Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH WPAP

(Wedha’s Pop Art Potrait)


Embrio gaya ini saya mulai pada sekitar tahun 1990-1991. Memasuki usia
40 tahun, terlahir 10 Maret 1951, ketika itu saya sudah merasakan menurunnya
fungsi mata saya. Ditambah lagi sebagai seorang yang kurang sekali
mengindahkan gaya hidup sehat saya mulai merasa terlalu cepat lelah. Kendala
fisik itu mulai mengganggu setiap kali saya harus menyelesaikan gambar, apalagi
gambar sosok manusia yang realis yang menurut saya bertingkat kesulitan paling
tinggi. memilih dan mencampur warna menjadi hal yang menyulitkan. Kemiripan
warna kulit manusia, keharusan goresan, menjadi sesuatu yang mahal buat saya.
Dalam keadaan seperti itulah kemudian saya mulai memikirkan cara menulis atau
menggambar wajah manusia dengan cara yang lebih mudah. Cara yang
memungkinkan saya menghindarkan diri dari keharusan mengolah warna kulit
manusia yang sulit, tanpa campuran tuntutan keterampilan yang memadai untuk
memulas.
Saya yang sejak masa sekolah sangat menyukai pelajaran ilmu ukur ruang
(stereometri), mulai mengutik-utik masalah titik, garis dan bidang. Mulailah Saya
membayangkan wajah manusia sebagai kumpulan bidang-bidang datar yang
dibentuk oleh garis garis imajiner.
Cukup panjang proses yang saya lalui sebelum mendapatkan bentuk dengan cara
membuatnya seperti yang sekarang tapi berjalan itu saya tapaki dengan antusias
karena semakin lama perjalanan itu semakin memberi keyakinan akan tercapainya
apa yang saya inginkan. cara memprosesnya juga mengalami perubahan yang
signifikan. Cara manual dan cara yang menggunakan komputer. Perlu diketahui,
pada waktu itu sekitar tahun 1990-1991, komputerisasi belum merata jamaah
majalah di tempat saya berkarya. Saya sendiri baru mengenal komputer sekitar
tahun 1998.
Di dalam proses manual saya menemukan cara yang mudah dan semakin mudah.
tapi semakin mudah cara yang saya temukan, saya semakin ragu untuk
mengatakan bahwa apa yang saya hasilkan ini cukup bernilai untuk disebut
sebagai karya seni. Walaupun pada kenyataannya karya saya ini mulai digemari
pembaca, bahkan pada beberapa kesempatan banyak musisi dunia yang
mengagumi karya saya. Grup Scorpion, Metallica atau James ingram adalah
beberapa nama yang masih saya ingat, tetap saja saya menganggapnya hanya
sebagai cara yang paling mudah membuat untuk memenuhi tugas saya sebagai
ilustrator.
Kalau saya merasa mudah, tentu banyak orang yang akan menganggapnya
Begitu. Kalau prosesnya mudah tapi hasilnya cukup menarik, tidak mustahil para
perupa lain sudah lebih dahulu menekuninya sebelum saya. Perasaan inilah yang
membelenggu saya untuk tidak mempublikasikannya secara luas, kecuali untuk
mengisi halaman 3 majalah Saya. Bahkan perasaan ini nyaris mengkristal ketika
seseorang teman mengkritik saya sebagai seorang yang berkesenian secara akal-
akalan.
Syukurlah, memasuki tahun 2007, beberapa orang kenalan berhasil meyakinkan
saya bahwa mereka sampai sekarang masih menyukai dan merasa kangen dengan
tampilan lagi karya yang pada mulanya saya beri nama Foto Marak Berkotak itu,
bahkan ada pemerhati karya saya yang telah lama ingin menemui saya untuk
menuntaskan rasa penasaran nya pada karya saya. Mereka sejak duduk di bangku
sekolah menyukai karya saya telah secara perlahan mencairkan Belenggu yang
saya ciptakan sendiri.
Puncaknya terjadi pada hari Jumat 22 Juni 2007. Seorang ketua jurusan DKV
Universitas Multimedia Nusantara bernama Gumelar yang hari itu Sengaja saya
temui, mengatakan bahwa beliau yang sudah melanglang jagad itu baru kali ini
melihat karya semacam karya saya. Saya layak melabelkan gaya ini sebagai gaya
Wedha lanjutnya, dan bahkan saya berkewajiban untuk meluaskan gaya saya ini
yang dikatakan sebagai terobosan baru dalam bentuk buku kepada semua orang
agar ada yang melanjutkan kelak bila saya sudah tiada. Terima kasih saya yang
teramat dalam kepada semua pemerhati karya-karya saya khususnya Ade
Darmawan dari Rektor komunitas Ruang Rupa, Maniek, Pak Gumelar, Pak Djoko
Hartanto dan rekan kerja saya, Angky Astari.

Embrio gaya wedha


Karya-karya awal gaya ini sudah didominasi oleh bidang-bidang geometrik yang
saya bentuk dengan goresan bebas (free hand stroke) dan menggunakan medium
crayon. Pewarnaannya sudah meninggalkan pakem warna kulit manusia, juga
dengan stroke bebas. Pembidangan pada karya ini mengikuti intuisi saya pada saat
itu mengamati wajah seseorang (biasanya figur-figur terkenal di bidangnya
masing-masing), melalui fotonya. Saya berusaha keras menangkap ekspresi figur
yang saya hadapi lewat beberapa foto. Saya Buang jauh konsep realisme. Proses
ini kental unsur intrinsiknya. Sosoknya sendiri banyak mengalami deformasi yang
saya tafsirkan dengan penyangatan bentuk. Tahap ini berjalan beberapa bulan saja
titik Sayang di buku ini saya hanya bisa menampilkan dua diantara karya yang
telah saya buat titik yang pertama, Freddy Mercury dari Queen, sedang yang
kedua, Maaf, saya sendiri lupa siapa figur yang saya lukis ini. Tapi masyarakat
pembaca masih adem-adem saja menerimanya, mungkin karya dengan gaya ini
sudah dianggap biasa, karena saya lihat juga gaya ini sudah sering muncul di
beberapa majalah terbitan luar negeri.
Waktu terus berjalan titik ada dorongan batin untuk lebih menguatkan unsur garis,
sesuai dengan kelengkapan sebuah komposisi, ada garis, ada bidang. intuisi yang
mendasarinya masih sama. Dengan medium poster color, garis-garis kuat ini saya
terapkan ketika saya melukis wajah David Foster yang ketika itu berkunjung ke
majalah kami dan juga untuk Bob geldof. Tapi kemudian, saya merasa tampilan
garis-garis itu tidak menyatu dengan warna. Dan kalau dihubungkan dengan
pewarnaan terasa tampilan garis itu berlebihan. Warna-warna yang memang sudah
berbeda bila disandingkan otomatis akan berbentuk garis pemisah sendiri
walaupun garis pemisah itu imajiner. Inilah Sebabnya kenapa tampilan garis nyata
yang tegas terasa berlebihan titik gaya dengan garis kuat ini hanya tampil dua kali.
Saya memasuki perkembangan baru. Kalau 2 warna berbeda yang berdampingan
sudah bisa menimbulkan garis imajiner, buat apa dibuat garis lagi? dengan
pemikiran ini saya hilangkan tampilan garis. Tapi untuk lebih menguatkan garis
imajiner atau garis pemisahan antara dua bidang warna, pada karya-karya ini saya
sengaja menggunakan penggaris. Jadilah wajah wajah seseorang pelari pemenang
medali emas Olympiade dari Kenya (maaf namanya lupa), Jack Nicholson,
Whoopie Goldberg, Al pacino dan seorang lagi yang saya lupa nama dan
profesinya.

Tapi sayangnya, tidak semua orang mengenali wajah keempat figur yang saya
buat. Hanya orang-orang tertentu atau mereka yang kebetulan melihat potret asli
nya saja yang mengenali siapa yang saya lukis. Ada yang kurang tepat pada
konsep tahap ini. Penafsiran saya terhadap ekspresi wajah yang saya lukis
mungkin saja berbeda dengan penafsiran Sebagian besar masyarakat. Sebagai
perupa terapan saya merasa tidak bahagia kalau kerja saya ternyata hanya
komunikatif dengan sebagian kecil masyarakat pemirsa. Pada periode inilah saya
memberi nama foto marak berkotak FMB untuk gaya ini. Nama itu saya perlukan
untuk sekedar membedakan jenis ini dengan jenis-jenis lain yang saya simultan
saya lakukan. Saya kira jelas ini agak berbau seni murni. Cukup lama saya
berpikir untuk mencari pemecahan masalah perbedaan persepsi ini. Saya telaah
lagi hasil karya saya sendiri. Mungkin anda setuju kalau saya katakan bahwa
secara anatomis, wajah-wajah pada karya saya itu tampak berantakan, walau tidak
berantakan Woman-nya Picasso. Dalam perenungan wajah yang berantakan ini
menjadi topik utama. Berantakannya Picasso adalah sah karena dia seorang fine
artist. Tapi bagi saya yang perupa terapan tentu menjadi masalah ketika karya
saya berhadapan dengan komunikan.
Kemudian ada pula godaan di dalam untuk bersikap sebagai seniman murni.
Masyarakat kenal atau tidak siapa yang saya lukis, suka atau nggak pada gaya
yang saya buat, saya nggak peduli. Yang penting saya sudah melampiaskan intuisi
saya, selesai. Kalau saya ikuti godaan itu, jelas akan lebih mudah bagi saya untuk
berkarya. Tapi akhirnya saya tapi juga godaan itu. Saya berpikir kalau saya
bersikap seperti itu apakah saya tidak terlalu egois?
Kembali pada perbedaan persepsi antara saya dan pemirsa karya saya. Inikah
masalah yang harus saya pecahkan itu? kalau iya, apa solusinya? pertanyaan yang
cukup menyulitkan! Waktu itu saya mencoba intropeksi. Mungkin pada
penggarapan karya pada tahap ini saya terlalu memanjakan intuisi seni saya
sendiri. Pemanjangan intuisi ini saya lakukan pada dua Aspek penting dalam
lukisan saya, aspek warna dan aspek penyangga bentuk (deformasi).
Dari masukan yang saya peroleh, ternyata aspek depormasilah yang membuat
karya saya ini berjarak dengan sebagian pemirsanya. Mereka belum bisa
menangkap apa yang saya tangkap yang kemudian saya mempersembahkan di
hadapan mereka. Berantakan apapun posisi atau proporsi masing-masing elemen
wajah saya akan tetap mengenalinya. Saya tetap menangkap ekspresi Al pacino
atau Jack Nicholson di situ, karena memang saya sendiri yang membuatnya
begitu. tapi bagaimana dengan sebagian besar komunikasi karya saya?
Sementara aspek pewarnaan yang nyeleneh justru mendapat respon positif. Saya
sedih karena sebagian pemirsa masih berjarak. Saya ingin semua orang di jagat
raya ini, tanpa kecuali saya, menyukai atau paling tidak bisa menerima karya saya
ini. Saya membuat karya ini bukan untuk saya simpan sendiri. Saya ingin berbagi
titik di sini kepekatan saya sebagai seniman terapan di uji. “Seni terapan
berorientasi pada publik”, di dalam benak saya, kata-kata itu selalu beradu kuat
dengan kata “setiap insan berhak memanjakan intuisi pribadinya”.
Saya tahu saya harus memilih, tapi masalahnya, yang mana? demi penerimaan
masyarakat yang lebih luas, Akhirnya saya memenangkan kata-kata pertama. Saya
harus berorientasi pada publik, walaupun dalam batas tertentu, saya masih merasa
punya hak untuk mendikte publik dengan intuisi pribadi saya.
Walau keputusan sudah saya ambil, tapi masih ada soal lain yang berkaitan
dengan hal itu. Ada aspek mana yang harus kompromis dengan publik dan
seberapa jauh hal itu bisa saya lakukan? pertanyaan yang sama untuk aspek yang
harus saya pertahankan.
Pertanyaan ini akhirnya terjawab ketika saya mengingat pengalaman pengalaman
di masa lalu. Ketika kita melukis potret seseorang, tingkat kemiripan tidak
tergantung pada warnanya, tapi pada bentuk atau properti yang secara anatomis
benar. Anda pasti akan tetap mengenali wajah seseorang dengan tampilan full
color walaupun kemudian mode warnanya Anda Ubah menjadi grayscale. Jadi
yang bisa saya pertahankan penuh adalah gaya pewarnaan Saya. Sedang untuk
bentuk atau proporsi, saya harus kompromis. Kompromis dalam arti, secara global
bentuk wajah, posisi elemen-elemen anggota wajah dan proporsinya harus tetap
sama dengan potret aslinya. Tapi detail pembidangan tetap di tangan intuisi saya.
Agar secara global bentuk wajah yang saya lukis masih tetap sama, ada tiga
pilihan cara yang bisa saya lakukan
1. membuat sket langsung sambil memandang fotonya.
2. menggunakan proyektor untuk memproyeksikan foto yang akan saya lukis
pada kanvas atau kertas gambar.
3. Tracing.
Pilihan pertama langsung saya singkirkan. Dalam keadaan mata yang mulai kabur
dan fisik yang kurang baik, pilihan ini akan terlalu merepotkan. Pilihan kedua
juga kurang bersahabat karena saya tidak memiliki proyektornya. Apalagi, Pada
masa itu saya belum mengenal apa itu scanner. Akhirnya pilihan ketiga lah yang
saya ambil, pilihan ini meringankan buat kerja saya, walaupun terasa beban moral
di situ. Terus terang, selama belasan tahun berkarir sebagai ilustrator menjiplak
racing foto adalah pekerjaan yang belum pernah saya lakukan. Apa boleh buat.
Dengan kendala yang ada, saya harus melakukannya. Saya bertekad tracing sih
tracing tetapi saya akan melakukan tracing yang tetap bermartabat.

Tracing bermartabat? Macam mana pula itu? Tracing ini adalah tracing kreatif
yang tidak tunduk 100% pada apa yang sedang di trace. Pada proses Inilah
prinsip-prinsip dalam ilmu ukur ruang yang masih saya ingat berperan kuat.
Beberapa prinsip itu adalah:
 Garis lengkung pada hakikatnya adalah gabungan dari garis lurus pendek
dalam jumlah tak terhingga.
 Bidang lengkung pada hakikatnya adalah gabungan bidang-bidang data
dalam jumlah tak terhingga.
Prinsip-prinsip itu masih ditambah dengan keyakinan intuisi saya bahwa bidang
yang terbentuk oleh garis garis lurus akan tampak lebih kuat dibanding dengan
bidang bentuk garis-garis lengkung. Dan sesuatu yang terukur dengan tegas akan
terkesan kuat. Jelasnya begini, sejauh itu dimungkinkan saya akan membuat
bidang-bidang hasil tracking tadi berdiri tegak vertikal atau berbaring pasti
horizontal. Andai terdapat kemiringan kemiringan itu harus terukur tegas, dengan
derajat kemiringan 60, 45,30 atau 15 derajat tapi tidak 93, 88 atau 5,4 derajat.
Nah, dengan didasari prinsip prinsip diatas, di dalam karya-karya saya tidak akan
anda temui garis lengkung atau bidang yang terbentuk oleh garis lengkung. Dan
bisa dirasakan dan terlihat, Saya paling suka bila pada setiap karya saya bisa
tampilkan bidang-bidang vertikal yang berbatas tegas dengan kemiringan bidang
lainnya.

Pewarnaan
sudah sejak lama para pakar warna pendahulu kita menggolongkan warna-warna
menjadi golongan warna panas sejuk dan dingin atau terang, agak gelap dan
gelap. Gambar 6. Penggongan ini didasarkan pada fenomena alam yang terjadi di
bumi ini. Kita merasakan dan membayangkan bagaimana panasnya lelehan lava
pijar dari gunung berapi titik kemudian kita adopsi warna-warna yang ada pada
lava pijar itu, jadilah kelompok warna itu golongan warna panas. Demikian pula
yang terjadi ketika manusia merasakan dan melihat suasana musim semi gugur
dan musim dingin atau salju.
Dengan pendekatan lain, pendahulu kita juga mengelompokkan warna-warna
menjadi kelompok warna depan tengah dan kelompok warna belakang.
Pengelompokan ini didasari adanya perbedaan panjang gelombang dan frekuensi
getaran dari masing-masing unsur kimia pembentuk warna yang terpantul ke mata
kita.
Ada warna depan warna tengah dan belakang. Perbedaan ini saya kira cukup
untuk menimbulkan dimensi. Gambar 7. Dan inilah aturan main yang saya pakai
dalam mewarnai setiap karya saya, walaupun penafsiran diatas tataran itu bisa
berbeda pada setiap karya. Jelasnya untuk suatu karya saya menganggap kuning
sebagai warna depan titik tentu warna tengahnya bisa oranye atau hijau muda
sedang untuk warna belakangnya bisa ungu atau coklat tetapi di lain waktu warna
kuning yang sama saya lakukan sebagai warna tengah titik tentu saja warna putih
lah yang saya anggap sebagai warna depan dan biru atau hijau sebagai warna
belakang.
Penafsiran pendudukan warna ini sebenarnya bisa lebih mudah bila kita
melakukan dengan mono color. Kita tinggal memainkan tint atau shade hue yang
tunggal. Gambar 8. saya jarang sekali melakukan cara penafsiran ini kecuali bila
ada muatan ekspresi tertentu yang ingin saya tampilkan titik pada umumnya karya
saya marak dengan warna.
Teknologi komputer membuat proses pembuatannya menjadi sedemikian mudah
titik bagi yang memahami dan biasa mengoperasikan software, Photoshop, Adobe
ilustrasion, freehand atau Coreldraw, proses yang merepotkan di atas akan terasa
sangat sederhana. Saya sendiri hanya memanfaatkan tool yang tersedia polygonal
Lasso atau pen Tool dan pain bucket. Rasanya tak perlu lagi proses dengan
komputer itu kita beberkan di sini titik terlalu mudah titik

Penutup
Dengan pemaparan ini saya sama sekali tidak berharap untuk bisa
mengajak semua orang untuk melukis potret dengan cara yang saya lakukan ini
tidak, kecuali karena tidak berhak saya juga beranggapan dan percaya bahwa
suatu gaya dalam seni rupa itu tidak boleh dan tidak akan mati berhenti pada gaya
tertentu. yang saya inginkan hanyalah agar gaya saya ini bisa memperkaya
khasanah dunia seni rupa dan bisa dinikmati oleh semua orang. Kemungkinan lain
yang saya bayangkan adalah, dengan mempelajari dan memahami gaya ini, akan
terbuka peluang yang luas bagi setiap orang untuk bisa menemukan lagi
terobosan-terobosan baru dalam melukis potret khususnya dan dunia seni rupa
pada umumnya.
-Wedha Abdul Rasyid

Anda mungkin juga menyukai