Anda di halaman 1dari 14

TINDAK PIDANA PERS DALAM PERSPEKTIF

SOSIOLOGI HUKUM

Disusun oleh :
Kelompok 7
M. Teguh Pribadi
Satria Andhika
Husnul Khalisha
Ratu Nahrisa

PROGRAM STUDI
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, dimana perkembangan globalisasi semakin pesat, perkembangan berita
menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Dengan sentuhan jari kita dapat mendapatkan berita
dari seluruh belahan dunia. Berita berita yang disiarkan pun sudah dalam bentuk online,
yang berarti hampir siapa saja dapat mengunggah atau menulis berita. Namun demikian,
penting bagi wartawan untuk terdaftar dalam dewan pers untuk menulis berita yang legal
dan mendapat perlindungan sesuai undang undang yang telah mengatur tentang pers di
Indonesia. Selain itu, bagi seorang wartawan yang ingin menulis sebuah berita, harus
senantiasa patuh pada peraturan dan kode etik jurnalis yang berlaku.
Di Indonesia, peraturan tentang pers telah diatur dalam Undang Undang No 40 tahun
1999. Menurut undang undang tersebut, yang dimaksud dengan pers adalah “lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Demi terciptanya berita yang valid dan transparan, wartawan memiliki kebebasan
dan perlindungan dalam menulis berita. Terlebih, sejak jatuhnya masa masa reformasi pada
tahun 1998, kekangan pada batasan yang ketat bagi wartawan juga ikut melunak. Saat ini,
wartawan memiliki keleluasaan untuk menyiarkan berita, fakta bahkan kritik terhadap
pemerintah, yang sebelumnya adalah hal yang sangat mustahil dilakukan dikarenakan
beresiko merenggut karir bahkan nyawa seorang wartawan. Seperti yang tertulis pada pasal
4 UU No 40 tahun 1999, “Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau
pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai
bentuk pertanggungjawaban pemberitaan”. Selain daripada itu, bahkan jika ditilik pada
pasal 50 KUHP, seorang wartawan dalam melakukan profesinya tidak boleh dipidana1.
Lebih jelasnya, tertulis jelas bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan untuk
1 Dewan Pers. (2018). Dewanpers.or.id. https://dewanpers.or.id/berita/detail/965/Kemerdekaan-Pers-dan-Perlindungan-Wartawan#
melaksanakan ketentuan undang undang, tidak dipidana”.
Seluruh ketentuan-ketentuan ini diciptakan agar laju informasi yang disampaikan
menjadi lebih lancar, transparan, dan tanpa gangguan. Namun demikian, dengan adanya
hak maka timbul juga kewajiban. Dalam hal ini, wartawan terikat dengan kode etik
jurnalistik dalam proses pembuatan beritanya. Menurut American Society of News Editor,
yang dimaksud dengan Journalistic ethic and standards adalah standard yang terdiri dari
prinsip prinsip etika dan praktik yang baik bagi wartawan dalam menulis berita.
Kode etik jurnalistik di Indonesia sendiri sudah beberapa kali mengalami perubahan.
Pertama kali kode etik jurnalistik di Indonesia dirumuskan adalah pada tahun 1947, akan
tetapi kode etik ini oleh Persatuan Wartawan Indonesia ini dirasa masih kurang sempurna
sehingga terus diubah sampai pada tahun 1995, kode etik ini dinyatakan berlaku secara
resmi.2 Dalam bukunya Jurnalisme Kontemporer (2017), definisi kode etik menurut
Santana adalah serangkaian peraturan peraturan dan prinsip moral yang harus senantiasa
dipatuhi oleh seluruh wartawan.3 Selain itu, kode etik jurnalistik juga memiliki beberapa
fungsi antara lain; melindungi para wartawan dalam menjalankan profesinya, melindungi
masyarakat dalam hal malpraktik, mengedepankan persaingan sehat antar wartawan dan
mencegah kecurangan dalam pembuatan berita.
Ada banyak butir-butir penting yang perlu diperhatikan dalam kode etik jurnalistik, salah
satunya tentang ‘Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah’. Seperti yang terjadi pada M. Reza alias Epong Reza, wartawan
media Online Realitas.com yang terjerat kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Hal ini berawal dari Epong Reza memposting status berjudul "Merasa Kebal
Hukum Adik Bupati Bireuen Diduga terus gunakan minyak Subsidi Untuk Perusahaan
Raksasa" di akun Facebook miliknya. Kasus yang menjerat wartawan media online
Realitas.com ini bermula tanggal 2 September 2018, H. Mukhlis, A.Md melalui penasehat
hukumnya Guntur Rambe SH.M.H melaporkan Epong Reza ke Polisi atas status tersebut.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bireuen menjatuhkan hukuman vonis satu tahun penjara
terhadap terdakwa M. Reza alias Epong Reza, wartawan media Online Realitas.com. M.
Reza ditahan polisi sejak 21 Desember 2018 lalu, dan dipindahkan ke Rutan Bireuen pada
tanggal 13 Januari 2019.

2
Pasrah, H. R. (2008). Kode Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam. Jurnal Dakwah, IX(2).
3
Pratama, C. D. (2020). Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya. https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/205632869/kode-etik-
jurnalistik-definisi-dan-isinya
Dari uraian di atas, pemakalah ingin meneliti tentang bagaimana kasus wartawan
yang melanggar kode etik tersebut dikaji melalui teori sosiologi hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penyelesaian kasus tindak pidana pers ditinjau dari perspektif sosiologi
hukum ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi Hukum


Sosiologi Hukum berisi mengenai implementasi dari kehidupan dan peristiwa sehari-hari
yang dihubungkan dengan sosiologi hukum dan filsafat hukum. Hukum secara sosiolog adalah
penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan
nilai-nilai, kaidah kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia.4 Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar bahwa proses hukum
berlangsung didalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya adalah
bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan
bahwa hukum merupakan suatu proses.
Seorang ahli sosiologi menaruh perhatian yang besar kepada hukum yang bertujuan untuk
mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas warga-warga masyarakat serta memlihara integrasinya karena
warga-warga masyarakat menggunakan, menerapkan, dan menafsirkan hukum dan dengan memahami
proses tersebut barulah akan dapat dimengerti bagaimana hokum berfungsi dan bagaimana suatu
organisasi sosial memeberi bentuk atau bahkan menghalang-halangi proses hukum.
Suatu sistem hukum pada hakekatnya merupakan kesauan atau himpunan berbagaicita-cita dan
cara-cara dengan mana manusia berusaha mengatasi masalah-masalah yang nyata maupun
potensilyang timbul dari pergaulan hidup sehari-hari yang menyangkut kedamaian. Penelitian-
penelitian sosiologis telah menghasilkan data untuk membuktikan bahwa ketertiban dan ketentraman
pada hakekatya merupakan suatu refleksi daripada nilai-nilai sosial dan pertentangan kepentingan-
kepentingan didalam suatu sistem sosial. Walaupun hukum mengatur semua aspek sosial tetapi
hukum mempunyai batasan-batasan untuk dapat dipergunakan sebagai alat pencipta maupun
pemelihara tata tertib pergaulan hidup manusia. Agar tidak terjadi penyelewengan hukum maka ilmu-
ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya dapat memberikan petunjuk dan manfaat
yang banyak demi terciptanya iklim sosial yang mnguntungkan pelaksanaan hukum secara efektif.
Apabila Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang sebenarnya dia
bicarakan adalah hukum hidup ditenga-tengah masyarakat (manusia). 5 Hukum dan manusia memiliki
kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan, artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut
sebagai hukum. Dalam hukum manusia adalah sebagai actor kreatif, manusia membangun hukum,
menjadi taat hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum.
Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum, dalam artian UU yang dilakukan benar-benar
terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol,
dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan

4
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum
dan Studi Tentang Hukum, Semarang, 12-13 Nov. 1996, hlm. 1.
5
Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan
Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 20.
usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin
timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat,
yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam
masyarakat.Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan.
Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan
sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan
ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian
konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang
sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta
memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.Hal ini dimaksudkan
dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran
masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun,
yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah
hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola
pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang
rasional/modern.

B. Pengertian dan fungsi pers


Istilah pers yang dikenal saat ini, berasal dari bahasa Belanda, yaitu pers yang artinya menekan
atau mengepres. Kata pers itu sendiri merupakan padanan kata press dalam bahasa Inggris yang juga
berarti menekan. Jadi secara harfiah, kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang
dilakukan dengan perantara barang cetakan.6
Di dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13, pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti,
yaitu dalam arti luas dan sempit. Pers dalam arti luas adalah media cetak dan elektronik yang memuat
laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular.
Laporan yang dimaksud melalui beberapa proses, mulai dari pengumpulan bahan, sampai penyiaran.
Di dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat
kabar mingguan, majalah dan buletin.7Pada sisi lain, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
memberikan pengertian tersendiri tentang pers. Pasal 1 angka 1 UU tersebut menyatakan:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun

6
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik: Teori dan Praktik,
Cetakan Kelima, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 17.
7
Samsul Wahidin, 2011, Hukum Pers, Cetakan II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 35.
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.8
Berangkat dari serangkaian definisi pers di atas, maka cakupan pers tidak hanya sebatas pada
media cetak, tetapi juga meliputi media elektronik, yaitu radio dan televisi. Ruang lingkup pengertian
pers tidak berdasarkan bentuk media, tetapi pada berlangsungnya aktivitas jurnalistik. Selama insan
pers melaksanakan kerja-kerja jurnalistik secara menyeluruh, maka baik media cetak maupun
elektronik, dapat digolongkan sebagai pers.
Aktivitas jurnalistik di sebuah media, pada dasarnya ditujukan untuk mengaktualisasikan fungsi
pers yang tidak sekadar sebagai media komunikasi, tetapi juga melaksanakan serangkaian fungsi lain,
yaitu:
1. Fungsi informatif untuk menyalurkan informasi kepada khalayak;
2. Fungsi kontrol untuk mengoreksi kebijakan para penguasa;
3. Fungsi interpretatif dan direktif untuk menyajikan interpretasi dan bimbingan
kepada masyarakat atas sebuah peristiwa;
4. Fungsi menghibur, semisal meyajikan tayangan humor dan musik;
5. Fungsi regeneratif untuk menyajikan sejarah sebagai pedoman hidup masyarakat di
masa mendatang;
6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara untuk menjaga kepentingan individu dan
sosial terpenuhi secara seimbang;
7. Fungsi ekonomi untuk menyediakan wadah bagi aktivitas perdagangan, semisal
melaui penyediaan ruang iklan; dan
8. Fungsi swadaya untuk mengupayakan kemandirian dalam soal permodalan yang
akan menyokong aktivitas jurnalistik
9. Fungsi pers di atas, pada dasarnya mencakup fungi pers yang tercantum dalam Pasal 3 UU
No. Tahun 1999 tantang Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol
sosial, serta lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi di sini, ditujukan agar kualitas pers dan
kesejahteraan para wartawan dan karyawannya, semakin meningkat, tanpa meninggalkan
kewajiban sosialnya.

Fungsi pers di atas, pada dasarnya mencakup fungi pers yang tercantum dalam Pasal 3 UU
No. Tahun 1999 tantang Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta
lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi di sini, ditujukan agar kualitas pers dan kesejahteraan para
wartawan dan karyawannya, semakin meningkat, tanpa meninggalkan kewajiban sosialnya. 9

8
Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
9
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
C. Struktur Kelembagaan Pers
Pers yang menyelenggarakan aktivitas jurnalistik melalui media tertentu, memiliki struktur
keorganisasian yang berbeda di banding lembaga lain. Keunikan pers terletak pada adanya pembagian
bidang kerja antara bidang perusahaan dan bidang keredaksiaan. Bidang perusahaan mengelola
persoalan operasional perusahaan, sedangkan bidang keredaksian mengurusi soal pemberitaan.
Secara umum, struktur keorganisasian sebuah media pers terdiri dari: 10
1. Pemimpin Umum, yaitu pemilik media atau orang yang ditunjuk mewakili
pemilik media. Pemimpin Umum duduk di puncak organisasi dan membawahi
bidang perusahaan dan keredaksian sekaligus;
2. Pemimpin Perusahaan, yaitu orang yang bertanggung jawab kepada
Pemimpin Umum terkait urusan administrasi, keuangan perusahaan, dan
pemasaran. Di bawah Pemimpin Perusahaan terdapat kepala bagian atau
manajer sirkulasi, iklan, promosi, produksi, serta bagian lain yang berkaitan
dengan masalah bisnis, teknik, dan operasi-operasi distribusi;
3. Pemimpin Redaksi, yaitu orang yang mengurus dan bertanggung jawab atas
operasi redaksional secara keseluruhan. Secara umum, Pemimpin Redaksi
hanya mengawasi dan mengarahkan, atau melakukan supervise atas
operasionalisasi keredaksian. Untuk itu, di bawahnya erdapat unit kerja berupa:
a. Redaktur Pelaksana, yaitu orang yang mengurusi secara teknis soal-soal
keredaksian. Tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan peliputan berita,
atau diistilahkan sebagai kepten regu pemberitaan. Ia bertanggung jawab
atas disajikannya berita yang berimbang dan lengkap, khususnya berita
utama yang dinanti khalayak, baik berita lokal maupun nonlokal;
b. Redaktur, yaitu orang yang posisinya berada di bawah Redaktur Pelaksana.
Tugasnya adalah melakukan penugasan peliputan dan penyuntingan berita
sesuai rubrik yang menjadi kewenangannya. Karena itulah, pada sebuah
media pers, terdapat beberapa redaktur yang menangani rubrik tertentu,
misalnya redaktur bidang olahraga, redaktur bidang politik, dan redaktur
bidang ekonomi.
c. Reporter, yaitu orang yang diturunkan ke lapangan untuk meliput secara
langsung sebuah peristiwa setelah mendengar arahan dari redaktur terkait

10
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik: Teori dan Praktik,
Cetakan Kelima, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 17.
apa-apa yang perlu diliput.
Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki koresponden, setter atau juru ketik
naskah, juga korektor yang bertugas mengoreksi kesalahan pengetikan. Bagian tak talah penting
lainnya adalah Perpustakaan dan Dokumentasi, serta bagian Penelitian dan Pengembangan
(Litbang).11

D. DEWAN PERS
1. Sejarah Dewan Pers
Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasarkan Undang-Undang
No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers. Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU
No. 11 Tahun 1966, berfungsi mendampingi pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan
dan perkembangan pers nasional. Karena itu, ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan
sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966. 12
Konstruksi hukum yang menempatkan Dewan Pers sebagai domain pemerintah, ditujukan
untuk menghindari dualisme kepentingan dalam pengelolaan pers, sebagaimana diinginkan
pemerintah. Segala kebijakan terkait pers akan diambil setelah mufakat yang dicapai sebagai hasil
musyawarah di dalam tubuh Dewan Pers. 13 Kesatuan suara itu, akan mudah dicapai karena sedari
awal, Dewan Pers memang hanya sebagai pendamping atau pembantu pemerintah dalam membina
pers nasional.
Pemerintah Orde Baru melalui UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4
Tahun 1967, tidak banyak mengubah status Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya tetap sama, yaitu
menjadi penasehat pemerintah. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua
Dewan Pers.65 Bahkan perubahan tersebut membuat kewenangan Dewan Pers semakin menciut.
Indikasi itu dapat dilihat dari diubahnya semua klausul "Pemerintah bersama-sama Dewan Pers"
dalam UU No. 11 Tahun 1999 menjadi “Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers". 14
Perubahan fundamental hukum pers terjadi setelah peralihan kekuasaan negara dari Orde Baru
ke Reformasi. Melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disahkan Presiden B.J. Habibie
tanggal 23 September 1999, Dewan Pers menjadi lembaga independen. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut

11
Asep Syamsul M. Ramli, 2009, Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula, Cetakan VIII, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, hlm. 109.
12
Edy Susanto, dkk., 2014, Hukum Pers di Indonesia, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm.
136.
13
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers.
14
Pasal I angka 1 huruf b UU No. 21 Tahun 1982.
menyatakan, “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang Independen.”15

2. Fungsi dan Kewenangan Dewan pers


Pada saat UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers masih berlaku,
Dewan Pers hanya bertugas mendampingi pemerintah dalam membina pertumbuhan dan
perkembangan pers nasional. Tugas Dewan Pers itu di antaranya: memberikan pertimbangan terkait
boleh tidaknya sebuah perusahaan pers menerima atau memberi bantuan kepada pihak asing; bersama
pemerintah merumuskan syarat-syarat lebih lanjut untuk menjadi Pemimpin Umum, pemimpin
Redaksi dan Pemimpin Perusahaan di sebuah lembaga pers;
Bersama pemerintah merumuskan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai wartawan; dan
bersama pemerintah merumuskan ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam Fungsi dan
kewenangan Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966, jelas tak bisa dilaksanakan secara mandiri
dan otonom. Dewan pers hanya didudukkan sebagai partner pemerintah dalam merumuskan kebijakan
pers, juga melaksanakan fungsi lain yang bersifat administratif. Dengan demikian, fungsi itu bisa
dikatakan tak berarti, sebab Dewan Pers tak ubahnya lembaga perpanjangan tangan dan pembantu
pemerintah.
Revitalisasi fungsi Dewan Pers, menjadi salah hal yang menggembirakan dalam UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Paling tidak, Dewan Pers telah diberikan fungsi lebih memadai, sesuai
dengan semangat kemerdekaan pers yang menghendaki pers terbebas dari campur tangan pihak
manapun, termasuk dari pemerintah. Serangkain fungsi itu, terurai di Pasal 15 ayat (2) UU tersebut,
yaitu:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;


b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan- peraturan
di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g. mendata perusahaan pers;

Demi menunjang pelaksanaan fungsinya, Dewan Pers pun dapat membentuk organ
penunjang. Status Dewan Pers menyatakan bahwa anggota Dewan Pers dapat membentuk Badan
Pertimbangan yang beranggotakan lima orang. Tugas dan fungsinya adalah memberikan

15
Susanto, dkk., 2014, Hukum Pers di Indonesia, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm 136
pertimbangan kepada Dewan Pers atau melaksanakan tugas khusus yang diberikan Dewan Pers.
Dewan Pers juga dapat membentuk satuan kerja, misalnya dalam bentuk Komisi. Komisi Dewan Pers
saat ini, terdiri atas Komisi Pengaduan Masyarakat, Komisi Hukum, Komisi Hubungan Antarlembaga
dan Luar Negeri, serta Komisi Pengembangan Profesi Wartawan, Penelitian dan Pendataan
Perusahaan Pers. Setiap komisi tersebut, fokus menunjang pelaksanaan fungsi tertentu dari Dewan
Pers.

E. Tindak Pidana Pers Dalam Perseptif Sosiologi Hukum

Kasus yang dialami oleh M. Reza alias Epong Reza merupakan salah satu kasus
tindak pidana pers, dimana media Online Realitas.com tersebut tidak terdaftar legalitasnya ke
dewan pers, sehingga majelis hakim mengesampingkan UU Pers dan menggunakan UU ITE
dalam pengambil keputusannya.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat telah mengubah hidup manusia menjadi lebih
mudah karena kecanggihan dan daya kerjanya yang efektif dan effisien. Keberadaan teknologi
informasi awalnya hanya digunakan kalangan tertentu saja, namun sekarang hampir seluruh lapisan
masyarakat sudah menggunakannya, baik instansi pemerintah maupun swasta. Memanfaatkan dan
kecanggihan serta kepraktisan teknologi informasi dalam instansi pemerintah digunakan untuk
mengelola semua jenis data, memberikan informasi dan juga fasilitas kemudahan misalnya pelayanan
publik melalui situs pemerintah secara on-line dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan instansi
swasta atau badan usaha yang menggunakan teknologi informasi untuk mengelola semua jenis data
dengan melakukan transaksi penjualan secara on-line (e-commerce).

Dampak perkembangan dan kemajuan teknologi informasi sedemikian pesat yang dirasakan melanda
dunia termasuk Indonesia. Globalisasi Informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia. Hal ini menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam
berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum
baru yang berkaitan dengan teknologi informasi. Sehingga mengharuskan dilakukannya pengaturan
mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik ditingkat nasional yang dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.

Kegiatan teknologi melalui media elektronik, disebut ruang siber (cyberspace) yang meskipun bersifat
virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan
pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab
akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum 16. Transaksi melalui media
elektronik atau internet diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan telah diundangkan pada tanggal 21 April 2008, dengan Lembaran Negara
Tahun 2008 Nomor 58.

Undang Undang ITE ini juga kerap kali berkenaan dengan kasus kasus pers. Kecenderungan
penggunaan pasal pencemaran nama baik, berita bohong dan fitnah masih banyak ditemukan
dalam penegakan hukum di bidang pers. Mencermati serentetan gugatan hukum terhadap
media dengan tuntutan miliaran rupiah dengan dalih pencemaran nama baik, kabar bohong
dan fitnah terhadap materi yang diberitakan, dialami oleh beberapa media yang berani
memberitakan (membongkar) kasus yang merugikan hajat hidup orang banyak. . Tidak hanya
melalui jalur perdata, dakwaan dengan ancaman pidana penjara juga menjadi balasan bagi
beberapa jurnalis atas hasil kerjanya dalam meberitakan atau membongkar suatu skandal.
16
Sidik, S. (2013). DAMPAK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP
PERUBAHAN HUKUM DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT. Jurnal Ilmiah Widya, 1(1), 1–7. https://e-
journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/99
Gambaran contoh kasus di atas menunjukan faktor dominan pertama, yaitu penggunaan
pasal-pasal berkait delik penghinaan dalam menghadapi kebebasan menyampaikan pikiran
dan pendapat melalui pers. Faktor dominan penggunaan KUHP demikian pada tahap
selanjutnya tidak lagi membedakan perbuatan yang dilakukan merupakan tindakan individual
yang menyerang kehorm atan seseorang, atau justru pengungkapan kebenaran bagi khalayak
ramai oleh pers. Pada akhirnya sinkronisasi antara delik penghinaan dan konsistensi
perlindungan kebebasan berpendapat tidak lagi menjadi pembanding dalam penegakan
hukum di bidang pers. Padahal apabila ditelaah lebih rinci guna menemukan koridor jaminan
kemerdekaan pers serta kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat yang disandingkan
dengan penegakkan hukum pers, akan ditemukan dua tahap sinkronisasi yaitu secara vertikal
antara perundangan hukum positif (KUHP, UU Pers, UU ITE) terhadap konstitusi, dan
sinkronisasi horisontal antar produk hukum positif tersebut.17

Dewan Pers Indonesia juga menilai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
Ancaman tersebut termuat pada Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi
informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik. Ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (2), jika sengaja menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang
yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp.1 miliar.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja, perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan


hukum internasional. Sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong,
penghinaan, pencemaran, dari hukum pidana menjadi hukum perdata. ”Beberapa negara
bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan
karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subyektif.” Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronika (di internet),
terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai
penyebaran pencemaran atau kebencian.18

17
Rustamaji, M., & Gunawati, D. (2012). APLIKASI METODE PERSIDANGAN SEMU PADA PEMBELAJARAN HUKUM PERS
BAGI PENEGAK HUKUM. Yustisia Jurnal Hukum, 1(3). https://doi.org/10.20961/yustisia.v1i3.10088

18
Siaran Pers: Ancam Kemerdekaan Pers, UU ITE Perlu Direvisi. (2015). Dewanpers.or.id.
https://dewanpers.or.id/publikasi/siaranpers_detail/105/Siaran_Pers:_Ancam_Kemerdekaan_Pers

Anda mungkin juga menyukai