Anda di halaman 1dari 5

Mengapa Takut Sampul Majalah?

 
Author : Raka Ibrahim
September 19th, 2019
Senin (16/9), 20 orang yang mengaku sebagai relawan Jokowi
Mania melaporkan Tempo ke polisi dengan tuduhan melanggar kode etik jurnalistik. Sampul
majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 menampilkan sosok Presiden Joko Widodo dengan
bayangan berhidung panjang layaknya Pinokio, karakter dongeng yang gemar berbohong.
Bukan Tempo namanya kalau tidak “nakal”. Hari ini (19/9), gantian koran Tempo yang menjadi
buah bibir. Sampulnya menampilkan karikatur foto terkenal mantan Presiden Soeharto, tapi
wajah sang diktator diganti wajah Jokowi dengan ekspresi serupa.
Kepada Tirto, Ketua Umum Jokowi Mania Immanuel Ebenezer menyatakan bahwa
sampul Pinokio tersebut “penghinaan terhadap simbol negara”. Pihaknya
menuntut Tempo untuk menarik edisi tersebut serta meminta maaf. Namun, kuasa hukum
Jokowi Mania Reinhard Taki seolah membantah Ebenezer dengan menyebut bahwa pihaknya
“enggak mempersoalkan soal simbol negara,” melainkan menilai gambar tersebut tidak
mendidik dan menuding Tempo melanggar “UU Jurnalistik, [tapi] saya lupa [pasal] apa.”
Ada beberapa alasan mengapa perkara ini patut bikin garuk-garuk kepala. Pertama,
tidak ada yang namanya UU Jurnalistik. Perkara media diatur dalam Undang-undang no 40
tahun 1999 soal Pers. Lebih jauh lagi, tuntutan Jokowi Mania tidak masuk dalam wewenang
Dewan Pers. Menurut Gading Ditya dari LBH Pers, Dewan Pers tidak berwewenang
memerintahkan media menarik terbitannya dari peredaran. “Dewan Pers hanya memiliki
kewenangan untuk menilai apakah produk jurnalistik tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik
atau tidak,” ujar Gading.
Kedua, perintah penarikan peredaran menyerupai penyensoran, yang dilarang oleh UU
Pers pada Pasal 4 ayat 2. Ayat tersebut menyatakan bahwa “pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
Tudingan Jokowi Mania pun telah disangkal oleh redaksi Tempo. Dalam pernyataan
resmi Tempo kepada media, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, Setri Yasra, menjelaskan
bahwa sampul tersebut adalah metafora untuk “dinamika masyarakat perihal Revisi UU
KPK.” Tempo pun mengutarakan bahwa sampulnya tidak berniat menjatuhkan martabat
presiden, sebab yang tergambar berhidung Pinokio adalah bayangannya, bukan wajah presiden
itu sendiri.
Sebetulnya, ini bukan kali pertama Tempo “dicolek” akibat sampul majalahnya. Pada
edisi 17-23 November 2008, misalnya, Tempo diperkarakan Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat Aburizal Bakrie akibat sampul yang menampilkan Bakrie dengan angka 666–simbol
setan–di pelipisnya. Mereka kembali disorot pada Desember 2012 saat sampul bertajuk “Tiga
Mallarangeng” digugat Rizal Mallarangeng ke Dewan Pers. Pasalnya, sampul tersebut dianggap
menggiring opini negatif publik kepada Rizal setelah keterlibatan Mallarangeng bersaudara
dalam skandal korupsi proyek Hambalang.
Pelaporan atas sampul Pinokio Tempo jadi preseden mengkhawatirkan bila dipandang
dalam konteks Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang rencananya disahkan
pada 24 September 2019. Menurut amatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada setidaknya
sembilan pasal dalam rancangan RKUHP yang dapat mengebiri kebebasan pers dan ekspresi. Di
antaranya pasal 238-239 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pasal 259-
260 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 284 tentang penyiaran berita bohong,
serta pasal 265-266 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum. Menilik isi RKUHP,
kasus Tempo seolah menjadi preambule untuk kebebasan pers dan berekspresi yang ambyar di
Indonesia.
“Saya pikir kita memang belum terbiasa dengan keterbukaan,” kata Beng Rahadian,
komikus dan pendiri Akademi Samali. “Semasa kampanye Pilpres, Tempo dianggap pro-Jokowi.
Kemudian setelah Jokowi terpilih dan ternyata punya masalah dengan UU KPK, Tempo berbalik
mengkritik Jokowi melalui ilustrasi di sampulnya. Banyak yang kaget, padahal seorang jurnalis
memang semestinya berpihak pada kebenaran, bukan sosok politik. Masa kalau sosok
politiknya salah, jurnalis membela?”
Bagi Beng, kebebasan berekspresi di Indonesia telah dibajak oleh fanatisme buta. Tentu
hal ini tidak muncul serta merta, atau semata soal kisruh Cebong-Kampret pada masa Pemilihan
Presiden. Buruknya kemampuan berdialektika warga Indonesia adalah cerminan dari
pendidikan dan budaya turun temurun yang tidak memberi ruang bagi diskusi sehat.
“Kita enggak mengurusi substansi,” tutur Beng. “Banyak yang tidak nyaman menjadi kritis
karena nanti ia akan dirisak banyak orang, maka ia menyensor diri sendiri. Padahal, seharusnya
kita membuka diri pada pendapat yang beragam.”
Pendapat ini diamini oleh komikus dan ilustrator Nadiyah Rizki. “Bagi saya, kita seolah
dikondisikan untuk diam-diam saja,” ucapnya. “Kamu akan menemukan banyak tone policing di
media sosial. Rasanya kalau marah-marah atau kritis sedikit kamu akan dibilang agresif, disebut
SJW yang cuma bisa marah tapi enggak ada karya.”
Imbasnya, percakapan soal isu-isu penting di Indonesia sukar berkembang. “Sekarang,
yang benar-benar menikmati kebebasan cuma segelintir orang yang memang sudah punya
privilese dari sananya.” Ucap Nadiyah. “Saya masih jarang sekali mendengar perspektif dari
kelompok marjinal, orang yang justru benar-benar membutuhkan ruang untuk bersuara.”
Dunia komik dan seni visual jelas tidak luput dari persoalan semacam ini. Beng memberi contoh
kasus Ardian Syaf, komikus lokal yang disoroti karena pandangannya yang dianggap
diskriminatif. Pada 2017, Ardian yang saat itu bekerja untuk Marvel Comics menyelipkan simbol
yang terkait dengan aksi 212 pada panel komik X-Men Gold #1. Akibat dinilai mempromosikan
nilai-nilai antisemit dan diskriminatif, ia dipecat Marvel. Belum lama ini, Ardian mengampu
ilustrasi komik Gundala, adaptasi film Gundala karya Joko Anwar yang menjadi bagian jagat
sinematik Bumi Langit.
“Beberapa tahun lalu, ketika ia dianggap intoleran, kita semua geger dan merasa ia tidak
pada tempatnya,” kenang Beng. “Ketika ia bikin Gundala, banyak yang menyerukan boikot
karena ia tidak terbuka pada masyarakat tentang perilakunya dan ia tidak merasa bersalah.
Namun, banyak orang di yang dulu menyayangkan tindakannya di Marvel sekarang berbalik
membela Ardian hanya karena ia sekarang ngerjain komik Bumi Langit. Ardian dibela karena
sekarang ia bagian dari kepentingan mereka.”
Bagi Nadiyah, kasus Tempo dan digasnya RKUHP menunjukkan bahwa pemerintah perlu
mengevaluasi skala prioritasnya. “Kenapa hal sepele disensor ketika ada banyak hal di luar sana
yang ofensif dan menyakiti banyak orang? Kenapa politikus yang bikin sakit hati banyak orang
malah tidak diusut?” tanya Nadiyah. “Tempo mengkritik kepala negara, dan tidak semua warga
merasa diwakili oleh dia. Yang jadi korban cuma egonya mereka.”
“Saya pikir sebenarnya pak Jokowi bisa menerima kritik,” ucap Beng. “Orang-orang di
sekitarnya saja yang tidak. Ada relawan yang menurut saya lebay dan justru memperlihatkan
sikap kekanak-kanakkan.” Mengacu pada pernyataan resmi redaksi Tempo, Beng berpendapat
bahwa ada makna lebih mendalam dari ilustrasi sampul tersebut. “Jokowi digambarkan biasa,
tapi bayangannya berhidung panjang. Berarti siapa yang membayang-bayangi Jokowi?
Harusnya kan berpikir ke situ. Seharusnya kita tidak melihat permukaannya saja.”
Lebih jauh, peneliti komik dan budaya populer Koko Hendri Lubis mengutarakan bahwa
karikatur politik bukan barang baru di Indonesia. “Pada 1933, Soekarno saja kerap membuat
karikatur yang mengkritik pemerintah Hindia Belanda melalui Fikiran Ra’jat,” ujar Koko.
“Namun, Bung Karno tidak diperkarakan pemerintah kolonial karena karikatur, melainkan
karena tulisan politik dan aktivitas politiknya. Bisa jadi, sensor pada zaman kolonial lebih rapi
karena paling tidak mereka membaca teks.” Bagi Koko, meski sampul Pinokio bikin kisruh, tak
banyak yang mempersoalkan isi artikel yang ditulis Tempo itu sendiri.
Konflik kepentingan, fanatisme buta, hingga minimnya ruang bagi narasi beragam
menjadi pekerjaan rumah serius agar kita dapat bermasyarakat secara sehat. Terwujudnya visi
ini jelas memerlukan proses yang tak sebentar. Namun, bagi Koko, proses ini telah dicederai
dengan munculnya pelarangan serta ancaman penjara dari RKUHP.
“Seharusnya karya seperti sampul Tempo dibiarkan saja, karena pemerintah perlu mendidik
bangsanya untuk berpikir merdeka dan berpendapat secara sehat.” Ucap Koko. “Kita jangan
inkonsisten, sudah demokrasi kok malah membungkam lagi. Pemimpin kita harus mengajarkan
kita untuk berani berpikir beda dan berpola pikir mandiri.”
“Secara pribadi, saya takut banget.” Ucap Nadiyah. “Stres banget rasanya cuma gara-
gara takut sama negara. Rasanya mau menuntut pemerintah karena bikin kami kelelahan
secara emosional. Tapi karena saya cuma bisa gambar, saya berekspresi lewat gambar.
Sekarang semakin penting untuk memperkeras suara orang-orang yang jarang terdengar,
supaya ekosistemnya lebih sehat.”
Bagi Beng, RKUHP justru menjadi momentum untuk membuka ruang dialog dan menegaskan
posisi. “Seorang seniman harus punya sikap. Dia tidak perlu menyensor karyanya.” Ujar Beng.
“Sekarang ini kita butuh kecerdasan baru, mentalitas baru.”

Anda mungkin juga menyukai