Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

perkembangan moral dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah penting. Dalam hal ini orang dapat
dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan sesuai dengan aturan yang berlaku, di
kehidupan manusia tidak bisa hidup sendiri atau dengan kata lain manusia saling membutuhkan satu
sama lainnya. perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat perkembangan ini
sendiri merupakan proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ
jasmaniah, dan bukan pada organ jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak
pada kemampuan organ psikologis. dalam dua dasawarsa terakhir, studi psikologi mengenal
perkembangan moral telah dipacu oleh teori-teori yang didasarkan atas hasil-hasil penelitian
sehubungan dengan pola perkembangan moral pada masa kanak-kanak dapat diramalkan. orang
siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma
perilaku moral yang diperlukan seperti dalam proses perkembangan yang lainnya, proses
perkembangan moral selalu berkaitan dengan proses belajar, belajar itu sendiri mempunyai tujuan
untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi kompetensi kompetensi yang dimiliki.
konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas belajar
(khususnya belajar sosial) baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. jadi proses
belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras
dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum dan norma moral yang berlaku di
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

berdasarkan latar belakang diatas, adapun masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut

1. apakah pengertian perkembangan moral peserta didik

2. apa saja aspek perkembangan moral

3. apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan moral

4. apa saja implikasi perkembangan moral terhadap pendidikan

1.3 Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum
menjelaskan kepada pembaca tentang perkembangan moral
 Tujuan Khusus
1. menjelaskan kepada pembaca mengenai perkembangan moral
2. menjelaskan kepada pembaca mengenai aspek perkembangan moral
3. menjelaskan kepada pembaca tentang fase perkembangan moral dari anak sampai
remaja
4. menjelaskan kepada pembaca faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
5. menjelaskan kepada pembaca implikasi perkembangan moral terhadap pendidikan
1.4 Manfaat penulisan

Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai bahan pengajaran di bidang
pendidikan maupun di bidang penelitian-penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkembangan Moral


Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 2003).
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi
moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang
lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku
mana yang baik yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh
dikerjakan (Desmita, 2012). Komponen-komponen moral terdiri dari 3 hal, yakni:

a. Kognitif (Teori: Piaget dan Kohlberg) Moral Judgement cara seseorang


mengkonseptualisasikan benar salah dan membuat keputusan tentang bagaimana bertindak.

b. Afektif (Teori: Freud)

Moral feeling (perasaan) mengenai benar salahnya yg menyertai tindakan yg diambil dan memotivasi
pikiran dan tindakan tentang moral. Perasaan seseorang jika melakukan kesalahan adanya rasa
bersalah/tidak. Freud menerangkannya melalui masa ocdipal dimana pada masa ini anak melakukan

Identifikasi dengan salah satu orangtuanya sehingga terbentuk orangtua dalam diri

Anak. Orangtua

Dalam diri anak inilah yang akan menghukum (menimbulkan perasaan bersalah) bila anak melanggar.
Selanjutnya setelah terjadi internalisasi, apakah anak akan bertingkah laku benar atau tidak tidak
ditentukan oleh identifikasi tersebut tetapi oleh kekuatan egonya (apakah egonya mengikuti
kataorangtua dalam dirinya atau tidak).

c. Perilaku (Teori: Behavioristik)

Moral behavior bagaimana seseorang bertindak ketika mengalami kebimbangan/godaan untuk berlaku
bohong, curang atau perbuatan yang melanggar moral. Didasari oleh teori Social Learning.
Pembicaraan berpusat pada dapatkah tingkah laku anak sesuai dengan keadaan internalnya. Hobart
Mowrer menerangkan tentang internalisasi aturan-aturan dengan memakai dasar teori Classical
conditioning. Contoh: jika anak merasa enak ketika diberi makan maka akan mengembangkan
perasaan anak terhadap ibu. Kedekatan dengan ibu menjadi pemicu timbulnya perasaan enak pada
anak. Prinsip ini digunakan untuk menerangkan internalisasi aturan. Jika anak bertingkah laku tidak
baik dan dapat hukuman akan timbul rasa tidak enak. Rasa ini menyertai tingkah lakunya (anak tidak
akan melakukan tingkah laku itu). Jadi, internalisasi aturan berbentuk tingkah laku yang menghindari,
yaitu menghindari tingkah laku yang tidak disukai lingkungan.Metode untuk menanamkan tingkah
laku adalah melalui reward dan punishment. Menurut Albert Bandura aturan-aturan (benar-salah)
untuk mengontrol kah laku anak diperoleh melalui proses modelling. Anak belajar benar-salah
diberitahu secara khusus oleh orangtua dengan cara mencontoh perilaku mereka (orangtua teladan
anak) (Harahap. Tanpa Tahun).

Menurut Harahap (Tanpa Tahun) perkembangan moral memiliki 2 dimensi yaitu (1) dimensi
intrapersonal, dimensi ini mengatur atau mengarahkan aktivitas orang tersebut saat dia tidak terlibat
dalam interaksi sosial (aturan/nilai dasar dan penilaian diri individu): (2) dimensi interpersonal,
dimensi ini mengatur interaksi sosial individu dengan orang lain dan menengahi konflik, titik
perhatiannya adalah pada apa yang seharusnya dilakukan individu saat berinteraksi dengan orang lain.

2.2 Aspek perkembangan moral dari anak hingga remaja


Tahap – Tahap Perkembangan Moral dari anak hingga remaja
1. Usia 6-12 bulan Perkembangan Moral : Orang tua akan menggunakan disiplin untuk
memandu, mengendalikan dan melindungi bayi
2. Usia 12-18 bulan Perkembangan Moral : Membuat komitmen dan patuh sesuai dengan
keadaan merupakan awal tanda hati nurani, Perhatian terhadap objek yang cacat atau
rusak mencerminkan kecemasan diri dalam melakukan hal yang salah.
3. Usia 18-30 bulan Perkembangan moral : Anak mungkin menunjukkan perilaku menolong,
raasa bersalah, malu dan empati mendorong perkembangan moral, Agresi terkait mainan
dan ruang muncul.
4. Usia 30-36 bulan Perkembangan moral : Agresi fisik berkurang, lebih banyak verbal.
5. Usia 3-4 tahun Perkembangan moral : Altruisme dan perilaku menolong yang lain menjadi
lebih lazim, motifnya untuk mendapatkan pujian dan menghindari penolakan, Rasa bersalah dan
kepedulian mengenai berbuat salah memuncak, Penalaran moral kaku.
6. 4-6 tahun Perkembangan moral : Penalaran moral makin flexibel.
7. Usia 7-8 tahun Perkembangan moral : Penalaran moral makin flexibel, Empati dan perilaku
prososial meningkat, Agresif, terutama jenis permusuhan, berkurang.
8. Usia 9-11 tahun Perkembangan moral : Penalaran moral makin dipandu oleh rasa keadilan.
Anak ingin menjadi baik untuk memelihara tatanan sosial, Agresif beralih kehubungan.
9. Usia 12-15 tahun Perkembangan moral : Penalaran moral mencerminkan peningkatan
kesadaran akan keadilan dan pembuat aturan yang kooperatif.
10.Usia 16-20 tahun : Perkembangan moral : Relativisme memainkan peranan penting dalam
penalaran moral.
11.Dewasa muda (20-40 tahun) Perkembangan moral : Penilaian moral bisa menjadi lebih rumit.
12.Dewasa tengah (40-65 tahun) Perkembangan moral : Penilaian moral bisa menjadi lebih
rumit.
13.Dewasa tua (65 tahun) Perkembangan moral : Penilaian moral bisa menjadi lebih rumit

2.3 Faktor-faktor mempengaruhi perkembangan moral

Menurut (Gunarsa, 2012:39) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral ada 5 yaitu
sebagai berikut:

1 Lingkungan Rumah

Perilaku anak tidak hanya dipengaruhi oleh cara sesama anggota keluarga di rumah bersikap,
melainkan juga pada cara mereka bersikap dan menjalin hubungan dengan orang-orang di luar
rumah. Peranan orang tua begitu penting untuk mengetahui segala macam kebutuhan anak dalam
rangka perkembangan nilai-nilai moral si anak. Karena itu, orang tua harus mengetahui cara
memenuhi kebutuhan tersebut.

Orang tua harus dapat menciptakan suatu keadaan di mana si anak berkembang dalam suasana
ramah, ikhlas dan jujur. Masing-masing anggota keluarga juga harus memperlihatkan suasana
kerjasama yang baik setiap hari. Sebaliknya, orang tua akan sulit menumbuhkan sikap-sikap yang
baik pada anak, jika si anak tumbuh dan berkembang dalam suasana di mana pertikaian,
pertengkaran, dan ketidakjujuran menjadi hal biasa dalam hubungan dengan anggota keluarga atau
orang-orang di luar rumah Kebijaksanaan orang tua dalam menciptakan suasana baik di rumah ini,
menunutut pengertian yang cukup dari orang tua terhadap anak. Faktor kemampuan dan pengertian
pada segi-segi pendidikan dengan sendirinya dapat mempengaruhi perkembangan moral anak.
Namun, tidak berarti rendahnya taraf intelegensi yang dimiliki orang tua akan menciptakan anak-
anak yang tidak atau kurang bermoral. Bukan pula berarti orang tua yang memiliki taraf
kemampuan dan kecerdasan yang tinggi, menjamin dapat menciptakan anak-anak dengan nilai-nilai
moral yang tinggi pula.

Lingkungan Sekolah

Intensifikasi dan modifikasi dasar-dasar kepribadian dan pola-pola sikap yang telah diperoleh anak
selama pertumbuhan dan perkembangannya akan dialami secara lebih meluas apabila si anak
memasuki masa sekolah. Corak hubungan antara murid dengan guru atau anatara sesama murid,
banyak mempengaruhi aspek-aspek kepribadian, termasuk nilai-nilai moral yang memang masih
mengalami berbagai perubahan.

Hubungan yang baik antara sesama murid dapat memperkecil kemungkinan tumbuhnya perbuatan-
perbuatan buruk yang jauh dari nilai-nilai moral yang baik. Itu pun jika kelompok tersebut sudah
mempunyai norma-norma moral yang baik pula

2. Lingkungan Teman Sebaya


Semakin anak bertambah umur, semakin ia memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan
hubungan dengan teman-teman bermain sebayanya. Meskipun kenyataannya, perbedaan umur
yang relatif besar antara anak yang satu dengan anak yang lain tidak menjadi penyebab
kemungkinan tiadanya hubungan dalam suasana bermain.

Anak yang bertindak langsung atau tidak langsung sebagai pemimpin, atau yang menunjukkan ciri-
ciri kepemimpinan dengan sikap-sikap menguasai anak- anak lain, akan besar pengaruhnya terhadap
pola-pola sikap atau pola-pola kepribadian. Konflik bisa terjadi pada anak jika norma-norma
pribadinya sangat berlainan dengan norma-norma yang ada di lingkungan teman-teman. Semakin
kecil kelompok sehingga memungkinkan hubungan-hubungan erat terjadi, semakin besar pengaruh
kelompok itu terhadap anak. Situasi ini akan berbeda jika dibandingkan dengan kelompok yang besar
dengan anggota-anggota kelompoknya tidak tetap.

3. Keagamaan

Kejujuran dan perilaku moralitas lainnya yang diperlihatkan seorang anak, tidak ditentukan oleh
kepandaian atau pengertian dan pengetahuan keagamaan yang dimiliki si anak, melainkan
bergantung sepenuhnya pada penghayatan nilai- nilai keagamaan dan perwujudannya dalam
perilaku dan hubungannya dengan anak lain.

Ajaran-ajaran keagamaan dapat menjadi petunjuk mengenai apa yang boleh dan wajar dilakukan
serta dapat berguna mengontrol kehendak seseorang. Nilai-nilai keagamaan ini, yang diperoleh anak
pada usia muda, dapat menetap menjadi pedoman berperilaku sampai kapan pun. Kalau awalnya
kepatuhan didasarkan karena adanya rasa takut yang diasosiasikan dengan kemungkinan
memperoleh hukuman, semakin lama kepatuhan ini akan dapat dihayati sebagai bagian dari cara
dan tujuan hidupnya.

4. Aktivitas-Aktivitas Rekreasi

Cara seorang anak mengisi waktu luang sering dikemukakan sebagai sesuatu yang berpengaruh
besar terhadap konsep-konsep moralitas si anak.

Orang tua dan guru menyadari betapa pentingnya buku pada anak, yang salah satu manfaatnya
adalah menumbuhkan nilai-nilai moral. Perhatian dan anjuran untuk membaca ini menimbulkan
keinginan dan kebiasaan yang besar untuk embaca. Akan tetapi, kebiasaan dan keinginan membaca
ini juga diarahkan untuk membaca macam-macam buku seperti komik, majalah, dan buku-buku
cerita yang isinya beragam seperti komik, majalah, dan buku-buku cerita yang isinya beragam
seperti perihal kebaikan, kejahatan,kejujuran, penipuan, kesukaan, dan kedengkian. Begitu pula
fasilitas-fasilitas rekreasi seperti film, radio, televisi, juga banyak mempengaruhi norma-norma moral
si anak.

Daftar pustaka: Sapendi. 2015. Internalisasi Nilai-Nilai Moral Agama Pada Anak Usia Dini. Jurnal. Vol
(09) No (02)

2.4 apa saja implikasi perkembangan moral terhadap pendidikan

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian.
Chaplin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal.
Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan
tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude)
yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu
berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa dari tingkah
laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri.

Pendekatan Nilai Dalam Pendidikan Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:

a. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), Pendekatan penanaman nilai (inculcation


approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial
dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam
berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak
sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini
dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al.
(1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat
meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi
mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada
generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai
mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya

b. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), Pendekatan


ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat
keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih
rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh
pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan
moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa
untuk mendiskusikan alasanalasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral
(Superka, et. al., 1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan
oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg
(Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap
(level) sebagai berikut:

1. Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh
desakan yang bersifat fisikal atau sosial;

2. Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis,
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.

3. Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal
pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

c. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), Pendekatan analisis nilai (values analysis
approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis,
dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilainilai sosial. Jika dibandingkan
dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa
pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-
nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral
yang bersifat perseorangan.
d. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), Pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan
dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi
penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada
berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama,
masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu
penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

e. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka, et. al. 1976). Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatanperbuatan moral, baik secara perseorangan
maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan
ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun
tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka
berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang
demokratis

DAFTAR PUSTAKA: olume 11, Nomor 1, April 2021(Perkembangan Sikap dan Nilai Moral Peserta didik
Usia Remaja)

Anda mungkin juga menyukai