Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN TASAWUF
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Rokib Rukmana M.Pd

Disusun Oleh:

- Dian Hediana (NIM: 19201910)

- Tiara Maharani Putri NIM: (19201917)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM YAPISHA GARUT

(STEIYGA)

2020/1441 H
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmanirrahiim,

Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk,
rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Akhlak
Tasawuf yang berjudul “Aliran-Aliran Tasawuf”

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada


junjungan Nabi Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan panutan bagi umat
Islam di dunia yang beriman dan bertaqwa, begitu juga dengan para keluarga
dan sahabat yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
terang-benderang “Ila Dzulumati Ilannur” serta kepada pengemban risalah
mulia yang selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang menjadikan “Al-
Qur’an” sebagai pedoman sekaligus sumber hukum.

Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi
kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga amal kebaikan dan aktivitas yang kita
lakukan selalu ada dalam rahmat dan ampunannya, Aamiin

Garut, 02 Juni 2020

Penyusun

i
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................3

B. Rumusan Masalah...........................................................................3

C. Tujuan.............................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Muqamat dan Ahwal.....................................................5

B. Macam-Macam Muqamat...............................................................6

C. Ahwal Yang Sering Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi...................10

D. Perbedaan Muqamat dan Ahwal.....................................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan


ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf.
Tak mungkin ada tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau
sebagai amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal. Dalam menjalani
proses maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi terbang
mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan
Tuhan Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga
mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang
tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak
kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid
disebut ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya
ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin
Rumi menamainya dengan mahabbah. Begitulah, setiap sufi memiliki
nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya
bertemu sang kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat
menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan
keterbatasan (bahasa) manusia. Wa Allah A’lam bi al-Sawab.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian maqamat dan ahwal?

2. Apa macam-macam maqamat?

3. Apa saja ahwal yang sering dijumapai dalam perjalanan sufi?

3
4. Apa perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan ahwal ?

2. Untuk mengetahui macam-macam maqamat ?

3. Untuk mengetahui saja ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan


sufi ?

4. Untuk mengetahui perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muqamat dan Ahwal

1. Pengertian Muqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti


tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya
digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris
maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara


etimologi maqam mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua
telapak kaki. Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam
mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan
tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah.

Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan,


yaitu tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan
latihan latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.

2. Pengertian Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal
digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal
dalam perspektif tasawuf sering diartikan “keadaan”. Maksudnya
keadaan dalam kondisi spiritual. Hal, sebagai sebuah kondisi yang
singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat
seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapanpun

5
seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan,
ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya
dalam kalbu hamba tersebut.

Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan


atau keadaan kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi
mencapai maqam tertentu. Ahwal merupakan sebuah batasan teknis
dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak
permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia Allah
yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui
usaha, keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga
duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga
banayak.

Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal


dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada
kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil,
namun yang menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani
tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak
bersifat mutlak.

B. Macam-Macam Muqamat

Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh


seorang sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada
hal ini. Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa
maqamat yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu:

6
1. Al-Zuhud

Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang


bersifat keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai
sutu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Kendatipun
didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, inti dan tujuan zuhud sama,
yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Jangan
sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan susutnya waktu dan
perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di
“hadirat” Ilahi.

Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan.


Pertama menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
Kedua menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga
mengucilkan dunia bukan karna takut atau berharap, tetapi karena cinta
karen Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan
memandabg segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.

2. At-Taubah

At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh


dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala
perbuatan yang menimbulkan dosa. At-Taubat di bagi menjadi tiga
tingkatan yakni ; yang pertama taubat yang paling rendah yaitu
memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah
dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua taubat yang lebih tinggi
tingkatannya yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari sifat
dendam, sombong, iri, riya’, pamer, dll. Sedangkan yang ketiga taubat
tertinggi yaitu taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan
dan kelalaian dari mengingat Allah.

7
3. Al-Wara’

Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan


Allah. Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak
melanggar aturan Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak
kecil. Seseorang yang bersifat wara’ adalah mereka yang selalu berhati-
hati dalam segala perilakunya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal
yang tidak disenangi atau diridai Allah baik yang hukumnya makruh
apalagi haram.

4. Al –Faqr (Fakir)

Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup


dengan apa yang telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga
tidak mengharapkan atau meminta sesutu yang bukan haknya. Dengan
demikian, seseorang yang faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa
puas dalam menjani kehidupan. Sikap ini sangat penting sehingga
manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al-Faqr
merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan zuhud terhadap
kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia, sesorang akan
merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain itu sifat
al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa
yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan
tidak akan menuntut yang bukan haknya.

5. As-Shabr (sabar)

Sifat As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi.
Sifat sabar merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.
Mereka yang memiliki yang memiliki kesabaran yang luar biasa
dinamakan dengan ulul al-‘azmi. Jadi sabar artinya menjauhkan diri dari

8
hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, demikian juga tenang
ketika mendapatkan cobaan dari-Nya, menampakkan sifat yang
berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan. Dalam ajaran tasawuf
sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Sabar dalam beribadah kepada Allah.

b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.

c. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.

6. Tawakkal

Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari


segala ketergantungan kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan
keputusan segala sesuatunya kepada Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah
sikap pasrah terhadap Allah dalm menjalani setiap urusan. Tawakkal
dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan diri kepada qada’
dan qadar Allah.

7. Rela (Rida’)

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah
di anugerahkan Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu
melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan
tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu
melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang
meberikan cobaan kepadanya sehingga tidak menegeluh dan tidak
merasakan sakit atas cobaan tersebut.

8. Mahabbah

9
Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling
tinggi dan mulia guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang
maha Besar, Maha Penguasa, Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha
Pemberi.

9. Ma’rifah

Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah


yang artinya “mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga
pengetahuan. Jadi mak’rifat artinya mengenal Allah dengan mata hati,
sekaligus ujung perjalanan dari segala ilmu pengetahuan yang dilakukan
oleh kaum sufi. Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan hasil dari ma’rifat
adalah “pandangan”.

C. Ahwal Yang Sering Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi

Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa


diketahui waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari
Allah ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu
tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut:

1. Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada)

Muhasabah ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala


pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang
menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada-Nya. Sedangkan Muraqabah
yaitu adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah
dalam keadaan diawasi-Nya.

Muhasabah dan Muraqabah merupakan dua hal yang saling


berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara
bersamaan. Kedua sikap itu merupakan dua sisi dari tugas yang sama

10
dengan menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari
pembawaan nafsu dan amarah.

2. Hubb ( cinta )

Hubb adalah cinta. Maksudnya, cinta seorang hamba kepada


tuhan. Dalam pandangan tasawuf, hubb pada dasarnya anugerah yang
menjadi dasar pijakan ahwal, sama seperti taubat yang menjadi dasar
pijakan maqam.

Ibn Taimiyah membagi tingkatan- tingkatan cinta, yaitu:


pertama, al-alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang dicintai. Kedua,
al-sababah (kegairahan) yaitu hati selalu bergairah kepada Allah. Ketiga,
al-ghuram yaitu cinta sebagaimana biasanya. Keempat, al-isyq yaitu
mencintai kepada Allah dengan bergairah yang berlebih. Kelima, al-
tatayyum (menjadi budak) yaitu menjadi budak kepada Allah. Dari
kelima tingkatan cinta itu, maka dapat ditegaskan bahwa seorang yang
mencintai Allah adalah mereka yang selalu mempunyai keterkaitan dan
keterpautan dengan Allah, “asyik bercengkrama” dengan Allah, dan
menjadi budak di hadapan Allah.

3. Raja’ dan Khauf ( Berharap dan Takut)

Menurut kalangan kaum sufi, Raja’ dan khauf berjalan seimbang


dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimis,
yaitu persaan senang hati karena menanti sesuatu yang di inginkan dan
di senangi. Raja’ menuntut tiga perkara yaitu: cinta kepada apa yang di
harapkannya, takut apabila harapan yang hilang, berusaha untuk
mencapainya. Sedangkan Khauf, ialah kesaksian hati karena
membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri di masa

11
yang akan datang. Khauf dapat mecegah hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf


menyebabkan seseorang lalaim dan berani melakukan maksiat,
sedangakan khauf yang berlebihan akan menjadikan putus asa dan
pesimitis. Begitu pila sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu
akan membuat seseoarang menjadi sombong dan meremehkan amalan-
amalanya karena rasa optimisnya yang berlebihan.

4. Syauq (Rindu)

Syauq yang dimaksudkan ialah rindu kepada Tuhan. Syauq ialah


rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni
dan di sertai dengan mahabbah. Perasaan inilah yang menjadi motor
pendorong kaum sufi agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah
yang menjadi sumber segal kenikmatan dan keindahan.

5. Uns (intim)

Uns (intim) adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat


penuh pada suatu titik sentrum, yaitu Allah: tidak ada yang dirasa, tidak
ada yang diingat, dan tidak ada yang diharap kecuali Dia. Uns
merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi cinta, keindahan,
kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah. Keindahan uns tidak
dapat terlukiskan. Hal ini dapat dialami oleh pendengar dalam konser
spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan (wajd)
ketika menemukan Allah.

D. Perbedaan Mendasar Muqamat dan Ahwal

12
Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul
pertama kali pada abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua
terms tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika
para sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia menjawab bahwa iman itu
adalah bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil, jihad,
yang masing-masing fondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat).

Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan


ahwal. Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara
itu, ahwal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan
kehendak dan upayanya. Sementara itu, ahwal dapat diperoleh secara
disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari,
bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau
harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh
dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara
maqam diperoleh dengan berupaya. Orang yang meraih maqam tetap
dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih ahwal justru akan
mudah lepas dirinya.

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari


cara mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa
tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para
sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan
perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego
manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya
perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa
seseorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya untuk
bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Sedangkan
“ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.

13
Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah hati,
tawakkal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis
tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami
secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak
berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada
maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine
Flashes), yang biasa disebut lama’at.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara


etimologi maqam mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua
telapak kaki. Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam
mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan
tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah. Sedangkan,
ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologisyang dirasakan
ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.

Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh


seorang sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada
hal ini. Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa
maqamat yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu: Al-Zuhud, At-
Taubah, Al-Wara’, Al –Faqr (Fakir), As-Shabr (sabar), Tawakkal, Rela
(Rida’), Mahabbah, dan Ma’rifah.

Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa


diketahui waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari
Allah ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu
tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut: Muhasabah
dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada), Hubb ( cinta ), Raja’ dan
Khauf ( Berharap dan Takut), Syauq ( Rindu), dan Uns ( intim).

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari


cara mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa
tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para
sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan

15
perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego
manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Media Zainul. 2010. Tasawuf Mendamaikan Dunia. - : Erlangga.

Kartanegara, Mulyadhi. 2012. Melayani Lubuk Tasawuf. - : Erlangga.

Solichin, Mohammad Muchlis. 2013.Akhlak & Tasawuf. Surabaya :


Pena Salsabila.

Solihin, M., Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka


Setia .

Amin, Samsul Munir. 2014.Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah.

Nata, Abuddin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT


Rajawali Pers.

17
18

Anda mungkin juga menyukai