Anda di halaman 1dari 4

DIALOG PUBLIK VIRTUAL DENGAN TEMA: “IZIN PRAKARSA REVISI PP

109/2012: URGENSI ATAU POLITISASI”

Sambutan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.

Negara Indonesia kerap kali mendapat tantangan dari berbagai pihak, salah satunya
datang dari Uni Eropa yang mengajukan keberatan atas masalah ekspor nikel dari Indonesia ke
luar negeri. Terkait nikel sendiri, Indonesia sudah berencana untuk melakukan pemurnian
mandiri dalam negeri melalui perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negeri. Sehingga
lapangan pekerjaan tersedia lebih banyak bagi masyarakat Indonesia. Selain daripada itu, terlihat
bahwa ada upaya pemerintah Indonesia agar kedaulatan Indonesia tidak diganggu oleh negara
lain.

Terdapat pihak-pihak lain yang berupaya mengganggu kedaulatan Indonesia. Yang saat
ini hangan dibacarakan dan menjadi topik pembicaraan dalam dialog publik virtual, yaitu
Industri Hasil Tembakau. Seperti yang diketahui, IHT telah menopang banyak lapangan
pekerjaan bagi masyarakat dan juga menopang perekonomian nasional. Meskipun ada dampak-
dampak buruk terlebih dari segi kesehatan dan hal ini yang menjadi target LSM asing untuk
berencana mengubah kebijakan agar menurunkan produksi tembakau bahkan bisa mematikan
usaha produksi tembakau di Indonesia dengan iming-iming kesehatan.

Di Indonesia sendiri, peraturan yang mengatur hal-hal tersebut sudah ada dan telah
diratifikasi. Namun Indonesia yang dianggap tidak mengikuti tren dunia luar dengan ikut
meratifikasi perjanjian yang diinisiasi WHO, telah membuat Indonesia berada dalam posisi
dilema. Karena apabila Indonesia ikut meratifikasi perjanjian tersebut, tentunya Indonesia akan
banyak mengalami kerugian.

Membiarkan LSM asing yang masuk dalam pembuatan kebijakan Indonesia dan juga
membiarkan Indonesia mengikuti tren dunia luar tanpa memikirkan dampaknya terlebih dahulu
menjadi bentuk intervensi yang akan mengancam kedaulatan Indonesia. Sebagai negara yang
berdaulat, sudah seharusnya Indonesia tidak ketergantungan pada negara lain apabila dari bentuk
interaksi itu, malah merugikan Indonesia. Intervensi-intervensi tersebut harus dilawah berikut
dengan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Solusi yang paling baik adalah
dengan membuat kebijakan dengan kajian-kajian terbaik yang dilakukan secara mandiri oleh
pemerintah tanpa ada intervensi dari pihak asing.

Industri Hasil tembakau (IHT) saat ini sedang terpuruk. Sebanyak 6 juta tenaga kerja
dalam mata rantai IHT sedang terancam mata pencahariannya. Hal ini terjadi karena terus
meningkatnya tarif cukai secara eksesif, yang membuat IHT kesulitan untuk dapat terus
bertahan, ditambah lagi dengan adanya Pandemi Covid-19. Dorongan pihak-pihak yang
menginginkan agar Pemerintah segera melakukan Simplifikasi Tarif Cukai dan merevisi PP
109/2012 terus bergulir, tanpa mempertimbangkan banyak aspek kehidupan yang terancam,
makin menyulitkan posisi bertahan para pelaku IHT.

Trikawan Jati Iswono – Setkab

Menjelaskan mengenai aspek kebijakan secara makro terkait dengan Industri Hasil
Tembakau yang ramai diperbincangkan. Yang pertama, sesuai dengan target dalam RPJMN
bahwa memang ada target prevalensi merokok. Prevalensi merokok di bawah 18 tahun adalah
9,81% dan ditargetkan untuk turun di tahun 2024. Disebutkan pula, bahwa untuk mencapai target
tersebut, dibutuhkan 2 kebijakan. Yang pertama, tarif cukai tembakau dan harga eceran rokok.
Yang kedua, rencana penyederhanaan struktur tarif. Sedangkan dari segi non-fiskal, ditargetkan
untuk melarang total promosi rokok dan juga melakukan revisi atas PP 109/2012.

Secara ekonomi, melihat dari APBN tahun 2020, tembakau memiliki hasil yang
signifikan dan setiap tahun memiliki kontribusi sebesar 90% ke atas. Hasil cukai itu juga
kemudian disebarkan ke beberapa daerah untuk menyokong program-program daerah yang
bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Sedangkan di bidang ekspor, hasil tembakau
juga memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Begitu pula di bidang
ketenagakerjaan. Sehingga IHT ini menjadi masalah yang begitu kompleks di Indonesia karena
mencakup banyak level masyarakat di Indonesia mulai dari petani, industri hingga konsumen.

Target yang telah ditentukan oleh pemerintah seperti yang telah dijelaskan, bukan berarti
dalam segi pelaksanaannya akan pasti dilakukan. Bukan karena pemerintah tidak konsisten atas
target-target tersebut, melainkan karena pemerintah melihat dinamika di lapangan dan peran
strateis bea cukai tembakau itu sendiri. Kebijakan yang diambil secara tiba-tiba tanpa ada
pengukuran yang detail tentu menjadi pukulan yang besar bagi Indonesia.

Berkaitan dengan PP 109/2012 dengan wacana hendak direvisi, sudah seharusnya


pemerintah tidak merevisi hanya dengan melihat dari segi kesehatannya saja karena prevalensi
merokok begitu luas an rumit. Terdapat dua hal yang harus pemerintah perhatikan yaitu dari segi
timing dan urgensi. Dari segi timing, pemerintah harus mengingat bahwa saat ini masih masa
pandemi, dan hal itu telah berpengaruh besar terhadap penurunan industri tembakau. Sedangkan
dari segi urgensi, pemerintah harus melihat prevalensi merokok yang harus menjadi acuan untuk
memuat kebijakan. Selain itu, harus melihat apakah ada opsi lain untuk mencapai target yaitu
untuk menurunkan prevalensi merokok dengan tidak berdampak secara tajam ke masyarakat.
Salah satu yang telah diajukan yaitu dengan menimbang dari segi pendidikan, dimana semakin
tinggi pendidikan seseorang, maka berpengaruh secara signifikan untuk berhenti merokok. Selain
itu juga terdapat hotline untuk masyarakat yang ingin berkonsultasi agar berhenti merokok.

Dr. Riant Nugroho – Dosen dan Ahli Kebijakan Publik UNJANI

Dr. Riant Nugroho memberikan gambaran mengenai bagaimana membangun kebijakan


publik yang mencerminkan kepentingan publik. Dimana dalam prosesnya, harus ada kajian
mengenai isunya, analisisnya, keputusan, pelembagaan, pelaksanaan hingga evaluasi kinerja
kebijakan. Selain itu juga, dalam merancang kebijakan, diharuskan adanya transparansi terhadap
publik. Kebijakan dibagi menjadi kebijakan sosial-politik, ekonomi, dan pertahanan nasional.
Dalam proses-proses tersebut harus ada transparansi kecuali untuk bidang pertahanan. Kinerja
pelaksanaan juga harus dilihat apakah lurus dengan tujuannya atau tidak.

Kebijakan harus jelas evaluasi kebijakannya, karena apabila tidak, bisa disebut sebagai
kejahatan kebijakan. Sebuah kebijakan juga harus melihat dari national interest, global interest,
dan enemy interest. Masing-masing kepentingan harus dengan porsi yang benar. Dalam
interaksinya dengan negara lain, terdapat perang dan perang tersebut terjadi dari 4 tahapan, yaitu
perang ide, perang kebijakan, perang ekonomi lalu yang terakhir perang militer. Serta ada dua
jenis korupsi yang dianggap paling berbahaya yaitu korupsi keuangan dan korupsi kebijakan
(vendor driven captured policy). Oleh karena itu, membuat kebijakan bukanlah hal yang mudah,
melainkan sebuah tanggung jawab besar yang harus mewakili publik secara luas.
Kebijakan unggul harus terdiri dari sifat yang cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan
bagi kombinasi kelompok-kelompok yang ada. Salah satu solusinya adalah dengan back to zero,
harus memikirkan dari awal apa isunya dan bagaimana menyelesaikan isu tersebut.

Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum., C.N. – Direktur Jenderal Peraturan dan
Perundang-undangan, Kemenkumham

Dr. Roberia menjelaskan mengenai bagaimana pembentukan peraturan pemerintah.


Dimana dalam pembentukannya, sebuah PP harus melewati 5 tahapan, yaitu perencanaan,
penyusunan, penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tahapan-tahapan tersebut tidak bisa
dilewati baik ketika membuat PP baru atau merevisi PP lama. Kecuali untuk peraturan presiden,
beberapa tahap bisa dilewati. Tahapan-tahapan ini adalah hal yang penting dan harus dipahami.

Untuk tahap perencanaan terdapat dua jalan untuk memenuhi tahap tersebut, yaitu
Program Penyusunan PP atau Izin Prakarsa. Dalam tahap Prosun, dibahas mengenai judul dan
inti peraturan. Sedangkan apabila tahap Prosun terlewati, bisa melalui jalur Izin Prakarsa namun
tetap harus dilengkapi dengan beberapa surat permohonan dan alasan urgensi dibuatnya
kebijakan.

Setelah tahap perencanaan, terdapat tahap penyusunan dimana didalamnya terdapat dua
tahapan lagi. Yaitu menyusun Panitia Antar Kementerian dan melakukan Harmonisasi dengan
Kemenkumham. Baru kemudian ditetapkan oleh kementerian terkait dan ditetapkan oleh
presiden serta melakukan verifikasi kembali. Di tahap pengundangan, Kemenkumham
memberikan nomor pada undang-undnag dan melakukan proses autentifikasi baru kemudian
melalui tahapan penyebarluasan, yaitu dengan menyebarluaskan undang-undang yang sudah
ditandatangani kepada masyarakat.

Dinamika apakah akan melakukan revisi atau tidak, bisa saja muncul karena adanya
pertimbangan-pertimbangan dari berbagai kementerian mengingat isu ini menyangkut banyak
hal. Seuai UU No. 12, masuknya partisipasi masyarakat adalah hal yang penting.

Anda mungkin juga menyukai