Juli 2013
Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Abstract
This research is intended to describes “rechtsvinding” in the verdict of the Constitutional Court
(MK), by digging some cases are filed in the Court which shall then cause changes in the
meaning of the text of the Constitution 1945. Normative-yuridis approach is used to highlight
the gap law (legal gap) that often occur in the application of the law and the constitution.
Primary and secondary data source is the literature with engineering documentation. In
qualitative research, this technique serves as the main data collection tool, as proof of the
hypothesis is done in a logical and rational through the opinions, theories or laws are accepted
as true, or reject both in favor of the hypothesis. Data analysis is a descriptive-analytical with
adequate rational interpretation. The results showed that this legal gap that opens up access
to the “rechts finding” (constitutional reform). The “rechtsvinding” itself can not be separated
from the activities of legal reasoning, so that we may not be able to understand the nature of
the “rechtsvinding” without referring to the process of legal reasoning. MK presence allows for
changes to the constitution are ”onbewust”. Thus, it can be concluded that there has been
informal change in the constitution by the Constitutional Court.
155
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
sudut pandang sendiri-sendiri, yang ternyata penalarannya sendiri. Untuk itu Victor
sulit dipersatukan. Perbedaan struktur Grassian (1981) berpesan:
aturan itu tidak perlu untuk dituntaskan “Bila undang-undang dan
(diseragamkan) karena justru perbedaan ini “kesadaran umum” berdiam diri,
sangat berguna untuk melahirkan alternatif- maka keputusan dari orang, yang
alternatif solusi. Hakim atau para hakim tidak mempunyai tujuan lain selain
harus menetapkan pilihan atas salah satu mewujudkan hukum dan terdidik
alternatif yang paling sesuai dengan struktur (terlatih) di dalam menimbang
kasus, untuk akhirnya diformulasikan kepentingan-kepentingan dan
sebagai putusan (termasuk juga yang lazim argumen-argumen, adalah masih
disebut penetapan). Pertimbangan inilah yang terbaik yang terhadapnya orang
dapat memberikan kepercayaan.
yang kemudian melatarbelakangi dissenting
Asalkan ia masih memiliki sifat, yang
opinion dan concurring opinion hakim MK
mutlak harus dimiliki seorang hakim
tercantum dalam putusan. Istilah putusan
yang baik: zelfkritiek (kritis terhadap
secara teknis dibedakan dengan penetapan
diri sendiri atau mampu mengkritik
karena yang pertama mengacu pada produk diri sendiri). Seorang hakim yang baik
peradilan contentieus, sementara yang kedua harus, jika ia dihadapkan pada suatu
produk peradilan voluntair. penyelesaian, yang memuaskannya,
Putusan hakim per definisi adalah juga memiliki sedemikian banyak
suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pengetahuan tentang dirinya sendiri
pejabat negara yang diberi wewenang untuk sehingga ia dapat mempertanyakan
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan kepada dirinya sendiri apakah
untuk mengakhiri atau menyelesaikan kepuasan itu tidak berkaitan
suatu perkara atau sengketa antara para dengan preferensi-preferensi,
pihak. Dalam praktik, semua putusan selalu yang ia ketahui bahwa tidak setiap
dibacakan (uitspraak) berdasarkan naskah orang merasakannya dengan cara
tertulis yang telah dipersiapkan. Dalam yang sama dan sedemikian banyak
hukum acara di Indonesia, misalnya, dianut pengetahuan tentang masyarakat
pendapat bahwa apabila ada perbedaan sehingga ia dapat mengetahui yang
antara naskah tertulis dan ucapan lisan pada (disebut) terakhir ini. Hanya setelah
saat naskah putusan dibacakan, maka yang mampu mengatasi pengujian yang
dijadikan pegangan adalah ucapan lisan terakhir ini maka penilaiannya, yang
(Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Tahun terpaksa, kreatif, akan tidak subjektif
1959 dan No. 1 Tahun 1962). lagi”.
Setiap struktur aturan, secara Hakim adalah profesi yang independen
deduktif akan melahirkan minimal dalam bernalar. Independensi ini harus
satu jawaban. Setiap jawaban harus tetap dijamin, sekalipun ia duduk sebagai
dibangun melalui proses penalaran yang anggota majelis. Hakim yang bersikeras
dapat dipertanggungjawabkan secara untuk mempertahankan alternatif lain di
disiplin hukum. Bagi sejumlah kalangan, luar putusan rekan-rekannya, harus tetap
pertanggungjawaban disiplin hukum ini harus dihormati. Untuk itu, argumentasi yang
juga dipadukan dengan pertanggungjawaban diajukannya sebaiknya dimuat dalam putusan
moral. Dengan demikian, penalaran hukum juga, baik dalam berupa dissenting opinion
(legal reasoning) adalah juga penalaran moral (contrariety of opinion) maupun concurring
(moral reasoning). Tiap-tiap alternatif harus opinion.
diverifikasi dengan argumentasi yang tepat. Mahkamah Konstitusi (MK) yang lahir
Kerja sama antara hakim-hakim yang duduk sebagai lembaga peradilan ketatanegaraan,
dalam satu majelis diuji pada langkah kelima dalam menafsirkan konstitusi, tidak lagi cukup
ini. Hakim yang baik harus menerima apabila menyandarkan dirinya pada pertimbangan-
argumentasi yang diajukannya dikritik oleh pertimbangan makna verbal, gramatikal,
rekannya. Bahkan, iapun wajib mengkritisi
156
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
logis dan historis dari naskah konstitusi atau tersebut di atas, peristiwa Marbury Vs.
ketentuan Undang-Undang Dasar, melainkan Madison setidaknya dalam catatan sejarah
harus pula mempertimbangkan “Arah Baru terhadap upaya penegakkan hukum yang
Penafsiran Konstitusi”. berkeadilan, oleh Bernard Schwartz (1997)
MK sebagai salah satu kekuasaan telah ditempatkan sebagai putusan hakim
kehakiman yang bertindak sebagai negative terbaik sepanjang sejarah penegakkan hukum
legislator membuat para pembentuk undang- di Amerika.
undang saat ini cenderung lebih suka John Austin menyebutkan dalam teori
membentuk produk perundang-undangan kehendak bahwa keyakinan pembentuk
yang tidak kasuistis dan bersifat umum undang-undang bahwa undang-undang yang
(flucht in die generalklausel). Sehingga terjadi dihasilkannya mampu mengakomodasi dan
pergeseran dari hakim yang hanya corong mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran
undang-undang (normgerechtigkeit) ke hukum terkait dengan materi muatan
arah hakim bebas (einzelfallgerechtigkeit). yang tercantum didalamnya dibenarkan,
Pergerakan paham ini merubah arah cara mengingat para pembentuk undang-undang
berpikir yang pada mulanya mengacu kepada sudah memastikan bahwa undang-undang
sistem (systeemdenken) kemudian beralih itu dibuat dengan menampung kehendak
menjadi cara berpikir yang mengacu kepada penuh semua pemangku kepentingan
masalahnya (problemdenken). Artinya hakim (Raymond Wacks: 1995). Oleh sebab itu,
tidak lagi semata-mata harus mengacu kepada undang-undang yang dihasilkan sudah
peraturan perundang-undangan namun dipastikan telah menampung rasa keadilan
lebih kepada bagaimana masalah pencari dan memuat jaminan kemanfaatan jika
keadilan dapat diselesaikan dengan seadil- diterapkan. Hakim yang menjumpai adanya
adilnya (Joachim Sanden: 2009). Alasan lain peristiwa konkret (empiric) yang dihadapkan
adalah rasionalisasi, jika seandainya lembaga di muka persidangan, dengan sendirinya
legislatif mengesahkan sebuah Rancangam tinggal menerapkan saja undang-undang
Undang-Undang (RUU) yang inkonstitusional itu. Jadi, menerapkan undang-undang
apakah harus memutuskan sah ketidak- dengan sendirinya sudah menjamin tegaknya
konstitusionalannya tersebut yang jelas-jelas keadilan dan kemanfaatan, sebagaimana
meragukan. Oleh karena itu, harus dipahami terrangkum dalam ragaan Gambar 1.
bahwa tugas lembaga legislatif dan yudikatif Ilmu hukum Sebagai ilmu praktis,
berbeda namun saling bertugas mengawasi berkewajiban menjawab langsung
dan mengahargai sesuai dengan semangat problematika konkret yang diajukan
mekanisme check and balances system. masyarakat, yakni pertanyaan: jika orang
Perbedaan tugas itu dikemukakan dengan melanggar hukum, apa hukumannya?
jelas oleh Kusumadi Pudjosewojo (1976) Pertanyaan demikian harus dijawab segera,
bahwa hakim menentukan hukum itu secara lugas, tegas, dan tidak boleh diambangkan
konkrit (in concreto) dengan peristiwa yang (lites finiri oportet). Putusan hakim pada
ada sedangkan para pembuat undang-undang dasarnya dibuat dalam rangka memberikan
(legislatif) menentukan norma abstraknya (in jawaban seperti itu. Oleh karena hakim
abstracto). Pandangan Pudjosewojo tersebut dianggap tahu hukum (ius curia novit), maka
bermakna hukum abstrak hanyalah alat yang putusan itu harus memuat pertimbangan-
mengantarkan hakim mempertimbangkan pertimbangan yang memadai, yang bisa
sebuah bentuk hukum yang diterapkan diterima secara nalar di kalangan institusi
secara konkrit, bisa jadi putusan hakim akan kehakiman, forum ilmu pengetahuan
berkesesuai dengan norma abstrak bisa pula hukum, masyarakat luas, dan para pihak yang
tidak. Tentu saja itu berarti hakim dapat berperkara (N.E. Algra & K. Van. Duyvendik:
merubah ataupun mengabaikan ketentuan 1983). Apalagi jika perkara tersebut diputus
yang ada dalam perundang-undangan demi oleh hakim konstitusi yang putusannya
menciptakan keadilan (hukum) yang konkrit. bersifat final and binding.
Lepas dari berbagai pandangan
157
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
158
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
159
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
Sumber ini juga dikenal dengan sebutan dan intention biasanya disebut sebagai
the broad and purposive approach; (3) prior kalangan originalist. Sedangkan hakim
precedents, di sini yang diperhatikan adalah yang menggunakan pendekatan di luar
kasus-kasus terdahulu yang merupakan pendekatan kalangan originalist disebut
yurisprudensi dalam menafsirkan konstitusi kelompok non-originalist. Dalam praktis,
terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut pertentangan antara kalangan originalis dan
juga dengan the doctrine of “harmonious non-originalis seringkali mengarah kepada
interpretation”; (4) the social, political, tema; apakah dapat digunakan kecermatan
and economic consequences of alternative peradilan untuk memastikan “fundamental
interpretations, hakim dalam menafsirkan rights” yang secara explicit tidak dilindungi
konstitusi juga memertimbangkan faktor- dalam text Konstitusi (Mohammad Fajrul
faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi Falaakh: 2002).
bernegara, seperti kondisi politik dan Perubahan yang terjadi di luar
ekonomi; (5) natural law, Penafsiran yang ketentuan formal konstitusi yang melibatkan
bersumber pada natural law diarahkan kepada lembaga peradilan juga terjadi dalam praktik
ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral ketatanegaraan di Indonesia pasca perubahan
yang dianut masyarakat. Penafsiran hakim (amandemen) UUD 1945. Perkara-perkara
atas konstitusi sesungguhnya didasari pula uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945
pada pandangan hakim terhadap konstitusi di MK mengakibatkan terjadinya perubahan
itu sendiri, apakah hakim melihat konstitusi UUD 1945 sebagaimana yang dijelaskan
tersebut sebagai the living constitution atau Ismail Suny (1986). Perubahan jenis ini
sebagai the moral constitution (Gr. van der juga dijelaskan oleh Wheare (2005) sebagai
Brught & J.D.C. Winkelman: 2011). perubahan melalui judicial interpretation.
Tiga poin pertama dianggap oleh Pada perkara Nomor: 008/PUU-
beberapa pakar sebagai sumber yang II/2004 mengenai uji konstitusional UU No.
sangat sesuai untuk menjadi koridor dalam 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
menafsirkan konstitusi. Namun, dalam Presiden dan Wakil Presiden terhadap
melihat poin yang akan dijadikan kerangka UUD 1945 terdapat penafsiran MK yang
utama dalam menafsirkan diantara ketiga merubah secara tidak langsung text UUD
sumber tersebut sangat tergantung dengan 1945 itu sendiri. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945
kasus dan kondisi yang berbeda pula. Para menyatakan bahwa :
penafsir konstitusi menyadari konsekuensi “Calon Presiden dan calon Wakil
dari pilihan menafsirkan konstitusi bahwa Presiden harus seorang warga
tidak akan pernah ditemukan keseragaman negara Indonesia sejak kelahirannya
dari seluruh sumber, metode maupun teori, dan tidak pernah menerima
walaupun setiap sumber pertimbangan tafsir kewarganegaraan lain karena
tersebut memiliki kedudukan yang seimbang. hendaknya sendiri, tidak pernah
Pada praktek penafsiran yang terjadi sering mengkhianati negara, ‘serta mampu
terdapat pengabaian terhadap beberapa secara rohani dan jasmani’ untuk
sumber tafsir. melaksanakan tugas dan kewajiban
Sumber interpretasi yang berasal sebagai Presiden dan Wakil Presiden”
dari natural law (hukum agama, ketentuan-
ketentuan kitab-kitab suci) dalam penafsiran Kalimat ‘mampu secara rohani dan
konstitusi jarang sekali digunakan walaupun jasmani’ didefenisikan oleh MK dengan
para penyusun konstitusi biasanya tafsir; ’bahwasanya calon Presiden dan Wakil
beranggapan bahwa sumber hukum tersebut Presiden harus dalam kondisi sehat secara
layak menjadi pertimbangan. Bagi hakim atau rohani dan jasmani dalam melaksanakan
kalangan lain (akademisi maupun masyarakat tugas dan kewajiban kenegaraan dimaksud’
umum) yang menafsirkan konstitusi lebih (halaman 28 Putusan 008/PUU-II/2004).
cenderung menggunakan sumber-sumber Secara textual tentu saja terdapat perbedaan
original yang berupa pendekatan text yang sangat jauh antara kata ‘mampu secara
161
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
rohani dan jasmani dengan ‘harus dalam Pasal 28 A berbunyi sebagai berikut:
kondisi sehat’ secara rohani dan jasmani.
Melalui Putusan ini MK telah melakukan “Setiap orang berhak untuk hidup
perubahan secara textual meaning dari pasal serta berhak mempertahankan hidup
6 ayat (1) UUD 1945. dan kehidupannya”
Dalam perkara No. 005/PUU- Pasal 28 I ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas UU
No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
terhadap UUD 1945, Hakim Konstitusi disiksa, hak kemerdekaan pikiran
memberikan penafsiran terhadap makna dan hati nurani, hak beragama, hak
hakim yang dicantumkan Pasal 24 B ayat untuk tidak diperbudak, hak untuk
(1) UUD 1945. MK dalam amarnya tidak diakui sebagai pribadi di hadapan
memasukkan Hakim Konstitusi sebagai bagian hukum, dan hak untuk tidak dituntut
dari kata ‘hakim’ dalam ketentuan Pasal 24 B atas dasar hukum yang berlaku surut
UUD 1945. Sebaliknya menurut putusan MK adalah hak asasi manusia yang tidak
tersebut Hakim Agung merupakan bagian dapat dikurangi dalam keadaan apa
dari Pasal 24 B UUD 1945. pun”
Putusan MK tersebut secara tidak
Terhadap ‘hak untuk hidup’ yang
langsung telah merubah bunyi Pasal 24 B tidak dapat dikurangi dalam keadaan
ayat (1) UUD 1945 dari berbunyi (original apapun tersebut MK memberikan
meaning): ”Komisi Yudisial bersifat mandiri tafsiran berdasarkan ketentuan Pasal
yang berwenang mengusulkan pengangkatan 28 J ayat (2) yang berbunyi:
hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan “Dalam menjalankan hak dan
kehormatan, keluhuran martabat, serta kebebasannya setiap orang wajib
perilaku hakim”, menjadi bermakna (textual tunduk kepada pembatasan
meaning) : “Komisi Yudisial bersifa mandiri yang ditetapkan dengan undang-
yang berwenang mengusulkan pengangkatan undang dengan maksud semata-
hakim agung dan mempunyai wewenang mata untuk menjamin pengakuan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan serta penghormatan atas hak dan
kehormatan, keluhuran martabat serta kebebasan orang lain dan untuk
perilaku hakim, kecuali Hakim Konstitusi ”. memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral,
Perkara yang menjadi pertentangan
nilai-nilai agama, keamanan, dan
saat ini adalah pada putusan MK dengan
ketertiban umum dalam suatu
Nomor Registrasi: 2 -3/PUU-V/2007
masyarakat demokratis”
mengenai uji konstitusionalitas Pasal 80
ayat (1), Pasal 80 ayat (2) huruf (a), Pasal 80 Sehingga MK berpendapat bahwa
ayat (3) huruf (a), Pasal 81 ayat (3) huruf (a), hukuman mati merupakan pembatasan
Pasal 82 ayat (10) huruf (a), Pasal 82 ayat (2) yang ditetapkan UU No. 22 Tahun 1997
huruf (a) dan Pasal 82 ayat (3) huruf (a) dari demi menegakkan ketertiban umum. MK
UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika memberikan textual meaning terhadap
yang mengatur mengenai Tindak Pidana ketentuan Pasal 28 A dan 28 I tersebut
Mati (death penalty/capital punishment). berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.
Pada perkara ini MK menafsirkan text Pasal Putusan-putusan tersebut juga memiliki
28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 dengan permasalahan jika dilihat dari sudut Hukum
memberikan pengertian lain dari original Tata Negara, yaitu pertama, bagaimana
intent Pasal-pasal tersebut. kedudukan putusan tersebut dalam hierarki
162
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
163
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
165
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
hanya bersifat mengatur dan eksplikatif norma terebut (modus van behoren); (c)
(menjelaskan). Tujuannya adalah memberi objek norma, yaitu perilaku yang diminta
ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan
termasuk hukum positif (O. Notohamidjojo: (normgedrag); dan (d) kondisi norma, yakni
1975). Dalam konteks pembicaran tentang persyaratan yang menyertai pelaku atau
penalaran hukum ini, asas hukum tersebut perilaku itu (normcondities). Apabila sebuah
diartikan menurut fungsi yang pertama. pasal atau rangkaian pasal dipilah menjadi
Apabila dari sumber-sumber hukum unsur-unsur dari dasar hukum yang dipakai
yang sudah diseleksi itu ditemukan sejumlah di dalam tuntutan atau permohonan, maka
aturan (norma) yang tingkat koherensinya sesungguhnya keempat hal di atas sudah
tidak sempurna, maka harus dilakukan harus tercermin. Subjek yang terkena sasaran
penyeleksian aturan secara hati-hati. Dalam norma, apabila dirumuskan dengan kata-
konteks ini, dapat digunakan asas-asas kata setiap orang atau barangsiapa tentu
hukum, misalnya dalam hal terjadi kontradiksi berbeda jika dirumuskan dengan kata-kata
normatif antara: setiap warganegara. Dalam konteks hak
asasi manusia di dalam konstitusi, misalnya,
1. Undang-undang yang umum dan
ada perbedaan antara penduduk dan warga
undang-undang yang khusus, dapat
negara (Mertokusumo & A. Pitlo: 1993).
dicari pemecahannya dengan asas lex
Pada perkara konstitusi yang merupakan
specialis derogat legi generali;
ranah hukum publik, konotasi para pihak
2. Undang-undang lama dan undang-
ini mencakup denotasi yang luas sekali
undang baru, dapat dicari pemecahannya
sehingga putusan mengikat untuk seluruh
dengan asas lex posterior derogat legi
rakyat (erga omnes). Setelah dibacakan dan
priori;
menjadi public domain, putusan ini akan
3. Undang-undang lebih tinggi dan undang-
terbuka sebagai bahan wacana publik (public
undang lebih rendah (seperti undang-
discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan
undang [dalam arti formal] dengan
yang utuh sangat diperlukan agar masyarakat
peraturan pemerintah), dapat dicari
tidak hanya tercuri perhatiannya pada
pemecahannya dengan asas lex superior
amar putusan, melainkan terutama harus
derogat legi inferiori;
pada konsideran yang menggiring diktum
4. Undang-undang dan putusan hakim,
putusan. Masyarakat yang berkepentingan,
dapat dicari pemecahannya dengan asas
khususnya para penstudi hukum harus diberi
res judicata pro veritate habetur;
akses yang cukup agar setiap putusan hakim
5. Undang-undang mengatur dan
dapat dikaji penalarannya. Putusan hakim
kebiasaan, dapat dicari pemecahannya
adalah produk penalaran hukum. Formulasi
dengan asas Die normatieve Kraft des
putusan dilakukan dengan menggunakan
Faktischen;
simbol-simbol bahasa, yang tentu memiliki
6. Undang-undang memaksa dan
keterbatasan. Burght dan Winkelman
kebiasaan, dapat dicari pemecahannya
menyatakan, sama seperti bentuk pelaporan
dengan asas lex dura sed tamen scripta
(rapportage) lainnya, putusan pun harus
(Apeldorn: 1985).
disusun berstruktur. Pembagian dan
Dalam ilmu perundang-undangan,
pembahasan butir demi butirnya harus
ada cara sederhana untuk menyusun sebuah
menghindari konstruksi kalimat yang jelimet.
norma primer dan norma sekunder. Norma
Oleh karena itu, putusan hakim menunjukkan
sekunder yang dimaksud di sini tidak lain
keterampilan (skill) dan seni (art) bernalar
adalah konsekuensi dari terpenuhinya
praktis. Formulasi putusan dengan demikian
norma primer, yang lazim disebut ancaman
terkait erat dengan persoalan-persoalan
hukuman. Norma primer ini memuat
bahasa, seperti problematika pemilihan kata
unsur-unsur berupa: (a) subjek hukum yang
(diksi) dan pemaknaan (semantik) yang telah
menjadi sasaran norma (normadressaat);
banyak disoroti para penstudi dan pemerhati
(b) modus perilaku, yakni sifat-sifat
hukum (Graakeer: 1995).
166
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
167
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
hakim dituntut untuk memuat pertimbangan- Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry
pertimbangan (motivering vonis) yang makin into Concepts Legal Rule and Legal System.
Clarendon Press. Oxford.
mampu menjawab kebutuhan zamannya. Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry
Oleh karena “putusan hakim harus dianggap into Concepts Legal Rule and Legal System.
benar” (res judicata pro veritate habetur), Clarendon Press. Oxford.
maka wajar jika klaim kebenaran seperti Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State,
Russel and Russel, Newyork.
itu akan senantiasa dievaluasi oleh publik,
Loundoe, John Z. 2012. Menemukan Hukum Melalui
khususnya oleh kalangan komunitas hukum. Tafsir dan Fakta. Terjemahan Rumadi. Penerbit
Apalagi dalam putusan MK yang bersifat final Bina Aksara. Jakarta.
& binding. Mertokusumo, Soedikno. 2001. Penemuan Hukum,
Harus pula diakui, tidak ada rumusan Sebuah Pengantar. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno & Pitlo, A. 1993. Bab-Bab
baku yang dapat diterapkan untuk semua pola tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.
penjatuhan putusan. Pembakuan demikian Bandung.
justru akan menjerumuskan hakim kepada Mohammad Fajrul Falaakh, 2012. Komisi Konstitusi
pola berpikir prosedural-legistik yang sempit. dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945,
Jurnal Analisa CSIS XXXI (2), 48-65.
Hakim adalah mahluk intelektual dan etis yang
Murphy, Walter. 2000. Constitutional Interpretation as
layak diberi keleluasaan untuk berkarya, dan Constitutional Creation: The 1999-2000 Harry
karena karya tersebut dialamatkan kepada Eckstein Lecture, University of California, Irvine.
publik, maka layak pula bagi publik untuk Natabaya, H.A.S. 2006. Sistem Peraturan Perundang-
meminta pertanggungjawabannya, termasuk undangan Indonesia. Sekretariat MK-RI. Jakarta.
Nawawi, Hadari. 1983. Metode Penelitian Sosial. Gajah
pertanggungjawabannya atas tujuan-tujuan Mada University Press. Yogyakarta.
hukum yang secara fundamental dan Notohamidjojo, O. 1975. Demi Keadilan dan
proporsional seyogyanya melekat pada setiap Kemanusiaan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
putusan: keadilan, kepastian hukum, dan Pudjosewojo, Kusumadi. 1976. Pedoman Pelajaran
Tata Hukum Indonesia. Penerbit Aksara Baru.
kemanfaatan.
Jakarta.
Riyanto, Astim. 2000. Teori Konstitusi, Penerbit
Daftar Pustaka YAPEMDO, Bandung.
Sanden, Joachim. 2009. Methods of Interpreting The
Algra N.E. & Duyvendik, K. Van. 1983. Mula Hukum Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly
(Rechtsaanvang). terjemahan J.C.T. Simorangkir. Integrated Europe, Journal Juridica International,
Binacipta. Bandung. VIII (3). 130-150.
Alrasid, Harun. 2011. Hak Menguji Dalam Teori dan Scholten, Paul. 1934. Mr. C. Assers Handeling tot de
Praktek. Jurnal Konstitusi. 1 (1), 94-110. Beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk
Asshiddiqie, 2007. Jimly. Model-Model Pengujian Recht: Algemeen Deel. W.E.J. Tjeenk Willink.
Konstitusional di Berbagai Negara, Penerbit Zwolle.
Konstitusi Press. Jakarta. Schwartz, Bernard. 1997. A Book of Legal Lists-The Best
Barber, Sotiros A. 1993. The Constitutional Judicial and Worst in American Law, Oxford University
Power. The John Hopkins University Press. Press. New York.
Baltimore and London. Shidarta, 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran
Djokosoetono. 2006. Hukum Tata Negara, Himpunan Kerangka Bepikir. Refika Aditama. Bandung.
oleh Harun Alrasyid, Ind Hill Co. Jakarta. Siahaan, Maruarar. 2006. Hukum Acara Mahkamah
Eddyono, Luthfi Widagdo. 2012. Catatan Eksplorative Konstitusi Republik Indonesia. Sekretariat
Perkembangan Constitutional Review, Jurnal Jenderal dan Kepaniteraan MK RI. Jakarta.
Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Soemantri, Sri. 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan
Indonesia, 2 (1). 38-59. Konstitusi. Penerbit P.T. Alumni. Bandung.
Garvey, John H. and Aleinikoff, T. Alexander. 1994. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-
Modern Constitutional Theory. third Edition. undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
West Publishing Co. St. Paul. Minn. Kanisius. Yogyakarta.
Gr. van der Brught & Winkelman, J.D.C. 2011. Sukanto, Suryono. & Mamudji, Sri. 2001. Penelitian
Penyelesaian Kasus. Terjemahan B. Arief Hukum Normatif, Cet. IV. PT. Raja Grafindo
Sidharta. Jurnal Pro Justitia. XII (1). 35-36. Persada. Jakarta.
Grassian, Victor. 1981. Moral Reasoning: Ethical Theory Tushnet, Mark. 1999. Comparative Constitutional Law.
and Some Contemporary Moral Problems. New York Foundation Press, New York.
Prentice-Hall. New Jersey. Vandevelde, Kenneth J. 1996. Thinking Like A Lawyer:
Gray, John Chipman. 1991. The Nature and Sources of An Introduction to Legal Reasoning. Westview
the Law, MacMillan, New York. Press. Colorado.
168
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013
Wacks, Raymond. 1995. Jurisprucence, Ed. 4. Boyd White in het Perspectief van Law and
Blackstone Press. London. Literature. Sanders Instituut. Arnhem.
Henket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Radbruch, Gustav. 1973. Rechtsphilosophie. K.F.
Terjemahan B. Arief Sidharta. Penerbitan Tidak Koehler Verlag. Stuttgart.
Berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar. Nonet, Phillipe & Selznick, Philip. 2001. Law and
Bandung. Society in Transition: toward Responsive Law.
Graakeer, Adriana M.P. 1995. De Waarde van het Harper Torch Books. New Brunswick.
Woord: Eeen Studie van het Werk van James
169