Anda di halaman 1dari 13

Nama : Ilham Akbar

NPM : 2111071031

Fakultas : Kesehatan Masyarakat

PENYAKIT TIDAK MENULAR

I. Hipertensi
A. Definisi
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah
sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
(WHO, 2013; Ferri, 2017).
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis penyakit yang mematikan
di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit
hipertensi sering dijumpai pada usia senja/ usia lanjut (Fauzi, 2014), sedangkan menurut Setiati (2015),
hipertensi merupakan tanda klinis ketidakseimbangan hemodinamik suatu sistem kardiovaskular, di mana
penyebab terjadinya disebabkan oleh beberapa faktor/ multi faktor sehingga tidak bisa terdiagnosis dengan
hanya satu faktor tunggal (Setiati, 2015).

B. Klasifikasi
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada
pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik,
pasien digolongkan menjadi sesuai dengan tabel 1 berikut :

KATEGORI TDS (mmHg) <> TDD (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal 120 - 129 dan/atau 80 - 84

Normal-Tinggi 130 - 139 dan/atau 85 - 89

Hipertensi Derajat I 140 - 159 dan/atau 90 - 99

Hipertensi Derajat II 160 - 179 dan/atau 100 - 109

Hipertensi Derajat III ≥ 180 dan/atau ≥ 110

Hipertensi Sistolik Terisolasi ≥ 140 dan < 90

TDS=Tekanan Darah Sistolik; TDD=Tekanan Darah Diastolik.

Sumber : Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019


C. Etiologi
Menurut Smeltzer (2013), berdasarkan penyebab terjadinya, hipertensi terbagi atas dua
bagian, yaitu :
1. Hipertensi Primer (Esensial)
Jenis hipertensi primer sering terjadi pada populasi dewasa antara 90% - 95%. Hipertensi primer, tidak
memiliki penyebab klinis yang dapat diidentifikasi, dan juga kemungkinan kondisi ini bersifat multifaktor
(Smeltzer, 2013; Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014). Hipertensi primer tidak bisa
disembuhkan, akan tetapi bisa dikontrol dengan terapi yang tepat. Dalam hal ini, faktor genetik mungkin
berperan penting untuk pengembangan hipertensi primer dan bentuk tekanan darah tinggi yang
cenderung berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun (Bell, Twiggs, & Olin, 2015).
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki ciri dengan peningkatan tekanan darah dan disertai penyebab yang
spesifik, seperti penyempitan arteri renalis, kehamilan, medikasi tertentu, dan penyebab lainnya.
Hipertensi sekunder juga bisa bersifat menjadi akut, yang menandakan bahwa adanya perubahan pada
curah jantung (Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).

D. Faktor Risiko
Menurut Fauzi (2014), jika saat ini seseorang sedang perawatan penyakit hipertensi dan pada
saat diperiksa tekanan darah seseorang tersebut dalam keadaan normal, hal itu tidak menutup
kemungkinan tetap memiliki risiko besar mengalami hipertensi kembali. Lakukan terus kontrol dengan
dokter dan menjaga kesehatan agar tekanan darah tetap dalam keadaan terkontrol. Hipertensi memiliki
beberapa faktor risiko, diantaranya yaitu :
1. Tidak dapat diubah:
a. Keturunan, faktor ini tidak bisa diubah. Jika di dalam keluarga pada orangtua atau saudara memiliki
tekanan darah tinggi maka dugaan hipertensi menjadi lebih besar. Statistik menunjukkan bahwa
masalah tekanan darah tinggi lebih tinggi pada kembar identik dibandingkan kembar tidak identik.
Selain itu pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk masalah
tekanan darah tinggi.
b. Usia, faktor ini tidak bisa diubah. Semakin bertambahnya usia semakin besar pula resiko untuk
menderita tekanan darah tinggi. Hal ini juga berhubungan dengan regulasi hormon yang berbeda.
2. Dapat diubah:
a. Konsumsi garam, terlalu banyak garam (sodium) dapat menyebabkan tubuh menahan cairan yang
meningkatkan tekanan darah.
b. Kolesterol, Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah menyebabkan timbunan kolesterol pada
dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menyempit, pada akhirnya akan mengakibatkan
tekanan darah menjadi tinggi.
c. Kafein, Kandungan kafein terbukti meningkatkan tekanan darah. Setiap cangkir kopi mengandung
75-200 mg kafein, yang berpotensi meningkatkan tekanan darah 5-10 mmHg.
d. Alkohol, alkohol dapat merusak jantung dan juga pembuluh darah. Ini akan menyebabkan tekanan
darah meningkat.
e. Obesitas, Orang dengan berat badan diatas 30% berat badan ideal, memiliki peluang lebih besar
terkena hipertensi.
f. Kurang olahraga, Kurang olahraga dan kurang gerak dapat menyebabkan tekanan darah meningkat.
Olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah tinggi namun tidak dianjurkan olahraga berat.
g. Stress dan kondisi emosi yang tidak stabil seperti cemas, yang cenderung meningkatkan tekanan
darah untuk sementara waktu. Jika stress telah berlalu maka tekanan darah akan kembali normal.
h. Kebiasaan merokok, Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan katekolamin, katekolamin
yang meningkat dapat mengakibatkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, serta
menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian meningkatkan tekanan darah.
i. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate volume
expansion, Penghentian penggunan kontrasepsi hormonal, dapat mengembalikan tekanan darah
menjadi normal kembali.

Walaupun hipertensi umum terjadi pada orang dewasa, tapi anak-anak juga berisiko terjadinya
hipertensi. Untuk beberapa anak, hipertensi disebabkan oleh masalah pada jantung dan hati. Namun, bagi
sebagian anak-anak bahwa kebiasaan gaya hidup yang buruk, seperti diet yang tidak sehat dan kurangnya
olahraga, berkonstribusi pada terjadinya hipertensi (Fauzi, 2014).

E. Patofisiologi
Tekanan darah arteri sistemik merupakan hasil perkalian total resistensi/ tahanan perifer dengan
curah jantung (cardiac output). Hasil Cardiac Output didapatkan melalui perkalian antara stroke volume
(volume darah yang dipompa dari ventrikel jantung) dengan hearth rate (denyut jantung). Sistem otonom
dan sirkulasi hormonal berfungsi untuk mempertahankan pengaturan tahanan perifer. Hipertensi
merupakan suatu abnormalitas dari kedua faktor tersebut yang ditandai dengan adanya peningkatan curah
jantung dan resistensi perifer yang juga meningkat (Kowalak, 2011; Ardiansyah, 2012).
Berbagai teori yang menjelaskan tentang terjadinya hipertensi, teori-teori tersebut antara lain (Kowalak,
2011):
1. Perubahan yang terjadi pada bantalan dinding pembuluh darah arteri yang mengakibatkan retensi
perifer meningkat.
2. Terjadi peningkatan tonus pada sistem saraf simpatik yang abnormal dan berasal dalam pusat
vasomotor, dapat mengakibatkan peningkatan retensi perifer.
3. Bertambahnya volume darah yang disebabkan oleh disfungsi renal atau hormonal.
4. Peningkatan penebalan dinding arteriol akibat faktor genetik yang disebabkan oleh retensi vaskuler
perifer.
5. Pelepasan renin yang abnormal sehingga membentuk angiotensin II yang menimbulkan konstriksi
arteriol dan meningkatkan volume darah.

Tekanan darah yang meningkat secara terus-menerus pada pasien hipertensi dapat
menyebabkan beban kerja jantung akan meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan resistensi terhadap
ejeksi ventrikel kiri. Agar kekuatan kontraksi jantung meningkat, ventrikel kiri mengalami hipertrofi sehingga
kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung juga meningkat. Dilatasi dan kegagalan jantung bisa terjadi,
jika hipertrofi tidak dapat mempertahankan curah jantung yang memadai. Karena hipertensi memicu
aterosklerosis arteri koronaria, maka jantung bisa mengalami gangguan lebih lanjut akibat aliran darah yang
menurun menuju ke miokardium, sehingga timbul angina pektoris atau infark miokard. Hipertensi juga
mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah yang semakin mempercepat proses aterosklerosis dan
kerusakan organ-organ vital seperti stroke, gagal ginjal, aneurisme dan cedera retina (Kowalak, 2011).

Kerja jantung terutama ditentukan besarnya curah jantung dan tahanan perifer. Umumnya curah
jantung pada penderita hipertensi adalah normal. Adanya kelainan terutama pada peninggian tahanan
perifer. Peningkatan tahanan perifer disebabkan karena vasokonstriksi arteriol akibat naiknya tonus otot
polos pada pembuluh darah tersebut. Jika hipertensi sudah dialami cukup lama, maka yang akan sering
dijumpai yaitu adanya perubahan-perubahan struktural pada pembuluh darah arteriol seperti penebalan
pada tunika interna dan terjadi hipertrofi pada tunika media. Dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia,
maka sirkulasi darah dalam otot jantung tidak mencukupi lagi sehingga terjadi anoksia relatif. Hal ini dapat
diperjelas dengan adanya sklerosis koroner (Riyadi, 2011).

F. Manifestasi Klinik
Hipertensi sulit dideteksi oleh seseorang sebab hipertensi tidak memiliki tanda/ gejala khusus.
Gejala-gejala yang mudah untuk diamati seperti terjadi pada gejala ringan yaitu pusing atau sakit kepala,
cemas, wajah tampak kemerahan, tengkuk terasa pegal, cepat marah, telinga berdengung, sulit tidur, sesak
napas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah di hidung)
(Fauzi, 2014; Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).
Selain itu, hipertensi memiliki tanda klinis yang dapat terjadi, diantaranya adalah (Smeltzer, 2013):
1. Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi bahwa tidak ada abnormalitas lain selain tekanan darah tinggi.
2. Perubahan yang terjadi pada retina disertai hemoragi, eksudat, penyempitan arteriol, dan bintik katun-
wol (cotton-wool spots) (infarksio kecil), dan papiledema bisa terlihat pada penderita hipertensi berat.
3. Gejala biasanya mengindikasikan kerusakan vaskular yang saling berhubungan dengan sistem organ
yang dialiri pembuluh darah yang terganggu.
4. Dampak yang sering terjadi yaitu penyakit arteri koroner dengan angina atau infark miokardium.
5. Terjadi Hipertrofi ventrikel kiri dan selanjutnya akan terjadi gagal jantung.
6. Perubahan patologis bisa terjadi di ginjal (nokturia, peningkatan BUN, serta kadar kreatinin).
7. Terjadi gangguan serebrovaskular (stroke atau serangan iskemik transien [TIA] [yaitu perubahan yang
terjadi pada penglihatan atau kemampuan bicara, pening, kelemahan, jatuh mendadak atau hemiplegia
transien atau permanen]).

G. Prevalensi
Secara global WHO (World Health Organization) memperkirakan penyakit tidak menular
menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia.
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun
menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak
diketahui penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama
terjadi di negara berkembang pada tahun 2025, dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Jumlah ini
diperkirakan meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025 (Ardiansyah, 2012).
Hampir 1 milyar orang diseluruh dunia memiliki tekanan darah tinggi. Hipertensi adalah salah
satu penyebab utama kematian dini diseluruh dunia. Di tahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan
hidup dengan hipertensi. Hipertensi membunuh hampir 8 miliyar orang setiap tahun di dunia dan hampir
1,5 juta orang setiap tahunnya di kawasan Asia Timur-Selatan. Sekitar sepertiga dari orang dewasa di Asia
Timur-Selatan menderita hipertensi (WHO, 2015).
Prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup seperti merokok,
obesitas, aktivitas fisik, dan stres psikososial. Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat
(public health problem) dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak ditanggulangi sejak dini.
Pengendalian hipertensi, bahkan di negara maju pun, belum memuaskan. (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Penderita Hipertensi Tahun
2019 berjumlah 99247 dengan sebaran sebagai berikut :
Sumber: Profil Dinkes Sulteng Tahun 2019
Chart diatas menunjukan bahwa Kabupaten dengan Prevalensi Hipertensi Paling Tinggi Tahun
2019 adalah Kab. Sigi dengan jumlah penderita sebesar 13.913 atau 14,02% dari total penderita hipertensi
di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2019.

Untuk data Prevalensi Hipertensi Kota Palu dapat dapat dijabarkan pada chart berikut:

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Palu

Berdasarkan chart diatas, menunjukan bahwa Penderita Hipertensi dalam 1 Tahun terakhir mengalami
peningkatan dan hal tersebut tidak di ikuti oleh angka kematian Penderita Hipertensi yang relative menurun
pada 1 Tahun terakhir untuk wilayah kota palu.
II. Diabetes Melitus
A. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

B. Patogenesis Diabetes Melitus (DM) Tipe II


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi
kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi
ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan multipel dari
patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat progresivitas
kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas
saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan
yang disebutnya sebagai the ominous octet.
The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph
A. DeFronzo. From the Triumvirate

C. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada table berikut :

D. Prevalensi
Saat ini prevalensi penyakit tidak menular yang didalamnya termasuk Dibetes Mellitus (DM)
semakin meningkat di indonesia. Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki
epidemi DM tipe-2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting
timbulnya masalah ini, dan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum terdiagnosis di
Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik non
farmakologis maupun farmakologis. Dari yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja
yang terkendali dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan
kontrol glikemik yang optimal, namun demikian di Indonesia sendiri target pencapaian kontrol glikemik
masih belum tercapai secara memuaskan, yang sebagian besar masih di atas target yang diinginkan
sebesar 7%. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman pengelolaan yang dapat menjadi acuan
penatalaksanaan diabetus melitus.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang
menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM
di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia
yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk,
maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan,
menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.
Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan
Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT),
berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar
10.2%.
Laporan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah terhadap Prevalensi Diabetes Melitus
dijabarkan sebagaimana pada chart dibawah :

Sumber : Profil Dinkes Provinsi Sulteng Tahun 2019

Chart diatas merupakan Gambaran Penderita DM Tahun 2019 di Provinsi Sulawesi Tengah.
terlihat bahwa pada tahun 2019 prevalensi jumlah penduduk yang menderita Diabetes Melitus yang tertinggi
yaitu di Kabupaten Parigi Moutong sebesar 33.873 jiwa dengan jumlah yang mendapat pelayanan
kesehatan sebesar 6.747 jiwa (19,9%). Jumlah penduduk yang menderita Diabetes Melitus yang terendah
yaitu di Kabupaten Banggai Laut sebesar 5.175 jiwa dengan jumlah yang mendapat pelayanan kesehatan
sebesar 213 (4,1%)
Dinas Kesehatan Kota Palu berdasarkan Laporan Penderita DM Tahun 2019 dan 2020
ditemukan bahwa angka penderita DM pada 1 Tahun terakhir mengalami penurunan hal. Gambaran
Prevalensi Penderita DM di Kota Palu Tahun 2019 dan 2020 dapat digambarkan sebagai berikut:
Chart diatas menunjukan bahwa terjadi penurunan jumalh penderita DM dari Tahun 2019 yaitu
785 menjadi 57 pada Tahun 2020. Angka kematian penderita DM pada Tahun 2019 yaitu 38,90% dari
jumlah penderita sebanyak 2018 orang, sedangkan pada tahun 2020 yaitu 39,91% dari jumlah penderita
sebanyak 145 orang.

III. Penyakit Jantung


A. Definisi
Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan, penyumbatan, atau
kelainan pembuluh darah koroner. penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih parah kemampuan jantung memompa
darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa
menyebabkan kematian (Soeharto, 2001).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada perinsipnya disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu :
1. Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koroneria yang paling sering
ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria,
sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka
resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium (Brown,
2006).
2. Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lamakelamaan berakibat robek dinding
pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk
mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan darah dibagian
robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus. Trombosis ini
menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung, dapat menyebabkan serangan jantung
mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh darah otak menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004).

C. Patofisiologi
1. Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris ditegakkan berdasarkan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa tertekan atau berat
di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada terutama saat melakukan kegiatan fisik,
terutama dipaksa bekerja keras atau ada tekanan emosional dari luar. Biasanya serangan angina
pektoris berlangsung 1-5 menit, tidak lebih dari 10 menit, bila serangan lebih dari 20 menit, kemungkinan
terjadi serangan infark akut. Keluhan hilang setelah istirah (Kusrahayu, 2004).
2. Angina pektoris yang tidak stabil
Pada angina pektoris yang tidak stabil serangan rasa sakit dapat timbul pada waktu istirahat, waktu
tidur, atau aktifitas yang ringan. Lama sakit dada lebih lama daripada angina biasa, bahkan sampai
beberapa jam. Frekuensi serangan lebih sering dibanding dengan angina pektoris biasa (Kusrahayu,
2004).
3. Angina Varian
Terjadi hipoksia dan iskemik miokardium disebabkan oleh vaso spasme (kekakuan pembuluh darah),
bukan karena penyempitan progesif arteria koroneria. Episode terjadi pada waktu istirahat atau pada
jam-jam tertentu tiap hari. EKG peningkatan segmen ST (Sutedja, 2008).
4. Sindrom koroner akut (SKA)
Sindrom klinik yang mempunyai dasar patofisiologi yang sama yaitu erosi, fisur, ataupun robeknya plak
atheroma sehingga menyebabkan thrombosis yang menyebabkan ketidak seimbangan pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Termasuk SKA adalah angina pektoris stabil dan infark miokard akut
(Majid, 2007). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung
Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian(Anonima, 2006).

D. Gejala Umum
Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit atau tersumbat. Rasa sakit
tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah adalah keluhan klasik penderita penyempitan
pembuluh darah koroner. Kondisi yang perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di dada muncul mendadak
dengan keluarnya keringat dinggin yang berlangsung lebih dari 20 menit serta tidak berkurang dengan
istirahat. Serangan jantung terjadi apabila pembuluh darah koroner tiba-tiba menyempit parah atau
tersumbat total. Sebagian penderita PJK mengeluh rasa tidak nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan
mengeluh rasa lemas bahkan pingsan (Yahya, 2010).

E. Diagnosis
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat
amat penting, jika diagnosis PJK telah dibuat terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai
kemungkinan akan dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Dokter harus memilih
pemeriksaan yang perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal
dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut ini cara-cara diagnostik:
1. Anamnesis
Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa lampau seperti Riwayat merokok, usia, infark miokard
sebelumnya dan beratnya angina untuk kepentingan diagnosis pengobatan (Anonim, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada PJK adalah denyut jantung, tekanan
darah, suhu tubuh dan kecepatan respirasi (Majid, 2007).
3. Laboratorium
Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid seperti LDL, HDL, kolesterol
total, dan trigliserida untuk menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi. Selain pemeriksaan
diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin. Pengukuran penanda enzim
jantung seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah pada sindrom koroner akut
(Anonim, 2009).
4. Foto Sinar X Dada
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung, penyakit katup jantung atau
gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan prognosis (Anonim, 2009).
5. Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed tomografi (CT) dan
magnetic resonance arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang mampu
mendeteksi kadar kalsium coroner (Anonim, 2009).
6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi coroner
Arteriografi koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasive tidak jelas atau tidak
dapat dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental pada pasien
angina stabil. Arteriografi koroner memberikkan gambaran anatomis yang dapat dipercaya untuk
identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan prognosis (Anonim, 2009).

F. Penatalaksanaan Terapi
Terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme, manifestasi klinis, perjalanan alamiah
dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis dari kasus PJK. Pada prinsipnya terapi ditujukan
untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya
infark miokard akut atau kematian mendadak.

Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia tahun 2009 obat yang disarankan
untuk penderita PJK adalah :
1. Golongan Nitrat
2. Golongan Penyekat β (beta bloker)
3. Golongan antagonis kalsium
4. Obat antiplatelet
5. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
6. Antagonis Reseptor Bloker
7. Anti kolesterol

G. Prevalensi
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat setiap tahunnya. Penyakit gagal jantung dapat
diartikan sebagai kumpulan berbagai gejala dan tanda klinis dimana jantung tidak mampu mempertahankan
sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisisan vena dalam keadaan normal
(Muttaqin, 2009). Sekitar 17,9 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler pada tahun 2016,
angka tersebut menyumbang 31% dari total kematian di dunia. Angka kematian ini, 85% diakibatkan oleh
serangan jantung dan stroke (WHO, 2019).
Menurut Kemenkes RI (2020), prevalensi penyakit gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter
di Indonesia sebesar 0,13% atau sebanyak 229.696 orang di tahun 2013. Sedangkan menurut diagnosis
dokter berdasarkan gejala diperkirakan sebanyak 0,3% atau 530.068 orang. Adapun tanda dan gejala yang
muncul pada pasien gagal jantung diantaranya adalah sesak napas, batuk kronis atau wheezing, fatigue
(kelelahan), edema, mual atau kehilangan nafsu makan, kebingungan, dan denyut jantung tinggi (American
Heart Association (AHA), 2018; Rohrbaugh et.al, 2009).
Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Jantung berdasarkan diagnosis dokter di
Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi Provinsi Kalimantan Utara 2,2%,DIY
2%,Gorontalo 2%. Selain ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi lainnya dengan prevalensi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional. Delapan provinsi tersebut adalah : Aceh
(1,6%),Sumatera Barat (1,6%), DKI Jakarta (1,9%), Jawa Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan
Timur (1,9%), Sulawesi Utara (1,8%) dan Sulawesi Tengah (1,9%).
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah menunjukan pencatatan kasus/penderita
Penyakit Jantung hanya terdapat pada Kab. Parigi Moutong yaitu sebanyak 624. Sedangkan di 12 Kab/Kota
lainnya tidak terdapat data Penderita Penyakit Jantung.
Dinas Kesehatan Kota Palu Melalui Bidang Pengendalian Penyakit Menunjukan Prevalensi
Penyakit Jantung di Kota Palu tahun 2019 dan 2020 yaitu sebagai berikut :
Sumber Data : Dinas Kesehatan Kota Palu
Berdasarkan data diatas ditemukan bahwa terjadi penurunan kasus penyakit jantung di kota palu pada
tahun 2020 yaitu 1181 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 1477 kasus. Untuk
Persentase Kematian pada penderita penyakit jantung Tahun 2019 yaitu sebesar 6,30% sedangkan pada
Tahun 2020 yaitu sebesar 8,30%.

IV. Kesimpulan
A. Peningkatan penyakit tidak menular memerlukan perhatian serius oleh semua pihak baik pemangku
kebijakan maupun masyarakat.
B. Peningkatan PTM dapat ditekan melalui pengendalian factor risiko yaitu pengurangan konsumsi rokok,
alcohol, gula dan garam, peningkatan konsumsi buah dan sayur, meningkatkan aktifitas fisik melalui olah
raga, mencegah kegemukan, pengendalian stress dengan kegiatan rekreasi serta melakukan pemeriksaan
tekanan darah, kadar gula darah secara teratur.
C. Upaya pencegahan PTM dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri melalui kegiatan Posbindu.
D. Perilaku Cerdik

Anda mungkin juga menyukai