bawah
8
2. Bedah panggul
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
Kontra indikasi absolute: 6
1. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
Kontra indikasi relative: 6
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
9
8. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini : 6
Peralatan analgesia spinal6
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)
Anastetik lokal untuk analgesia spinal6
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat . 6
Penyebaran anastetik lokal tergantung6
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
Komplikasi tindakan anestesi spinal 6
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai
T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan6
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
4. Retensio urine
5. Meningitis
BAB IV
Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling sering
terjadi. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang mendapat
anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal, mayoritas ( 16 % ) berupa
hipotensi. Carpenter dkk. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi spinal sebesar 33 %.
Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, umur, jenis
kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi.
Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan
arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah
perifer. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya
venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.
Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan pemberian
infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopressor. Banyak penelitian telah dilakukan
baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopressor dengan berbagai macam
cara atau metode dan jenis yang berbeda.
Patofisiologi
Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan
arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah
perifer.
Penurunan tekanan darah setelah anestesi spinal akan merangsang baroreseptor di arkus
aorta, sinus karotikus, atrium dan ventrikel. Jaras aferen dari baroreseptor melalui N IX dan
N X memproyeksikan ke pusat vasomotor di medulla oblongata. Jaras eferen dari lengkung
refleks terdiri dari serabut parasimpatis menuju ke jantung malaui N X dan serabut simpatis
menuju ke jantung dan pembuluh darah mengakibatkan vasokonttriksi arteri dan vena,
peningkatan laju jantung, peningkatan kontraksi miokardium.
Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan
simpatis. Blokade vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus
arteri, tetapi tidak semuanya hilang dan masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi
arteri tidak merata, bahkan di daerah yang mengalami blokade simpatis. Vasodilatasi daerah
yang di blok membuat kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak di blok.
Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya
venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.
Walaupun terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, volume darah tetap dalam keadaan normal,
sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi
anoksia / hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi
akibat hipovolemia. Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari
perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis,
hipotensi paling sering disebabkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk
penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada
pendapat lain yang mengatakan sistolik 80 mmHg.
Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat anestesi lokal, tingkat
penghambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi.
Umur
o Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat
dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden
hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10% menjadi
30% pada umur 80 tahun.
Jenis Kelamin
o Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini mungkin
berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun
jumlah anestesi lokal yang diberikan sama. Perbandingan insiden komplikasi
spinal antara wanita dan pria adalah 32% dan 20%.
Berat Badan
o Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih
besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI )lebih dari 30%.
Kondisi fisik
o Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis hingga
pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi atau hanya
hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau hipovolemia atau pasien
dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen (hamil, tumor abdomen ),
blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat.
o Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata – rata
timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering. Bupivakain
hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan
bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit pertama.
Posisi pasien
o Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal pada
operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga
lebih mudah terjadi hipotensi.
Manipulasi operasi
Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia
jaringan, yaitu berupa gelisah, ketakutan, tinitus, pusing dan sakit kepala, biasanya juga
disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma
yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian.
Penggunaan preload larutan dextrosa 5% juga kurang efektif mencegah hipotensi pada
seksio sesaria dengan tehnik anestesia regional. Preload Gelatin 4 % (Gelofusine) 15ml/kgBB
juga membutuhkan lebih sedikit metaraminol dibandingkan tanpa preload pada seksio
sesaria.
Sejak Valesco dkk.(1980) pertama kali menguraikan manfaat larutan NaCl hipertonik
7,5% sebagai small volume resuscitation untuk syok hemoragik berat, penelitian tentang
pemakain larutan ini baik secara sendiri maupun sebagai kombinasi dengan koloid terus
berkembang. Larutan NaCl hipertonik 3% memiliki kadar natrium lebih dari 3,3 kali besar
dari laruatan NaCl 0,9% dan memiliki tekanan osmotik 1026 mOsm/l.
o Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70 mmHg
menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini telah dibuktikan
oleh Gordh ( 1945 ).
o Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi pada 15
menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya penyebaran anestesi
lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi.
Pemberian oksigen.
Terapi vasopressor.
o Obat vasopressor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung pada otot
arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat vasomotor,
stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan meningkatkan curah
jantung dan venous return.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.