Anda di halaman 1dari 17

Volume 8. Nomor 2.

Juli 2013

Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

Penemuan Hukum melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan


Pengadilan
Arif Hidayat

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penemuan hukum dalam putusan hakim
Diterima April 2013 Mahkamah Konstitusi (MK), dengan menggali beberapa kasus yang dimohonkan di MK yang
Disetujui Mei 2013 putusannya kemudian menyebabkan perubahan makna teks dari UUD 1945. Pendekatan
Dipublikasikan Juli 2013 yuridis normatif digunakan untuk menyoroti kesenjangan hukum (legal gap) yang kerap terjadi
dalam penerapan hukum dan konstitusi. Sumber data primer maupun sekunder adalah bahan
Keywords: kepustakaan dengan teknik dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif, teknik ini berfungsi
Legal Gap; Rechtsvinding; Inter- sebagai alat pengumpul data utama, karena pembuktian hipotesisnya dilakukan secara logis
pretation; Constitutional Judge dan rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum yang diterima kebenarannya, baik
yang menolak maupun yang mendukung hipotesis tersebut. Analisis data bersifat deskriptif-
analitis dengan interpretasi rasional yang adequate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesenjangan hukum inilah yang membuka akses bagi penemuan hukum (pembaharuan
konstitusi). Penemuan hukum sendiri tidak dapat dipisahkan dari aktivitas penalaran hukum,
sehingga tidak mungkin kita dapat memahami hakikat penemuan hukum tanpa mengaitkannya
dengan proses penalaran hukum. Kehadiran MK memungkinkan adanya perubahan konstitusi
secara “onbewust”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan
informal konstitusi oleh Putusan MK.

Abstract
This research is intended to describes “rechtsvinding” in the verdict of the Constitutional Court
(MK), by digging some cases are filed in the Court which shall then cause changes in the
meaning of the text of the Constitution 1945. Normative-yuridis approach is used to highlight
the gap law (legal gap) that often occur in the application of the law and the constitution.
Primary and secondary data source is the literature with engineering documentation. In
qualitative research, this technique serves as the main data collection tool, as proof of the
hypothesis is done in a logical and rational through the opinions, theories or laws are accepted
as true, or reject both in favor of the hypothesis. Data analysis is a descriptive-analytical with
adequate rational interpretation. The results showed that this legal gap that opens up access
to the “rechts finding” (constitutional reform). The “rechtsvinding” itself can not be separated
from the activities of legal reasoning, so that we may not be able to understand the nature of
the “rechtsvinding” without referring to the process of legal reasoning. MK presence allows for
changes to the constitution are ”onbewust”. Thus, it can be concluded that there has been
informal change in the constitution by the Constitutional Court.

Alamat korespondensi: © 2013 Universitas Negeri Semarang


Gedung C4, Sekaran, Gunungpati, ISSN 1907-8919 (cetak)
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia 50229 ISSN 2337-5418 (online)
E-mail: arifardat@gmail.com
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

1. Pendahuluan hukum terkait dengan materi muatan


yang tercantum dalam peraturan tersebut.
Keadilan, kepastian hukum, dan Namun, keyakinan seperti di atas sebenarnya
kemanfaatan (Gustav Radbruch: 1973) adalah hanya sebatas asumsi. Het recht hinkt achter
tiga terminologi yang sering dilantunkan de feiten aan: hukum selalu berjalan tertatih-
di ruang-ruang kuliah dan kamar-kamar tatih di belakang peristiwa konkret (Shidarta,
peradilan, namun belum tentu dipahami 2006). Oleh sebab itu, cepat atau lambat,
hakikatnya atau disepakati maknanya. undang-undang akan tertinggal oleh fakta.
Keadilan dan kepastian hukum, misalnya. Jurang ketertinggalan itu kian melebar
Sekilas kedua terma itu berseberangan, tetapi seiring dengan berubahnya tatanan sosial
boleh jadi juga tidak demikian. Kata keadilan tempat hukum itu hidup di dalam alam
dapat menjadi terma analog, sehingga tersaji kenyataannya. Di sinilah terjadi legal gap
istilah keadilan prosedural, keadilan legalis, antara hukum di atas kertas (law in the books)
keadilan komutatif, keadilan distributif, dan hukum yang hidup dalam kenyataan
keadilan vindikatif, keadilan kreatif, keadilan (law in action; the living law).
substantif, dan sebagainya. Dalam praktik di ruang-ruang
Keadilan prosedural, sebagaimana pengadilan, kesenjangan (gap) yang terjadi
diistilahkan oleh Nonet dan Selznick (2001) ini harus disiasati oleh hakim. Hakikat dari
untuk menyebut salah satu indikator dari tipe tindakan untuk menyiasati kesenjangan inilah
hukum otonom, misalnya, ternyata setelah yang disebut dengan penemuan hukum
dicermati bermuara pada kepastian hukum (rechtsvinding). Kesenjangan-kesenjangan
demi tegaknya the rule of law. Jadi, pada ini, dalam kaca mata penganut legisme,
konteks ini keadilan dan kepastian hukum merupakan anomali dalam penegakan
tidak berseberangan, melainkan justru hukum. Anomali adalah sesuatu yang
bersandingan. Pengertian hukum pun lebih buruk karena ia berpotensi menggerogoti
diartikan pada hukum-hukum yang tersaji kewibawaan hukum. Untuk itu, hakim
(given), yakni norma-norma positif dalam disarankan untuk tidak memelihara
sistem perundang-undangan meskipun anomali tersebut. Jika terjadi anomali yang
hakim juga dianjurkan untuk menggali nilai- tidak mungkin ditoleransi lagi, maka tugas
nilai yang hidup di dalam masyarakat. pembentuk undang-undanglah untuk
Tradisi keluarga civil law system, merevisi undang-undang tersebut melalui
menempatkan norma positif dalam sistem proses legislative review.
peraturan perundang-undangan dipandang Pikiran kaum legisme seperti ini telah
sebagai sumber formal hukum yang paling mulai ditinggalkan. Mahkamah Konstitusi
utama. Dalam alam pikiran demikian, dan Mahkamah Agung, misalnya, telah
keberadaan hukum tertulis menjadi sangat diberi kewenangan melakukan judicial
penting. Makna hukum tertulis dibatasi review atas peraturan perundang-undangan.
denotasinya yaitu hanya berupa undang- Kedua lembaga ini melakukan peninjauan
undang. Alhasil, undang-undang perlu atas peraturan perundang-undangan, yang
dibuat selengkap mungkin agar mampu hasil putusannya diberlakukan tidak hanya
mengakomodasi dan mengantisipasi setiap untuk para pemohon saja, melainkan kepada
perilaku pelanggaran hukum. Pernyataan masyarakat luas. Penelitian ini bermaksud
tersebut berbeda ‘nafas’ dengan wacana mengulas penemuan hukum dalam putusan
perbuatan melawan hukum formal dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dengan
material, terutama pasca putusan Mahkamah menggali beberapa kasus yang dimohonkan
Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 di MK yang putusannya kemudian
Juli 2006. menyebabkan perubahan makna teks dari
Pembentuk undang-undang umumnya UUD 1945.
berkeyakinan bahwa undang-undang yang
dihasilkannya mampu mengakomodasi dan
mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran

154
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

2. Metode lengkap hukumnya. Hakim menemukan


hukum itu untuk mengisi kekosongan dengan
Pendekatan yang digunakan dalam menggunakan metode berfikir analogi,
penelitian ini adalah metode penelitian metode penyempitan hukum dan metode a
yuridis normative (Sukanto & Mamudji, contrario (Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo:
2001; Nawawi, 1983). Analisis data secara 1993).
deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah Paul Scholten (1934) menyebutkan ada
data sekunder. Data dikumpulkan dengan tiga (3) syarat dalam melakukan penafsiran
menggunakan studi dokumentasi. Analisis konstitusi, yaitu: (1) meliputi materi positif (het
data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dekken der positieve stof); (2) ajarannya tidak
untuk menjawab pertanyaan dari penelitian kontradiksi secara internal (de leer mag niet
ini. zich zelf tegenspreken); dan (3) memenuhi
syarat estetis (aesthetische eischen).
3. Hasil Dan Pembahasan Pembangunan struktur aturan yang
dibentangkan di atas pada akhirnya harus
a. Dinamika Penafsiran Hukum tunduk pada asas-asas yang oleh J.W. Harris
George Jellinek dalam Astim Riyanto (1982) disebut the rule-systematizing logic of
(2000) menyebutkan bahwa perubahan legal science. Ada empat asas yang disebutkan
konstitusi pada dasarnya dibagi menjadi Harris, yaitu asas (1) eksklusi (exclusion);
dua, yaitu melalui prosedur formal (2) subsumsi (subsumption); (3) derogasi
(verfassungsanderung) dan melalui cara-cara (derogation); dan (4) nonkontradiksi (non-
informal (verfassungswandlung). Perubahan contradiction). Asas pertama mengandaikan
formal adalah perubahan yang mekanismenya sejumlah sumber legislatif independen
telah diatur di dalam konstitusi suatu negara (independent legislative sources) membentuk
sedangkan perubahan diluar ketentuan jalinan yang mengidentifikasikan sebuah
konstitusi disebut sebagai perubahan informal sistem hukum. Selanjutnya, asas subsumsi
atau melalui kondisi onbewust (secara lambat- mengandung arti bahwa aturan-aturan
laun). Dalam bahasa Djokosutono (2006), itu tunduk pada sistem hirarkis, dan ini
verfassungsanderung (functieverandering atau sejalan dengan asas derogasi yang tidak
functiewijziging) dimaknai sebagai bentuk menghendaki adanya konflik di dalam sistem
perubahan yang sesungguhnya, di mana aturan tersebut.
terjadi perubahan terhadap pokok-pokok Aturan yang lebih tinggi akan
pikiran, asas-asas, bentuk negara, sistem mengenyampingkan aturan yang lebih rendah.
pemerintahan dan lainnya. Sedangkan Konsekuensi lebih lanjut ditunjukkan oleh
verfassungswandlung (functieverschuiving) asas nonkontradiksi, yang menggarisbawahi
adalah perubahan makna ataupun penafsiran bahwa eksistensi sebuah kewajiban tidak
ketentuan dalam konstitusi yang tidak dapat dihadirkan bersamaan dengan sebuah
menyimpang dari ketentuan pokok serta non-kewajiban. Masih ada kemungkinan lain.
asas-asas yang termaktub di dalamnya. Struktur aturan yang dibuat itu, sekalipun
Penafsiran hukum (interpretasi) telah melewati the rule-systematizing
adalah metode penemuan hukum dalam logic of legal science ternyata tetap tidak
hal peraturannya ada tetapi tidak jelas mungkin hadir secara tunggal. Artinya, ada
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. beberapa struktur aturan yang semuanya
Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus mungkin untuk diterapkan pada langkah
memeriksa dan mengadili perkara yang keempat nanti. Pada kasus yang kompleks
tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini (hard case), tingkat probabilitas terjadinya
hakim menghadapi kekosongan atau ketidak- situasi demikian sangat tinggi. Apalagi, jika
lengkapan undang-undang yang harus diisi persidangannya berbentuk majelis. Antara
atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh hakim yang satu dengan hakim yang lain,
menolak memeriksa dan mengadili perkara mungkin saja masing-masing membangun
dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak struktur aturan yang berbeda, berangkat dari

155

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

sudut pandang sendiri-sendiri, yang ternyata penalarannya sendiri. Untuk itu Victor
sulit dipersatukan. Perbedaan struktur Grassian (1981) berpesan:
aturan itu tidak perlu untuk dituntaskan “Bila undang-undang dan
(diseragamkan) karena justru perbedaan ini “kesadaran umum” berdiam diri,
sangat berguna untuk melahirkan alternatif- maka keputusan dari orang, yang
alternatif solusi. Hakim atau para hakim tidak mempunyai tujuan lain selain
harus menetapkan pilihan atas salah satu mewujudkan hukum dan terdidik
alternatif yang paling sesuai dengan struktur (terlatih) di dalam menimbang
kasus, untuk akhirnya diformulasikan kepentingan-kepentingan dan
sebagai putusan (termasuk juga yang lazim argumen-argumen, adalah masih
disebut penetapan). Pertimbangan inilah yang terbaik yang terhadapnya orang
dapat memberikan kepercayaan.
yang kemudian melatarbelakangi dissenting
Asalkan ia masih memiliki sifat, yang
opinion dan concurring opinion hakim MK
mutlak harus dimiliki seorang hakim
tercantum dalam putusan. Istilah putusan
yang baik: zelfkritiek (kritis terhadap
secara teknis dibedakan dengan penetapan
diri sendiri atau mampu mengkritik
karena yang pertama mengacu pada produk diri sendiri). Seorang hakim yang baik
peradilan contentieus, sementara yang kedua harus, jika ia dihadapkan pada suatu
produk peradilan voluntair. penyelesaian, yang memuaskannya,
Putusan hakim per definisi adalah juga memiliki sedemikian banyak
suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pengetahuan tentang dirinya sendiri
pejabat negara yang diberi wewenang untuk sehingga ia dapat mempertanyakan
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan kepada dirinya sendiri apakah
untuk mengakhiri atau menyelesaikan kepuasan itu tidak berkaitan
suatu perkara atau sengketa antara para dengan preferensi-preferensi,
pihak. Dalam praktik, semua putusan selalu yang ia ketahui bahwa tidak setiap
dibacakan (uitspraak) berdasarkan naskah orang merasakannya dengan cara
tertulis yang telah dipersiapkan. Dalam yang sama dan sedemikian banyak
hukum acara di Indonesia, misalnya, dianut pengetahuan tentang masyarakat
pendapat bahwa apabila ada perbedaan sehingga ia dapat mengetahui yang
antara naskah tertulis dan ucapan lisan pada (disebut) terakhir ini. Hanya setelah
saat naskah putusan dibacakan, maka yang mampu mengatasi pengujian yang
dijadikan pegangan adalah ucapan lisan terakhir ini maka penilaiannya, yang
(Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Tahun terpaksa, kreatif, akan tidak subjektif
1959 dan No. 1 Tahun 1962). lagi”.
Setiap struktur aturan, secara Hakim adalah profesi yang independen
deduktif akan melahirkan minimal dalam bernalar. Independensi ini harus
satu jawaban. Setiap jawaban harus tetap dijamin, sekalipun ia duduk sebagai
dibangun melalui proses penalaran yang anggota majelis. Hakim yang bersikeras
dapat dipertanggungjawabkan secara untuk mempertahankan alternatif lain di
disiplin hukum. Bagi sejumlah kalangan, luar putusan rekan-rekannya, harus tetap
pertanggungjawaban disiplin hukum ini harus dihormati. Untuk itu, argumentasi yang
juga dipadukan dengan pertanggungjawaban diajukannya sebaiknya dimuat dalam putusan
moral. Dengan demikian, penalaran hukum juga, baik dalam berupa dissenting opinion
(legal reasoning) adalah juga penalaran moral (contrariety of opinion) maupun concurring
(moral reasoning). Tiap-tiap alternatif harus opinion.
diverifikasi dengan argumentasi yang tepat. Mahkamah Konstitusi (MK) yang lahir
Kerja sama antara hakim-hakim yang duduk sebagai lembaga peradilan ketatanegaraan,
dalam satu majelis diuji pada langkah kelima dalam menafsirkan konstitusi, tidak lagi cukup
ini. Hakim yang baik harus menerima apabila menyandarkan dirinya pada pertimbangan-
argumentasi yang diajukannya dikritik oleh pertimbangan makna verbal, gramatikal,
rekannya. Bahkan, iapun wajib mengkritisi

156
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

logis dan historis dari naskah konstitusi atau tersebut di atas, peristiwa Marbury Vs.
ketentuan Undang-Undang Dasar, melainkan Madison setidaknya dalam catatan sejarah
harus pula mempertimbangkan “Arah Baru terhadap upaya penegakkan hukum yang
Penafsiran Konstitusi”. berkeadilan, oleh Bernard Schwartz (1997)
MK sebagai salah satu kekuasaan telah ditempatkan sebagai putusan hakim
kehakiman yang bertindak sebagai negative terbaik sepanjang sejarah penegakkan hukum
legislator membuat para pembentuk undang- di Amerika.
undang saat ini cenderung lebih suka John Austin menyebutkan dalam teori
membentuk produk perundang-undangan kehendak bahwa keyakinan pembentuk
yang tidak kasuistis dan bersifat umum undang-undang bahwa undang-undang yang
(flucht in die generalklausel). Sehingga terjadi dihasilkannya mampu mengakomodasi dan
pergeseran dari hakim yang hanya corong mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran
undang-undang (normgerechtigkeit) ke hukum terkait dengan materi muatan
arah hakim bebas (einzelfallgerechtigkeit). yang tercantum didalamnya dibenarkan,
Pergerakan paham ini merubah arah cara mengingat para pembentuk undang-undang
berpikir yang pada mulanya mengacu kepada sudah memastikan bahwa undang-undang
sistem (systeemdenken) kemudian beralih itu dibuat dengan menampung kehendak
menjadi cara berpikir yang mengacu kepada penuh semua pemangku kepentingan
masalahnya (problemdenken). Artinya hakim (Raymond Wacks: 1995). Oleh sebab itu,
tidak lagi semata-mata harus mengacu kepada undang-undang yang dihasilkan sudah
peraturan perundang-undangan namun dipastikan telah menampung rasa keadilan
lebih kepada bagaimana masalah pencari dan memuat jaminan kemanfaatan jika
keadilan dapat diselesaikan dengan seadil- diterapkan. Hakim yang menjumpai adanya
adilnya (Joachim Sanden: 2009). Alasan lain peristiwa konkret (empiric) yang dihadapkan
adalah rasionalisasi, jika seandainya lembaga di muka persidangan, dengan sendirinya
legislatif mengesahkan sebuah Rancangam tinggal menerapkan saja undang-undang
Undang-Undang (RUU) yang inkonstitusional itu. Jadi, menerapkan undang-undang
apakah harus memutuskan sah ketidak- dengan sendirinya sudah menjamin tegaknya
konstitusionalannya tersebut yang jelas-jelas keadilan dan kemanfaatan, sebagaimana
meragukan. Oleh karena itu, harus dipahami terrangkum dalam ragaan Gambar 1.
bahwa tugas lembaga legislatif dan yudikatif Ilmu hukum Sebagai ilmu praktis,
berbeda namun saling bertugas mengawasi berkewajiban menjawab langsung
dan mengahargai sesuai dengan semangat problematika konkret yang diajukan
mekanisme check and balances system. masyarakat, yakni pertanyaan: jika orang
Perbedaan tugas itu dikemukakan dengan melanggar hukum, apa hukumannya?
jelas oleh Kusumadi Pudjosewojo (1976) Pertanyaan demikian harus dijawab segera,
bahwa hakim menentukan hukum itu secara lugas, tegas, dan tidak boleh diambangkan
konkrit (in concreto) dengan peristiwa yang (lites finiri oportet). Putusan hakim pada
ada sedangkan para pembuat undang-undang dasarnya dibuat dalam rangka memberikan
(legislatif) menentukan norma abstraknya (in jawaban seperti itu. Oleh karena hakim
abstracto). Pandangan Pudjosewojo tersebut dianggap tahu hukum (ius curia novit), maka
bermakna hukum abstrak hanyalah alat yang putusan itu harus memuat pertimbangan-
mengantarkan hakim mempertimbangkan pertimbangan yang memadai, yang bisa
sebuah bentuk hukum yang diterapkan diterima secara nalar di kalangan institusi
secara konkrit, bisa jadi putusan hakim akan kehakiman, forum ilmu pengetahuan
berkesesuai dengan norma abstrak bisa pula hukum, masyarakat luas, dan para pihak yang
tidak. Tentu saja itu berarti hakim dapat berperkara (N.E. Algra & K. Van. Duyvendik:
merubah ataupun mengabaikan ketentuan 1983). Apalagi jika perkara tersebut diputus
yang ada dalam perundang-undangan demi oleh hakim konstitusi yang putusannya
menciptakan keadilan (hukum) yang konkrit. bersifat final and binding.
Lepas dari berbagai pandangan

157

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Gambar 1. Ragaan Penerapan Norma Hukum Positif


Sumber: J.W. Harris (1982)

b. Penalaran Hukum dan Penafsiran bersangkutan menghadapi suatu kasus


Konstitusi konkret. Dengan perkataan lain, penalaran
Dalam proses lahirnya putusan hakim, hakim (judicial reasoning) dipandang
berlangsunglah apa yang disebut penlaran sebagai wujud paling konkret dari penalaran
hukum. Kenneth J. Vandevelde (1996) hukum (legal reasoning). Penalaran hukum
menekankan dua hal setiap kali orang sebagaimana diperagakan dalam putusan-
berbicara tentang penalaran hukum atau putusan hakim, disadari atau tidak, memang
berpikir ala ahli hukum. Menurutnya, “The diarahkan kepada pencapaian pembenaran-
phrase ‘to think like a lawyer’ encapsulates a pembenaran menurut sistem logika tertutup
way of thinking that is characterized by both (closed logical system). Sistem logika
the goal pursued and the method used”. Maria demikian berbau simplistis karena sangat
Farida Indrati Soeprapto (1998) menyatakan menggantungkan pada perumusan premis
bahwa persoalan yang pertama (goal pursued) mayor. Jadi, apabila hakim sejak awal sudah
berdimensi aksiologis, sedangkan yang kedua dipersempit ruang gerak bernalarnya pada
(method used) berdimensi epistemologis. pilihan-pilihan normatif tertentu saja, maka
Aspek epistemologis berupa metode yang muatan nilai aksiologis dari putusannya
dimaksud dalam konteks ini adalah hal-hal cenderung normatif juga. Sementara pada sisi
yang terkait dengan cara-cara penarikan lain, jika mengikuti filosofi irah-irah putusan
kesimpulan dalam suatu proses penalaran hakim, dimensi aksiologis dari putusan hakim
hukum. Pada galibnya, penalaran hukum itu tidaklah demikian, melainkan keadilan
(legal reasoning) direpresentasikan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
mengikuti rangkaian proses bekerja (berpikir) Pada sisi yang lebih personal, setiap pihak
seorang hakim (judicial reasoning). yang terlibat dalam peradilan kontensius
Dengan demikian pengertian (contentieuze jurisdictie) tentu berharap
penalaran hukum seringkali dipersempit hukum akan berpihak kepada mereka.
menjadi penalaran hakim tatkala yang MK dengan kewenangan constitutional


158
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

review tersebut menimbulkan sebuah undang (Judicial review refers to the


kewenangan yang samar atau dengan ultimate authority of the Supreme Court
kata lain menciptakan kewenangan baru, to judge whether [a] a state law or [b] a
yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. national law) sedangkan penggunaan
Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa istilah constitutional review hanya sesuai
constitutional court itu adalah “the guardian dengan proses uji konstitusionalitas
of constitution and the sole interpreting terhadap produk hukum di bawah
of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi.
konstitusi berdasarkan kewenangan dalam Hak untuk memberikan tafsir
memutus apakah sebuah produk perundang- terhadap konstitusi maupun produk hukum
undangan telah sesuai dengan konstitusi atau lainnya memang bukanlah kewenangan
tidak. Sedangkan disebut sebagai satu-satunya monopoli dari lembaga peradilan. Namun
lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi agar penafsiran terhadap text konstitusi
dikarenakan kewenangan constitutional memiliki kekuatan hukum yang dapat diakui
review menciptakan kewenangan tersebut. seluruh elemen negara, maka peradilan
Kewenangan menafsirkan itu timbul dari diberikan kewenangan untuk memberikan
sebuah tafsir pula bahwa bagaimana bisa tafsir tersebut. Beberapa pakar memiliki
melakukan review terhadap sebuah undang- landasan penting kenapa hanya peradilan
undang agar berkesesuaian dengan konstitusi yang berhak melakukan tafsir terhadap
apabila tidak diberi kewenangan memaknai, produk hukum (Walter Murphy: 2000).
menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya Teori penafsiran hukum diperkenalkan
kewenangan tafsir konstitusi itu lahir juga dari oleh Carl Von Savigny, seorang pakar hukum
sebuah penafsiran. Jerman yang mengajarkan tentang penafsiran
Istilah constitutional review dipilih sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul
dalam penelitian ini berdasarkan pandangan dalam undang-undang. Menurut Savigny
yang dikemukakan oleh Vicki C. Jackson lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah
dan Mark Tushnet (1999), yaitu pengujian metode yang dapat digunakan semaunya
konstitusional yang dilakukan lembaga melainkan harus terpusat kepada penafsiran
peradilan. undang-undang. Interpretasi atau menafsir
Teori atau mode dari cara berpikir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran
hakim dalam menafsirkan hukum terutama hukum sebenarnya adalah alat pembantu
konstitusi maupun produk legislasi disebut dalam memberi arti, maksud atau ratio
sebagai penafsiran hakim. Penafsiran oleh terhadap suatu ketentuan undang-undang.
hakim tersebut dapat dibedakan menjadi Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak
dua yaitu judicial review dan constitutional dapat memberikan penyelesaian hukum
review. Pembedaan itu dilakukan dengan terhadap permasalahan yang ada pada dunia
beberapa alasan (Luthfi Widagdo Eddyono: nyata. Oleh karena itu dibutuhkan penafsir
2012): undang-undang yang memahami tujuan
1. Constitutional review bukanlah hak hukum sesungguhnya dan keputusannya
tunggal dari lembaga peradilan, memiliki legitimasi yang mengikat, maka
wewenang uji konstitusional tersebut diserahkan wewenang tersebut kepada
bergantung kepada ketentuan konstitusi lembaga peradilan. Apalagi dikarenakan
masing-masing negara. Terdapat konstitusi lembaga peradilan adalah tempat terakhir
yang memberikan uji konstitusionalitas mencari keadilan dan tempat penyelesaian
kepada sebuah Dewan Konstitusi seperti pelbagai perkara hukum (Loundoe, 2012).
Prancis atau oleh lembaga legislatif (MPR) Penafsiran melalui sebuah proses
yang pernah dianut Indonesia sebelum peradilan (judicial interpretation) dimaknai
perubahan UUD 1945; sebagai sebuah teori atau metode cara berpikir
2. Istilah judicial review dapat pula yang menjelaskan bagaimana peradilan
mengarah kepada uji terhadap produk harusnya memberikan tafsir hukum terhadap
perundang-undangan di bawah undang- sebuah undang-undang terutama undang-

159

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

undang dasar. Metode menafsirkan tersebut juga mengemukakan banyak pandangan


bukanlah sesuatu ketentuan berdasarkan mengenai metode ini. John H. Garvey dan T.
metode baku sebagaimana dipahami Alexander Aleinikoff (1994) mengemukakan
dalam keilmuan bidang eksakta. Penafsiran beberapa metode utama dalam melakukan
hukum bahkan disebut sebagai sebuah penafsiran konstitusi, yaitu; Interpretivism/
seni (Interpretation is an art). Disebut seni Non-intepretivism; Textualism; Original
dikarenakan melakukan penafsiran hukum Intent; Stare Decisis; Neutral principles; dan
tidak bisa melihat suatu masalah “A”, maka Balancing atau kombinasi dari beberapa
ditafsirkan “A”. Penafsiran hukum suatu saat metode tersebut.
bisa sangat spesifik namun pada saat yang lain Para hakim menggunakan
penafsiran bisa menjadi sangat-sangat abstrak pandangan atau kemampuan mereka
bahkan “bermuka dua”. Diperlukan banyak berdasarkan pemahaman mereka terhadap
metode pemikiran dan alat untuk melakukan hukum itu sendiri. Artinya, Hakim-hakim
sebuah penafsiran. Upaya merangkai seluruh berbeda pula dalam melakukan penafsiran
elemen untuk membantu sebuah penafsiran konstitusi, sehingga suatu saat para hakim
hukum yang baik itulah yang disebut seni. akan saling bertentangan dalam menafsirkan
Ada hal yang menarik untuk konstitusi terhadap sebuah perkara tertentu.
dipahami dalam masalah melakukan Namun terdapat enam metode interpretasi
interpretasi konstitusi. Pada amandemen konstitusi yang diterima luas oleh para pakar
ke-14 (empat belas) Konstitusi Amerika sebagaimana dikemukakan oleh Garvey dan
dijamin mengenai kesamaan setiap warga Aleinikoff di atas. Soedikno Mertokusumo
negara dihadapan hukum (equality before (2001) juga mengemukakan bahwa terdapat
the law). Poin tersebut sangat sulit diberikan metode penemuan hukum melalui penafsiran
tafsirnya, apalagi pemahaman umum oleh hakim, yaitu; Interpretasi Gramatikal;
dari masyarakat awam bahwa persamaan Interpretasi sitematis atau logis; Interpretasi
dihadapan hukum tersebut adalah perlakuan Historis; Interpretasi Teleologis atau Sosiologis.
yang serupa tanpa beda. Dalam hal kejadian Pandangan Soedikno Mertokusumo tersebut
di Amerika tersebut, terdapat beberapa umum digunakan dalam kaidah tafsir hukum
tanda-tanya; apakah dalam memberlakukan secara umum. Namun dalam metode
setiap orang sama dihadapan hukum itu tafsir konstitusi metode interpretasi yang
berarti memperlakukannya dengan sama digunakan sedikit berbeda walaupun pada
(identik)? atau perlakuan yang sama itu intinya penafsiran hukum tersebut dapat pula
berarti diperlukan tindakan yang berbeda digunakan untuk menafsirkan konstitusi.
pada masing-masing kasus? Dalam sejarah Walaupun banyak metode yang
peradilan Amerika pemahaman equal tersebut berbeda-beda dalam menafsirkan Konstitusi
menyebabkan peradilan memberikan namun terdapat 5 (lima) sumber yang
keputusan yang berbeda-beda pula pada menjadi landasan dalam menafsirkan
setiap kasus. Hal tersebut memperlihatkan Konstitusi, yaitu: (1) the text and structure
bahwa di dalam konstitusi bisa saja terdapat of the Constitution, yang diperhatikan disini
kalimat-kalimat ambigu. Berdasarkan teori adalah ‘bunyi’ dari ketentuan di dalam
Amerika, maka hakim memiliki peran konstitusi atau juga disebut sebagai the
penting ‘menghilangkan’ keragu-raguan literal approach; (2) intentions of those who
terhadap ketentuan konstitusi. Oleh karena drafted, voted to propose, or voted to ratify
itu, sesuai dengan apa yang dikemukakan the provision in question, dalam hal ini
oleh H.L.A. Hart, Chief Justice Hughes dari yang dilihat dalam menafsirkan konstitusi
Supreme Court Amerika menyatakan bahwa adalah maksud dibentuknya konstitusi dan
“the Constitution is what the judge say it is!” pandangan penyusun konstitusi. Sehingga
(Jimly Asshiddiqie: 2007). perlu dipahami sejarah pembentukan sebuah
Metode-metode dalam menafsirkan konstitusi, dalam situasi seperti apa konstitusi
konstitusi atau disebut juga constitutional dibentuk dan pandangan atau ideologi apa
construction sangatlah beragam. Para ahli yang dianut oleh para framers of constitution.

160
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Sumber ini juga dikenal dengan sebutan dan intention biasanya disebut sebagai
the broad and purposive approach; (3) prior kalangan originalist. Sedangkan hakim
precedents, di sini yang diperhatikan adalah yang menggunakan pendekatan di luar
kasus-kasus terdahulu yang merupakan pendekatan kalangan originalist disebut
yurisprudensi dalam menafsirkan konstitusi kelompok non-originalist. Dalam praktis,
terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut pertentangan antara kalangan originalis dan
juga dengan the doctrine of “harmonious non-originalis seringkali mengarah kepada
interpretation”; (4) the social, political, tema; apakah dapat digunakan kecermatan
and economic consequences of alternative peradilan untuk memastikan “fundamental
interpretations, hakim dalam menafsirkan rights” yang secara explicit tidak dilindungi
konstitusi juga memertimbangkan faktor- dalam text Konstitusi (Mohammad Fajrul
faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi Falaakh: 2002).
bernegara, seperti kondisi politik dan Perubahan yang terjadi di luar
ekonomi; (5) natural law, Penafsiran yang ketentuan formal konstitusi yang melibatkan
bersumber pada natural law diarahkan kepada lembaga peradilan juga terjadi dalam praktik
ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral ketatanegaraan di Indonesia pasca perubahan
yang dianut masyarakat. Penafsiran hakim (amandemen) UUD 1945. Perkara-perkara
atas konstitusi sesungguhnya didasari pula uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945
pada pandangan hakim terhadap konstitusi di MK mengakibatkan terjadinya perubahan
itu sendiri, apakah hakim melihat konstitusi UUD 1945 sebagaimana yang dijelaskan
tersebut sebagai the living constitution atau Ismail Suny (1986). Perubahan jenis ini
sebagai the moral constitution (Gr. van der juga dijelaskan oleh Wheare (2005) sebagai
Brught & J.D.C. Winkelman: 2011). perubahan melalui judicial interpretation.
Tiga poin pertama dianggap oleh Pada perkara Nomor: 008/PUU-
beberapa pakar sebagai sumber yang II/2004 mengenai uji konstitusional UU No.
sangat sesuai untuk menjadi koridor dalam 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
menafsirkan konstitusi. Namun, dalam Presiden dan Wakil Presiden terhadap
melihat poin yang akan dijadikan kerangka UUD 1945 terdapat penafsiran MK yang
utama dalam menafsirkan diantara ketiga merubah secara tidak langsung text UUD
sumber tersebut sangat tergantung dengan 1945 itu sendiri. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945
kasus dan kondisi yang berbeda pula. Para menyatakan bahwa :
penafsir konstitusi menyadari konsekuensi “Calon Presiden dan calon Wakil
dari pilihan menafsirkan konstitusi bahwa Presiden harus seorang warga
tidak akan pernah ditemukan keseragaman negara Indonesia sejak kelahirannya
dari seluruh sumber, metode maupun teori, dan tidak pernah menerima
walaupun setiap sumber pertimbangan tafsir kewarganegaraan lain karena
tersebut memiliki kedudukan yang seimbang. hendaknya sendiri, tidak pernah
Pada praktek penafsiran yang terjadi sering mengkhianati negara, ‘serta mampu
terdapat pengabaian terhadap beberapa secara rohani dan jasmani’ untuk
sumber tafsir. melaksanakan tugas dan kewajiban
Sumber interpretasi yang berasal sebagai Presiden dan Wakil Presiden”
dari natural law (hukum agama, ketentuan-
ketentuan kitab-kitab suci) dalam penafsiran Kalimat ‘mampu secara rohani dan
konstitusi jarang sekali digunakan walaupun jasmani’ didefenisikan oleh MK dengan
para penyusun konstitusi biasanya tafsir; ’bahwasanya calon Presiden dan Wakil
beranggapan bahwa sumber hukum tersebut Presiden harus dalam kondisi sehat secara
layak menjadi pertimbangan. Bagi hakim atau rohani dan jasmani dalam melaksanakan
kalangan lain (akademisi maupun masyarakat tugas dan kewajiban kenegaraan dimaksud’
umum) yang menafsirkan konstitusi lebih (halaman 28 Putusan 008/PUU-II/2004).
cenderung menggunakan sumber-sumber Secara textual tentu saja terdapat perbedaan
original yang berupa pendekatan text yang sangat jauh antara kata ‘mampu secara

161

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

rohani dan jasmani dengan ‘harus dalam Pasal 28 A berbunyi sebagai berikut:
kondisi sehat’ secara rohani dan jasmani.
Melalui Putusan ini MK telah melakukan “Setiap orang berhak untuk hidup
perubahan secara textual meaning dari pasal serta berhak mempertahankan hidup
6 ayat (1) UUD 1945. dan kehidupannya”
Dalam perkara No. 005/PUU- Pasal 28 I ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas UU
No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
terhadap UUD 1945, Hakim Konstitusi disiksa, hak kemerdekaan pikiran
memberikan penafsiran terhadap makna dan hati nurani, hak beragama, hak
hakim yang dicantumkan Pasal 24 B ayat untuk tidak diperbudak, hak untuk
(1) UUD 1945. MK dalam amarnya tidak diakui sebagai pribadi di hadapan
memasukkan Hakim Konstitusi sebagai bagian hukum, dan hak untuk tidak dituntut
dari kata ‘hakim’ dalam ketentuan Pasal 24 B atas dasar hukum yang berlaku surut
UUD 1945. Sebaliknya menurut putusan MK adalah hak asasi manusia yang tidak
tersebut Hakim Agung merupakan bagian dapat dikurangi dalam keadaan apa
dari Pasal 24 B UUD 1945. pun”
Putusan MK tersebut secara tidak
Terhadap ‘hak untuk hidup’ yang
langsung telah merubah bunyi Pasal 24 B tidak dapat dikurangi dalam keadaan
ayat (1) UUD 1945 dari berbunyi (original apapun tersebut MK memberikan
meaning): ”Komisi Yudisial bersifat mandiri tafsiran berdasarkan ketentuan Pasal
yang berwenang mengusulkan pengangkatan 28 J ayat (2) yang berbunyi:
hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan “Dalam menjalankan hak dan
kehormatan, keluhuran martabat, serta kebebasannya setiap orang wajib
perilaku hakim”, menjadi bermakna (textual tunduk kepada pembatasan
meaning) : “Komisi Yudisial bersifa mandiri yang ditetapkan dengan undang-
yang berwenang mengusulkan pengangkatan undang dengan maksud semata-
hakim agung dan mempunyai wewenang mata untuk menjamin pengakuan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan serta penghormatan atas hak dan
kehormatan, keluhuran martabat serta kebebasan orang lain dan untuk
perilaku hakim, kecuali Hakim Konstitusi ”. memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral,
Perkara yang menjadi pertentangan
nilai-nilai agama, keamanan, dan
saat ini adalah pada putusan MK dengan
ketertiban umum dalam suatu
Nomor Registrasi: 2 -3/PUU-V/2007
masyarakat demokratis”
mengenai uji konstitusionalitas Pasal 80
ayat (1), Pasal 80 ayat (2) huruf (a), Pasal 80 Sehingga MK berpendapat bahwa
ayat (3) huruf (a), Pasal 81 ayat (3) huruf (a), hukuman mati merupakan pembatasan
Pasal 82 ayat (10) huruf (a), Pasal 82 ayat (2) yang ditetapkan UU No. 22 Tahun 1997
huruf (a) dan Pasal 82 ayat (3) huruf (a) dari demi menegakkan ketertiban umum. MK
UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika memberikan textual meaning terhadap
yang mengatur mengenai Tindak Pidana ketentuan Pasal 28 A dan 28 I tersebut
Mati (death penalty/capital punishment). berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.
Pada perkara ini MK menafsirkan text Pasal Putusan-putusan tersebut juga memiliki
28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 dengan permasalahan jika dilihat dari sudut Hukum
memberikan pengertian lain dari original Tata Negara, yaitu pertama, bagaimana
intent Pasal-pasal tersebut. kedudukan putusan tersebut dalam hierarki


162
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

perundang-undangan Indonesia dan kedua, putusan yang menimbulkan makna baru


bagaimana kekuatan hukum putusan- terhadap text UUD 1945. Kedua, putusan
putusan yang merubah UUD 1945 oleh yang menyebabkan batalnya pasal-pasal
MK, serta bagaimana pula kedudukan MK atau seluruh ketentuan UU itu sendiri.
sebagai sebuah lembaga negara dalam Posisi tafsir konstitusi yang memberi makna
ketatanegaraan Indonesia. pada UUD pada dasarnya lebih tinggi dari
Penafsiran terhadap UUD 1945 UU karenanya fungsi tafsir tersebut hampir
sebenarnya juga dilakukan oleh DPR sama dengan penjelasan dari UUD. Deny
melalui pembentukan undang-undang (UU) Indrayana berpendapat bahwa dalam hal
sebagai aturan pelaksana dari konstitusi. tafsir MK memberikan makna baru terhadap
Hal itu menimbulkan masalah dikarenakan UUD maka putusan tersebut tidak dapat
kedudukan DPR sebagai lembaga yang disamakan dengan penjelasan UUD 1945,
‘mentafsirkan’ UUD 1945 melalui produk fungsinya hanyalah sebagai sebuah tafsir
legislasinya akan mengalami pertentangan semata, meskipun tafsir MK tersebut berlaku
dengan interpretasi konstitusi oleh MK. mengikat kepada seluruh elemen di bawah
Masalah tersebut merupakan sebuah kajian ketentuan konstitusi, karena putusan itu
Hukum Tata Negara karena perlu dipahami berlaku sebagaimana UU.
sejauhmana kedudukan putusan MK tersebut, Putusan MK tersebut juga harus
baik terhadap UUD 1945 maupun terhadap diketahui nilai kemanfaatannya bagi generasi
UU yang diundangkan oleh lembaga legislatif. masa depan bangsa Indonesia. Dalam
Pada perkara dengan nomor kondisi Amerika, Sotiros A. Barber (1993)
registrasi 066/PUU-II/2004 yang menguji mengatakan bahwa: “Marshall had defended
konstitusionalitas Pasal 50 UU No. 24 Tahun the notion that constitutional meaning may
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan legitimately change over time and that,
Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1987 Tentang Kamar within limits, each generation may adapt the
Dagang dan Industri (Kadin) dinyatakan constitution to its own needs”. Penafsiran
bahwa Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 tidak konstitusi diperlukan oleh masyarakat suatu
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bangsa dalam menghadapi perubahan
menolak permohonan pengujian terhadap zaman. Walaupun sebuah konstitusi itu
Pasal 4 UU No.1 Tahun 1987. Putusan yang terlihat lengkap, namun akan selalu timbul
menyebabkan Pasal 50 UU No. 24 Tahun konflik, dari konflik hak asasi sampai sengketa
2003 tidak memiliki kekuatan mengikat kewenangan lembaga. Ketika konflik tersebut
tersebut merupakan sebuah penafsiran yang timbul, maka menjadi kewenangan lembaga
berbeda dari para pembuat UU (wetgever). peradilan untuk menyelesaikannya.
Wetgever menginginkan MK hanya menguji Kata-kata konstitusi yang menurut Sri
konstitusionalitas UU yang diundangkan Sumantri (2006) tidak begitu jelas (vague)
setelah perubahan UUD 1945, yaitu setelah atau bermakna ganda, bermanfaat untuk
19 Oktober 1999 (amandemen pertama). ditafsirkan sesuai kebutuhan dan keinginan
Putusan tersebut menimbulkan perbedaan bangsa pada saat itu. Hanya saja kemanfaatan
panafsiran konstitusi antara wetgever (DPR) tersebut perlu diatur dengan mekanisme yang
dan MK. Sedangkan menurut Pasal 20 ayat jelas dan sesuai dengan teori-teori konstitusi
(1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan yang dipahami secara luas.
membentuk UU. UU sendiri menurut Kemampuan hakim konstitusi dalam
teori Ilmu Perundang-Undangan adalah menyelesaikan perkara yuridis (the power of
penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945. Oleh solving legal/constitutional problems) terdiri
karenanya, UU merupakan dokumentasi dari tiga (3) kegiatan utama yakni merumuskan
legal yang menafsirkan maksud dari pasal- masalah hukum (legal/constitutional problem
pasal UUD 1945 (H.A.S. Natabaya: 2006). indentification), memecahkannya (legal/
Dari beberapa putusan MK di atas, constitutional problem solving), dan terakhir
dapat dikelompokkan dua jenis putusan mengambil keputusan (decision making) yang
dalam proses uji konstitusional. Pertama, membutuhkan lima (5) langkah penalaran

163

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Gambar 2. Ragaan Penerapan Norma Hukum Positif


Sumber: Harun Alrasyid (2011)

hukum, yaitu (Kenneth J. Vandevelde: 1996): Dengan mempertimbangkan


1. Mengidentifikasi sumber hukum yang beberapa pandangan di atas, dapat
mungkin, biasanya berupa peraturan disimpulkan enam langkah utama penalaran
perundang-undangan dan putusan hukum, yaitu:
pengadilan (identify the applicable
sources of law); 1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk
2. Menganalisis sumber hukum tersebut menghasilkan suatu struktur (peta) kasus
untuk menetapkan aturan hukum yang yang sungguh-sungguh diyakini oleh
mungkin dan kebijakan dalam aturan hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
tersebut (analyze the sources of law); 2. Menghubungkan (subsumsi) struktur
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut kasus tersebut dengan sumber-sumber
ke dalam struktur yang koheren, yakni hukum yang relevan, sehingga ia dapat
struktur yang mengelompokkan aturan- menetapkan perbuatan hukum dalam
aturan khusus di bawah aturan umum peristilahan yuridis (legal term);
(synthesize the applicable rules of law 3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan
into a coherent structure); hukum yang relevan untuk kemudian
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia mencari tahu kebijakan yang terkandung
(research the available facts); di dalam aturan hukum itu (the policies
5. Menerapkan struktur aturan tersebut underlying those rules), sehingga
kepada fakta-fakta untuk memastikan dihasilkan suatu struktur (peta) aturan
hak atau kewajiban yang timbul dari yang koheren;
fakta-fakta itu, dengan menggunakan 4. Menghubungkan struktur aturan dengan
kebijakan yang terletak dalam aturan- struktur kasus;
aturan hukum dalam hal memecahkan 5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian
kasus-kasus sulit (apply the structure of yang mungkin;
rules to the facts). 6. Menetapkan pilihan atas salah satu
alternatif untuk kemudian diformulasikan
sebagai putusan akhir.

164
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Apabila diilustrasikan dalam sebuah hukum acara perdata. Istilah ”permohonan”


skema, akan tampak simplifikasi dari enam memang seolah-olah menunjukkan bahwa
(6) langkah penalaran tersebut dalam ragaan perkara yang diajukan bersifat satu pihak (ex
pada Gambar 2. parte atau voluntair) atau sifat perkaranya
Dalam ragaan Gambar 2 diasumsikan tidak mengadili antar pihak yang saling
ada beberapa pihak (katakanlah X dan Y) yang berhadapan (contentieus rechtspraak).
berperkara. Pihak-pihak mengajukan perkara Istilah ”permohonan” digunakan, menurut
mereka ke pengadilan. Hakim berkewajiban Maruarar Siahaan (2006), adalah karena
untuk menempatkan para pihak pada nuansa kepentingan umum yang dominan
posisi yang sejajar dan ia berkewajiban dalam setiap perkara yang ditangani MK.
mendengarkan keterangan yang diberikan Walaupun suatu perkara diajukan oleh
oleh masing-masing pihak (audi et alteram individu warga negara, namun putusannya
partem). Tentu saja setiap pihak akan berlaku umum dan mempengaruhi hukum
mengajukan versi kasus menurut pandangan dan ketatanegaraan.
masing-masing. Hakim akan melakukan Pada perkara konstitusi yang
identifikasi atas setiap versi kasus itu, dengan strukturnya sedemikian kompleks (hard case;
membuang keterangan-keterangan yang doubful case; penumbral case) karena terdiri
irelevan, sehingga ia sampai pada keyakinan dari kombinasi berbagai bidang hukum dan
tentang posisi kasus yang sesungguhnya, yang perbuatan hukum sekaligus atau jika sumber
disebut sebagai struktur kasus atau struktur hukum yang diacu tidak memberikan
fakta. rumusan yang eksplisit, mengharuskan hakim
Keyakinan hakim tentang duduk melakukan kegiatan penemuan hukum
perkara suatu kasus sangat penting, (rechtsvinding).
khususnya pada sistem peradilan dalam Sistem hukum suatu negara tentu
keluarga sistem civil law yang menempatkan telah memberikan pedoman tentang jalinan
hakim sebagai pemberi keputusan tunggal hubungan antara sumber-sumber hukum
baik dari segi fakta (penetapan guilty or not tersebut. Sedangkan asas hukum yang
guilty) maupun hukumnya. Dapat tidaknya umumnya tidak dirumuskan dalam bentuk
perkara ini dilanjutkan, sangat bergantung norma tersendiri di dalam undang-undang
pada keyakinan hakim tentang peta kasus dapat dijadikan pijakan hakim melakukan
tersebut sebagaimana terkonstruksi di kegiatan penemuan hukum (rechtsvinding).
benaknya. Asas hukum yang berupa nilai berada di balik
Sekalipun hakim dilarang untuk ketentuan norma hukum positif tersebut.
menolak perkara yang diajukan kepadanya John Chipman Gray (1991) menyebut asas
dengan alasan tidak ada hukum yang hukum sebagai principle of morality, Hans
mengaturnya, ia tetap perlu diyakinkan oleh Kelsen (1961) menyebutnya Grundnorm,
masing-masing pihak melalui serangkaian sedangkan dalam terminologi von Savigny
argumentasi. Dalam proses ini berarti hakim disebut dengan Volksgeist.
dihadapkan pada dialektika informasi yang Menurut Bellefroid, asas hukum adalah
disodorkan masing-masing pihak agar ia pengendapan hukum positif dalam suatu
dapat membuat sintesis tertentu. Sintesis ini masyarakat. Sedangkan Eikema Hommes
mewujud menjadi keyakinan hakim, yang mengartikan asas hukum itu sebagai dasar-
pada saatnya dapat dijadikan sebagai sumber dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan
[hukum] otonom bagi yang bersangkutan hukum positif. Asas hukum mempunyai dua
dalam menyelesaikan kasus tersebut. fungsi, yakni fungsi dalam hukum dan fungsi
MK Sebagai lembaga peradilan dalam ilmu hukum. Fungsi yang pertama
menjalankan wewenang yang dimiliki mendasarkan eksistensinya pada rumusan
berdasarkan permohonan yang diterima. pembentuk undang-undang dan hakim
Istilah yang digunakan dalam UU Nomor 24 (fungsi mengesahkan) serta mempunyai
Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2011 adalah pengaruh yang normatif dan mengikat para
”permohonan” bukan ”gugatan” seperti dalam pihak. Sementara fungsi dalam ilmu hukum

165

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

hanya bersifat mengatur dan eksplikatif norma terebut (modus van behoren); (c)
(menjelaskan). Tujuannya adalah memberi objek norma, yaitu perilaku yang diminta
ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan
termasuk hukum positif (O. Notohamidjojo: (normgedrag); dan (d) kondisi norma, yakni
1975). Dalam konteks pembicaran tentang persyaratan yang menyertai pelaku atau
penalaran hukum ini, asas hukum tersebut perilaku itu (normcondities). Apabila sebuah
diartikan menurut fungsi yang pertama. pasal atau rangkaian pasal dipilah menjadi
Apabila dari sumber-sumber hukum unsur-unsur dari dasar hukum yang dipakai
yang sudah diseleksi itu ditemukan sejumlah di dalam tuntutan atau permohonan, maka
aturan (norma) yang tingkat koherensinya sesungguhnya keempat hal di atas sudah
tidak sempurna, maka harus dilakukan harus tercermin. Subjek yang terkena sasaran
penyeleksian aturan secara hati-hati. Dalam norma, apabila dirumuskan dengan kata-
konteks ini, dapat digunakan asas-asas kata setiap orang atau barangsiapa tentu
hukum, misalnya dalam hal terjadi kontradiksi berbeda jika dirumuskan dengan kata-kata
normatif antara: setiap warganegara. Dalam konteks hak
asasi manusia di dalam konstitusi, misalnya,
1. Undang-undang yang umum dan
ada perbedaan antara penduduk dan warga
undang-undang yang khusus, dapat
negara (Mertokusumo & A. Pitlo: 1993).
dicari pemecahannya dengan asas lex
Pada perkara konstitusi yang merupakan
specialis derogat legi generali;
ranah hukum publik, konotasi para pihak
2. Undang-undang lama dan undang-
ini mencakup denotasi yang luas sekali
undang baru, dapat dicari pemecahannya
sehingga putusan mengikat untuk seluruh
dengan asas lex posterior derogat legi
rakyat (erga omnes). Setelah dibacakan dan
priori;
menjadi public domain, putusan ini akan
3. Undang-undang lebih tinggi dan undang-
terbuka sebagai bahan wacana publik (public
undang lebih rendah (seperti undang-
discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan
undang [dalam arti formal] dengan
yang utuh sangat diperlukan agar masyarakat
peraturan pemerintah), dapat dicari
tidak hanya tercuri perhatiannya pada
pemecahannya dengan asas lex superior
amar putusan, melainkan terutama harus
derogat legi inferiori;
pada konsideran yang menggiring diktum
4. Undang-undang dan putusan hakim,
putusan. Masyarakat yang berkepentingan,
dapat dicari pemecahannya dengan asas
khususnya para penstudi hukum harus diberi
res judicata pro veritate habetur;
akses yang cukup agar setiap putusan hakim
5. Undang-undang mengatur dan
dapat dikaji penalarannya. Putusan hakim
kebiasaan, dapat dicari pemecahannya
adalah produk penalaran hukum. Formulasi
dengan asas Die normatieve Kraft des
putusan dilakukan dengan menggunakan
Faktischen;
simbol-simbol bahasa, yang tentu memiliki
6. Undang-undang memaksa dan
keterbatasan. Burght dan Winkelman
kebiasaan, dapat dicari pemecahannya
menyatakan, sama seperti bentuk pelaporan
dengan asas lex dura sed tamen scripta
(rapportage) lainnya, putusan pun harus
(Apeldorn: 1985).
disusun berstruktur. Pembagian dan
Dalam ilmu perundang-undangan,
pembahasan butir demi butirnya harus
ada cara sederhana untuk menyusun sebuah
menghindari konstruksi kalimat yang jelimet.
norma primer dan norma sekunder. Norma
Oleh karena itu, putusan hakim menunjukkan
sekunder yang dimaksud di sini tidak lain
keterampilan (skill) dan seni (art) bernalar
adalah konsekuensi dari terpenuhinya
praktis. Formulasi putusan dengan demikian
norma primer, yang lazim disebut ancaman
terkait erat dengan persoalan-persoalan
hukuman. Norma primer ini memuat
bahasa, seperti problematika pemilihan kata
unsur-unsur berupa: (a) subjek hukum yang
(diksi) dan pemaknaan (semantik) yang telah
menjadi sasaran norma (normadressaat);
banyak disoroti para penstudi dan pemerhati
(b) modus perilaku, yakni sifat-sifat
hukum (Graakeer: 1995).

166
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Putusan yang baik, yang membuat putusan menjadi sulit dipahami


mempersiapkan diri sebagai bahan diskursus bagi kalangan awam. Namun, bagi siapapun
publik, akan memperhatikan penggunaan yang mencermati putusan hakim, silogisme-
terminologi hukum dan pemaknaannya silogisme seimplisit apapun selalu bisa dilacak
secara tepat. Penggunaan term yang tidak dengan mudah dan dapat disusun ulang.
tepat, misalnya karena ekuivokasi, amfibolia, Dengan perkataan lain, hakim tidak mungkin
dan aksentuasi, dapat membawa kepada dapat menyembunyikan keberadaan
kesesatan penalaran para pengemban silogisme-silogisme tadi di balik permainan
hukum yang menggunakan putusan itu kata-kata. Strategi menyembunyikan
sebagai sumber. Dalam formulasi putusan silogisme justru akan membuat putusan
ini, teknik menguraikan pembuktian (betoog) itu kehilangan nilainya sebagai sebuah
menjadi sisi yang paling penting menurut motivering vonis dan terdorong mengarah
perspektif penalaran hukum. Menurut M. kepada kesesatan (fallacies) yang berbahaya,
Henket (2003), suatu uraian pembuktian di mana jumping conclusion akan terjadi.
minimal terdiri dari dua bagian, yaitu titik Apabila penafsiran gramatikal dipandang
berdiri (pendirian, standpunt) dan argumen. sebagai sebuah metode penemuan hukum,
Ia selanjutnya membedakan lagi antara titik- maka sebenarnya peragaan silogisme-
titik berdiri antara (tussenstandpunten) dan silogisme di atas sudah merupakan penemuan
titik berdiri akhir (eindstandpunt). Hubungan hukum juga. Itu berarti setiap putusan hakim
argumenargumen dalam mendukung suatu pasti mengandung penemuan hukum (M.
titik berdiri disebut dengan argumentasi, Henket: 2003).
sehingga ada pula argumentasi yang dibentuk Putusan hakim adalah dokumen
oleh argumen-argumen yang diletakkan hukum yang paling representatif untuk
di depan (vooruitwijzende argumentatie) mencerminkan asas kewibawaan ini. Putusan
dan argumen-argumen yang diletakkan hakim yang baik adalah putusan yang
di belakang (terugwijzende argumentatie). dibuat setelah melalui pergulatan semua
Argumentasi kebanyakan bersifat majemuk asas tersebut. Kewibawaan hanya mungkin
(complexe argumentatie). dicerna oleh masyarakat apabila hakim
Pada saat hakim membuat dapat menuangkannya ke dalam putusannya
pertimbangan hukum, struktur aturan yang secara baik, yaitu harus menampung secara
proporsional nilai keadilan, kepastian hukum,
sudah dipersiapkannya harus diderivasi
dan kemanfaatan.
menjadi unsur-unsur yang lebih spesifik.
Pengurutan lazimnya dilakukan konsisten 4. Simpulan
mengikuti bunyi pasal yang dijadikan dasar
tuntutan, bukan mengikuti doktrin yakni Penafsiran atau penemuan hukum
mulai dari sasaran norma (normadressaat), secara umum, adalah bagian dari keterampilan
modus perilaku (modus van behoren), objek yang harus dibangun agar dapat mengarahkan
norma (normgedrag), dan kondisi norma seseorang menjadi ahli hukum yang baik.
(normcondities). Ajaran doktrinal yang Jika seseorang menjalankan keterampilan
disebutkan di atas memang pertama-tama ini dengan baik, besar potensinya ia akan
diperlukan untuk memastikan ketepatan menjadi ahli hukum yang baik. Ahli hukum,
pemahaman terhadap struktur aturan khususnya hakim, tidak boleh “bermain-
(terlebih-lebih jika terdapat beberapa pasal main” semaunya dengan keterampilan ini.
sekaligus yang dijadikan dasar pijakan), dan Sebab, dengan diskresi yang dimilikinya,
bukan dalam rangka mengurutkan silogisme aktivitas penafsiran itu akan berpotensi untuk
demi silogisme dalam putusan. Tentu saja, menjadi bias (vague).
rumusan-rumusan silogisme di dalam putusan Setelah berlakunya Undang-Undang
tidak tampil eksplisit dan harus dirumsukan No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
secara baku. Redaksi putusan memang tidak Informasi Publik, putusan hakim menjadi salah
harus didesain seperti itu. Penulisan silogisme satu dokumen yang terbuka untuk diakses
secara baku dalam putusan justru akan oleh publik. Dengan demikian putusan

167

Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

hakim dituntut untuk memuat pertimbangan- Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry
pertimbangan (motivering vonis) yang makin into Concepts Legal Rule and Legal System.
Clarendon Press. Oxford.
mampu menjawab kebutuhan zamannya. Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry
Oleh karena “putusan hakim harus dianggap into Concepts Legal Rule and Legal System.
benar” (res judicata pro veritate habetur), Clarendon Press. Oxford.
maka wajar jika klaim kebenaran seperti Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State,
Russel and Russel, Newyork.
itu akan senantiasa dievaluasi oleh publik,
Loundoe, John Z. 2012. Menemukan Hukum Melalui
khususnya oleh kalangan komunitas hukum. Tafsir dan Fakta. Terjemahan Rumadi. Penerbit
Apalagi dalam putusan MK yang bersifat final Bina Aksara. Jakarta.
& binding. Mertokusumo, Soedikno. 2001. Penemuan Hukum,
Harus pula diakui, tidak ada rumusan Sebuah Pengantar. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno & Pitlo, A. 1993. Bab-Bab
baku yang dapat diterapkan untuk semua pola tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.
penjatuhan putusan. Pembakuan demikian Bandung.
justru akan menjerumuskan hakim kepada Mohammad Fajrul Falaakh, 2012. Komisi Konstitusi
pola berpikir prosedural-legistik yang sempit. dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945,
Jurnal Analisa CSIS XXXI (2), 48-65.
Hakim adalah mahluk intelektual dan etis yang
Murphy, Walter. 2000. Constitutional Interpretation as
layak diberi keleluasaan untuk berkarya, dan Constitutional Creation: The 1999-2000 Harry
karena karya tersebut dialamatkan kepada Eckstein Lecture, University of California, Irvine.
publik, maka layak pula bagi publik untuk Natabaya, H.A.S. 2006. Sistem Peraturan Perundang-
meminta pertanggungjawabannya, termasuk undangan Indonesia. Sekretariat MK-RI. Jakarta.
Nawawi, Hadari. 1983. Metode Penelitian Sosial. Gajah
pertanggungjawabannya atas tujuan-tujuan Mada University Press. Yogyakarta.
hukum yang secara fundamental dan Notohamidjojo, O. 1975. Demi Keadilan dan
proporsional seyogyanya melekat pada setiap Kemanusiaan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
putusan: keadilan, kepastian hukum, dan Pudjosewojo, Kusumadi. 1976. Pedoman Pelajaran
Tata Hukum Indonesia. Penerbit Aksara Baru.
kemanfaatan.
Jakarta.
Riyanto, Astim. 2000. Teori Konstitusi, Penerbit
Daftar Pustaka YAPEMDO, Bandung.
Sanden, Joachim. 2009. Methods of Interpreting The
Algra N.E. & Duyvendik, K. Van. 1983. Mula Hukum Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly
(Rechtsaanvang). terjemahan J.C.T. Simorangkir. Integrated Europe, Journal Juridica International,
Binacipta. Bandung. VIII (3). 130-150.
Alrasid, Harun. 2011. Hak Menguji Dalam Teori dan Scholten, Paul. 1934. Mr. C. Asser’s Handeling tot de
Praktek. Jurnal Konstitusi. 1 (1), 94-110. Beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk
Asshiddiqie, 2007. Jimly. Model-Model Pengujian Recht: Algemeen Deel. W.E.J. Tjeenk Willink.
Konstitusional di Berbagai Negara, Penerbit Zwolle.
Konstitusi Press. Jakarta. Schwartz, Bernard. 1997. A Book of Legal Lists-The Best
Barber, Sotiros A. 1993. The Constitutional Judicial and Worst in American Law, Oxford University
Power. The John Hopkins University Press. Press. New York.
Baltimore and London. Shidarta, 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran
Djokosoetono. 2006. Hukum Tata Negara, Himpunan Kerangka Bepikir. Refika Aditama. Bandung.
oleh Harun Alrasyid, Ind Hill Co. Jakarta. Siahaan, Maruarar. 2006. Hukum Acara Mahkamah
Eddyono, Luthfi Widagdo. 2012. Catatan Eksplorative Konstitusi Republik Indonesia. Sekretariat
Perkembangan Constitutional Review, Jurnal Jenderal dan Kepaniteraan MK RI. Jakarta.
Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Soemantri, Sri. 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan
Indonesia, 2 (1). 38-59. Konstitusi. Penerbit P.T. Alumni. Bandung.
Garvey, John H. and Aleinikoff, T. Alexander. 1994. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-
Modern Constitutional Theory. third Edition. undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
West Publishing Co. St. Paul. Minn. Kanisius. Yogyakarta.
Gr. van der Brught & Winkelman, J.D.C. 2011. Sukanto, Suryono. & Mamudji, Sri. 2001. Penelitian
Penyelesaian Kasus. Terjemahan B. Arief Hukum Normatif, Cet. IV. PT. Raja Grafindo
Sidharta. Jurnal Pro Justitia. XII (1). 35-36. Persada. Jakarta.
Grassian, Victor. 1981. Moral Reasoning: Ethical Theory Tushnet, Mark. 1999. Comparative Constitutional Law.
and Some Contemporary Moral Problems. New York Foundation Press, New York.
Prentice-Hall. New Jersey. Vandevelde, Kenneth J. 1996. Thinking Like A Lawyer:
Gray, John Chipman. 1991. The Nature and Sources of An Introduction to Legal Reasoning. Westview
the Law, MacMillan, New York. Press. Colorado.


168
Pandecta. Volume 8. Nomor 2. Juli 2013

Wacks, Raymond. 1995. Jurisprucence, Ed. 4. Boyd White in het Perspectief van Law and
Blackstone Press. London. Literature. Sanders Instituut. Arnhem.
Henket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Radbruch, Gustav. 1973. Rechtsphilosophie. K.F.
Terjemahan B. Arief Sidharta. Penerbitan Tidak Koehler Verlag. Stuttgart.
Berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar. Nonet, Phillipe & Selznick, Philip. 2001. Law and
Bandung. Society in Transition: toward Responsive Law.
Graakeer, Adriana M.P. 1995. De Waarde van het Harper Torch Books. New Brunswick.
Woord: Eeen Studie van het Werk van James

169

Anda mungkin juga menyukai