Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

DEMAM BERDARAH

A. KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah DBD disertai dengan renjatan/syok.

2. Epidemiologi
Indonesia adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun
1968—2007 diperoleh kecenderungan peningkatan insidens DBD. Sejak
tahun 2004, Indonesia merupakan Negara dengan laporan kasus infeksi
virus dengue terbanyak. Peningkatan jumlah ini diiringi dengan penurunan
mortalitas DBD dari 3,4% (1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2007, prevalensi kasus DBD tersebar di Indonesia
dengan nilai 0,6%. Prevalensi tertinggi diperoleh pada kelompok umur
dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak 0,7% dan terendah pada bayi
(0,2%).

3. Etiologi
Penyebab DD/DBD adalah virus dengue yang merupakan anggota
genus Flavivirus dan terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. DEN-3 merupakan serotype terbanyak di Indonesia. Virus
tersebut ditularkan oleh gigitan vector nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari. Tempat
berkembangnya vector nyamuk adalah air, terutama pada penampungan
seperti ember dan bekas, bak mandi, dan sebagainya. Biasanya nyamuk
Aedes menggigit pada siang hari.
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis DD/DBD belum diketahui dengan pasti. Namun, ada
beberapa teori yang diperkirakan berperan dalam munculnya tanda dan
gejala pada penyakit ini. Terdapat 3 sistem organ yang diperkirakan
berperan penting dalam pathogenesis DD/DBD, yakni system imun, hati
dan sel endotel pembuluh darah. Selain itu, respon imun pejamu yang
diturunkan (faktor genetic) juga berperan dalam manifestasi klinis yang
ditimbulkan.
Virus dengue diinjeksikan oleh nyamuk Aedes ke aliran darah. Virus
ini secara tidak langsung juga mengenai sel epidermis dan dermis sehingga
menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel-sel yang
terinfeksi ini bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag dan monosit
kemudian di rekrut dan menjadi target infeksi berikutnya. Selanjutnya
terjadi amplifikasi infeksi dan virus tersebar melalui darah (viremia
primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag jaringan beberapa
organ seperti limpa, sel hati, sel stromal, sel endotel dan sumsum tulang.
Infeksi makrofag, hepatosit dan sel endotel mempengaruhi hemostasis dan
respon imun pejamu terhadap virus dengue.
Sel-sel yang terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan hanya
sedikit yang melalui nekrosis. Nekrosis mengakibatkan pelepasan produk
toksik yang mengaktivasi system fibrinolitik dan koagulasi. Bergantung
kepada luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6, IL-8, IL-10,
dan IL-18, hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunan
trombogenisitas darah. Produk toksik juga menyebabkan peningkatan
koagulasi dan konsumsi trombosit sehingga terjadi trombositopenia.
Trombositopenia juga terjadi akibat supresi sumsum tulang , destruksi dan
pemendekan masa hidup trombosit akibat pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibody, dan sekuestrasi di perifer.
Trombosit memiliki interaksi yang dekat dengan sel endotel. Sejumlah
trombosit fungsional diperlukan untuk mempertahankan stabilitas
vascular. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin, PF4 (trombosit
factor 4). Koagulopati terjadi karena interaksi virus dengan endotel yang
memicu disfungsi endotel (jalur ekstrinsik) dan aktivasi faktor Xia (jalur
intrinsic). Namun, sel endotel memiliki tropisme tersendiri terhadap virus
dengue. Bersamaan dengan tingginya kadar virus dalam darah,
trombositopenia, serta disfungsi trombosit, keempat faktor ini
menyebabkan peningkatan kerapuhan kapiler yang bermanifestasi sebagai
petekie, memar, dan perdarahan mukosa saluran cerna.
Pada waktu yang bersamaan, infeksi menstimulasi berkembangnya
antibody spesifik dan respon imun seluler terhadap virus dengue.
Antibodi spesifik (IgM) ini bereaksi silang dengan endoteliosit, plasmin
dan trombosit, memperkuat peningkatan permebilitas vascular dan
koagulopati. Sedangkan, antibody IgG berperan dalam peningkatan jumlah
titer virus pada infeksi sekunder.
Respon imun seluler yang timbul berupa stimulasi sel T yang dapat
bereaksi silang dengan sel T regulator. Sel T yang bereaksi silang akan
memperlambat bersihan virus dan memproduksi sitokin pro-inflamasi dan
mediator lainnya. Tinggi jumlah mediator ini menginduksi perubahan pada
sel endotel sehingga menyebabkan koagulopati dan kebocoran plasma.
Infeksi sekunder oleh serotype yang berbeda memicu peningkatan
aktivitas antibody spesifik terhadap infeksi plasma. Antibodi ini
memediasi serotype virus dengue lain untuk berikatan dengan reseptor Fc-
gamma pada makrofag sehingga saat virus berada dalam makrofag tidak
dapat dicerna dengan baik. Akibatnya, virus semakin bereplikasi dan
infeksi berlanjut. Infeksi makrofag dalam ini mengaktivasi sel Th dan Tc
untuk memproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
kemudian mengaktivasimonosit sehingga mediator inflamasi tersekresi
seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, histamine. Akibatnya terjadi disfungsi sel
endotel dan kebocoran plasma yang diperberat dengan peningkatan C3a
dan C5a oleh aktivasi kompleks virus antibodi.
5. Maifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan pada DD hingga
berat pada DBD. Gejala yang timbul antara lain:
 Demam bifasik yang muncul tiba-tiba;
 Mual muntah;
 Ruam kulit;
 Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat
menyeluruh atau terpusat pada supraorbital dan retroorbita. Nyeri
otot terutama pada tendon dan otot perut apabila ditekan;
 Gangguan pada mata; pembengkakan, injeksi konjungtiva,
lakrimasi, dan fotofobia;
 Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten, akumulasi cairan
yang dapat terlihat pada pemeriksaan fisis, perdarahan mukosa,
letargi, pembesaran hepar >2cm, dan peningkatan hematocrit
bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit.

Perjalanan klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase
febris, kritis, dan pemulihan.

6. Diagnosis
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan World Health Organization
(WHO) pada tahun 2009, demam dengue terbagi menjadi 3 bagian, yakni :
1) Dengue tanpa tanda-tanda bahaya
Kemungkinan dengue : Tinggal atau bepergian ke area endemis
dengue dengan demam, ditambah dengan dua tanda gejala nyeri
kepala, malaise, myalgia, arthralgia, nyeri retro-orbital, anoreksia,
nausea, muntah, diare, flushed skin,ruam (petekie, Herman’s sign).
Pemeriksaan laboratorium, paling tidak darah perifer lengkap
(leukopenia dengan atau tanpa trombositopenia) dan/atau tes antigen
dengue NSI atau tes antibody dengue IgM (opsional).
2) Dengue dengan tanda-tanda bahaya
Tinggal atau bepergian ke daerah endemis dengue dengan demam
antara 2 hingga 7 hari, ditambah salah satu dari tanda gejala nyeri atau
nyeri tekan abdomen, muntah persisten, tanda klinis akumulasi cairan,
perdarahan mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati serta adanya
peningkatan hematocrit dan/atau penurunan trombosit.
3) Dengue berat
Tinggal atau bepergian ke area endemis dengue dengan demam antara
2-7 hari dan dengan manifestasi klinis di atas dengan atau tanpa tanda-
tanda bahaya, ditambah dengan kebocoran plasma berat, yang
mengakibatkan syok serta akumulasi cairan dengan gangguan
pernapasan. Terjadi perdarahan hebat; epistaksis tidak terkendali,
hematemesis dan atau melena, perdarahan otak, hematuria
grosmakroskopik, dan kematokezia. Gangguan organ berat : Hati,
SGOT atau SGPT ≥1000; Sistem saraf pusat, misalnya kejang,
misalnya kejang, gangguan kesadaran; Jantung, misalnya miokarditis;
ginjal, misalnya gagal ginjal.

7. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaaan darah
Leukopenia pada hari kedua dan 3 pada DD. Sedangkan pada
DBDdijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi yang terlihat
bermakna pada fase kritis.
2) Uji Serologi
Uji dengan blot yang mengukur antibody tanpa memandang kelas
antibodinya dan uji IgM anti dengue.

8. Penatalaksaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi
dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah
menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan
kriteria:
- Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi.
- Praktis dalam pelaksanaannya.
- Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
1) Protokol 1 : Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok.
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD
di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk
dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat
Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematocrit (Ht),
dan trombosit, bila :
 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-
150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran control atau
berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24
jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke
Instansi Gawat Darurat.
 Hb, Ht lekosit normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan
untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga
dianjurkan untuk dirawat.
2) Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di
ruang rawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan
massif dan tanpa syok maka diruang rawat diberikan cairan infus
kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus


berikut :
1500 + { 20 x (BB dalam kg-20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 + { 20 x
(55-20)} = 2200 ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap


24 jam:
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000
jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi
pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan
DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
3) Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit
>20%.
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh
mengalami deficit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi
awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau
setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang
ditandai dengan tanda-tanda hematocrit turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam
kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam
tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematocrit
dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi
urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus
menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah
cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
4) Protokol 4 : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD
dewasa.
Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa
adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali
walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna
(hematemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi
dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti ini jumlah dankecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernapasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan thrombosis serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan
laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravascular
diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila
nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan
jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
5) Protokol 5 : Tatalaksana sindrom syok Dengue pada dewasa.
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD)
maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus
segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravascular
yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak
tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen
2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum
dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20
ml/kgBBdan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah
teratasi (ditandai dengan tekanan darah sitolik 100 mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100
kali permenit dengan volume yang cukup, akral terasa hangat, dan
kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah
renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematocrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan
(karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematocrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang
harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak
terjadi renjatan (karena selain proses pathogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian).
Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital ital.u status
kesadaran , tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan
dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diuahakan 2
ml/kgBB/jam.Pemantauan kadar hemoglobin, hematocrit dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum
teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan
menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian di evaluasi setelah 20-30
menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematocrit. Bila nilai hematocrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila niai hematocrit menurun, berarti
terjadi perdarahan internal maka pada penderita diberikan transfuse
darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuia kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus
mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri
mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan
kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 l/hari) dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikat obat
inotropic/vasopressor.

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh, pasien masuk dalam keadaan lemah
dengan keluhan demam sejak 4 hari terakhir, serta keluhan penyerta
berupa batuk, muntah, sakit kepala dan riwayar epistaksis 1 kali. Hal ini
berdasarkan teori yang mengatakan bahwa tanda dan gejala klinis sangat
bervariasi pada DBD. Gejala yang timbul antara lain, demam bifasik yang
muncul tiba-tiba, mual muntah, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot
dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbital
dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon dan otot perut apabila
ditekan, gangguan pada mata; pembengkakan, injeksi konjungtiva,
lakrimasi, dan fotofobia. Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten,
akumulasi cairan yang dapat terlihat pada pemeriksaan fisis, perdarahan
mukosa, letargi, pembesaran hepar >2cm, dan peningkatan hematocrit
bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit.
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Adapun pada pasien
terapi yang diberikan yakni pengaturan cairan dengan Larutan Asering

LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

- Wibisono, Elita, Adityo & Leonard. Kapita Selekta Ed.IV jilid.I : Demam
Berdarah Dengue.2014. Hal.716-721
- Suhendro, Leonard, Khie & Herdiman. Ilmu Penyakit Dalam Ed.V Jilid III :
Demam Berdarah Degue. 2009. Hal. 1711-1712.

Anda mungkin juga menyukai