Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PPOK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Yang dibina oleh Ns. Ginanjar Sasmito Adi, S. Kep., M. Kep., Sp.Kep.M.B

Oleh :

Kelompok 5

Agustin Dwi Putri Pratiwi 1711011065

M. Rifki Hamdani 1711011075

Diah Verly Agustin 1711011083

Bayu Aji Prianto 1711011090

PRODI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2020
KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
PPOK adalah mana yang diberikan untuk gangguan ketika dua
penyakit paru terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan
emfisema. Asma kronis yang di kombinasikan dengan emfisema atau
bronkitis juga dapat menyebabkan PPOK (Hurst, 2016).
PPOK adalah penyakit yang di cirikan oleh keterbatasan aliran
udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan di kaitkan dengan respon inflamasi paru
yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas, hipersekresi mucus, dan perubahan pada sistem
pembuluh darah paru. Penyakit lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis,
dan asma yang sebelumnya di klarifikasikan dalam jenis COPD kini di
klarifikasikan paru kronis, meskipun gejala tupang tindih dengan COPD
lain. Merokok singaret, polusi udara, dan pajanan di tempat kerja (batu
bara, katun, biji-bijian padi) merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20-30 tahun
(Suddart, 2015).

B. Etiologi
Menurut Oemiati (2013) beberapa faktor risiko antara lain :
1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok :
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%
kasus) di Negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik (Oemiati,
2013). Sejumlah zat iritan yang ada di dalam rokok menstimulasi
produksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia,
menyebabkan inflamasi, serta kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat
hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan
mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya (Oemiati, 2013).
b. Polusi indoor :
Memasak dengan bahan biomas dengan ventilasi dapur
yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap
bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah
(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas,
mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2,
NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organic yang mudah menguap dari cat, karpet
dan mebel air, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan
peliharaan serta perokok pasif. WHO melaporkan bahwa polusi
indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang
setiap tahunnya. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di
Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan
risiko tinggi PPOK (Oemiati, 2013).
c. Polusi outdoor :
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEPI,
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium,
Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang.
Bagaimanapun peningkatan relative kendaraan sepeda motor di
jalan raya pada decade terakhir ini, saat ini telah mengkhawatirkan
sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan
seluruh dunia. Pada Negara dengan income rendah dimana
sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara
masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi
untuk PPOK dan penyakit kardio respiratory, khususnya pada
perempuan yang tidak merokok (Oemiati, 2013).
d. Polusi di tempat kerja
Polusi ditempat kerja misalnya debu-debu organic (debu
sayuran dan bekteri atau racun-racun dari jamur), industry tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industry (pertambangan, industry
besi dan baja, industry kayu, pembangunan gedung), bahan kimia
pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Oemiati,
2013)
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin) :
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1-3 % pada
pasien PPOK (Oemiati, 2013)
3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang :
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan
napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi
saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat
beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini,
karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab
dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK (PDPI, 2011)
4. Gender, usia, konsumsi alcohol dan kurang aktivitas fisik :
Studi pada orang dewasa di Cina didapatkan risiko relative pria
terhadap wanita adalah 2,80 (95% CI ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71
(95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI ; 1,45-2,15),
dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34-3,02) (Oemiati, 2013).

C. Patofisiologi dan pohon masalah (pathway)


PPOK ditandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan napas.
Penyakit ini merupakan salah satu eksaserbasi periodic, sering kali
berkaitan dengan infeksi pernapasan, dengan peningkatan gejala dyspnea
dan produksi sputum. Tidak seperti proses akut yang memungkinkan
jaringan paru pulih, jalan napas dan parenkim paru tidak kembali ke
normal setelah ekserbasi, bahkan, penyakit ini menunjukkan perubahan
destruktif yang progresif (LeMone et al., 2016).
Meskipun salah satu atau lainnya dapat menonjol PPOK biasanya
mencakup komponen bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang
jauh berbeda. Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil,
juga merupakan bagian kompleks PPOK. Melalui mekanisme yang
berbeda, proses ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi
terhadap aliran udara untuk meningkat, dan ekspirasi menjadi lambat dan
sulit (LeMone et al., 2016)
Pathway

(Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016)


D. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda PPOK yang sangat bervariasi dari tanpa gejala
dan dengan gejala dari ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak,
sesak napas bila beraktifitas, sesak tidak hilang dengan pelega napas,
memburuk pada malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et al.,
2016). Untuk dapat menghindari kekambuhan PPOK, maka pemahaman
tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar
yang sangat penting bagi seseorang khususnya penderita PPOK.
Kekambuhan dapat terukur dengan meliputi skala sesak berdasarkan skala
MMRC (Modified Medical Research Counci). Untuk mengeluarkan dahak
dan memperlancar jalan pernapasan pada penderita PPOK dapat dilakukan
dengan cara batuk efektif (Faisal, 2017)
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia
50 tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini
dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus menerus
dan berlangsung lama (Salawati, 2016).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
sebagai berikut Suddarth, (2015):
1. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea saat
menggerakkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.
2. Penurunan berat badan sering terjadi.
3. Gejala yang spesifik dengan penyakit. Lihat “Manifestasi Klinis” pada
“Asma”, “Bronkiektasis”, “Bronkitis”, dan “Emfisema”.

E. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran fungsi paru
a. Kapasitas inspirasi menurun
b. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronchial, dan asma.
c. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru
obstruktif kronis.
d. FVC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emfisema).
2. Analisa gas darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai
pH normal, asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia
sekunder.
b. Jumlah darah merah meningkat.
c. Pulse oksimetri → SaO2 oksigenasi menurun.
d. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic.
4. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman/kuktur adanya infeksi campuran. Kuman
pathogen yang bisa ditemukan adalah Strepcoccus pneumonia,
Hemaphylus influenza, dan Moraxella catarrhalis.
5. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan Lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru. Pada emfisema paru di dapatkan diafragma
dengan letak yang rendah dan mendatar ruang udara retrosternal >
(foto lateral), jantung tampak bergantung memanjang dan menyempit.
6. Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronchus kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.
7. EKG
Menurut Wahid & Suprapto (2013), tekanan darah biasanya
normal. Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis
mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Kelainan EKG yang
paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal
pada hantaean II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di VI rasio R/S
lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat
RBBB inkomplet (Muttaqin, 2008).
F. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. Berhenti merokok
Menurut PDPI (2011) strategi untuk membatu pasien
berhenti merokok adalah 5A :
1) Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
2) Advise (Nasihati)
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
3) Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (missal : dalam 30
hari ke depan)
4) Assist (Bimbing)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
5) Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
b. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi
keletihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah
mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
symptom pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat
darurat, kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitasi terdiri
dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial dan latihan
pernapasan (PDPI, 2011).
c. Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya (PDPI,
2011)
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortality PPOK karena berkorelasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (PDPI,
2011).

2. Farmakologis
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan
cara mempengaruhi tonus otot polos dan jalan napas.
Bronkodilator dapat diberikan dengan metered-dose inhaler
(MDI), dry powder inhaler (DPI), dengan nebulizer, atau secara
oral (LeMone et al., 2016).
Macam-macam bronkodilator :
1) ß2 Agonist (short-acting dan long-acting)
prinsip kerja dari ß2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan
napas dengan menstimulasi reseptor ß2 dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonism fungsional terhadap
bronkokontriksi.
Angios ß2 adalah obat simtimimetik yang bekerja pada
adrenoreseptor ß2 pada otot polos saluran napas dan
menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga membantu
pembersihan mucus dan memperbaiki kekuatan (endurance)
otot pernapasan (Black & Hawks, 2014).
2) Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitroprium dan tiopropiun bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik.
b. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin.
Obat ini dilaporkan berperan dalam otot-otot inspirasi. Namun obat
ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
c. Kortikosteroid
Inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi
eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 < 60% prediksi.
d. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi
inflamasi dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP.
Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual,
menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur, dan
sakit kepala (Soeroto & Suryadinata, 2014).

3. Terapi Farmakologis Lain


a. Vaksin : vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada
pasien PPOK usia > 65 tahun.
b. Alpha-1 Augmentation therapy : Terapi ini di tunjukan bagi pasien
usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat.
Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua Negara
dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
c. Antibiotic : penggunaannya untuk mengobati infeksi bacterial yang
mencetuskan eksaserbasi.
d. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan :
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-
acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
e. Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
f. Antitusif : golongan obat ini tidak direkomendasikan
g. Vasodilator
h. Narkotik (morfin) (Soeroto & Suryadinata, 2014)
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di
kalangan perempuan di Negara maju dan risiko yang lebih tinggi
dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar
yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada Negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan
penderita PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI,
2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi
pada umur 30-40 tahun (Oemiati, 2013).
b. Keluhan Utama
Keluhan yang sering di keluhkan oleh orang dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sesak napas yang
bertambah berat bila aktivitas, kadang-kadang disertai mengi,
batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada
(PDPI, 2011).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Menurut Oemiati (2013) bahwa perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik.
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas
dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap
partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan
biomas dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap
bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan
memberi kontribusi sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK.
Produksi mucus berlebihan sehingga cukup menimbulkan
batuk dengan ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam
setahun dan paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat
memicu terjadinya PPOK (Somantri, 2012).
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di
tempat kerja (PDPI, 2011). Dan memiliki riwayat penyakit
sebelumnya termasuk asam bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal,
infeksi saluran napas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi
lainnya. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit
untuk penyakit respirasi (Soeroto & Suryadinata, 2014).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011).
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya. (Soeroto
& Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada keluarga (Muttaqin,
2008).
f. Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan
PPOK menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut :
1) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan
berat badan.
Tanda : turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
2) Aktivitas/Istirahat
Gejala : keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-
hari, ketidakmampuan untuk tidur, dyspnea pada saat aktivitas
atau istirahat.
Tanda : keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan
umum/kehilangan massa otot.
3) Sirkulasi
Gejala : pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependen,
bunyi jantung redup, warna kulit/membrane mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
4) Integritas Ego
Gejala : peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup
Tanda : ansietas, ketakutan, peka rangsangan
5) Hygiene
Gejala : penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hygiene.
Tanda : kebersihan buruk, bau badan.
6) Pernapasan
Gejala : batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2
tahun, episode batuk hilang timbul.
Tanda : pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu
pernapasan, bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan
diafragma minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan
pada area paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku,
abu-abu keseluruhan.
7) Keamanan
Gejala : riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan,
adanya/berulangnya infeksi.
8) Seksualitas
Gejala : penurunan libido
9) Interaksi sosial
Gejala : hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan
terhadap pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik
karena penyakit lama.
Tanda : ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena
disstres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut :
a. Pernapasan (B1 : Breathing).
1) Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan ferkuensi
pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Bentuk dada
barrel chest (akibat udara yang terungkap) atau bisa juga
normo chest, penipisan massa otot, dan pernapasan dengan
bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan
penggunaan otot-otot bantu napas (sternocleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dyspnea terjadi saat aktivitas bahkan pada
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi.
Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulent disertai
demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi
pernapasan.
2) Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
3) Perkusi
Pada perkusi di dapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menurun.
4) Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada
pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah
(hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada
umumnya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan
dyspnea dan keletihan (dyspnea eksersorial). Paru yang
mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkiolus tidak di kosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkan. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien
mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
b. Kardiovaskuler (B2 : Blood)
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum.
Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas
jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang
dilihat adanya sianosis.
c. Persyarafan (B3 : Brain)
Kesadaran biasanya composmentis apabila tidak ada
komplikasi penyakit yang serius.
d. Perkemihan (B4 : Bladder)
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluahan pada sistem perkemihan. Namun perawat perlu
memonitor adanya oliguria yang merupakan salah satu tanda awal
dari syok.
e. Pencernaan (B5 : Bowel)
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien
tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.
f. Tulang, otot dan integument (B6 : Bone)
Karena penggunaan otot bantu napas yang lama pasien
terlihat keletihan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan
gangguan pemenuhan ADL (Activity Day Living)
g. Psikososial
Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.
B. Diagnosa Keperawata
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energy atau kelemahan.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan oksigenasi
(obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara),
kerusakan alveoli.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan gas di
lambung
4. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang penyakitnya.

C. Rencana Asuhan Keperawatan


Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten
dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi,
krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi
manifestasi adanya bunyi nafas adventisius. Kaji atau pantau
frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses
infeksi akut. Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan
lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan
otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan
gravitasi.
Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan
udara. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap,
batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki
keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif. Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran. Kolaborasi :
 Berikan obat sesuai indikasi.
 Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
 Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya
dextrometorfan.
 Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer
ultranik, humidifier aerosol ruangan.
 Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal
menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa.

2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply


oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus,
jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas
gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat
kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot
aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan
kronisnya proses penyakit. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan
atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps
jalan napas, dispnea, dan kerja napas. Kaji atau awasi secara
rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya
hipoksemia. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di
indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran
gas pada jalan nafas. Auskultasi bunyi nafas, catat area
penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau
area konsolidasi.
Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau
udara terjebak. Awasi tingkat kesadaran atau status mental.
Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang
dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau
istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien
melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat
meningkatkan rasa sehat.
Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun,
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih
besar.
Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil
GDA dan toleransi pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik)
dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang
meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan, eksaserbasi
dispnea.
Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan
pindahkan ke ICU sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya
tindakan penyelamatan hidup.

3) Gangguan rasa nyaman “nyeri” Berhubungan Dengan penumpukan


gas di lambung.
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 2x24 jam gangguan rasa
nyaman “nyeri’ berkurang dengan kriteria hasil :
Klien mengatakan nyeri berkurang.
- Skala nyeri 2
- klien tidak meringgis
- TTV
TD 120/80-140/100 mmhg
Nadi 60-100X/ menit
Suhu: 36,5-37,5 derajat
R/ lakukan pendekatan pada klien dan keluarga jelaskan tentang
penyebab sakit yang di alami.
Respon klien dan keluarga lebih terbuka dan menerima baik
penjelasan dari perawat.
R/ Ajarkan pada keluarga klien agar memberi kompres hangat
pada daerah perut yang sakit. Mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan klien.
R/ Berikan posisi senyaman mungkin.
Mengetahui perkembangan setiap hasilnya

4) Kurang pengetahuan adalah ketiadaan atau defisiensi informasi


kognitif yang tidaka dekuat terhadap pengetahuan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam
pengetahuan klien dan keluarga bertambah.Penulis
memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga karena pada saat
klien bertanya perawat menjelaskan terkait penyakitnya, Respon
klien merasa puasa atas apa yang diinformasikan terhadap perawat.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut
Engram (2000) adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pengetahuan klien dan keluarga
bertambah.
Intervensi yang dilakukan ke pasien yakni kaji tingkat
pengetahuan pasien dan keluarga, jelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi dengan cara yang tepat, gambarkan tanda dan gejalan
yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang tepat,
gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.
LeMone, P., Burke, K.M. & Bauldoff, G., 2016. Buku Ajar Keperawatan
Medikal bedah, Ed. 5, Vol. 4. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Oemiati, R., 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok).
Media Litbangkes , Vol. 23 No. 2.
PDPI, 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Suddarth, B.&., 2015. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed.12.
Jakarta: EGC.
Wahid, A. & Suprapto, I., 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan Pada Gangguan Respirasi. Jakarta: CV. Trans Info
Media.

Anda mungkin juga menyukai